PENDAHULUAN
1.3. Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mampu menjelaskan perjalanan obat di dalam tubuh
2. Mampu menjelaskanfactor-faktor yang mempengaruhi proses biofarmasetik
obat pada pemberiaan secara oral
3. Mampu menjelaskan evaluasi biofarmasetik sediaan oral
BAB II
PEMBAHASAN
1. Disintegrasi
Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus
mengalami disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil dan melepaskan
obat.
2. Liberasi (pelepasan)
Suatu obat mulanya merupakan zat aktif yang jika mencapai
tempat penyerapannya akan segera diserap. Proses pelepasan zat aktif dari
sediaannya cukup rumit dan tergantung pada jalur pemberian dan bentuk
sediaan, serta dapat terjadi secara cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif di
pengaruhi oleh keadaan lingkungan biologis mekanis pada tempat
pemasukan obat, misalnya gerakan peristaltic usus, hal ini penting untuk
bentuk sediaan yang keras atau yang kenyal.
3. Disolusi
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua
adalah pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan
dispersi molekuler dalam air. Tahap ketiga ini merupakan keharusan agar
selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga ditetapkan pada obat-obatan
yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak tetapi yang
terjadi disini adalah proses ekstraksi (penyarian). Dengan demikian
pemberian sediaan larutan tidak selalu dapat mengakibatkan penyerapan
segera. Laju pelarutan adalah jumlah obat yang terlarut per satuan luas per
waktu (misal g/cm2.menit). Laju pelarutan juga dipengaruhi pula oleh sifat
fisikokimia obat, formulasi, pelarut, suhu media dan kecepatan
pengadukan.
4. Absorpsi
Tahap ini merupakan tahap dari biofarmasetik dan awakl
farmakokinetik jadi fase ini merupakan masuknya zat aktif dalam tubuh
yang yang aturannya di tenggarai oleh pemahaman ketersediyaan hayati
(bioavailibilitas). Penyerapan zat aktif tergantung pada berbagai parameter
terutama sifat fisiko-kimia molekul obat. Dengan demikian proses
penyerapan zat aktif terjadi apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari
sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi setempat. Tahap
pelepasanm dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses
penyerapan zat aktif baik dalam hal jumlah yang diserap maupun jumlah
penyerapannya.
a. Rongga Mulut
Hal ini sebagian di isi oleh lidah, otot besar berlabuh ke lantai mulut oleh
frenulum linguae. Di bagian belakang rongga mulut terdapat banyak
kumpulan jaringan limfoid membentuk amandel/tonsil, nodul limfoid kecil
dapat terjadi dalam mukosa dari langit-langit lunak.
b. Langit-langit (palate)
Langit-langit memisahkan hidung dan rongga mulut, terdiri dari langit-
langit keras anterior tulang. Proyeksi memanjang yang disebut anak lidah
(uvula).
c. Lidah
Pada manusia, lidah membantu dalam menciptakan tekanan negatif dalam
rongga mulut yang memungkinkan mengisap, dan merupakan organ
aksesori penting dalam mengunyah, menelan, dan berbicara. Permukaan
atas, atau punggung, mengandung berbagai proyeksi dari membran mukus
yang disebut papila.
d. Gigi
Gigi memotong dan menggiling makanan untuk memperlancar
pencernaan. Sebuah gigi terdiri dari mahkota dan satu atau lebih akar.
Sementum adalah lapisan tipis yang menutupi akar dan berfungsi sebagai
media untuk penempelan serat yang menahan gigi ke jaringan di
sekitarnya (membran periodontal). Gusi melekat ke tulang alveolar dan ke
sementum oleh buntalan serat.
e. Mukosa
Permukaan bagian dalam mulut lebih sempit, ditutupi oleh lapisan mukosa
yang sangat tipis, bening dan agak melekat : adanya ayaman kapiler “ tight
junction” pada mukosa yang tipis tersebut memudahkan penyerapan.
Selanjutnya prinsip ini digunakan untuk pemberian zat aktif per lingual.
f. Pengeluaran air liur (saliva)
Air liur terutama mengandung enzim ptyalin yang merupakan suatu
amylase dengan pH aktivitas optimum 6,7. Proses hidrolisa ptyalin
terhadap amilum akan berlanjut sekitar 30 menit didalam lambung,
walaupun pH-nya menurun karena bercampur dengan cairan lambung.
