Anda di halaman 1dari 35

44

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Gambaran Geografi

Kupang Tengah merupakan wilayah Kecamatan yang cukup strategis karena

terletak diantara dua kota pemerintahan, yaitu Kota Kupang dan Kota Oelamasi

dengan luas wilayah 94,8 km2 yang terdiri dari 1 kelurahan dan 7 Desa (187 RT,

78 RW dan 34 Dusun). Luas wilayah dan jumlah desa/kelurahan dapat dilihat

pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Luas Wilayah, Jumlah Desa/Kelurahan Menurut Desa/Kelurahan di


Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang Tahun 2014
Luas Jumlah
No Desa/Kelurahan Wilayah
Desa Kelurahan Desa+Kelurahan
(km2)
1 Oelnasi 12,97 1 1
2 Oelpuah 23,58 1 1
3 Oebelo 9,76 1 1
4 Noelbaki 17,70 1 1
5 Tarus 4,23 1 1
6 Penfui Timur 10,59 1 1
7 Mata Air 5,96 1 1
8 Tanah Merah 10,00 1 1
JUMLAH 94,8 7 1 8
Sumber: Kantor Statistik Kabupaten Kupang Tahun 2014

Batas-batas wilayah geografis Kecamatan Kupang Tengah sebagai berikut:

 Sebelah Utara : Teluk Kupang

 Sebelah Selatan : Kecamatan Taebenu dan Amarasi

 Sebelah Barat : Kecamatan Kelapa Lima/Kota Kupang

 Sebelah Timur : Kecamatan Kupang Timur


45

2. Keadaan Demografi

Hasil registrasi penduduk menunjukkan bahwa jumlah penduduk di

Kecamatan Kupang Tengah berjumlah 37.851 jiwa dengan kepadatan penduduk

399 jiwa/km2. Jumlah penduduk, jumlah rumah tangga dan kepadatan penduduk

dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk
Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten
Kupang Tahun 2014
Rata-Rata Kepadatan
Jumlah JumlahRumah
No Desa/Kelurahan Jiwa/Rumah Penduduk
Penduduk Tangga
Tangga per km2
1 Oelnasi 2.178 471 4,62 167,93
2 Oelpuah 1.352 343 3,94 57,34
3 Oebelo 4.840 1.146 4,22 495,90
4 Noelbaki 9.500 2.995 3,17 536,72
5 Tarus 4.398 824 5,34 1039,72
6 Penfui Timur 6.939 1.998 3,47 655,24
7 Mata Air 5.443 1.044 5,21 913,26
8 Tanah Merah 3.201 685 4,67 320,10
JUMLAH 37.851 9.506 3,98 399
Sumber: Kantor Statistik Kabupaten Kupang Tahun 2014

Hasil registrasi menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan

Kupang Tengah dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 18.287 jiwa, perempuan

berjumlah 19.564 jiwa dan rasio jenis kelamin 93,47. Jumlah penduduk menurut

jenis kelamin dan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 4.3
46

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur di
Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang Tahun 2014
Kelompok Jumlah Penduduk Rasio Jenis
No
Umur (Tahun) Laki-Laki Perempuan Jumlah Kelamin
1 0-4 1.343 1.254 2.597 107,10
2 5-9 1.377 1.308 2.685 105,28
3 10-14 1.544 1.441 2.985 107,15
4 15-19 1.382 1.281 2.663 107,88
5 20-24 920 982 1.902 93,69
6 25-29 1.150 1.243 2.393 92,52
7 30-34 1.226 1.284 2.510 95,48
8 35-39 1.318 1.447 2.765 91,09
9 40-44 1.411 1.552 2.963 90,91
10 45-49 1.262 1.434 2.696 88,01
11 50-54 1.202 1.361 2.563 88,32
12 55-59 1.103 1.106 2.209 99,73
13 60-64 826 1.006 1.832 82,11
14 65-69 797 920 1.717 86,63
15 70-74 628 805 1.433 78,01
16 75+ 798 1.140 1.938 70,00
JUMLAH 18.287 19.564 37.851 93,47
ANGKA BEBAN TANGGUNGAN 55
Sumber: Kantor Statistik Kabupaten Kupang Tahun 2014

3. Sumber Daya Kesehatan

a. Sarana Kesehatan

Jumlah sarana kesehatan di Kecamatan Kupang Tengah terdiri dari satu

Puskesmas Induk, tujuh Pustu, satu Poskesdes, dan dua Polindes.

b. Tenaga Kesehatan

Hasil registrasi menunjukkan bahwa tenaga kesehatan di Kecamatan Kupang

Tengah berjumlah 56 orang dengan rincian laki-laki berjumlah 10 orang dan

perempuan berjumlah 46 orang. Distribusi tenaga kesehatan di Kecamatan

Kupang Tengah dapat dilihat pada Tabel 4.4.


47

Tabel 4.4 Distribusi Tenaga Kesehatan di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten


Kupang Tahun 2014
Jumlah
No Tenaga Kesehatan
Laki-Laki Perempuan Laki-Laki+Perempuan
1 Dokter Umum 2 2 4
2 Dokter Gigi - 1 1
3 Bidan - 24 24
4 Perawat 3 11 14
5 Perawat Gigi - 3 3
Tenaga Teknis
6 - 2 2
Kefarmasian
Kesehatan
7 - 1 1
Masyarakat
Kesehatan
8 1 - 1
Lingkungan
9 Nutrisionis - 1 1
10 Analis Kesehatan 1 - 1
Staf Penunjang
11 3 1 4
Administrasi
JUMLAH 10 46 56
Sumber: pengelola tata usaha Puskesmas Tarus Tahun 2014

4.1.2 Karakteristik Sampel Penelitian

1. Tingkat Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan formal akan mempengaruhi seseorang dalam menyerap

dan memahami pengetahuan. Tingkat pendidikan dapat diukur melalui jenjang

pendidikan formal yang dituntaskan. Distribusi responden berdasarkan tingkat

pendidikan formal ibu dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Distribusi Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal Ibu di


Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang
Indeks TB/U
No Tingkat Pendidikan Formal Ibu
Stunting (%) Tidak Stunting (%)
1 Rendah 12,2 8,2
2 Menengah 80,6 82,6
3 Tinggi 7,2 9,2
Jumlah 100 100
Sumber: Data Primer 2015
48

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal ibu tergolong

pada kelompok menengah, dimana presentase tingkat pendidikan pada ibu yang

memiliki balita tidak stunting lebih tinggi dibandingkan tingkat pendidikan ibu

yang memiliki balita stunting sehingga dengan tingkat pendidikan ibu yang

memiliki jenjang pendidikannya SMP/SMA/Sederajat lebih tinggi ini

memungkinkan ibu lebih mengerti cara menjaga kesehatan balita sehingga status

gizi balita lebih baik.

2. Pekerjaan Ibu

Pekerjaan ibu akan mempengaruhi waktu yang dimiliki ibu untuk mengasuh

balita yang dapat mempengaruhi status gizi balita. Distribusi penduduk menurut

status pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Distribusi Penduduk Menurut Pekerjaan Ibu di Kecamatan Kupang


Tengah Kabupaten Kupang
Indeks TB/U
No Pekerjaan Ibu
Stunting (%) Tidak Stunting (%)
1 Bekerja 21,4 28,6
2 Tidak bekerja 78,6 71,4
Jumlah 100 100
Sumber: Data Primer 2015

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak stunting maupun

tidak stunting pada umumnya tidak bekerja sehingga seharusnya memiliki waktu

yang lebih banyak dengan balita agar lebih dapat memperhatikan keadaan balita,

seperti waktu makan yang tepat, berinteraksi dengan balita, menjaga kebersihan

balita dan merawat balita ketika sakit maupun sehat.

3. Tingkat Pendapatan

Penghasilan keluarga merupakan faktor yang mempengaruhi secara

langsung terhadap status gizi. Tingkat pendapatan dihitung berdasarkan


49

pengeluaran perbulan pangan dan non pangan dalam keluarga dan dikelompokkan

dalam dua kategori berdasarkan kebutuhan minimum Kabupaten Kupang tahun

2011. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan dapat dilihat pada Tabel

4.7.

Tabel 4.7 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendapatan di Kecamatan


Kupang Tengah Kabupaten Kupang
Indeks TB/U
No Tingkat Pendapatan
Stunting (%) Tidak Stunting (%)
1 Rendah 37,8 30,6
2 Tinggi 62,2 69,4
Jumlah 100 100
Sumber: Data Primer 2015

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan orang tua yang memiliki

balita stunting dan tidak stunting tergolong tinggi. Presentase tingkat pendapatan

orang tua yang memiliki balita stunting lebih rendah dibandingkan orang tua yang

memiliki balita tidak stunting sehingga dengan tingkat pendapatan yang tergolong

lebih tinggi ini memungkinkan orang tua untuk menyediakan kebutuhan balita

dengan baik terutama kebutuhan balita terhadap ketersediaan pangan sehingga

status gizi balita baik.

4. Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu

Pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi konsumsi serta jenis pangan yang

diberikan kepada balita. Pengetahuan gizi ibu dapat diukur dengan teori dari

Khomsan, tahun 2000 yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu a) baik, jika jawaban

benar > 80% dari item pertanyaan. b) cukup, jika pertanyaan dijawab benar 60%-

80% dari item pertanyaan. c) kurang, jika pertanyaan dijawab < 60% dari item

pertanyaan. Distribusi responden berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ibu anak

balita dapat dilihat pada Tabel 4.8.


50

Tabel 4.8 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu di


Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang
Tingkat Pengetahuan Gizi Indeks TB/U
No
Ibu Stunting (%) Tidak Stunting (%)
1 Kurang 21,4 3,1
2 Cukup 31,6 26,5
3 Baik 47 70,4
Jumlah 100 100
Sumber: Data Primer 2015

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu yang memiliki

balita stunting dan tidak stunting tergolong baik, tetapi presentase menunjukkan

bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu yang memiliki anak stunting lebih rendah

dibandingkan ibu yang memiliki balita tidak stunting. Rendahnya pengetahuan

gizi ibu sangat mempengaruhi tingkat kemampuan keluarga dalam mengelola

sumber daya yang ada untuk mendapatkan kecukupan serta sejauh mana sarana

pelayanan kesehatan yang tersedia untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Tingkat pengetahuan gizi ibu yang rendah juga menyebabkan terjadinya gangguan

gizi karena kurangnya untuk menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan

sehari-hari.

5. Besar Keluarga

Besar keluarga atau jumlah anggota keluarga akan mengakibatkan beratnya

beban tanggung keluarga baik secara sosial (pola pengasuhan anak), maupun

ekonomi yang selanjutnya berpengaruh terhadap status gizi anak. Besar keluarga

atau jumlah anggota keluarga dapat diukur dengan standar BKKBN tahun 2011.

Distribusi responden berdasarkan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 4.9.
51

Tabel 4.9 Distribusi Responden Menurut Besar Keluarga di Kecamatan Kupang


Tengah Kabupaten Kupang
Indeks TB/U
No Besar Keluarga
Stunting (%) Tidak Stunting (%)
1 Kecil 31,6 45,9
2 Besar 68,4 54,1
Jumlah 100 100
Sumber: Data Primer 2015

Tabel 4.9 menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki balita stunting

maupun tidak stunting tergolong dalam jumlah keluarga besar, tetapi presentase

menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki balita stunting memiliki jumlah

anggota keluarga yang lebih besar dibandingkan keluarga yang memiliki balita

tidak stunting. Jumlah anggota keluarga yang lebih besar ini dapat menyebabkan

berkurangnya jumlah pangan yang dikonsumsi terutama bagi balita sehingga

dapat menyebabkan status gizi anak balita menjadi buruk.

6. Konsumsi Pangan

Pengumpulan data konsumsi pangan dilakukan dengan menggunakan

metode Food Frequency Questionnaire (FFQ), sehingga bisa diperoleh data

konsumsi secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang frekuensi konsumsi

pangan yang kemudian digabungkan untuk mengetahui keragaman konsumsi

pangan balita.

a) Frekuensi Konsumsi Pangan

Penilaian frekuensi konsumsi pangan balita digunakan untuk mengetahui

frekuensi penggunaan pangan berdasarkan kelompok pangan padi-padian, umbi-

umbian, daging, telur dan hasil olahannya, ikan dan hasil olahannya, susu dan

hasil olahannya, kacang-kacangan dan hasil olahnannya, sayuran, buah-buahan,

serta minyak dan hasil olahannya selama kurun waktu tertentu. Kategori frekuensi
52

konsumsi pangan terdiri dari selalu yaitu 4-6 kali seminggu, sering yaitu 1-3 kali

seminggu dan jarang yaitu ≤ 1 kali seminggu. Sebaran anak balita menurut

frekuensi konsumsi pangan dapat dilihat pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Sebaran Anak Balita Menurut Frekuensi Konsumsi Pangan (%)
Frekuensi
Kelompok Jenis
Stunting (%) Tidak Stunting (%)
Pangan
A B C A B C
Padi-padian
Nasi 100 0 0 100 0 0
Jagung 4,1 51 44,9 1 58,2 40,8
Mie 21,4 60,2 18,4 24,5 64,3 11,2
Roti 1 44,9 54,1 0 66,3 33,7
Umbi-umbian
Keladi 0 30,6 69,4 0 40,8 59,2
Singkong 0 37,8 62,2 0 29,6 70,4
Ubi Jalar 1 50 49 0 34,7 65,3
Daging, telur dan hasil olahannya
Daging Ayam 3,1 46,9 50 6,1 48 45,9
Daging Sapi 0 21,4 78,6 2,1 25,5 72,4
Daging Babi 0 10,2 89,8 1 27,6 71,4
Telur Ayam 48 37,8 14,2 63,3 30,6 6,1
Ikan dan hasil olahannya
Ikan segar 27,6 56,1 16,3 33,7 62,2 4,1
Ikan asin 3,1 40,8 56,1 5,1 25,5 69,4
Ikan teri goreng 23,5 15,3 61,2 20,4 17,3 62,3
Susu dan hasil olahannya
Susu bubuk 9,2 52 38,8 10,2 71,4 18,4
Susu cair 7,1 39,8 53,1 9,2 50 40,8
Kacang-kacangan dan hasil olahannya
Tempe 15,3 58,2 25,5 33,7 54,1 12,2
Tahu 11,2 61,2 27,6 30,6 55,1 14,3
Kacang merah 0 42,9 57,1 3,1 52 44,9
Kacang hijau 0 26,5 73,5 0 36,7 63,3
Sayuran
Sawi 40,8 38,8 20,4 42,9 33,6 23,5
Bayam 26,5 40,8 32,7 37,8 42,9 19,3
Kankung 22,4 52,0 25,6 21,4 58,2 20,4
Wortel 41,8 36,7 21,5 51 29,6 19,4
Daun singkong 39,8 27,6 32,6 35,7 45,9 18,4
Daun pepaya 19,4 37,8 42,8 23,5 26,5 50
Marungga 42,9 37,8 19,3 62,2 31,6 6,1
Buah-Buahan
53

