Kualitas pelayanan publik merupakan komponen penting yang harus diperhatikan dalam
pelayanan publik. Istilah kualitas pelayanan publik tentunya tidak dapat dipisahkan dari
persepsi tentang kualitas. Beberapa contoh pengertian kualitas menurut Tjiptono (1995)
yang dikutip dalam Hardiyansyah (2011:40) adalah:
Berbagai upaya pun terus dilakukan oleh pemerintah dan aparaturnya dalam peningkatan
pelayanan public itu. Hal ini menjadi strategi atau upaya untuk meningkatkan kualitas manusia
Indonesia sepenuhnya dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Adapun strategi peningkatan
pelayanan publik itu meliputi :
Rendahnya tingkat kualitas sumber daya manusia aparatur dan keprofesionalan pegawai ini juga
mengakibatkan sering terjadinya diskriminasi dalam penyelenggaraan pelayanan public.
Sebagian besar masyarakat ada yang menerima pelayanan itu dengan maksimal akan tetapi
sebagian lagi hanya mendapatkan pelayanan yang sekedarnya.
Karena itulah peningkatan sumber daya manusia dan profesionalitas pegawai menjadi suatu
aspek yang patut diperhatikan dalam upaya peningkatan pelayanan publik. Kondisi birokrat yang
memiliki kecakapan, ketrampilan, perilaku yang patuh pada hukum dan peraturan yang berlaku,
serta penempatan posisi yang sesuai dengan bidangnya, tentunya akan memberikan dampak yang
positif kepada terciptanya pelayanan publik berkualitas.
Satu hal lagi yang perlu dicermati dalam upaya peningkatan pelayanan public melalui
peningkatan kualitas sumber daya aparatur dan keprofesionalan pegawai adalah masalah attitude
atau perilaku. Diperlukan sikap dan mental yang baik dari setiap aparatur pemerintah yang
langsung berhadapan dengan masyarakat dalam pemberian layanan. Sikap baik ini tentunya
bukanlah seperti yang terjadi selama ini, dimana masyarakat dibuat susah dengan adanya
pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh pegawai yang melayani. Hal ini perlu diperhatikan
sebab, seprofesional apapun aparatur penyelenggara pelayanan public, bila memiliki sikap yang
bobrok, hanya akan menimbulkan ketidakpuasan lain kepada masyarakat.
1. 2. Menciptakan kebijakan pelayanan publik yang tidak terlalu prosedural dan berbelit-
belit.
Langkah selanjutnya sebagai salah satu strategi peningkatan pelayanan publik adalah dengan
menciptakan kebijakan-kebijakan yang mendukung terselenggaranya peningkatan pelayanan
publik kepada masyarakat. Diharapkan dengan penerbitan kebijakan mengenai peningkatan
pelayanan publik itu akan semakin mendorong terciptanya kualitas pelayanan yang efektif,
efisien dan akuntabel.
Sala satu tujuan dari pembuatan kebijakan itu juga untuk mengubah image dan citra pelayanan
public selama ini yang cenderung berbelit-belit, boros dan memakan waktu yang lama. Sehingga
pada akhirnya nanti, masyarakat akan semakin lebih terpuaskan dengan setiap layanan yang
dilakukan oleh pemerintah.
Sala satu bentuk kebijakan itu adalah dengan menerbitkan atau membuat standar pelayanan
minimal. Standar pelayanan minimal merupakan sebuah kebijakan public yang mengatur jenis
dan mutu pelayanan dasar yang berhak diperoleh setiap masyarakat secara minimal. Kebijakan
ini juga dibuat seiring dengan diselenggarakannya proses desentralisasi kekuasaan di Negara
kita, sehingga dengan mekanisme tersebut masyarakat di tiap daerah mampu mendapatkan
pelayanan yang optimal dari pemerintah.
Selain memperhatikan kedua aspek diatas, salah satu sisi lain yang patut diperhatikan oleh
pemerintah dalam upaya peningkatan pelayanan publik adalah dengan meningkatkan penyediaan
fasilitas yang menunjang kualitas pelayanan public tersebut. Sebab, tanpa didukung tersedianya
fasilitas yang lengkap maka akan menghambat proses penyelenggaraan pelayanan public kepada
masyarakat.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, maka sudah sepatutnya
pemerintah menerapkan kemajuan teknologi itu untuk menunjang penyelenggaraan pelayanan
public. Peningkatan fasilitas ini tentunya mencakup fasilitas fisik dan non fisik.
Ketersediaan prasarana ini disadari atau tidak akan semakin mempercepat sekaligus
meningkatkan penyelenggaraan pelayanan publik. Dan untuk mewujudkannya maka haruslah
diperlukan alokasi dana untuk penyediaan sarana dan prasarana tersebut. Dengan begitu maka
segala kendala yang menghalangi penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat akan
dapat teratasi.
Sebagai pelayanan publik para aparatur Negara seharusnya melayani setiap kepentingan
masyarakat tidak terkecuali. Karena seringkali aparatur Negara hanya mendahulukan orang-
orang yang mempunyai ”uang” untuk membeli pelayanan yang maksimal, seharusnya para
aparatur Negara tersebut bersikap adil dalam melayani setiap orang baik itu kaya ataupun miskin.
Selain sikap ketidakadilan, mental para aparatur Negara seringkali memaknai dirinya sebagai
“Raja”. Hal ini sebabkan karena mereka tidak memamhami posisi dirinya sebagainya pelayan
masyarakat. Seharusnya untuk menghapuskan mentalitas pelayanan publik yang mementongkan
diri sendiri maka solusinya adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan kualitas pendidikan pada aparatur Negara diharapkan mereka akan lebih
mengerti akan arti sesungguhnya mengenai pelayanan publik.
2. Membangun komitmen bersama betiap komponen bangsa, terutama dalam masyarakat, partai
politik , LSM untuk segera mengakhiri praktik pelayanan publik yang tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan. Pelayanan publik harus adanya reformasi agar perubahan dalam pelayanan
publik tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat.
Dengan cara itulah pelayanan publik dapat di tingkatkan kualitasnya karena masyarakat sama-
sama mengawasi jalannya pelayanan publik tersebut. Contohnya bila masyarakat tidak puas akan
pelayanan suatu instansi pemerintah, maka masyarakat dapat melaporkan atau mengadukannya
kepada lembaga ombudsman. Oleh karenanya tingkat mental masyarakat untuk tidak terlalu
tunduk kepada aparatur negara karena pada dasarnya aparatur negara tersebut di gajih secar tidak
langsung oleh masyarakat melalui pajak yang dibayar oleh masyarakat.
Dalam menjalankan pelayanan publik agar efektif dan efisien serta adil harus disertai dengan
peraturan yang tegas. Karena peraturan yang tegas dapat membuat seorang aparatur Negara akan
bersikap disiplin dan profesional. Salah satunya adalah dengan menindak tegas aparatur Negara
yang bersikap diskriminatif terhadap orang miskin dalam hal pelayanan. Dapat Salah satu
contohnya dapat dikenakan sanksi untuk tidak dinaikkan pangkatnya dalam jangka beberapa
waktu. Sehingga para aparatur tersebut akan berpikir ulang bilamana mereka melakukan
tindakan yang salah tersebut.
Memperlakukan penghargaan (reward) juga harus diterapkan pada aparatur Negara yang
menjalankan tugasnya dengan baik. Salah satunya dengan memberikan bonus bagi aparatur yang
menjalankan tugasnya dengan baik.
Sebagai pedoman dalam melaksanakn setiap kegiatan yang meliputi pelayanan publik
peraturan perundang-undangan seharusnya berpihak kepada rakyat sebagai konsumen dari
pelayanan publik itu. Dalam membuat peraturan mengenai pelayan publik para legislator harus
memahami akan kondisi masyarakat yang menginginkan sebuah pelayanan prima seperti halnya
pelayanan yang dilakukan oleh perusahaan swasta. Para anggota dapat selaku membuat undang-
undang harus turun kepada masyarakat agar mengetahui kondisi riil permasalahan mengenai
pelayanan publik sehingga dengan hal itu mereka akan tau dimana letak msalahnya dan hal
tersebut dapat menjadi acuan bagi mereka dalam hal membuat undang-undang.
2. Penilaian Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan bisa dikatakan berkualitas ataupun tidak berkualitas sebenarnya
didasarkan pada penilaian dari pelayanan yang diberikan. Penilaian kualitas pelayanan,
menurut Parasuraman dalam Hardiyansyah (2011:92), mendefinisikannya sebagai
berikut: Penilaian kualitas pelayanan sebagai suatu pertimbangan global atau sikap yang
berhubungan dengan keungggulan (superiority) dari suatu pelayanan. Penilaian kualitas
pelayanan sama dengan sikap individu secara umum terhadap kinerja perusahaan.
Selanjutnya, ditambahkan bahwa penilaian kualitas pelayanan adalah tingkat dan arah
perbedaan antara harapan dan persepsi pelanggan. Dalam rangka menilai sejauh mana
kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah, perlu ada kriteria
yang menunjukkan apakah suatu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik
atau buruk, berkualitas atau tidak. Berkenaan dengan hal tersebut, Zeithaml et. Al. (1990)
dalam Hardiansyah (2011:40) mengatakan bahwa: SERVQUAL is an empirically derived
method that may be used by a services organization to improve service quality. The
method involves the development of an understanding of the perceived service needs of
target customers. The resulting gap analysis may then be used as a driver for service
quality improvement. SERVQUAL merupakan suatu metode yang diturunkan secara
empiris yang dapat diturunkan secara empiris yang dapat digunakan oleh organisasi
pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Metode ini meliputi pengembangan
pemahaman mengenai kebutuhan layanan yang dirasakan oleh pelanggan. Hal ini diukur
dari persepsi kualitas layanan bagi organisasi 13 yang bersangkutan. Analisis
kesenjangan yang dihasilkan kemudian dapat digunakan sebagai panduan untuk
peningkatan kualitas layanan. Selanjutnya, Zeithaml (1990) dalam Hardiyansyah
(2011:41) menyatakan bahwa kualitas pelayanan ditentukan oleh dua hal, yaitu:
“…expected service dan perceived service. Expected service dan perceived ditentukan
oleh dimention of service quality yang terdiri dari sepuluh dimensi, yaitu: (1) Tangibles.
Appearance of physical facilities, equipment, personnel, and communication materials;
(2) Reliability. Ability to perform the promised service dependably and accurately; (3)
Responsiveness. Willingness to help customers and provide prompt service; (4)
Competence. Possession of required skill and knowledge to perform service; (5)
Courtesy. Politeness, respect, consideration and friendliness of contact personnel; (6)
Credibility. Trustworthiness, believability, honestly of the service provider; (7) Feel
Secure. Freedom from danger risk, or doubt; (8) Access. Approachable and easy of
contact; (9) Communication. Listens to its customers and acknowledges their comments.
Keeps customers informed. In a language which they can understand; and (10)
Understanding the customer. Making the effort to know customers and their needs”
Berdasarkan uraian di atas, Zeithaml dalam Hardiyansyah (2011:41) menjelaskan bahwa
ukuran kualitas pelayanan memiliki sepuluh dimensi, yaitu: 1) Tangibles (berwujud
fisik), terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi; 2) Reliability
(kehandalan), terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang
dijanjikan dengan tepat; 3) Responsiveness (ketanggapan), kemauan untuk membantu
konsumen, bertanggungjawab terhadap kualitas pelayanan yang diberikan; 4)
Competence (kompeten), terdiri atas tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan
keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan; 5) Courtesy
(ramah), sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen
serta mau melakukan kontak; 6) Credibility (dapat dipercaya), sikap jujur dalam setiap
upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat; 7) Security (merasa aman), jasa pelayanan
yang diberikan harus bebas dari berbagai bahaya atau resiko; 14 8) Access (akses),
terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan; 9) Communication
(komunikasi), kemauan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau
aspirasi pelanggan; 10) Understanding the customer (memahami pelanggan), serta
melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan. Berdasarkan sepuluh
dimensi kualitas pelayanan tersebut, kemudian Zeithaml et.al. (1990) dalam
Hardiyansyah (2011:42) menyederhanakan menjadi lima dimensi, yaitu dimensi
SERVQUAL (kualitas pelayanan) sebagai berikut: (1)Tangibles. Appearance of physical
facilities, equipment, personnel, and communication materials; (2) Reliability. Ability to
perform the promised service dependably and accurately; (3) Responsiveness.
Willingness to help customers and provide prompt service; (4) Assurance. Knowledge
and courtesy of employees and their ability to convey trust and confidence; and (5)
Empathy. The firm provides care and individualized attention to its customers. Selisih
antara persepsi dan harapan inilah yang mendasari munculnya konsep gap dan digunakan
sebagai dasar skala SERVQUAL, yang didasarkan pada lima dimensi kualitas yaitu: (1)
tangibles, meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi; (2)
realibility, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan tepat waktu
dan memuaskan; (3) responsiveness, kemampuan para staf untuk membantu para
pelanggan dan memberikan pelayanan yang tanggap; (4) assurance, mencakup
kemampuan, kesopanan, bebas dari bahaya resiko atau keraguan; (5) emphaty, yaitu
mencakup kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami
kebutuhan para pelanggan.