2. Esofagus (Kerongkongan)
Kerongkongan menghubungkan faring dan lubang jantung di lambung.
pH cairan dalam esofagus adalah antara 5 dan 6. Bagian bawah esofagus
berakhir dengan sfingter esofagus, yang mencegah refluks asam dari lambung.
Tablet atau kapsul dapat tersangkut di daerah ini, dapat menyebabkan iritasi
lokal. Disolusi obat sangat kecil terjadi di kerongkongan.
3. Lambung
4. Usus Halus
Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas 3 bagian yaitu
duodenum yang terfiksasi, jejunum dan ileum yang bebas bergerak. Diameter
usus halus tergantung pada letaknya (2-3 cm) dan panjang keseluruhan antara
5-9 cm. Usus halus terdiri atas 5 lapisan melingkar, berupa jaringan otot
(musculus) dan lapisan lender (mukosa). Lapisan yang paling dalam (lapisan
mukosa) sangat berperan pada proses penyerapan obat.
2. Faktor kimia
Pengaruh pembentukan garam : untuk mengubah senyawa asam dan
basa yang sukar larut dalam air sehingga mempengaruhi laju kelarutannya.
Pengaruh pembentukan ester : menghambat atau memperpanjang aksi zat
aktif
4. Laju Perlewatan
Laju transit dan waktu tinggal dilambung merupakan salah satu faktor
yang sangat penting, yang mempengaruhi intensitas penyerapan. Suatu zat aktif
yang sukar diserap lambung seharusnya tidak tinggal lama dilambung. Oleh
sebab itulah waktu pengosongan lambung sebaiknya diusahakan terjadi lebih
cepat. Sebaliknya bila transit diusus berjalan lambat, hal tersebut
menguntungkan bagi zat aktif yang hanya diserap pada bagian tertentu saluran
cerna, terutama dalam hal transpor aktif. Contoh yang klasik adalah riboflavin
yang diserap pada bagian atas usus halus. Bila obat dalam keadaan terlarut
melewati daerah penyerapan terlalu cepat maka penyerapannya menjadi sangat
sedikit. Fenomena yang sama juga terjadi pada tetrasiklina, fenisilina, seofulvin
dan garam-garam besi (fe).
Kecepatan transit dilambung tak dapat dikontrol selama waktu makan
dan gumpalan makanan meninggalkan lambung bertahap dalam waktu yang
lama ataupun singkat.
2. Keasaman
Keasaman (pH) cairan lambung selama mendekati satu, tetapi karena
adanya pengenceran biasanya pH dapat berada antara 1 dan 3.
Pengukuran pH sekresi lambung pada umumnya dilakukan dengan
pengambilan melalui pipa, sedangkan pengukuran pH pada binatang
dilakukan dengan menusukan fistula ke lambung melalui kulit. Tehnik yang
pertama dapat menimbulkan trauma dan komposisi cairan lambung setelah
eksitasi mekanik mungkin berada dengan komposisi yang dihasilkan pada
keadaan fisiologi. Hal yang sama terjadi bila lambung dirangsang oleh bahan-
bahan tertentu seperti histamin. Bila penggunaan fistula pada hewan
mempunyai masalah ekstrapolasi klasik, maka hal yang sama berlaku pula
pada manusia.
Pengukuran pH cairan lambung dengan elektroda gelas yang dimasukan
kedalam lambung memberikan hasil yang baik.
3. Tegangan Permukaan
Tegangan permukaan pada cairan usus menurun karna adanya garam
empedu.Hal yang sama terlihat paada cairan lambung yang mendapatkan
masukan garam empedu. Tegangan permukaan cairan lambung berkisar
antara 38-47 /dyne/cm2. Pengurangan tegangan permukaan akan
memudahkan pembasahan dan pelarutan partikel yang semula belum larut.
Senyawa –senyawa “choleretie” merangsang pengeluaran cairan empedu,
sehingga akan meningkatkan pelarutan dan mempermudah pengemulsian
dan penyerapan bahan lemak dan vitamin yang larut lemak.
