Anda di halaman 1dari 4

HUKUM PAJAK INTERNASIONAL

Oleh.
Syahrial Alfawzy Purnomo (185030407111021)

Pengertian Hukum Pajak Internasional


Pengertian hukum pajak ini dapat dibagi menjadi tiga bagian dari pendapat ahli hukum pajak,
yaitu:
1. Menurut pendapat Prof. Dr. Rochmat Soemitro, bahwa hukum pajak internasional
adalah hukum pajak nasional yang terdiri atas kaedah, baik berupa kaedah-kaedah
nasional maupun kaedah yang berasal dari traktat antar negara dan dari prinsif atau
kebiasaan yang telah diterima baik oleh negera-negara di dunia, untuk mengatur soal-
soal perpajakan dan di mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing.
2. Menurut pendapat Prof. Dr. P.J.A. Adriani, hukum pajak internasional adalah suatu
kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam UU Nasional
mengenai pemajakan terhadap orang-orang luar negeri, peraturan-peraturan nasional
untuk menghindarkan pajak ganda dan traktat-traktat.
3. Sedangkan menurut pendapat Prof. Mr. H.J. Hofstra, hukum pajak internasional
sebenarnya merupakan hukum pajak nasional yang di dalamnya mengacu pengenaan
terhadap orang asing.
Persoalan yang terjadi dalam hukum pajak ini ialah apakah hukum pajak nasional akan
diterapkan atau tidak? Hukum pajak internasional juga merupakan norma-norma yang
mengatur perpajakan karena adanya unsur asing, baik mengenai objeknya maupun subjeknya.
Kedaulatan Hukum Pajak Internasional
Berbicara masalah Hukum Pajak Internasional, khususnya Hukum Pajak Internasional
Indonesia secara umum dapat dikatakan barlaku terbatas hanya pada subjeknya dan objeknya
yang berada di wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap orang atau badan yang
tidak bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak akan dikenakan
pajak berdasarkan UU Indonesia. Namun demikian, Hukum Pajak Internasional dapat
berkaitan dengan subjek maupun objek yang berada di luar wilayah Indonesia sepanjang ada
hubungan yang erat dalam hal terdapat hubungan ekonomis atau hubungan kenegaraan
dengan Indonesia.
UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000
(UU PPh) khususnya dalam pasal 26 diatur bahwa terhadap WP luar negeri yang memperoleh
penghasilan dari Indonesia antara lain berupa bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan,
akan dikenakan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto. Pasal ini menunjukkan bahwa contoh
adanya hubungan ekonomis antara orang asing dengan penghasilan yang diperoleh di
Indonesia.
Dalam hukum antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang dinyatakan
sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas mengatur kepentingan-kepentingan
rumah tangganya sendiri, dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar negara dan
bebas dari pengaruh kekuasaan negara lain. Sesuai dengan asas yang dimaksud di muak,
maka kedaulatan pemajakan sebagai spesial dari gengsi kedaulatan negera dapat dinyatakan
sebagai kedaulatan suatu negara untuk bertindak merdeka dalam lapangan pajak.
Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional
Prof. Dr. Rochmat Soemito dalam bukunya “Hukum Pajak Indonesia, menyebutkan bahwa
ada bebarapa sumber hukum pajak internasional, yaitu:
1. Hukum Pajak Nasional atau Unilateral yang mengandung unsur asing.
2. Trakat, yaitu kaedah hukum yang dibuat menurut perjanjian antar negara baik secara
bilateral maupun multilateral.
3. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak
internasional.
Sedangkan dalam buku “Pengantar Ilmu Hukum Pajak” karangan R. Santoso Brotodihardjo,
S.H. menyatakan bahwa sumber-sumber formal dari hukum pajak internasional, yaitu:
1. Asas-asas yang terdapat dalam hukum antar negara
2. Peraturan-peraturan unilateral (sepihak) dari setiap negara yang maksudnya tidak
ditujukan kepada negara lain.
3. Traktat-traktat (perjanjian) dengan negera lain, seperti:
1. Untuk meniadakan atau menghindarkan pajak berganda.
2. Untuk mengatur pelakuan fiskal terhadap orang-orang asing.
3. Untuk mengatur soal pemecahan laba di dalam hal suatu perusahaan atau seseorang
mempunyai cabang-cabang atau sumber-sumber pendapatan di negara asing.
Terjadinya Pajak Berganda Internasional
Pajak berganda internasional umumnya terjadi karena pada dasarnya tidak ada hukum
internasional yang mengatur hal tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antar dua negara
atau lebih. Velkenbond memberikan pengertian bahwa pajak berganda internasional terjadi
apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih saling menindih sedemikian rupa,
sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di negara-negara yang lebih dari satu memikul
beban pajak yang lebih besar daripada jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja.
Beban tambahan yang terjadi tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari
negara-negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih secara bersamaan
memungut pajak atas objek dan subjek yang sama.
Dari pengertian di atas jelas bahwa pajak berganda internasional akan timbul karena atas
suatu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali sehingga
menimbulkan beban yang berat bagi subjek pajak yang dikenakan pajak tersebut. Selanjutnya
Prof. Rochmat Soemitro menjelaskan bahwa ada beberapa sebab terjadinya pajak berganda
internasional, yaitu:
1. Subjek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negera, yang dapat
terjadi karena:
1. Domisili rangkap
2. Kewarganegaraan rangkap
3. Bentrokan atas domisili dan asas kewarganegaraan.
2. Objek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara.
3. Subjek pajak yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal berdasarkan atas
wold wide incom, sedangkan di negera domisili dikenakan pajak berdasarkan asas sumber.
Cara Penghindaran Pajak Berganda Internasional
Ada dua cara untuk menghindari pajak berganda internasional, yaitu dengan cara sebagai
berikut:
1. Cara Unilateral
Cara ini dilakukan dengan memasukkan ketentuan untuk menghindari pajak berganda dalam
UU suatu negara dengan suatu prosedur yang jelas. Pengguanaan cara ini merupakan wujud
kedaulatan suatu negara untuk mengatur sendiri masalah pemungutan pajak dalam suatu UU.
2. Cara Bilateral atau Multilateral
Cara Bilateral atau Multilateral dilakukan melalui suatu perundingan antar negara yang
berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda. Perjanjian yang dilakukan
secara bilateral oleh dua negara, sedangkan multelateral dilakukan oleh lebih dari dua negara,
yang lebih dikenal dengan sebutan traktat atau tax treaty. Proses terjadinya perjanjian secara
bilateral maupun multilateral tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama karena
masing-masing negara mempunyai prinsip pemajakannya masing-masing sesuai dengan
kedaulatan negaranya sendiri.
Perjanjian Dalam Pajak Berganda Internasional
Perjanjian seperti ini kebanyakan masih berusia muda, dahulu hanya dikenakan persetujuan
persahabatan, persetujuan untuk menetap, persetujuan dagangan dan peretujuan pelayanan
yang kadang-kadang mencakup satu ketentuan yang ada hubungannya dengan beberapa
macam pajak yang kebanyakan mencantumkan klausul tentang keharusan adanya perlakuan
yang sama terhadap penduduk atau penguasa dari negara-negara yang mengadakan
persetujuan.
Prosedur dari perjanjian kolektif ternyata sukar untuk dilaksanakan karena bermacam-macam
ragam, sistem dan asas perpajakan di berbagai negara, dan karena lambannya prosedur
perundingan untuk tidak berbicara tentang lambannya atau resikonya pengukuhan oleh kepala
negara-negara peserta perjanjian.
Ketentuan-ketentuan penting yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian pajak berganda
secara singkat adalah sebagai berikut:
1. Orang-orang yang dapat menikmati keuntungan dari perjanjian-perjanjian.
2. Pajak-pajak yang diatur dalam perjanjian.
3. Sengketa internasional.
4. arti tempa kediaman fiskal.
Kedudukan Hukum Perjanjian Perpajakan
Bagaimana kedudukan hukum suatu perjanjian perpajakan yang diadakan antara Indonesia
dengan negara lain? Bila ditelusuri dasar hukum bisa diadakannya perjanjian perpajakan
antar negara, maka kita kembali pada konstitusi yaitu pasal 11 ayat (1) UUD 1945 beserta
perubahannya. Mengacu pada dasar hukum tersebut, tentu saja akan memerlukan waktu yang
cukup lama. Oleh karenanya, dengan pertimbangan kepraktisan khusus dalam lalu lintas
hukum internasional antara Indonesia dengan negara-negara lain yang cukup intensif, maka
tidak diperlukan lagi persetujuan DPR tetapi cukup diberitahukan saja.
Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UUD 1945 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kedudukan hukum perjanjian perpajakan adalah sama dengan UU Nasional seperti UU
tentang PPh. Kedudukan hukum perjanjian perpajakan tidak lebih tinggi dari UU Perpajakan
Nasional.

Sumber :
1. Judisseno, K. Rimsky. (2005). Pajak dan Strategi Bisnis. Gramedia Pustaka Utama. .
Jakarta. Online.
(https://perpustakaan.akuntansipoliban.ac.id/uploads/attachment/0EL8Me7ng4
FiUxCdAcRSVQluzWwNBvPIbqaDphst62fjJyKO3X.pdf)
2. Waluyo. (2017), Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai