Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam dunia farmasi obat merupakan unsur terpenting di dalamnya,
bagaimana obat itu bekerja dan bagaimana obat itu memberikan efek di dalam
tubuh. Kebanyakan obat yang di berikan dalam berntuk sediaan peroral sehingga
obat akan bisa memberikan efek di dalam tubuh.
Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh
termasuk menentukan toksisitasnya. Jalur pemakaian obat yang meliputi secara
oral, rektal, dan parenteral serta yang lainnya harus ditentukan dan ditetapkan
petunjuk tentang dosis-dosis yang dianjurkan bagi pasien dalam berbagai umur,
berat dan status penyakitnya serta teknik penggunaannya atau petunjuk
pemakaiannya.
Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam
memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat
menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan
bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau lambatnya obat mulai
bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of action), intensitas
kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk
memberikan respons tertentu. Pemberian obat peroral merupakan cara pemberian
yang paling alamiah untuk semua bahan yang akan diserap oleh organ tubuh.
Fungsi alat cerna adalah menyerap sebagian besar bahan-bahan yang diperlukan
untuk hidup. Cara pemberian obat per oral paling banyak dipakai di luar
lingkungan rumah sakit terutama untuk pengobatan sendiri.
Obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah
diberikan melalui rute tertentu yang nyaman dan aman seperti suatu obat yang
memungkinan diberikan secara intravena dan diedarkan di dalam darah langsung
dengan harapan dapat menimbulkan efek yang relatif lebih cepat dan bermanfaat.
Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih lanjut tentang perjalanan
obat dalam tubuh, faktor-faktor yang mempengaruhi proses biofarmasetik obat
pada pemberiaan secara oral dan evaluasi biofarmasetik sediaan oral.
1.2. Tujuan
a. Mengetahui anatomi fisiologi saluran cerna
b. Untuk mengetahui perjalanan obat di dalam tubuh
c. Mengetahui berbagai faktor pato-fisiologi yang berperan pada
penyerapan obat per oral.
d. Evaluasi biofarmasetik sediaan obat yang diberikan secara oral

1.3. Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mampu menjelaskan perjalanan obat di dalam tubuh
2. Mampu menjelaskanfactor-faktor yang mempengaruhi proses biofarmasetik
obat pada pemberiaan secara oral
3. Mampu menjelaskan evaluasi biofarmasetik sediaan oral
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Biofarmasetika dan Fase Biofarmasetika


2.1.1 Pengertian Biofarmasetika
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat
fisikokimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas
menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi
sistemik. Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat
sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang
optimal pada kondisi klinik tertentu.

2.1.2 Fase Biofarmasetika


Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi
oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat
fisikokimia produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variabel-
variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik
tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan
secara tepat produk obat, maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari
absorpsi yang sangat cepat dan lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi
yang diperlambat atau bahkan sampai tidak terjadi absorpsi sama sekali.
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui
suatu rangkaian proses. Proses tersebut meliputi (1) disintegrasi produk obat
yang diikuti pelepasan obat; (2) pelarutan obat; (3) absorpsi melewati
membran sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat,
pelarutan dan absorpsi, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan
oleh tahapan yang paling lambat dalam rangkaian tersebut.
Tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik
disebut tahap penentu kecepatan (rate limiting step). Untuk obat-obat yang
mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan serigkali merupakan
tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek
penentu kecepatan terhadap bioavailablitas obat. Tetapi sebaliknya, untuk
obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju pelarutannya cepat
sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat membran merupakan tahap
paling lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan.
Fase biofarmasetik melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait mulai
saat pemberian obat hingga terjadinya penyerapan zat aktif. Kerumitan
peristiwa tersebut tergantung pada cara pemberian dan bentuk sediaan, yang
secara keseluruhan berperan pada proses predisposisi zat aktif dalam tubuh.
Seperti diketahui fase farmakodinamik dan farmakokinetik mempunyai sifat
individual spesifik dalam interaksi tubuh dan zat aktif. Hal tersebut
selanjutnya mempengaruhi intensitas farmakologik dan kinetik zat aktif suatu
obat di dalam tubuh. Dengan demikian fase biofarmasetik merupakan salah
satu kunci penting untuk memperbaiki aktivitas terapetik.
Fase bioarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap utama, yaitu
L.D.A yang berarti Liberasi (pelepasan), Disolusi (Pelarutan), dan Absorpsi
(penyerapan).

1. Disintegrasi
Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus
mengalami disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil dan melepaskan
obat.

2. Liberasi (pelepasan)
Suatu obat mulanya merupakan zat aktif yang jika mencapai
tempat penyerapannya akan segera diserap. Proses pelepasan zat aktif dari
sediaannya cukup rumit dan tergantung pada jalur pemberian dan bentuk
sediaan, serta dapat terjadi secara cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif di
pengaruhi oleh keadaan lingkungan biologis mekanis pada tempat
pemasukan obat, misalnya gerakan peristaltic usus, hal ini penting untuk
bentuk sediaan yang keras atau yang kenyal.

3. Disolusi
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua
adalah pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan
dispersi molekuler dalam air. Tahap ketiga ini merupakan keharusan agar
selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga ditetapkan pada obat-obatan
yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak tetapi yang
terjadi disini adalah proses ekstraksi (penyarian). Dengan demikian
pemberian sediaan larutan tidak selalu dapat mengakibatkan penyerapan
segera. Laju pelarutan adalah jumlah obat yang terlarut per satuan luas per
waktu (misal g/cm2.menit). Laju pelarutan juga dipengaruhi pula oleh sifat
fisikokimia obat, formulasi, pelarut, suhu media dan kecepatan
pengadukan.

4. Absorpsi
Tahap ini merupakan tahap dari biofarmasetik dan awakl
farmakokinetik jadi fase ini merupakan masuknya zat aktif dalam tubuh
yang yang aturannya di tenggarai oleh pemahaman ketersediyaan hayati
(bioavailibilitas). Penyerapan zat aktif tergantung pada berbagai parameter
terutama sifat fisiko-kimia molekul obat. Dengan demikian proses
penyerapan zat aktif terjadi apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari
sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi setempat. Tahap
pelepasanm dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses
penyerapan zat aktif baik dalam hal jumlah yang diserap maupun jumlah
penyerapannya.

2.2 Absorpsi Obat Per Oral


Rute pemberian oral adalah rute yang paling umum dan populer. Bentuk
sediaan oral yang dirancang harus memperhitungkan rentang Ph ekstrim, ada atau
tidak ada makanan, enzim, berbagau permeabilitas obat di berbagai daerah usus
dan motilitaas pada saluran pencernaan. Obat yang diberikan secara oral melewati
berbagai bagian kanal enteral, termasuk rongga mulut, kerongkongan dan
berbagai bagian dari saluran pencernaan. Residu akhirnya keluar dari tubuh
melalui anus. Waktu transit total obat termasuk pengosongan lambung, transit
usus kecil dan transit kolon, berkisar 0,4-5 hari. Tempat yang paling penting
untuk absorpsi obat adalah usus kecil. Waktu transit usus kecil berkisar dari 3
sampai 4 jam untuk subyek sehat. Usus kecil biasanya diisi dengan cairan
pencernaan dan cairan yang menjaga cairan isi lumen. Sebaliknya cairan dalam
kolon (usus besar) direabsorpsi, dan kandungan lumenal dalam usus besar adalah
semipadat atau padat, membuat disolusi obat lebih lanjut tidak menentu dan sulit.

2.2.1 Anatomi Dan Fisiologi Saluran Pemberian Oral


1. Mulut

a. Rongga Mulut
Hal ini sebagian di isi oleh lidah, otot besar berlabuh ke lantai mulut oleh
frenulum linguae. Di bagian belakang rongga mulut terdapat banyak
kumpulan jaringan limfoid membentuk amandel/tonsil, nodul limfoid kecil
dapat terjadi dalam mukosa dari langit-langit lunak.
b. Langit-langit (palate)
Langit-langit memisahkan hidung dan rongga mulut, terdiri dari langit-
langit keras anterior tulang. Proyeksi memanjang yang disebut anak lidah
(uvula).

c. Lidah
Pada manusia, lidah membantu dalam menciptakan tekanan negatif dalam
rongga mulut yang memungkinkan mengisap, dan merupakan organ
aksesori penting dalam mengunyah, menelan, dan berbicara. Permukaan
atas, atau punggung, mengandung berbagai proyeksi dari membran mukus
yang disebut papila.
d. Gigi
Gigi memotong dan menggiling makanan untuk memperlancar
pencernaan. Sebuah gigi terdiri dari mahkota dan satu atau lebih akar.
Sementum adalah lapisan tipis yang menutupi akar dan berfungsi sebagai
media untuk penempelan serat yang menahan gigi ke jaringan di
sekitarnya (membran periodontal). Gusi melekat ke tulang alveolar dan ke
sementum oleh buntalan serat.
e. Mukosa
Permukaan bagian dalam mulut lebih sempit, ditutupi oleh lapisan mukosa
yang sangat tipis, bening dan agak melekat : adanya ayaman kapiler “ tight
junction” pada mukosa yang tipis tersebut memudahkan penyerapan.
Selanjutnya prinsip ini digunakan untuk pemberian zat aktif per lingual.
f. Pengeluaran air liur (saliva)
Air liur terutama mengandung enzim ptyalin yang merupakan suatu
amylase dengan pH aktivitas optimum 6,7. Proses hidrolisa ptyalin
terhadap amilum akan berlanjut sekitar 30 menit didalam lambung,
walaupun pH-nya menurun karena bercampur dengan cairan lambung.

2. Esofagus (Kerongkongan)
Kerongkongan menghubungkan faring dan lubang jantung di lambung.
pH cairan dalam esofagus adalah antara 5 dan 6. Bagian bawah esofagus
berakhir dengan sfingter esofagus, yang mencegah refluks asam dari lambung.
Tablet atau kapsul dapat tersangkut di daerah ini, dapat menyebabkan iritasi
lokal. Disolusi obat sangat kecil terjadi di kerongkongan.
3. Lambung

Lambung merupakan sebuah kantong dengan panjang sekitar 25 cm dan


10 cm saat kosong, volume 1 – 1,5 liter pada dewasa normal. Lambung
memiliki beberapa fungsi:
1) Bertindak sebagai reservoir untuk makanan,
2) Memproses ke dalam air perut yg memfasilitasi absorpsi nutrisi dari usus
kecil
3) Mengatur penghantaran makanan ke usus kecil dimana nutrisi diabsorpsi,
4) Menghasilkan asam yang bakteriostatik, karena makanan yang dicerna
tidak steril, dan juga menghasilkan pH yang benar untuk berfungsinya
pepsin.
Pengeluaran cairan lambung terjadi karena tiga proses yaitu : proses
mekanik (kontak makanan dengan dinding lambung), proses hormonal
(sekresi lambung) dan persarafan. Obat dilarutkan dengan cepat dengan
adanya asam lambung.

4. Usus Halus
Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas 3 bagian yaitu
duodenum yang terfiksasi, jejunum dan ileum yang bebas bergerak. Diameter
usus halus tergantung pada letaknya (2-3 cm) dan panjang keseluruhan antara
5-9 cm. Usus halus terdiri atas 5 lapisan melingkar, berupa jaringan otot
(musculus) dan lapisan lender (mukosa). Lapisan yang paling dalam (lapisan
mukosa) sangat berperan pada proses penyerapan obat.

a. Duodenum (Usus Dua Belas Jari)


Suatu saluran umum dari pankreas dan kantong empedu yang masuk ke
duodenum. pH duodenum adalah sekitar 6 sampai 6,5, karena keberadaan
bikarbonat yang menetralkan cairan asam yang dikosongkan dari lambung.
b. Jejunum
Jejunum adalah bagian tengah dari usus kecil antara duodenum dan ileum.
Pencernaan protein dan karbohidrat berlanjut setelah penambahan cairan
pankreas dan empedu dalam duodenum. Bagian dari usus kecil ini
umumnya memiliki lebih sedikit kontraksi daripada duodenum dan lebih
disukai dalam studi absorpsi in-vivo obat.
c. Ileum
Ileum adalah bagian akhir dari usus kecil. Tempat ini memiliki lebih
sedikit kontraksi daripada duodenum dan mungkin akan diblokir oleh
kateter dengan balon tiup dan perfusi untuk studi absorpsi obat. pH ileum
sekitar 7.

5. Usus besar (Kolon)


Ileum dipisahkan dari usus besar oleh valvula ileocaecal atau valvula
BAUCHI, serabut-serabut lipatan otot menonjol ke dalam lubang saluran yang
berfungsi mencegah aliran dari usus besar menuju usus halus.
Posisi usus besar seperti kerangka pigura. Berukuran panjang 1,4-1,8 meter dan
diameternya kea rah distal semakin membesar. Usus besar dibedakan atas :
1) Usus besar menaik (Colon ascendens) dimulai dari caecum, segmen yang
membesar dengan bentukan vertikel berupa appendix/ usus buntu. Colon
ascendens ini pendek berukuran sekitar 15 cm dan berdiameter cukup besar
(6 cm) dan terfiksasi.
2) Usus besar melintang (Colon transfersum), mengambang dan berukuran
panjang sekitar 50 cm dan berdiameter 4-5 cm. muncul dari sudut hepatic
(flexura hepatica) menuju sudut limpa (lien) dan sebagian besar menempel
pada lengkungan lambung
3) Usus besar menurun (Colon descendens), melekat dan relatifpendek (12
cm), berdiameter kecil (3 cm)
4) Colon ileocaecal, dilanjutkan dengan Colon pelvinal atau signoida yang
muaranya lebih lebar.
Bila usus halus merupakan organ penyerapan maka usus besar
merupakan agen penyerapan air, penampungan dan pengeluaran bahan-bahan
feces. pH di daerah ini adalah 5,5 sampai 7.

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses biofarmasetik obat pada


pemberiaan secara oral
2.3.1 Faktor fisikokimia
1. Faktor fisika
a. Ukuran partikel
Penurunan ukuran partikel dapat mempengaruhi laju absorbsi dan
kelarutannya.
b. Bentuk kristal dan amorf
Bentuk amorf tidak mempunyai struktur tertentu, terdapat
ketidakteraturan dalam tiga dimensinya. Secara umum, amorf lebih
mudah larut daripada bentuk kristalnya. Dan bentuk kristal umumnya
lebih sukar larut dari pada bentuk amorfnya.
c. Pengaruh polimorfisme
Fenomena polimorfisme terjadi jika suatu zat menghablurdalam
berbagai bentuk Kristal yang berbeda, akibat suhu, teakanan, dan
kondisi penyimpanan.
d. Solvat dan hidrat
Sewaktu pembentukan Kristal, cairan-pelarut dapat membentuk ikatan
stabil dengan obat, disebut solvat. Jika pelarutnya adalah air, ikatan ini
disebut hidrat. Bentuk hidrat memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan
bentuk anhidrat, terutama kecepatan disolusi.

2. Faktor kimia
Pengaruh pembentukan garam : untuk mengubah senyawa asam dan
basa yang sukar larut dalam air sehingga mempengaruhi laju kelarutannya.
Pengaruh pembentukan ester : menghambat atau memperpanjang aksi zat
aktif

2.3.2 Faktor fisiologi


1. Permukaan Penyerap
Lambung tidak mempunyai permukaan penyerap yang berarti
dibandingkan dengan usus halus. Lambung lebih merupakan organ
penggetahan dibandingkan dengan organ penyerap. Namun mukosa lambung
dapat menyerap obat yang diberikan peroral, dan tergantung pada keadaan,
lama kontak menentukan terjadinya penyerapan pasif dan zat aktif lipofil dan
bentuk tak terionkan pada pH lambung yg asam (asam lemah seperti asam
salisilat, barbiturat).
Usus halus mempunyai luas permukaan penyerap 40-50 m2. Penyerapan
ini dapat terjadi secara kuat pada daerah tertentu tanpa mengabaikan keasaman
pH yang akan mengionisasi zat aktif atau menyebabkan pengendapan sehingga
penyerapan hanya terjadi pada daerah tertentu. Suatu alkaloida yang kuat dan
terionkan dalam cairan lambung, secara teori kurang sediserap. Bila pH
menjadi netral atau alkali, bentuk basanya akan mengendap pada pH. Bentuk
basa tersebut kadang-kadang sangat tidak larut untuk dapat diserap dalam
jumlah yang cukup. Leh sebab itu harus dirancang suatu bentuk sediaan dengan
perlepasan dan pelarutan zat aktif yang cepat.
2. Umur
Pada bayi dan anak-anak, sebagian sistem enzimnya belum berfungsi
sempurna sehingga dapat terjadi dosis lebih pada zat aktif tertentu yang
disebabkan tidak sempurnanya proses detoksifikasi metabolik, atau karena
penyerapan yang tidak sempurna dan karena gangguan saluran cerna sebagai
akibat adanya bahan tambahan tertentu yang tidak dapat diterima.
Oleh sebab itu pengaturan dosis obat pada bayi tidak dapat dihitung
dengan rumus yang sederhana seperti pada orang dewasa, tetapi harus
menggunakan fungsi berat badan.
Pada penderita tua, terlihat fenomena penurunan penyerapan dan
kecendurungan menurunnya HCl lambung sehingga mengurangi penyerapan
asam lemah.
Posologi pada penderita tua tampaknya sangat dipengaruhi oleh faktor
individu. Secara sederhana pemberian obat pada keadaan tersebut harus
dilaksanakan dengan sangat hati-hati.

3. Sifat Membran Biologik


Sifat membran biologik sel-sel penyerap pada mukosa pencernaan akan
mempengaruhi proses penyerapan. Sifat utama lipida memungkinkan
terjadinya difusi pasif zat aktif dengan sifat lipofil tertentu dari bentuk yang tak
terionkan dilambung dan terutama diusus besar. Semua jenis transpor zat aktif
diusus halus yang meliputi:
a. Transpor dengan pembentukan pasangan ion
b. Transpor sederhana
a. Transpor aktif
b. Pinositosis

4. Laju Perlewatan
Laju transit dan waktu tinggal dilambung merupakan salah satu faktor
yang sangat penting, yang mempengaruhi intensitas penyerapan. Suatu zat aktif
yang sukar diserap lambung seharusnya tidak tinggal lama dilambung. Oleh
sebab itulah waktu pengosongan lambung sebaiknya diusahakan terjadi lebih
cepat. Sebaliknya bila transit diusus berjalan lambat, hal tersebut
menguntungkan bagi zat aktif yang hanya diserap pada bagian tertentu saluran
cerna, terutama dalam hal transpor aktif. Contoh yang klasik adalah riboflavin
yang diserap pada bagian atas usus halus. Bila obat dalam keadaan terlarut
melewati daerah penyerapan terlalu cepat maka penyerapannya menjadi sangat
sedikit. Fenomena yang sama juga terjadi pada tetrasiklina, fenisilina, seofulvin
dan garam-garam besi (fe).
Kecepatan transit dilambung tak dapat dikontrol selama waktu makan
dan gumpalan makanan meninggalkan lambung bertahap dalam waktu yang
lama ataupun singkat.

2.3.3 Faktor yang meningkatkan waktu pengosongan lambung


Faktor yang dapat meningkatkan waktu pengosongan lambung,
diantaranya adalah:
1. Volume
Menurut beberapa peneliti, selama puasa lambung dapat menghasilkan
beberapa ml/jam cairan asam bila dilakukan pemasangan pipa. Pada saat puasa
di luar waktu makan dapat terjadi pengeluaran karena rangsangan. Psikis dan
pada keadaan ini tampaknya lambung hanya mengandung cairan yang bersifat
asam lemah. Pemberian sediaan padat per oral saat puasa sebaiknya disertai
segelas air, agar mempercepat terjadinya peluruhan, pelarutan dan transit.
Sekresi lambung dapat terjadi akibat timbulnya suatu rangsangan
subyektif, misalnya bau yang tidak enak dan aspek yang menarik. Dengan
demikian psikisme individu sangat berperan. Pada seseorang depresif, sekresi
lambung akan meningkat mulai dari awal hingga akhir makan dan
peningkatan ini sangat tergantung pada individu.
Dengan demikian nyatahlah bahwa sediaan yang diberikan peroral
dapat mempunyai ketersediaanhayati yang berbeda-beda tergantung pada cara
penelanan:
a. Dengan atau tanpa air (peningkatan laju pelarutan, penurunan derajat
keasaman karena pengenceran, proses transit dipercepat bila subyek
berpuasa)
b. Sebelum atau selama makan, awal akhir makan : keasaman dan sekresi
proteolitik akan meningkat pada akhir makan.
Karena pelarutan dilambung selama waktu makan sulit dikendalikan
dan adanya resiko peresapan zat aktif oleh makanan maka lebih disukai
pemberian obat diantara waktu makan atau sebelumnya. Namun bila
diinginkan pengurangan efek iritasi yang mungkin terjadi pada mukosa
lambung maka pemberian obat dapat diberikan saat makan.

1. Konsistensi isi lambung


Kekentalan cairan lambung sangat berperan dan pemberian obat saat
puasa bersamaan dengan segelas airakan menngkatkan secara nyata laju
pelarutan tersebut lebih encer dari “sop encer”.

2. Keasaman
Keasaman (pH) cairan lambung selama mendekati satu, tetapi karena
adanya pengenceran biasanya pH dapat berada antara 1 dan 3.
Pengukuran pH sekresi lambung pada umumnya dilakukan dengan
pengambilan melalui pipa, sedangkan pengukuran pH pada binatang
dilakukan dengan menusukan fistula ke lambung melalui kulit. Tehnik yang
pertama dapat menimbulkan trauma dan komposisi cairan lambung setelah
eksitasi mekanik mungkin berada dengan komposisi yang dihasilkan pada
keadaan fisiologi. Hal yang sama terjadi bila lambung dirangsang oleh bahan-
bahan tertentu seperti histamin. Bila penggunaan fistula pada hewan
mempunyai masalah ekstrapolasi klasik, maka hal yang sama berlaku pula
pada manusia.
Pengukuran pH cairan lambung dengan elektroda gelas yang dimasukan
kedalam lambung memberikan hasil yang baik.

3. Kandungan bahan-bahan tertentu yang berada disaluran cerna.


Kandungan bahan berlemak, asam lemah, bahan pencerna daging,
gula. (bahan-bahan tersebut terinduksi oleh kontak dengan mukosa duedenum,
sekresi hormon, esterogastron, dan akan menhambat pengosongan lambung).
4. Keadaan emosi
Kegembiraan dapat mempercepat pengosongan lambung dan
sebaliknya ketakutan dapat memperlambat pengosongan lambung.dan dapat
menyebabkan penutupan pylorus.
Para peneliti menyimpulkan bahwa gerakan lambung tidak sangat kuat
dan terjadi secara peristaltik. Gerakan tersebut merupakan gelombang
kontraksi yang dimulai dari daerah fundus bagian tengah dan berpindah
menuju pylorus. Gerakan dimulai 5-10 menit sesudah makanan masuk
kedalam lambung dan terjadi selama 4-6 gerakan setiap menit dan selanjutnya
mencapai pylorus dalam waktu 20 detik. Dengan demikian makanan tertimbun
pada lapisan berikutnya tanpa energi pengadukan. Adanya pengadukan di
permukaan menjamin pencampuran yang lebih baik antara cairan lambung dan
bahan yang akan diserap kecuali pada daerah pylorus yang gelombang
geraknya lebh kuat. Hanya campuran isi lambung yang cukup encer yang
dapat melewati pylorus secara bertahap.
Sediaan obat yang diserap tercampur dengan masa makanan tanpa
benar-benar teraduk bila ia berada dalam daerah pylorus. Perlepasan, pelarutan
dan penyerapan dilambung terjadi dengan hambat bila obat digunakan
bersamaan atau setelah makan. Sebaliknya saat puasa dan disertai dengan
segelas air, ketiga fase tahapan pre-disposisi obat akan terjadi secara efektif.
Tetapi cairan dengan cepat memasuki duedenum, terutama bila yang ditelan
berbentuk cairan dan diminum bersama segelas air. Dengan demikian saat
puasa pylorus akan terbuka atau terbuka sedikit dan pembukaan lambung
pertama menyebabkan obat segera memasuki duedenum dan pylorus segera
menutup kembali.

2.3.4 Faktor yang mempercepat pelewatan dilambung


Semua faktor yang berlawanan dengan yang telah disebutkan sebelumnya
seperti keasaman, pengenceran, posisi berbaring pada sisi kiri akan
mengaktifkan pengosongan lambung.
Bila akan dibuat sediaan obat dengan waktu tinggal dilambung yang relatif
singkat maka harus dicoba menetralkan keassaman lambung dengan senyawa
dapar pada pH yang lebih tinggi.
1. Pelewatan diusus halus
Adanya makanan mengaktifkan proses pelewatan diusus halus dan pada
pagi hari diwaktu puasa pelewatan tersebut menjadi lambat. Pengeluaran
empedu akan dirangsang oleh sistem saraf otonom, sehingga semua
gangguan terhadap saraf dapat berpengaruh pada pengeluaran empedu.

2. pH dan Perubahan pH karena formulasi


Keasaman (pH) dan laju transit merupakan faktor penting yang
mempengaruhi proses pelarutan dan penyerapan. Derajat keasaman pH
cairan saluran cerna berbatas 1-8 sehingga memungkinkan terjadinya
pelarutan sebagian besar zat aktif pada daerah tertentu disaluran cerna.
Jadi pH merupakan faktor yang mempengaruhi seluruh proses penyerapan.
Perbedaan pH disepanjang saluran cerna memungkinkan berkembangnya
pembuatan sediaan yang tahan cairan lambung atau sediaan dengan aksi
terkendali. Penyalut selulosa atau amilum asetoftalat mempunyai sifat
polielektrolit dan akan melarut sesuai dengan fungsi pH, misalnya jenis
Eudragit.