4. Kekentalan
Kekentalan juga menghambat proses bahwa kekentalan menghambat
proses penyerapan yaitu dengan menghambat pembasahan partikel dan
menekan laju pelarutan. Kekentalan juga menghambat proses difusi
molekul zat aktif saat proses pelarutan dimukosa penyerapan. Malahan
dapat dikatakan bahwa kekentalan menghambat proses transit dan
terutama meningkatkan waktu-tinggal dalam lambung. Telah kita ketahui
bahwa pemberian segelas air bersamaan dengan pemberian zat aktif akan
mempercepat proses penyerapan. Bahan pengental yang digunakan dalam
formulasi juga akan meningkatkan viskositas cairan cerna.
b. Garam empedu
Konsentrasi garam empedu, bahan penurunan tegangan permukaan
fisiologik berada diatas konsentrasi misiler kritik (CMC). Jadi dapat terjadi
interaksi antara garam empedu dan zat – zat aktif dengan miselinisasi yang
dapat “ melarutkan “ zat aktif tertentu yang tidak larut dalam air dan
dengan demikian memperbaiki penyerapannya. Hal tersebut terjadi bila zat
aktif mempunyai sifat kimia tertentu sehingga dapat diserap dengan
mudah. Pada keseimbangan antara bentuk bebas dan bentuk miselnya, bila
bentuk bebas diserap dengan cepat maka media air segera “ diisi kembali “
oleh bentuk bebasnya yang dilepaskan oleh misel. Proses ini akan
meningkatkan penyerapan, seperti yang telah diketahui sejak lama berlaku
untuk monogliserida, asam lemak dan vitamin larut-lemak, juga berlaku
terhadap sulfadiasina, fenolftalein dan steroida tertentu.
d. Flora Usus
Flora usus mengeluarkan enzim, misalnya penisilinase yang
menginaktifkan zat aktif tertentu.
e. Enzim
Enzim dapat merusak zat aktif tertentu, misalnya zat aktif peptida
akan merusak oleh enzimproteolitik (insulin, ositosin). Dalam hal tertentu,
enzim tersebut menyebabkan peningkatan perlepasan obat dan
mempengaruhi sifat sediaan yang tahan asam atau sediaan lepas lambat,
lipase usus akan menghidrolisa lemak tahan asam.
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan pembahasan pada bab
II adalah sebagai berikut:
1. Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses biofarmasetik obat pada
pemberiaan secara oral meliputi :
3 Faktor fisika : ukuran partikel, bentuk kristal dan amorf, pengaruh
polimorfisme serta pengaruh solvat dan hidrat
4 Faktor kimia : pengaruh pembentukan garam dan ester
5 Faktor fisiologis : permukaan penyerap, umur, sifat membran biologik,
laju perlewatan, ph dan perubahan ph karena formulasi, tegangan
permukaan, kekentalan dan isi saluran cerna yang dapat mengubah aksi zat
aktif
6 Faktor patologis :
Faktor penghambat dan penurunan efek obat yaitu gangguan penyerapan
di saluran cerna, karena adanya perubahan transit getah lambung dan
keadaan mukosa usus. Penurunan absorbsi parenteral karena penurunan
laju aliran darah. Peningkatan eliminasi zat aktif melalui ginjal , karena
alkalosis atau asidosis.
7. Faktor penghambat dan peningkat efek obat
a. Peningkatan penyerapan karena terjadi kerusakan membranpada tempat
kontak
b. Insufisiensi hati
c. Insufisiensi ginjal
d. Gangguan pada sistem endokrin berakibat pada penekanan laju reaksi
biotransformasi
8. Tahapan evaluasi biofarmasetik sediaan oral meliputi : mengetahui apakah
sediaan dengan perlepasan zat aktif yang terkendali telah terbukti,
mendapatkan parameter farmakokinetiknya yang diperlukan untuk
menghitung jumlah obat yang diberikan pada tahap awal dan pada tahap
perlepasan terkendali, pemilihan bentuk sediaan yang sesuai dengan
perlepasan terkendali yang optimum, menetapkan laju perlepasan zat aktif
dari sediaan dan melakukan uji klinik untuk membuktikan bentuk sediaan
3.2 Saran
Adapun saran penulis adalah perlu adanya pengkajian lebih lanjut tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi proses biofarmasetik obat pada pemberiaan
secara oral dan evaluasi biofarmasetik sediaan oral.
DAFTAR PUSTAKA
KELOMPOK 5:
1. Dini Dian Ditika ( 16111028P)
2. Eka Gustriyana (16111029P)
3. Firda Irliani Sakti (16111030P)
4. Grease Prathama (16111031P)
5. Ratna Indah Sari (16111032P)
6. Riski Trimouli Gusti (16111033P)
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun