Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN AKHIR

STUDY EHRA

POKJA SANITASI

PEMERINTAH KOTA
TANJUNG BALAI
2011

BAB1
PENDAHULUAN

EHRA (Environmental Health Risk Assessment) atau Penilaian Risiko Kesehatan


Lingkungan adalah studi yang bertujuan untuk memahami kondisi fasilitas sanitasi dan perilaku-
perilaku yang memiliki risiko pada kesehatan warga. Fasilitas sanitasi yang diteliti mencakup,
sumber air minum, layanan pembuangan sampah, jamban, dan saluran pembuangan air
limbah. Sementara, perilaku yang dipelajari adalah yang terkait dengan higinitas dan sanitasi,
antara lain, cuci tangan pakai sabun, buang air besar, pembuangan kotoran anak, dan
pemilahan sampah rumah tangga.
Data EHRA diharapkan menjadi bahan untuk mengembangkan Buku Putih Sanitasi Kota
Tanjung Balai yang kemudian akan dimanfaatkan untuk mengembangkan strategi sanitasi dan
program-program sanitasi Kota. Selain itu, data pun dapat dimanfaatkan sebagai benchmark
pencapaian pembangunan sanitasi ke depan, baik di tingkat Kota sampai di tingkat Kelutahan
(indikatif).
Pelaksanaan studi EHRA banyak melibatkan kelompok perempuan. Untuk pengumpulan
data, EHRA berkolaborasi (secara fungsional) dengan Bidan di tingkat Kelurahan. Kolaborasi
dengan Bidan dilakukan dengan sejumlah pertimbangan, yakni 1) Bidan memiliki akses yang
lebih leluasa untuk datang ke rumah-rumah dan diterima oleh Kepala Kampung dan warga
penghuni rumah. Pertimbangan ini terkait erat dengan karakteristik responden, yakni Ibu
berusia antara 20-65 tahun dan juga pertanyaan-pertanyaan di dalam kuesioner yang banyak
mengandung hal-hal yang dalam norma masyarakat dinilai sangat privat dan sensitif, seperti
tempat dan perilaku BAB; 2) Bidan umumnya memahami wilayah Kelurahan sehingga
mempermudah mencari rumah yang terpilih secara acak. Perempuan atau ibu dipilih sebagai
responden karena mereka adalah kelompok warga yang paling memahami kondisi lingkungan di
rumahnya; 3) Mengingat isian kuesioner cukup banyak serta rumit maka Bidan (rata-rata lulusan
D3) dinilai mampu untuk melaksanakan dibanding dengan kader-kader yang ada di Kelurahan.

Dokumen ini adalah Laporan EHRA di Kota Tanjung Balai yang kegiatan pengumpulan
datanya dimulai Oktober tahun 2011. Penyusunan laporan dilaksanakan oleh Pokja Sanitasi Kota
Tanjung Balai sebagai pemilik utama kegiatan, Sanitarian Puskesmas sebagai Supervisor, Bidan
Desa sebagai enumerator dan pihak Kecamatan di Kota Tanjung Balai.
BAB II
METODOLOGI DAN LANGKAH EHRA 2011

Kegiatan Studi EHRA memerlukan keterlibatan berbagai pihak dan tidak hanya bisa
dilaksanakan oleh Pokja Kota Tanjung Balai semata. Agar efektif, Pokja Sanitasi diharapkan bisa
mengorganisir pelaksanaan secara menyeluruh. Adapun susunan Tim EHRA sebagai berikut:

1. Penanggungjawab : Pokja Sanitasi Kota Tanjung Balai


2. Koordinator Survey : Pokja - Dinas Kesehatan
3. Anggota : BAPPEDA, Bappermas, Dinas Kebersihan dan
Pasar, KLH, Dinas PU, Infokom, dll
4. Koordinator wilayah/kecamatan : Kepala Puskesmas
5. Supervisor : Sanitarian Puskesmas
6. Tim Entry data : Tim Sekretariat Pokja Kabupaten
7. Tim Analisis data : Pokja Sanitasi
8. Enumerator : Bidan

EHRA adalah studi yang relatif pendek (sekitar 2 bulan) yang menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan menerapkan 2 (dua) teknik pengumpulan data, yakni 1)
wawancara (interview) dan 2) pengamatan (observation). Pewawancara dan pelaku
pengamatan dalam EHRA adalah Bidan yang dipilih secara kolaboratif oleh Pokja Sanitasi Kota
Tanjung Balai. Sebelum turun ke lapangan, para kader diwajibkan mengikuti pelatihan
enumerator selama 1 (satu) hari. Materi pelatihan mencakup dasar-dasar wawancara dan
pengamatan; pemahaman tentang instrumen EHRA; latar belakang konseptual dan praktis
tentang indikator-indikator; uji coba lapangan; dan diskusi perbaikan instrumen.
Studi EHRA mencakup 6 Kecamatan, yakni :
1. Kecamatan Datuk Bandar
2. Kecamatan Datuk Bandar Timu
3. Kecamatan Sei Tualang Raso
4. Kecamatan Teluk Nibung
5. Kecamatan Teanjung Balai Utara
6. Kecamatan Tanjung balai Selatan

Rumah tangga ditarik secara acak (random) berdasarkan cluster untuk tingkat Kelurahan.
Jumlah sampel di tingkat Kecamatan diambil secara proporsional merujuk dengan
cluster/Kelurahan yang disepakati. Di setiap Kelurahan diambil secara random 20 RT. Untuk
menentukan rumah tangga digunakan sejumlah pilihan teknik-teknik yang akan dipilih dengan
cara random sistematis (urutan rumah).
Yang menjadi unit analisis dalam EHRA adalah rumah tangga. Sementara, yang menjadi
unit respon adalah ibu rumah tangga. Ibu dipilih dengan asumsi bahwa mereka relatif lebih
memahami kondisi lingkungan berkaitan dengan isu sanitasi serta mereka relatif lebih mudah
ditemui dibandingkan bapak-bapak. Ibu dalam EHRA didefinisikan sebagai perempuan berusia
20-65 tahun yang telah atau pernah menikah. Untuk memilih Ibu di setiap rumah, enumerator
menggunakan matriks prioritas yang mengurutkan prioritas Ibu di dalam rumah. Prioritas
ditentukan oleh status Ibu yang dikaitkan dengan kepala rumah tangga. Bila dalam prioritas
tertinggi ada dua atau lebih Ibu, maka usia menjadi penentunya.
Pekerjaan entri data dilaksanakan oleh Tim Sekretariat Pokja sanitasi Kota Tanjung Balai.
Sebelum melakukan entri data, tim data entri terlebih dahulu mengikuti pelatihan singkat data
entry EHRA yang difasilitasi oleh Tim PMU di Bogor. Selama pelatihan itu, tim data entri
dikenalkan pada perangkat lunak yang digunakan serta langkah-langkah untuk uji konsistensi.
Untuk quality control, tim spot check (untuk Tanjung Balai dilaksanakan oleh Sanitarian
Puskesmas) mendatangi 20% rumah yang telah disurvai. Tim spot check secara individual
melakukan wawancara singkat dengan kuesioner yang telah disediakan dan kemudian
menyimpulkan apakah wawancara benar-benar terjadi dengan standar yang ditentukan. Quality
control juga dilakukan di tahap data entri. Hasil entri di-re-check kembali oleh tim Pokja
Sanitasi. Sejumlah 5% entri kuesioner diperiksa kembali.

2.1 Penentuan target area survey

Salah satu aspek perbaikan dalam Studi EHRA 2011 adalah adanya metoda penentuan
target area survey secara geografi dan demografi melalui proses yang dinamakan Klastering.
Hasil klastering ini juga sekaligus bisa digunakan sebagai indikasi awal lingkungan berisiko.
Proses pengambilan sampel dilakukan secara random sehingga memenuhi kaidah ”Probability
Sampling” sehingga semua anggota populasi memiliki peluang yang sama untuk menjadi
sampel. Sementara metoda sampling yang digunakan adalah “Cluster Random Sampling”.
Teknik ini sangat cocok digunakan untuk menentukan jumlah sampel jika area sumber data yang
akan diteliti sangat luas. Pengambilan sampel didasarkan pada daerah populasi yang telah
ditetapkan.
Penetapan klaster dilakukan berdasarkan kriteria utama dan kriteria tambahan. Kriteria
utama adalah kriteria yang sudah ditetapkan oleh Program PPSP dan wajib digunakan oleh
semua Pokja Sanitasi Kabupaten/Kota dalam melakukan studi EHRA 2011. Sedangkan kriteria
tambahan adalah kriteria yang boleh ditetapkan oleh Pokja Sanitasi Kabupaten/Kota apabila
dinilai ada hal yang spesifik di kabupaten/kota yang bersangkutan terkait dengan risiko
kesehatan lingkungan akibat sanitasi. Karakteristik wilayah seperti daerah pegunungan, pesisir,
pantai, dll dapat dijadikan kriteria tambahan, bilamana ada pemukiman di daerah tersebut yang
berpotensi dapat menimbulkan risiko kesehatan masyarakat karena lingkungan.

Adanya kriteria tambahan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:


a. Maksimum hanya 1 jenis kriteria tambahan
b. Efek yang ditimbulkan harus spesifik dan tidak bersifat redundant (sama/berulang) dengan
kriteria utama.
Kriteria utama penetapan klaster adalah sebagai berikut:
1. Kepadatan penduduk yaitu jumlah penduduk per luas wilayah. Pada umumnya tiap
kabupaten/ kota telah mempunyai data kepadatan penduduk sampai dengan tingkat
kecamatan dan Kelurahan serta Lingkungan.
2. Angka kemiskinan dengan indikator yang datanya mudah diperoleh tapi cukup
representatif menunjukkan kondisi sosial ekonomi setiap kecamatan . Sebagai contoh
ukuran angka kemiskinan bisa dihitung berdasarkan proporsi jumlah Keluarga Pra
Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1 dengan formula sebagai berikut:
(∑ Pra-KS + ∑ KS-1)
Angka kemiskinan = ---------------------------------- X 100%
∑ KK

3. Daerah/wilayah yang dialiri sungai/kali/saluran drainase/saluran irigasi dengan potensi


digunakan sebagai MCK dan pembuangan sampah oleh masyarakat setempat
4. Daerah terkena banjir dan dinilai mengangggu ketentraman masyarakat dengan
parameter ketinggian air, luas daerah banjir/genangan, lamanya surut.

Klastering wilayah dalam sebuah kabupaten/kota akan menghasilkan katagori klaster


sebagaimana dipelihatkan pada Tabel 1 (asumsi: bila Pokja menggunakan 4 kriteria klastering).
Wilayah (kecamatan) yang terdapat pada klaster tertentu dianggap memiliki karakteristik yang
identik/homogen dalam hal tingkat risiko kesehatannya. Dengan demikian, kecamatan yang
menjadi area survey pada suatu klaster akan mewakili kecamatan lainnya yang bukan
merupakan area survey pada klaster yang sama. Berdasarkan asumsi ini maka hasil studi EHRA
dengan metoda EHRA 2011 akan bisa memberikan peta area berisiko dalam skala
kabupaten/kota.
Tabel 1. Katagori Klaster berdasarkan kriteria indikasi lingkungan berisiko

Katagori Klaster Kriteria


Klaster 0 Wilayah (kecamatan/desa/kelurahan) yang tidak memenuhi sama
sekali kriteria indikasi lingkungan berisiko di atas, baik kriteria
Katagori Klaster Kriteria
utama maupun kriteria tambahan.

Klaster 1 Wilayah (kecamatan/desa/kelurahan) yang memenuhi minimal 1


kriteria indikasi lingkungan berisiko
Klaster 2 Wilayah (kecamatan/ desa/ kelurahan) yang memenuhi minimal 2
kriteria indikasi lingkungan berisiko
Klaster 3 Wilayah (kecamatan/ desa/ kelurahan) yang memenuhi minimal 3
kriteria indikasi lingkungan berisiko
Klaster 4 Wilayah (kecamatan/ desa/ kelurahan) yang memenuhi minimal 4
kriteria indikasi lingkungan berisiko
Klaster 5 Wilayah (kecamatan/ desa/ kelurahan) yang memenuhi semua
kriteria indikasi lingkungan berisiko, baik kriteria utama maupun
kriteria tambahan.
Penentuan klaster di sebuah kabupaten/kota yang akan melaksanakan Studi EHRA dilakukan
dalam dua tahap yaitu:

1. Tahap I, klastering pada tingkat Kecamatan, dilakukan oleh Pokja berdasarkan Kriteria
Utama & Kriteria Tambahan (jika ada) untuk menunjukkan indikasi awal lingkungan
berisiko tingkat Kecamatan, seperti terlihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Ilustrasi hasil penilaian kecamatan berdasarkan kriteria klastering

Gambar 2. Ilustrasi hasil klastering pada tingkat kecamatan (setelah dikompilasi)


2. Tahap II, klastering pada tingkat Desa/Kelurahan, dilakukan oleh Pokja bersama
kecamatan atau oleh kecamatan saja, berdasarkan Kriteria Utama & Kriteria Tambahan
(jika ada) untuk menunjukkan indikasi awal lingkungan berisiko tingkat Desa/Kelurahan,
seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Ilustrasi hasil klastering pada tingkat desa/ kelurahan di Kecamatan A

Dengan melakukan klastering, akan diperoleh manfaat antara lain:


a. Sebagai dasar penentuan target area survey EHRA, bilamana anggaran survey terbatas
b. Memberikan gambaran umum profil risiko kesehatan lingkungan berdasarkan 4 kriteria
(geografi dan demografi)
c. Dapat digunakan sebagai dasar penentuan prioritas lokasi target pemicuan STBM

Dengan demikian proses klastering di sebuah kabupaten/kota, baik pada tingkat


kecamatan oleh POKJA maupun pada tingkat desa/ kelurahan oleh kecamatan, harus dilakukan
diseluruh kecamatan dan desa/ kelurahan.