3. Tegangan Permukaan
Tegangan permukaan pada cairan usus menurun karna adanya garam
empedu.Hal yang sama terlihat paada cairan lambung yang mendapatkan
masukan garam empedu. Tegangan permukaan cairan lambung berkisar
antara 38-47 /dyne/cm2. Pengurangan tegangan permukaan akan
memudahkan pembasahan dan pelarutan partikel yang semula belum larut.
Senyawa –senyawa “choleretie” merangsang pengeluaran cairan empedu,
sehingga akan meningkatkan pelarutan dan mempermudah pengemulsian
dan penyerapan bahan lemak dan vitamin yang larut lemak.
4. Kekentalan
Kekentalan juga menghambat proses bahwa kekentalan menghambat
proses penyerapan yaitu dengan menghambat pembasahan partikel dan
menekan laju pelarutan. Kekentalan juga menghambat proses difusi
molekul zat aktif saat proses pelarutan dimukosa penyerapan. Malahan
dapat dikatakan bahwa kekentalan menghambat proses transit dan
terutama meningkatkan waktu-tinggal dalam lambung. Telah kita ketahui
bahwa pemberian segelas air bersamaan dengan pemberian zat aktif akan
mempercepat proses penyerapan. Bahan pengental yang digunakan dalam
formulasi juga akan meningkatkan viskositas cairan cerna.

5. Isi Saluran Cerna yang dapat Mengubah Aksi Zat Aktif


a. Musim
Senyawa ini merupakan mukopolisakarida alami yang melapisi
saluran cerna, dapat membentuk kompleks dengan zat aktif dan
menghambat proses penyerapan. Hal tersebut terjadi pada streptomisina,
dihidrosterpromisina, antikolinergik dan penurunan tekanan darah
golongan amonium kuarterner yang bentuk kompleksnya sangat kuat.
Pemberian senyawa amonium kuartener yang inert secara farmakologik,
dapat memperbaiki penyerapan zat aktif amonium kuartener dengan cara
inhibisi kompetitif pada tempat aksi musim.

b. Garam empedu
Konsentrasi garam empedu, bahan penurunan tegangan permukaan
fisiologik berada diatas konsentrasi misiler kritik (CMC). Jadi dapat terjadi
interaksi antara garam empedu dan zat – zat aktif dengan miselinisasi yang
dapat “ melarutkan “ zat aktif tertentu yang tidak larut dalam air dan
dengan demikian memperbaiki penyerapannya. Hal tersebut terjadi bila zat
aktif mempunyai sifat kimia tertentu sehingga dapat diserap dengan
mudah. Pada keseimbangan antara bentuk bebas dan bentuk miselnya, bila
bentuk bebas diserap dengan cepat maka media air segera “ diisi kembali “
oleh bentuk bebasnya yang dilepaskan oleh misel. Proses ini akan
meningkatkan penyerapan, seperti yang telah diketahui sejak lama berlaku
untuk monogliserida, asam lemak dan vitamin larut-lemak, juga berlaku
terhadap sulfadiasina, fenolftalein dan steroida tertentu.

c. Ion-ion tertentu : Ca, Mg, Fe.


Molekul-molekul tertentu dengan ion-ion bervalensi dua atau tiga,
seperti kalsium atau magnesium akan membentuk kelat yang tak terserap.

d. Flora Usus
Flora usus mengeluarkan enzim, misalnya penisilinase yang
menginaktifkan zat aktif tertentu.

e. Enzim
Enzim dapat merusak zat aktif tertentu, misalnya zat aktif peptida
akan merusak oleh enzimproteolitik (insulin, ositosin). Dalam hal tertentu,
enzim tersebut menyebabkan peningkatan perlepasan obat dan
mempengaruhi sifat sediaan yang tahan asam atau sediaan lepas lambat,
lipase usus akan menghidrolisa lemak tahan asam.

2.3.5 Faktor Patologi


1. Faktor penghambat dan penurunan efek obat
a. Gangguan penyerapan di saluran cerna, karena adanya perubahan
transit getah lambung dan keadaan mukosa usus.
b. Penurunan absorbsi parenteral karena penurunan laju aliran darah.
c. Peningkatan eliminasi zat aktif melalui ginjal , karena alkalosis
atau asidosis.
2. Faktor penghambat dan peningkat efek obat
a. Peningkatan penyerapan karena terjadi kerusakan membranpada
tempat kontak
b. Insufisiensi hati
c. Insufisiensi ginjal
d. Gangguan pada sistem endokrin berakibat pada penekanan laju
reaksi biotransformasi

2.4 Evaluasi biofarmasetik sediaan oral


2.4.1 Langkah pertama
Mengetahui apakah sediaan dengan perlepasan zat aktif yang
terkendali telah terbukti.Dengan pengenalan sifat fisika-kimia zat aktif dapat
diperkirakan efek farmakologik dan farmakokinetiknya.
2.4.2 Langkah kedua
Mendapatkan parameter farmakokinetiknya yang diperlukan untuk
menghitung jumlah obat yang diberikan pada tahap awal dan pada tahap
perlepasan terkendali. Dari data yang diperoleh setelah pemberian larutan
obat secara intravena atau peroral, maka dapat dihitung tetapan laju
penyerapan Ka, tetapan laju peniadaan ke dan waktu paruh t1/2 biologik,
waktu untuk mencapai puncak dan intensitas puncak plasmatik sebagai
fungsi dosis yang diberikan. Dari data klinik dapat diketahui konsentrasi
terapetik saat diperlukan dan yang harus bertahan selama 10-12 jam (pada
kondisi normal sehingga dapat diketahui hubungan antara kadar dalam
darah dan aktivitas terapetik).
2.4.3 Langkah ketiga
Pemilihan bentuk sediaan yang sesuai dengan perlepasan terkendali
yang optimun. Setiap bentuk sediaan berbeda dan harus diuji perlepasan zat
aktif in vitro dan in vivo.
2.4.4 Langkah keempat
Menetapkan laju perlepasan zat aktif dari sediaan. Dengan demikian
perubahan pemakaian zat tambahan atau cara pembuatan sediaan akan
disesuaikan dengan skema perlepasan terhadap laju perlepasan yang
dikehendaki.
2.4.5 Langkah terakhir
Melakukan uji klinik untuk membuktikan bentuk sediaan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan pembahasan pada bab
II adalah sebagai berikut:
1. Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses biofarmasetik obat pada
pemberiaan secara oral meliputi :
3 Faktor fisika : ukuran partikel, bentuk kristal dan amorf, pengaruh
polimorfisme serta pengaruh solvat dan hidrat
4 Faktor kimia : pengaruh pembentukan garam dan ester
5 Faktor fisiologis : permukaan penyerap, umur, sifat membran biologik,
laju perlewatan, ph dan perubahan ph karena formulasi, tegangan
permukaan, kekentalan dan isi saluran cerna yang dapat mengubah aksi zat
aktif
6 Faktor patologis :
Faktor penghambat dan penurunan efek obat yaitu gangguan penyerapan
di saluran cerna, karena adanya perubahan transit getah lambung dan
keadaan mukosa usus. Penurunan absorbsi parenteral karena penurunan
laju aliran darah. Peningkatan eliminasi zat aktif melalui ginjal , karena
alkalosis atau asidosis.
7. Faktor penghambat dan peningkat efek obat
a. Peningkatan penyerapan karena terjadi kerusakan membranpada tempat
kontak
b. Insufisiensi hati
c. Insufisiensi ginjal
d. Gangguan pada sistem endokrin berakibat pada penekanan laju reaksi
biotransformasi
8. Tahapan evaluasi biofarmasetik sediaan oral meliputi : mengetahui apakah
sediaan dengan perlepasan zat aktif yang terkendali telah terbukti,
mendapatkan parameter farmakokinetiknya yang diperlukan untuk
menghitung jumlah obat yang diberikan pada tahap awal dan pada tahap
perlepasan terkendali, pemilihan bentuk sediaan yang sesuai dengan
perlepasan terkendali yang optimum, menetapkan laju perlepasan zat aktif
dari sediaan dan melakukan uji klinik untuk membuktikan bentuk sediaan

3.2 Saran
Adapun saran penulis adalah perlu adanya pengkajian lebih lanjut tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi proses biofarmasetik obat pada pemberiaan
secara oral dan evaluasi biofarmasetik sediaan oral.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H. C. (1985). Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms. Fourth


Edition.New york: Lea & Febiger.
Shargel, L. & Andrew B.C.YU. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan. Airlangga University Press. Surabaya.
MAKALAH BIOFARMASETIKA DAN
FARMAKOKINETIKA
“BIOFARMASETIKA SEDIAAN OBAT YANG
DIBERIKAN SECARA ORAL”

KELOMPOK 5:
1. Dini Dian Ditika ( 16111028P)
2. Eka Gustriyana (16111029P)
3. Firda Irliani Sakti (16111030P)
4. Grease Prathama (16111031P)
5. Ratna Indah Sari (16111032P)
6. Riski Trimouli Gusti (16111033P)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS KADER BANGSA
PALEMBANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Palembang, Oktober 2017

Penyusun

Anda mungkin juga menyukai