STRUKTUR KEPEMILIKAN BADAN KONSENTRASI MEMPERKUAT TATA KELOLA PERUSAHAAN: SEBUAH
CERITA DALAM MENGEMBANGKAN NEGARA
Rusmin Rusmin, Greg Tower, Tarmizi Achmad, John Neilson A. Latar Belakang Satu masalah penting dalam organisasi perusahaan adalah bagaimana memecahkan atau mengurangi masalah agensi yang berasal dari informasi asimetris. Sifat struktur kepemilikan perusahaan akan mempengaruhi sifat masalah agensi antara manajer dan pemegang saham di luar, dan di antara pemegang saham. Tetapi masalah yang terjadi dengan kepemilikan yang kuat tersebar berbeda dengan yang muncul ketika terkonsentrasi. Struktur kepemilikan memainkan peran penting dalam tata kelola perusahaan. Sasaran perusahaan sangat ditentukan oleh struktur kepemilikan, motivasi pemilik dan pemegang utang, sifat tata kelola perusahaan, dan proses insentif yang membentuk motivasi manajer senior. Sasaran perusahaan yang dimiliki publik mencerminkan karakteristik pasar modal negara. Komitmen pemilik dan kesediaan mereka untuk campur tangan sangat bergantung pada siapa mereka. Pola kepemilikan bervariasi secara signifikan di seluruh ekonomi. Di negara maju yang sukses, didukung oleh kerangka kerja hukum dan peraturan yang berfungsi baik dan dengan pengawasan aktif oleh agen terkemuka, infrastruktur kelembagaan dan profesional yang memadai, seperti AS dan Inggris, kepemilikan saham yang tersebar telah memberikan basis yang efisien untuk pertumbuhan dan akumulasi modal. Banyak literatur tentang tata kelola perusahaan didasarkan pada asumsi kepemilikan saham yang tersebar ini. Perbedaan dalam struktur kepemilikan memiliki dua konsekuensi yang jelas untuk tata kelola perusahaan. Pola kepemilikan yang terkonsentrasi berpotensi memungkinkan orang dalam memiliki kontrol ketat terhadap perusahaan, tetapi juga membuka peluang untuk mengambil alih kekayaan dari pemegang saham luar. B. Tujuan Makalah ini meneliti hubungan antara kepemilikan dan struktur pemerintahan di Indonesia. Ini adalah negara Asia klasik dengan konsentrasi kepemilikan yang tinggi dan sering memiliki keluarga besar. C. Penelitian Terdahulu Claessens, Djankov dan Lang (2000) menunjukkan bahwa pemegang saham tunggal pengendali adalah lazim di lebih dari dua-pertiga dari perusahaan sementara pemisahan manajemen dari kontrol kepemilikan jarang terjadi. Shleifer dan Vishny (1997) tunjukkan, pemegang saham pengendali mungkin tidak memiliki konvergensi kepentingan dengan pemegang saham minoritas. Tingkat kontrol yang lebih besar dengan mengendalikan pemegang saham menyiratkan kemampuan yang lebih besar untuk mengambil alih kekayaan dari pemegang saham minoritas. Jensen dan Meckling (1976) dan Demsetz (1983) berpendapat bahwa kepemilikan ekuitas manajerial akan memberikan manajer insentif untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Stulz (1988), bagaimanapun, telah memberikan model manajer yang berurat berakar, di mana peningkatan kepemilikan manajerial memungkinkan manajer untuk mengejar agenda memaksimalkan nilai. Fan dan Wong (2002) melakukan studi tentang hubungan antara struktur terkonsentrasi dan pelaporan keuangan untuk tujuh negara Asia D. Hipotesis H1: Akan ada hubungan negatif antara konsentrasi kepemilikan tingkat tinggi dan independensi komisaris. H2: Akan ada hubungan negatif antara tingkat konsentrasi kepemilikan keluarga yang tinggi dan independensi komisaris. E. Metode Penelitian Penelitian ini hanya berfokus pada perusahaan manufaktur yang diidentifikasi oleh Indonesian Capital Market Directory (ICMD). Sampel yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari semua perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk periode longitudinal 2003 hingga 2007. Ada total 166 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Namun, kami