2.2. Penentuan jumlah/besar Responden

Untuk mendapatkan gambaran kondisi sanitasi di Kota Tanjung Balai, dengan presisi
tertentu, tidak dibutuhkan besaran sampel yang sampai ribuan rumah tangga. Sampel sebesar
20 responden untuk tiap kelurahan/desa, dengan teknik statistik tertentu dan dianggap sebagai
jumlah minimal yang bisa dianalisis. Untuk rumah tangga diambil secara acak. Dengan jumlah
Kelurahan sebanyak 31 maka untuk Kota Tanjung Balai diambil sampel 20 Kelurahan. Jumlah
rumah tangga yang disurvei sebanyak 400 rumah tangga. Dari 400 kuesioner yang dibagikan,
sebanyak 400 kuesioner yang kembali ke sekretariat. Sedangkan dari jumlah kuesioner yang
dilaksanakan tersebut setelah dianalisa terbaca hanya sebanyak 355 kuesioner yang terbaca,
jadi secara porsentase jumlah kuesioner yang terbaca sebesar 98 %. Putusan ini di ambil karena
dana untuk Study EHRA tidak ada, dan memberdayakan dana yang ada dari Dinas Kesehatan.

Berdasarkan kaidah statistik, ukuran sampel dalam satu kabupaten/kota ditentukan oleh:
a. Tingkat presisi yang diharapkan (CI = Confidence Interval),
b. Tingkat kepercayaan (CL = Confidence Level),
c. Prosentase baseline (bila tidak ada = 50%),
d. Perkalian faktor efek dari desain (Desain Effect; maksimal 2),
e. Antisipasi untuk sampel gagal (5%–10%).
f. Besar/jumlah populasi
2.3. Langkah-Langkah Studi & Survey EHRA

1. Persiapan: Rapat/ Lokakarya POKJA


a. Pembentukan Tim EHRA & penyusunan anggaran
b. Penetapan kriteria utama & kriteria tambahan target area survey tingkat kecamatan.
c. Penetapan kebijakan sampling
d. Penetapan kriteria Enumerator. Untuk enumerator Kabupaten Pesisir Selatan
menggunakan tenaga Bidan Desa, hal ini disebabkan kuesioner dari EHRA termasuk
kategori rumit. Dengan tingkat pendidikan D3 diharapkan para bidan desa mampu
untuk mengetahui isi dari kuesioner EHRA dan menjalankan tugas enumerator
dengan baik. Sedang untuk Supervisor menggunakan tenaga Sanitarian di setiap
puskesmas.
e. Pokja melakukan klaster kecamatan
f. Pokja ke Kecamatan, kemudian bersama Camat serta jajarannya melakukan klaster
Nagari dan kampung dengan mengisi blanko yang menyatakan kriteria kluster
Kecamatan, nagari sampai kampung.
g. Menyurati Kepala Puskesmas, dengan lampiran surat, sebagai berikut:
 Daftar kriteria Enumerator
 Permintaan pemilihan calon Enumerator yang memenuhi kriteria

2. Camat:
a. Camat bersama pokja melakukan klaster Kelurahan berdasarkan 4 kriteria utama +
kriteria tambahannya (bila ada)
b. Memberikan tanggapan tentang hasil EHRA yang telah diselesaikan.

3. Tim EHRA, setelah menerima laporan hasil penilaian klatering dari camat, melakukan
klastering atau memverifikasi hasil klastering pada tingkat Kecamatan yang ditentukan
oleh camat serta jajarannya.
4. Pelatihan Tim EHRA, Ditujukan kepada Supervisor dan enumerator agar bisa memahami
maksud, tujuan, metode pelaksanaan dan target output Studi EHRA

5. Tim EHRA bersama Koordinator dan Supervisor:


a. Menentukan pemetaan lanjut target area survey di tingkat Kelurahan, yaitu
menentukan Kelurahan terpilih sebagai area survey dan memilih responden di tiap
kampung sehingga diperoleh Daftar RT dan Respondennya.
b. Penentuan perencanaan sampling berdasarkan kebijakan sampling:
• Tata cara memilih responden dalam satu kampung, responden untuk kampung
dipilih secara acak.
• Menentukan responden pengganti bila responden terpilih tidak ada atau tidak
bersedia diwawancara.

6. Pelatihan Enumerator, yang dilakukan oleh Pokja dan Supervisor

7. Pelaksanaan Survey EHRA sehingga diperoleh Data primer dan Data sekunder. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para personel yang tergabung dalam Tim
pelaksana Studi EHRA yaitu:
a. Setiap enumerator melakukan pengecekan ulang terhadap setiap kuesioner yang
telah diisi melalui proses wawancara sehingga yakin semua pertanyaan telah
terjawab dengan benar dan lembar observasi telah terisi sebagai mana mestinya.
b. Supervisor harus meyakinkan bahwa pada tiap hari setelah semua sesi wawancara
berakhir, sesama enumerator melakukan saling peer review terhadap kuesionernya
yang telah diisi. Kuesioner yang telah dicek dan melalui proses peer review
ditandatangani oleh enumerator ybs.
c. Setelah beberapa hari tapi sebelum periode wawancara berakhir, dari kuesioner yang
sudah diisi, supervisor mengambil 1 kuesioner dari tiap enumerator secara random.
Selanjutnya supervisor melakukan spot check (dengan mengisi lembaran Spot Check)
kepada respondennya untuk memastikan bahwa enumerator ybs sudah melakukan
tugasnya dengan baik dan benar. Apabila ditemui kasus praktek tidak fair oleh
enumerator dalam pengisian kuesioner (misalnya mengisi kuesioner tanpa proses
wawancara dengan responden) maka semua kuesioner hasil kerja enumerator
tersebut harus dilibatlkan. Supervisor bisa meminta enumerator untuk mengulangi
pekerjaanya.
d. Setelah melakukan spot check, supervisor bisa menandatangani setiap kuesioner
yang disetor oleh enumeratornya.
e. Supervisor bisa secara bertahap menyerahkan kuesioner yang sudah diisi kepada
Koordinator supaya Koordinator mempunyai kesempatan awal untuk memeriksa
kuesioner tersebut.
f. Apabila memungkinkan, koordinator setelah melakukan pengecekan kebenaran
pengisian kuesioner (bisa diambil sampel beberapa exemplar dan dipilih secara
random) bisa secara bertahap menyerahkan kuesioner yang sudah diisi kepada tim
data entry. Dengan demikian bisa meningkatkan efektivitas waktu karena ada
kegiatan overlap antara wawancara dengan data entry.

8. Pelatihan entry dan analisis data agar Tim EHRA memahami dan mampu menganalisis
data. Kegiatan ini bisa dilakukan parallel dengan aktivitas survey wawancara.
9. Entry dan analisis data
10. Penulisan laporan Studi EHRA oleh Tim EHRA
11. Rapat POKJA membahas laporan Studi EHRA
12. Konsultasi Hasil Sementara Studi EHRA dengan Masyarakat
13. Penyusunan Laporan Final Studi EHRA setelah mengakomodasi berbagai masukan dari
konsultasi dengan masyarakat

2.4. KUESIONER EHRA

Kuesioner EHRA 2011 terdiri dari Lembar Pertanyaan dan Lembar Pengamatan. Pada kedua
lembar tersebut, pertanyaan dibuat dalam “Blok-Blok” sesuai dengan informasi yang ingin
diketahui, yaitu:
1. Fokus informasi dalam Lembar Pertanyaan :
A. Informasi Umum
B. Informasi Responden
C. Pengelolaan sampah rumah tangga
D. Pembuangan air kotor/limbah tinja manusia dan lumpur tinja
E. Drainase lingkungan/selokan sekitar rumah dan Banjir
F. Pengelolaan air minum, masak, mencuci dan gosok gigi yang aman dan higiene
a. Sumber air minum
b. Pengolahan, penyimpanan & penanganan air yang baik & aman
G. Perilaku higiene/sehat
H. Kejadian penyakit Diare

2. Fokus informasi dalam Lembar Pengamatan :


A. Lihat dan amati dapur
a. Perilaku higiene
b. Penyimpanan & penanganan air untuk minum & masak yang baik & aman
c. Daur ulang dan penggunaan kembali sampah
d. Saluran pembuangan air limbah rumah tangga non tinja
B. Lihat dan amati kamar mandi
C. Lihat dan amati WC/jamban:
a. Cuci tangan dengan air dan sabun
b. Higiene di WC/jamban
c. Pembuangan air kotor/limbah tinja manusia dan lumpur tinja
D. Lihat dan amati tempat mencuci pakaian
E. Lihat dan amati halaman/pekarangan/kebun:
a. Tangki septik
b. Pengelolaan sampah: daur ulang dan penggunaan kembali
c. Drainase lingkungan/selokan di sekitar rumah dan banjir

Kuesioner EHRA 2011 dapat dilihat pada lembaran tersendiri


2.5. NILAI TAMBAH EHRA 2011

Ada beberapa kelebihan nilai tambah metoda EHRA 2011 dibanding metoda EHRA
sebelumnya yaitu antara lain:
1. Kemandirian Pokja dalam menyelenggarakan studi EHRA lebih terjamin:
a. Kriteria penetapan area survey/studi sangat jelas sehingga diperoleh klaster wilayah
(kecamatan dan desa/kelurahan)
b. Kuesioner lebih sederhana, dengan pengolahan data yang mudah  waktu
wawancara dan pengamatan untuk tiap responden menjadi lebih singkat
c. Penyediaan Alat bantu gambar (Visual Aid) bagi Enumerator  mengurangi tingkat
kesalahan respon oleh responden (meminimasi error respon)
2. Dengan metoda Cluster Random Sampling dan “Proporsionate Startified Random
Sampling” memberikan fleksibilitas kepada Pokja untuk menyesuaikan jumlah sampel
yang pada akhirnya berpengaruh pada pembiayaan, dengan tetap memperhatikan
kualitas/validitas hasil studi
3. Lebih banyak mengandalkan atau memakai SDM lokal dari Pokja
4. Waktu pelaksanaan yang relatif sama, tetapi dapat memberikan dampak advokasi yang
lebih besar kepada Camat dan Lurah
Ketersediaan data dan informasi tentang indikasi lingkungan beresiko dari tingkat Kecamatan,
Kelurahan sampai RW, dapat membantu Pokja untuk melihat secara garis besar kondisi seluruh
Kabupaten/Kota (“Helicopter View”)
BAB III
HASIL STUDI EHRA 2011

3.1 KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA/ RESPONDEN

Bagian ini memaparkan sejumlah variabel sosio-demografis dan hal-hal yang terkait
dengan status rumah di Kota Tanjung Balai. Variabel-variabel yang dimaksud mencakup status
responden, jumlah anggota rumah tangga, usia anak termuda, status kepemilikan rumah, dan
lahannya, serta ketersediaan kamar untuk disewakan. Variabel-variabel sosio-demografis perlu
dipelajari karena keterkaitan yang cukup erat dengan masalah sanitasi. Jumlah anggota rumah
tangga berhubungan dengan kebutuhan kapasitas fasilitas sanitasi. Semakin banyak jumlah
anggota rumah tangga, maka semakin besar pula kapasitas yang dibutuhkan. Usia anak termuda
menggambarkan besaran populasi yang memiliki risiko paling tinggi atau yang kerap dikenal
dengan istilah population at risk. Secara umum diketahui bahwa balita merupakan segmen
populasi yang paling rentan terhadap penyakit-penyakit yang berhubungan dengan air (water
borne diseases), kebersihan diri dan lingkungan. Dengan demikian, rumah tangga yang memiliki
balita akan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap masalah sanitasi dibandingkan rumah
tangga yang tidak memiliki balita.

Sementara, variabel yang terkait dengan status rumah, seperti kepemilikan dan juga
ketersediaan kamar yang disewakan diperlukan untuk memperkirakan potensi partisipasi warga
dalam pengembangan program sanitasi. Mereka yang menempati rumah atau lahan yang tidak
dimilikinya diduga kuat memiliki rasa memiliki (sense of ownership) yang rendah. Mereka
cenderung tidak peduli dengan lingkungan sekitar termasuk pemeliharaan fasilitas sanitasi
ataupun kebersihan lingkungan. Sebaliknya, mereka yang menempati rumah atau lahan yang
dimilikinya sendiri akan cenderung memiliki rasa memiliki yang lebih tinggi. Secara mendasar,
perbedaan-perbedaan karakteristik ini akan menuntut pendekatan program yang berbeda.
Seperti dipaparkan dalam bagian metodologi, responden dalam studi EHRA adalah ibu
atau perempuan yang telah menikah atau cerai atau janda yang berusia 20 – 65 tahun. Batas
usia, khususnya batas-atas diperlakukan secara fleksibel. Penilaian kader sebagai enumerator
banyak menentukan. Bila usia calon responden sedikit melebihi batas-atas (65 tahun), namun
responden terlihat dan terdengar masih cakap untuk merespon pertanyaan-pertanyaan dari
pewawancara, maka calon responden itu dipertimbangkan masuk dalam daftar prioritas
responden. Sebaliknya, meskipun usia responden belum mencapai 65 tahun, namun bila
performa komunikasinya kurang memadai, maka ibu itu dapat dikeluarkan dari daftar calon
responden.
Grafik III-1
Usia Responden Survey EHRA Kabupaten Pesisir Selatan

Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai

Dari sisi aspek usia, kebanyakan adalah Ibu yang berusia > 45 tahun, yakni sekitar 32,4%
dari total responden. Sekitar 14,2% berada di usia 41 – 45 tahun. Sementara, mereka yang
berada di rentang 36 – 40 tahun mencakup sekitar 14,2% dari total responden. Untuk 31 – 35
tahun jumlah responden sebanyak 14,2%. Sebanyak 14,2% berada pada rentang umur 26 – 30
tahun, sedang antara umur 21 – 25 tahun sebanyak 8,9%. Proporsi yang paling kecil adalah yang
berusia paling muda, yakni 20 tahun. Proporsi mereka hanya mencakup sekitar 1,8% dari total
responden yang terpilih.
Studi EHRA juga mengidentifikasi keberadaan balita di sebuah rumah tangga.
Keberadaan balita menjadi penting sebab dibandingkan kelompok lain, balita adalah segmen
populasi yang paling rentan terhadap penyakit-penyakit yang terkait dengan sanitasi. Diare,
misalnya, adalah pembunuh balita nomor dua di Indonesia setelah ISPA (Infeksi Saluran
Pernafasan Akut) dengan korban sekitar 40.000 balita per tahun. Karena itu, sebaran balita
dapat memberi gambaran tentang kerentanan wilayah tertentu.

Grafik III-2
Perbandingan Anak Balita dan Tidak Balita

Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai

Berkenaan dengan usia anak termuda dalam rumah, studi ini menemukan sekitar 36,79%
rumah tangga memiliki anak termuda yang tergolong balita (bawah lima tahun). Sebanyak
62,21% melaporkan memiliki anak yang lebih tua dari 5 tahun atau tidak ada anak yang tinggal
di rumah. Proposi anak balita ditonjolkan di sini karena merekalah at-risk population terkait
dengan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh sanitasi yang kurang memadai.
Terkait dengan status rumah yang ditempati responden, survai EHRA menjumpai
mayoritas atau sekitar 68,2% dari total populasi menyatakan bahwa rumah yang ditempati
adalah rumah yang dimiliki sendiri. Sekitar 2% yang melaporkan rumahnya adalah rumah dinas,
sebesar 1,6% adalah berbagi dengan keluarga lain, sedang untuk sewa sebesar 0,6%. Sekitar
1,6% menyatakan bahwa rumah yang ditempati adalah rumah yang dimiliki orang tua atau
keluarganya. Sebanyak 25,1% masih menempati rumah milik orang tua serta lainnya sebesar
0,9%.
Grafik III-3
Status kepemilikan rumah yang saat ini di tempati

Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai

3.2 PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA

EHRA mempelajari sejumlah aspek terkait dengan masalah penanganan sampah, yakni:
1) cara pembuangan sampah yang utama, 2) frekuensi & pendapat tentang ketepatan
pengangkutan sampah bagi rumah tangga yang menerima layanan pengangkutan sampah, 3)
praktik pemilahan sampah, dan 4) penggunaan wadah sampah sementara di rumah.
Cara utama pembuangan sampah di tingkat rumah tangga diidentifikasi melalui jawaban
verbal yang disampaikan responden. Dalam kuesioner tersedia 22 (duapuluh dua) opsi jawaban.
Duapuluh dua opsi itu dapat dikategorikan dalam 4 (empat) kelompok besar, yakni 1)
Dikumpulkan di rumah lalu diangkut keluar oleh pihak lain, 2) Dikumpulkan di luar rumah/ di
tempat bersama lalu diangkut oleh pihak lain, 3) Dibuang di halaman/ pekarangan rumah, dan
4) Dibuang ke luar halaman/ pekarangan rumah. Di antara empat kelompok itu, cara-cara yang
berada di bawah kategori 1 dan 2 atau yang mendapat layanan pengangkutan merupakan cara-
cara yang memiliki risiko kesehatan paling rendah. Beberapa literatur menyebutkan bahwa cara
pembuangan sampah di lobang sampah khusus, baik di halaman atau di luar rumah, merupakan
cara yang aman pula. Namun, dalam konteks wilayah perkotaan, di mana kebanyakan rumah
tangga memiliki keterbatasan dalam hal lahan, penerapan cara-cara itu dinilai dapat
mendatangkan risiko kesehatan yang cukup besar.
Dari sisi layanan pengangkutan, EHRA melihat aspek frekuensi atau kekerapan dan
ketepatan waktu dalam pengangkutan. Meskipun sebuah rumah tangga menerima pelayanan,
risiko kesehatan tetap tinggi bila frekuensi pengangkutan sampah terjadi lebih lama dari satu
minggu sekali. Sementara, ketepatan pengangkutan digunakan untuk menggambarkan seberapa
konsisten ketetapan/ kesepakatan tentang frekuensi pengangkutan sampah yang berlaku.
Di banyak Kabupaten/Kota di Indonesia, penanganan sampah merupakan masalah yang
memprihatinkan. Dalam banyak kasus, beban sampah yang diproduksi rumah tangga ternyata
tidak bisa ditangani oleh sistem persampahan yang ada. Untuk mengurangi beban di tingkat
Kabupaten, banyak pihak mulai melihat pentingnya pengelolaan/ pengolahan di tingkat rumah
tangga, yakni dengan pemilahan sampah dan pemanfaatan atau penggunaan ulang sampah,
misalnya sebagai bahan untuk kompos. Dengan latar belakang semacam ini, EHRA kemudian
memasukan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan kegiatan pemilahan sampah di tingkat
rumah tangga serta melakukan pengamatan yang tertuju pada kegiatan-kegiatan pengomposan.

Kebiasaan membuang sampah masyarakat di Kota Tanjung Balai juga masih


menimbulkan pencemaran tanah dan air. Rata-rata masyarakat membuang sampah di
halaman, kali/sungai kecil, di lubang sampah tetapi tidak melakukan pengolahan selanjutnya.
Kebiasaan masyarakat membuang sampah dapat dilihat selengkapnya pada grafik berikut:
Grafik III-4
Kebiasaan Masyarakat Membuang Sampah Berdasarkan Survey EHRA di Kabupaten Pesisir
Selatan Tahun 2011

Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai

Dari hasil survey EHRA diatas sebagian besar masyarakat di Kota Tanjung Balai
membuang sampah dengan cara di bakar yaitu sebanyak 31,7 %, kemudian yang dibuang ke
sungai sebanyak 28,1 % dan yang dibuang ke lahan kosong sebanyak 3,6 %. Pembuangan
sampah yang diangkut oleh tukang sampah hanya sebanyak 15,2 %, ini menunjukkan pelayanan
sampah di Kota Tanjung Balai masih sangat minim. Selanjutnya yang dibuang dan dikubur
dilobang sebanyak 4,9 %, sedangkan yang dibiarkan saja sebanyak 15,2 %.
Penanganan sampah yang aman adalah apabila sampah dari rumah tangga mendapat
layanan pengangkutan yang memadai. Untuk kepentingan identifikasi tingkat risiko
kesehatan lingkungan, rincian cara pembuangan di atas kemudian disederhanakan utamanya
berdasarkan dua kategori besar, yakni 1) penerima layanan sampah dan 2) non penerima
layanan sampah.
Berdasarkan Survey EHRA dapat digambarkan bahwa sebagian besar yaitu 78,3 % total rumah
tangga belum mendapatkan layanan pengangkutan. Hanya 21,7 % yang mendapatkan layanan
pengangkutan.
Grafik III-5
Penanganan sampah oleh Pemerintah Daerah Berdasarkan Survey EHRA di Kabupaten Pesisir
Selatan Tahun 2011

Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai

3.3 PEMBUANGAN AIR KOTOR/LIMBAH TINJA MANUASIA DAN LUMPUR TINJA

Praktik BAB (buang air besar) di tempat yang tidak aman adalah salah satu faktor risiko
bagi turunnya status kesehatan masyarakat. Selain mencemari tanah (field), praktik semacam itu
dapat mencemari sumber air minum warga. Yang dimaksud dengan tempat yang tidak aman
bukan hanya tempat BAB di ruang terbuka, seperti di sungai/ kali/ got/ kebun, tetapi juga
penggunaan sarana jamban di rumah yang mungkin dianggap nyaman, namun sarana
penampungan dan pengolahan tinjanya tidak memadai, misalnya yang tidak kedap air dan
berjarak terlalu dekat dengan sumber air minum.
Bagian ini memaparkan fasilitas sanitasi rumah tangga beserta beberapa perilaku yang
terkait dengannya. Fasilitas sanitasi difokuskan pada fasilitas buang air besar (BAB) yang
mencakup jenis jamban yang tersedia, penggunaan, pemeliharaan, dan kondisinya.
Berdasarkan hasil Study EHRA jumlah keluarga yang memilliki jamban septik di Kota
Tanjung Balai 53,11 %, paling banyak di Kelurahan Pematang Pasir sebesar 88,9 % dan paling
sedikit ada di Kelurahan Kualo Silau Bestari dengan Prosentase 8,3 %. Hasil lengkap tempat BAB
di Kota Tanjung Balai dan per Kelurahan dapat dilihat pada grafik 2.1 dan grafik 2.2 berikut :

Grafik III-6 :
Tempat BAB per Kecamatan di Lokasi Survey EHRA Tahun 2011

Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai

Grafik III-9
Tempat BAB Per Kelurahan di Lokasi EHRA Tahun 2011
Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai

Secara umum kondisi keluarga yang menggunakan jamban berdasarkan Survey EHRA dengan
suspect aman sekitar 53,11 %, dan masih ada sekitar 46,9 % dengan suspeck tidak aman.
Artinya walaupun telah menggunakan jamban septik tetapi secara kualitas belum menjamin
kondisinya aman atau tidak mencemari lingkungan.
Grafik III. 8
Prosentase Keluarga Yang Menggunakan Tangki Septic Suspeck aman dan tidak aman di Kota
Tanjung Balai pada lokasi Survey EHRA Tahun 2011

Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai


Kriteria suspek aman adalah sebagai berikut:
1. Dibangun kurang dari lima tahun lalu
2. Dibangun lebih dari lima tahun lalu dan pernah dikuras/ dikosongkan kurang dari lima tahun
lalu
Kriteria suspek tidak aman adalah sebagai berikut:
1. Dibangun lebih dari lima tahun lalu dan tidak pernah dikuras
2. Dibangun lebih dari lima tahun lalu dan pernah dikuras lebih dari lima tahun lalu

Grafik III. 9
Kondisi Tangki Septik Per Kelurahan di Kabupaten Pesisir Selatan pada lokasi survey EHRA
Tahun 2011

Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai

Kondisi aman dan tidak aman dilihat dari praktik pembuangan kotoran balita antara lain:
1) Praktik pembuangan yang aman yang mencakup
a. anak yang diantar untuk BAB di jamban
b. anak yang BAB di penampung (popok sekali pakai/ pampers, popok yang dapat
dicuci, gurita, ataupun celana), kotoran di buang ke jamban, dan penampung
dibersihkan di Watter Closed
2) Praktik pembuangan yang relatif tidak aman
a. anak BAB di ruang terbuka (lahan di rumah atau diluar rumah)
b. anak yang BAB di penampung (popok sekali pakai/ pampers, popok yang dapat
dicuci, gurita, ataupun celana), kotoran di buang ke ruang terbuka/ tidak di jamban
dan dibersihkan bukan di jamban

Selain cemaran akibat tangki septik yang tidak aman, risiko lingkungan juga dapat
meningkat akibat pembuangan isi tinja yang tidak tepat, seperti membuang kotoran ke
sungai atau lahan di rumah yang tidak diolah lebih lanjut. Sebelum melihat tempat-tempat
pembuangan tinja yang telah dikumpulkan di tangki septik, EHRA terlebih dahulu
mengidentifikasi cara pengurasan/ pengosongan tangki septik. Seperti dapat dilihat pada Grafik
di bawah, dari mereka yang melaporkan pernah mengosongkan tangki septik, mayoritas
meminta jasa layanan pengosongan sedot tangki/ truk tinja, yakni sekitar 6%. Sementara,
proporsi yang melaporkan menyuruh tukang untuk melakukannya sebesar 14,9 %, sedangkan
pengosongan septik yang disebabkan bersih karena banjir sebesar 3 %. Pada umumnya
masyarakat masih belum tahu tentang adanya layanan sedot tinja, yakni sebesar 76.1 %.
Grafik III-10
Praktek Pembuangan Isi Tangki Septik Pada Lokasi EHRA
Kota Tanjung Balai Tahun 2011

Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai

3.4 DRAINASE LINGKUNGAN/SELOKAN SEKITAR RUMAH DAN BANJIR


Bagian ini menyediakan informasi mengenai kondisi saluran air rumah tangga di Kota
Tanjung Balai. Saluran air merupakan salah satu objek yang diperhatikan EHRA karena saluran
yang tidak memadai berisiko memunculkan berbagai penyakit, termasuk polio yang sempat
merebak kembali di satu Kabupaten/Kota di Indonesia beberapa tahun lalu.
EHRA mengamati keberadaan saluran air di sekitar rumah terpilih. Saluran yang
dimaksud adalah saluran yang digunakan untuk membuang air bekas penggunaan rumah
tangga (grey water), seperti air dapur (bekas cuci piring/ bahan makanan), air cuci pakaian
maupun air bekas mandi. Seperti kebanyakan terjadi di Kabupaten/Kota di Indonesia, saluran
grey water dapat pula berfungsi menjadi saluran bagi pengaliran air hujan (drainage).
Bila suatu rumah didapati memiliki saluran, akan mengamati lebih dekat apakah air di
saluran itu mengalir, warna airnya, dan melihat apakah terdapat tumpukan sampah di dalam
saluran air itu. Saluran yang memadai ditandai dengan aliran airnya yang lancar atau tidak ada
air, warna airnya yang cenderung bening atau bersih, dan tidak adanya tumpukan sampah di
dalamnya.
Sementara itu berdasarkan hasil survey EHRA menyebutkan bahwa sebanyak 44,2 %
masyarakat Kota Tanjung Balai memiliki SPAL dan 54,5% tidak memiliki SPAL serta 1,4 % tidak
ada data tentang keluarga yang memiliki SPAL. Seperti terpapar dalam grafik di halaman berikut
ini.

Grafik III-11
Porsentase Keluarga yang memiliki SPAL di Kota Tanjung Balai Berdasarkan
Survey EHRA Tahun 2011
Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai

Pengamatan sanitarian terhadap lingkungan rumah menemukan bahwa sekitar 1,5 %


rumah tangga di Kota Tanjung Balai memiliki lingkungan yang terdapat genangan air kurang dari
satu jam, antara satu jam sampai tiga jam mencapai 76,9 %, dan hanya sebanyak 1,5 % yang
mempunyai genangan air lebih dari satu hari. Di sini, secara umum kondisi lokasi genangan air di
sekitar lingkungan rumah berdasarkan survey EHRA di Kota Tanjung Balai tahun 2011 dapat
dilihat pada grafik berikut.
Grafik III-12
Lamanya Genangan di Sekitar Lingkungan Rumah Berdasarkan Survey EHRA di Kota Tanjung
Balai Tahun 2011

Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai

3.5 PENGELOLAAN AIR MINUM, MASA, CUCI DAN GOSOK GIGI YANG AMAN DAN HIGIENE
Bab ini menyajikan informasi mengenai kondisi akses sumber air untuk minum bagi
rumah tangga di Kota Tanjung Balai. Hal yang diteliti dalam EHRA terdiri dari 2 (dua) hal utama,
yakni 1) jenis sumber air minum yang digunakan rumah tangga, dan 2) kelangkaan air yang
dialami rumah tangga dari sumber itu. Kedua aspek ini memiliki hubungan yang sangat erat
dengan tingkat risiko kesehatan bagi anggota di suatu rumah tangga. Dari sisi jenis sumber
diketahui bahwa sumber-sumber air memiliki tingkat keamanannya tersendiri. Ada jenis-jenis
sumber air minum yang secara global dinilai sebagai sumber yang relatif aman, seperti air
ledeng/ PDAM, sumur bor, sumur gali terlindungi dan mata air terlindungi. Di lain pihak,
terdapat sumber-sumber yang memiliki risiko yang lebih tinggi sebagai media transmisi patogen
ke dalam tubuh manusia, di antaranya adalah, sumur atau mata air yang tidak terlindungi dan
air permukaan, seperti air kolam, sungai dan waduk.
Pada suplai air minum, studi EHRA mempelajari kelangkaan yang dialami rumah tangga
dalam rentang waktu dua minggu terakhir. Kelangkaan diukur dari tidak tersedianya air dari
sumber air minum utama rumah tangga atau tidak bisa digunakannya air yang keluar dari
sumber air minum utama. Data ini diperoleh dari pengakuan verbal responden.
Hasil Survey EHRA terlihat bahwa sebagian besar responden mendapatkan air
bersih dari sumur sebanyak 46,75 %, serta banyak juga yang mendapatkan air bersih dari layanan
PDAM yaitu sebanyak 26,69 % selanjutnya dari Air Botol Kemasan/Air isi ulang sebanyak 10,29
%, sedang yang berasal dari mata air sebanyak 6,95 %.
Seperti dapat disimak pada tabel di bawah ini, sumber-sumber air minum bagi rumah
tangga di Kota Tanjung Balai didominasi oleh air Sumur dan PDAM. Selain kedua sumber itu,
proporsinya relatif kecil, yang agak menonjol adalah air botol kemasan (10,29%), mata air
(6,95%), air sungai (4,92%) dan air hujan (2,98%) . Kategori lainnya cakupannya kurang dari 1%.

Grafik III-13
Akses Terhadap Air Bersih pada Lokasi EHRA
di Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011
Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai

Terkait dengan keamanan, hasil analisis data EHRA menunjukkan bahwa mayoritas atau
sekitar 67,92 % rumah tangga di Kota Tanjung Balai memiliki sumber air minum yang relatif
aman. Sekitar 38,78 % yang diidentifikasi memiliki sumber yang relatif tidak aman antara lain
sumur yang tidak terlindungi, mata air yang tidak terlindungi, sungai dan waduk/danau.
Grafik III-14
Akses Terhadap Air Bersih pada Lokasi EHRA
di Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011

Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai

3.6 PERILAKU HIGIENE/SEHAT


Gejala diare seringkali dipandang sepele. Di beberapa daerah, balita yang terkena diare
malah dipandang positif. Katanya, diare adalah tanda akan berkembangnya anak, seperti akan
segera bisa berjalan, bertambah tinggi badan, atau tumbuhnya gigi baru di rahangnya. Meski
tidak dijumpai istilah khusus, sejumlah kelompok masyarakat di Sumatera pun mempercayai
hal-hal semacam itu (Laporan ESP Formative Research, 2007).
Sekitar 40.000 anak Indonesia meninggal setiap tahun akibat diare (Unicef, 2002; dikutip
dari facts sheet ISSDP, 2006). Bukan hanya itu, diare juga ikut menyumbang pada angka
kematian balita yang disebabkan faktor gizi buruk. Dalam studi global disimpulkan bahwa dari
3,6 juta kematian akibat gizi buruk, sekitar 23% ternyata disebabkan oleh diare (Fishman, dkk.,
2004). Diare sebetulnya dapat dicegah dengan cara yang mudah. Sekitar 42-47% risiko terkena
diare dapat dicegah bila orang dewasa, khususnya pengasuh anak mencuci tangan pakai sabun
pada waktu-waktu yang tepat. Bila dikonversikan, sekitar 1 juta anak dapat diselamatkan hanya
dengan mencuci tangan pakai sabun (Curtis & Cairncross, 2003).
Mencuci tangan pakai sabun di waktu yang tepat dapat memblok transmisi patogen
penyebab diare. Pencemaran tinja/ kotoran manusia (feces) adalah sumber utama dari virus,
bakteri, dan patogen lain penyebab diare. Jalur pencemaran yang diketahui sehingga cemaran
dapat sampai ke mulut manusia, termasuk balita, adalah melalui 4F (Wagner & Lanoix, 1958)
yakni fluids (air), fields (tanah), flies (lalat), dan fingers (jari/tangan). Cuci tangan pakai sabun
adalah prevensi cemaran yang sangat efektif dan efisien khususnya untuk memblok transmisi
melalui jalur fingers.
Waktu-waktu cuci tangan pakai sabun yang perlu dilakukan seorang ibu/ pengasuh
untuk mengurangi risiko balita terkena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan diare
mencakup 5 (lima) waktu penting yakni,
1. Sesudah buang air besar (BAB),
2. Sebelum menyantap makanan,
3. Sebelum menyuapi/memberi makan, pada bayi/balita
4. Sebelum menyiapkan makanan bagi keluarga.
5. Sesudah memegang unggas/hewan.
Hasil Survey EHRA memperlihatkan bahwa kebiasaan masyarakat Kota Tanjung Balai
pada umumnya belum melakukan praktek cuci tangan pakai sabun pada 5 waktu
penting pada keluarga. Dimana Responden Study EHRA yang tidak cuci tangan pakai sabun
pada Lima Waktu Penting adalah 98,7%, sedangkan yang mencuci tangan pakai sabun pada lima
waktu penting adalah 1,3%. Seperti yang terpapar pada Grafik dibawah ini :
Grafik III-15
Praktek CTPS Pada keluarga Berdasarkan Survey EHRA
Kota Tanjung Balai Tahun 2011

98,7%

1,3%

Sumber : Tabulasi Studi EHRA Kota Tanjung Balai


Bab 4
kesimpulan
Hasil dari pelaksanaan study EHRA akan digunakan sebagai salah satu Data Primer untuk
menentukan Area Beresiko Sanitasi. Penetentuan Area Beresiko Sanitasi, dipaparkan dalam
BAB 5 Buku Putih Sanitasi.

Dari Analisa Study EHRA dapat dilihat kondisi eksisting Sanitasi Kota Tanjung Balai yang
mencakup :
1. Masalah Persampahan
2. Drainase Lingkungan
3. Air Limbah Rumah Tangga
4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ( PHBS )

Dapat disimpulkan bahwa melalui hasil analisa Study EHRA, bahwa sanitasi Kota Tanjung Balai
belum maksimal.

Berikut paparan Hasil Studi EHRA yang di tuangkan Tabel dan Gambar Peta di halaman berikut.
Tabel IV.1 : LEMBARAN ANALISA PENETAPAN AREA BERESIKO BERDASARKAN STUDY EHRA

LEMBAR ANALISA PENETAPAN AREA BERISIKO BERDASARKAN STUDY EHRA


Kabupaten/Kota : Tanjung Balai

3Tanjung Balai Kota

beting kuala kepias


kualo Silau Bestari
Selat Tjg Medan

Pematang Pasir
muara sentosa
Parameter

Pasar Baru
Sejahtera

JUMLAH
Sirantau
Alasan

Pahang
Sijambi
NO RESIKO

1 SUMBER AIR 0.25 0.25 0.75 0.75 0.75 0.25 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 6.75
1.1 Sumber air tercemar (0.5)
>15%,
a) sumur gali tidak terlindungi & kurang dari 10 m (0.25) risiko mudah 0.25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.25
>15%,
b) penggunaan sumber air tidak terlindungi (0.25) risiko mudah 0 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0
1.2 Kelangkaan air (dan risiko terkait) (0.5) penting 0 0 0.5 0.5 0.5 0 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0
2 AIR LIMBAH DOMESTIK 0.33 0 0.33 0.33 1 0.66 0 0.66 0.33 0.66 0.66 4.95
2.1 Pencemaran oleh tangki septik >5 tahun dan tidak pernah disedot (0.33) overflowing besar 0 0 0 0.33 0.33 0.33 0 0.33 0.33 0.33 0.33
2.2 Pencemaran karena pembuangan isi tangki septik (0.33) 0 0 0 0 0.33 0.33 0 0 0 0 0
2.3 Pencemaran karena SPAL (0.33) 0.33 0 0.33 0 0.33 0 0 0.33 0 0.33 0.33
3 PERSAMPAHAN sangat mencemari 1 1 1 1 0.75 1 1 1 1 1 1 10.8
3.1 Pengumpulan sampah tidak mencukupi (0.25) 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25
3.2 Tidak sering dikumpulkan (0.25) 0.25 0.25 0.25 0.25 0 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25
3.3 Dikumpulkan terlalu terlambat (0.25) 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25
3.4 Tidak ada pengolahan setempat (0.25) 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25
4 DRAINASE 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 4
4.1 Adanya genangan air (1) sangat mencemari 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1
5 PERILAKU HIDUP BERSIH SEHAT (PHBS) 0.75 0.75 0.80 0.55 0.55 0.55 0.55 0.60 0.60 0.55 0.60 6.85
5.1 CTPS yg rendah di saat lima (5) waktu kritis (0.25) mudah, murah 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25
5.2 Jamban kotor terkontaminasi (0.25) 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25
a) tinja di atas toilet (0.05) sangat mencemari 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
b) pembalut di dalam toilet (0.05) sangat mencemari 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
c) lalat (0.05) sangat mencemari 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
d) ketersediaan air (0.05) sangat diperlukan 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
e) ketersediaan sabun (0.05) mudah, murah 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
5.3 Pencemaran pada wadah penyimpanan & penanganan air (0.25) 0 0 0.05 0 0 0 0 0.05 0.05 0 0.05
5.4 Buang Air Besar Sembarangan (BABS) (0.25) 0.25 0.25 0.25 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05

TINGKAT RESIKO AWAL 2.33 2.00 3.88 2.63 3.04 3.46 3.30 3.01 2.68 2.96 4.01 33.30

SKOR RESIKO EHRA FINAL 1 1 4 2 3 3 3 3 2 2 4

Keterangan :
Beresiko Sangat Tinggi nilai max 4.01 Score
3.51 4
Beresiko Tinggi 3.01 3
2.50 2
Beresiko Sedang nilai min 2.00 1
rentang 0.5
Beresiko Rendah

Gambar IV.1 : PETA PENETAPAN AREA BERESIKO BERDASARKAN STUDY EHRA

PETA AREA BERESIKO SURVEI EHRA

BERESIKO SANGAT TINGGI

BERESIKO TINGGI

BERESIKO SEDANG

BERESIKO RENDAH

Anda mungkin juga menyukai