tidak dapat mengumpulkan informasi yang cukup untuk membangun serangkaian tindakan proksi lengkap untuk 74 entitas; oleh karena itu, tersisa dengan sampel yang dapat digunakan akhir dari 92 perusahaan atau 459 firmyears dan dianalisa dengan menggunakan analisis regresi. F. Hasil Penelitian Panel A menunjukkan bahwa ukuran perusahaan Indonesia rata-rata Rp2.787.563 juta, mulai dari Rp23.346 hingga Rp63.520.000 juta. Rata-rata total kewajiban terhadap total aset rasio (Leverage) dari perusahaan sampel adalah 62,94%, menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia sangat dibiayai oleh dana pihak ketiga daripada pembiayaan sendiri, Panel B dari tabel menunjukkan bahwa 65,14% dari perusahaan dikendalikan oleh pemilik yang memiliki kepemilikan mayoritas (lebih dari 50% dari saham luar biasa perusahaan). Panel B juga menunjukkan bahwa 66,45% perusahaan dimiliki oleh individu atau kelompok anggota keluarga. Ini konsisten dengan Claessens et al. (2000) menemukan bahwa konsentrasi kepemilikan Indonesia lebih tinggi daripada kebanyakan negara lain, dengan pemegang saham utama mengendalikan 61,70% dari semua perusahaan. Akhirnya, hanya 57,95% dari perusahaan yang menyewa sebuah perusahaan audit Big 4 sebagai auditor mereka. Angka ini mirip dengan kasus Australia (57,54%) dan lebih rendah dari konteks Singapura (86,38%) (Rusmin, Van der Zahn, Tower, dan Brown 2006). Hasil utama untuk menguji hipotesis (H1 dan H2) dilaporkan pada Tabel 3. dengan estimasi model regresi menunjukkan bahwa koefisien pada Pemilik Jenis positif dan secara statistik cukup signifikan pada p <0,075. Temuan ini menyimpulkan bahwa kepemilikan konsenasi memiliki dampak positif pada tata kelola perusahaan. Dengan kata lain, karena taruhan ekonomi mereka yang signifikan, pemegang saham besar memiliki insentif yang kuat untuk mengawasi kegiatan manajemen dengan mempekerjakan anggota dewan yang independen dari manajemen. Oleh karena itu, H1 tidak didukung. Namun, temuan ini konsisten dengan Dechow at al. (1995) dan Baubakri dkk. (2005) yang mendokumentasikan bahwa pemegang blok luar yang substansial berhubungan positif dengan kinerja perusahaan. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa hubungan negatif dan cukup signifikan (pada p <0,017) antara Identitas Pemilik dan proksi corporate governance. Hasil ini mendukung penerimaan H2 yang menunjukkan bahwa kehadiran kepemilikan saham terkonsentrasi tinggi oleh anggota keluarga mungkin memiliki dampak terbalik pada tata kelola perusahaan. Secara khusus, kepemilikan keluarga yang terkonsentrasi lebih memilih proporsi yang lebih sedikit dari anggota komisaris yang independen duduk di dewan komisaris. G. Kesimpulan Di Indonesia, persentase komisaris independen hanya 37,09%. Mayoritas anggota komisaris independen tetap merupakan peristiwa langka di Indonesia. Analisis regresi berganda menunjukkan bahwa baik jenis kepemilikan dan identitas merupakan prediktor signifikan yang moderat untuk independensi komisaris. Struktur kepemilikan di Indonesia mempengaruhi tingkat independensi komisaris. Temuan-temuan ini mungkin mengkhawatirkan bagi regulator Indonesia (BAPEPAM). Tingkat konsentrasi kepemilikan yang sangat tinggi lebih lanjut didominasi oleh keluarga yang melekat pada lanskap perusahaan Indonesia. Namun, pola kepemilikan ini secara langsung mengurangi independensi anggota komisaris. Kontrol atas pemilik mayoritas tidak adil memperlakukan pemegang saham minoritas dengan demikian melemah. Pola Indonesia ini adalah skenario yang agak ekstrim tetapi tidak jarang di pasar keuangan Asia. Solusi Barat mungkin tidak berlaku atau efektif. Peraturan dan peraturan baru mungkin diperlukan untuk memberikan perlindungan lebih besar kepada investor yang lebih kecil.