Pisang 0 46,9 53,1 6,1 68,4 25,5


Pepaya 2,1 31,6 66,3 0 18,4 81,6
Jambu biji 10,2 29,6 60,2 8,2 28,6 63,2
Jeruk 1 43,9 55,1 2,1 32,6 65,3
Minyak dan hasil olahannya
Minyak Goreng 27,5 37,8 34,7 32,7 46,9 20,4
Minyak babi 0 29,6 70,4 0 26,5 73,5
Minyak kelapa 17,3 31,6 51,1 19,4 29,6 51
Keterangan:
n = 98
A = Selalu (tiap kali makan atau 4-6 kali per minggu)
B = Sering (1-3 kali per minggu)
C = Jarang (< 1 kali per minggu)

Tabel 4.10 menunjukkan bahwa nasi merupakan kelompok jenis pangan

padi-padian yang termasuk dalam kategori selalu dikonsumsi balita stunting

maupun tidak stunting. Selain nasi, kelompok pangan padi-padian yang

dikonsumsi adalah jagung, mie dan roti. Ditinjau dari frekuensi sebaran jenis

pangan balita, ditemukan kecenderungan perbedaan frekuensi konsumsi padi-

padian khususnya pada roti. Roti termasuk dalam kategori jarang pada kelompok

balita yang mengalami stunting yang dikarenakan balita kurang menyukai

mengkonsumsi roti, sedangkan balita yang tidak mengalami kejadian stunting

cenderung mengkonsumsi roti pada kategori sering yang dikonsumsi sebagai

cemilan pada pagi hari.

Kelompok jenis pangan umbi-umbian, yaitu keladi, singkong dan ubi jalar

cenderung sering dikonsumsi, tetapi untuk ubi jalar memiliki kecenderungan

perbedaan frekuensi konsumsi dimana pada balita yang mengalami kejadian

stunting tergolong sering sedangkan balita yang tidak mengalami kejadian

stunting tergolong jarang. Kelompok daging, telur dan hasil olahannya memiliki

frekuensi konsumsi yang cenderung sama pada balita yang mengalami kejadian
54

stunting maupun yang tidak mengalami kejadian stunting. Daging secara

keseluruhan pada umumnya cenderung dikonsumsi pada kategori jarang karena

harganya yang mahal sehingga jarang dibeli oleh orangtua untuk dikonsumsi

balita. Telur pada termasuk dalam kategori selalu karena telur mudah diperoleh

terutama pada kios-kios di sekitar rumah dan harganya yang terjangkau sehingga

selalu tersedia di rumah.

Ikan dan hasil olahannya memiliki perbedaan frekuensi konsumsi, dimana

ikan segar cenderung sering dikonsumsi sedangkan ikan asin dan ikan teri jarang

dikonsumsi oleh balita. Kelompok jenis kacang-kacangan dan hasil olahannya di

dalamnya, yaitu tempe, tahu, kacang merah dan kacang hijau. Frekuensi konsumsi

kacang-kacangan dan hasil olahannya cenderung sama pada balita yang

mengalami kejadian stunting maupun tidak stunting, yaitu tempe dan tahu pada

umumnya sering dikonsumsi dan kacang merah maupun kacang hijau termasuk

dalam kategori jarang karena balita kurang menyukai mengkonsumsi kacang-

kacangan sehingga ibu jarang menyediakan kacang-kacangan di rumah.

Susu dan hasil olahannya seperti susu bubuk dan susu cair merupakan salah

satu sumber protein yang dibutuhkan oleh balita dalam proses pertumbuhannya.

Frekuensi konsumsi susu, baik susu bubuk maupun susu cair pada balita yang

mengalami stunting dan tidak stunting cenderung sama yang termasuk pada

kategori sering karena ibu mengetahui pentingnya mengkonsumsi susu bagi balita

sehingga susu juga menjadi kebutuhan pangan yang selalu dipenuhi oleh ibu.

Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber vitamin dan mineral. Sebagian

besar balita pada umumnya termasuk dalam kategori sering mengkonsumsi


55

sayuran. Sayuran yang paling banyak dikonsumsi adalah marungga yang diikuti

wortel dan sawi. Kelompok jenis pangan buah-buahan yang umumnya dikonsumsi

adalah pisang, pepaya, jambu biji dan jeruk. Buah pepaya, jambu biji dan jeruk

memiliki persamaan frekuensi konsumsi pada balita yang mengalami stunting

maupun tidak stunting, yaitu termasuk pada kategori jarang. Sedangkan pisang

memiliki perbedaan frekuensi konsumsi dimana pada balita yang mengalami

stunting cenderung jarang tetapi pada balita yang tidak mengalami kejadian

stunting termasuk dalam kategori sering.

Kelompok bahan pangan minyak dan olahannya berupa minyak kelapa,

minyak babi dan minyak goreng merupakan sumber lemak. Frekuensi konsumsi

minyak kelapa dan minyak babi sama pada balita yang mengalami stunting

maupun tidak stunting, yaitu termasuk pada kategori jarang, sedangkan minyak

goreng termasuk pada kategori sering.

b) Komposit Frekuensi Konsumsi Pangan

Frekuensi setiap kelompok jenis pangan digabungkan untuk melihat

seberapa besar perbedaan frekuensi pangan antara balita yang mengalami stunting

dan tidak stunting. Sebaran anak balita menurut komposit frekuensi konsumsi

pangan dapat dilihat pada tabel 4.11.


56

Tabel 4.11 Sebaran Anak Balita Menurut Komposit Frekuensi Konsumsi Pangan
di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang
Indeks TB/U
No Kelompok Jenis Pangan Stunting (%) Tidak Stunting (%)
A B C A B C
1 Padi-padian 31,6 39 29,4 31,4 47,2 21,4
2 Umbi-umbian 0,3 39,5 60,2 0 35 65
3 Daging, telur dan hasil
12,8 29,1 58,1 18,1 32,9 49
olahannya
4 Ikan dan hasil olahannya 18,1 37,4 44,5 19,7 35 45,3
5 Susu dan hasil olahannya 8,1 45,9 46 9,7 60,7 29,6
6 Kacang-kacangan dan
6,6 47,5 45,9 16,9 49,5 33,6
hasil olahannya
7 Sayuran 33,4 38,8 27,8 39,2 38,3 22,4
8 Buah-buahan 3,3 38 58,7 4,1 37 58,9
9 Minyak dan hasil
14,9 33 52,1 17,4 34,3 48,3
olahannya
Sumber: Data Primer 2015

Tabel 4.11 menunjukkan bahwa untuk kelompok jenis pangan padi-padian

pada umumnya sering dikonsumsi tetapi presentase menunjukkan bahwa balita

yang tidak mengalami stunting lebih sering mengkonsumsi padi-padian yang

menjadi sumber pangan karbohidrat tersebut. Kelompok jenis pangan umbi-

umbian juga dapat diganti sebagai makanan pokok yang menjadi sumber

karbohidrat dan pada umumnya jarang dikonsumsi dengan presentase balita

stunting lebih jarang mengkonsumsi umbi-umbian dibandingkan balita yang tidak

mengalami stunting.

Daging, telur dan hasil olahannya merupakan pangan sumber protein dan hasil

menunjukkan bahwa pada umunya balita jarang mengkonsumsi kelompok jenis

pangan tersebut karena khususnya pada daging yang tergolong cukup mahal.

Selain itu, ikan dan hasil olahannya juga merupakan salah satu sumber protein

hewani dan hasil menunjukkan pada umumnya ikan dan hasil olahannya jarang
57

dikonsumsi tetapi presentase menunjukkan balita stunting lebih jarang

mengkonsumsi ikan dan hasil olahannya dibandingkan balita tidak stunting.

Susu dan hasil olahannya termasuk salah satu sumber protein. Pada balita yang

mengalami stunting umumnya jarang mengkonsumsi susu sedangkan balita tidak

stunting sering mengkonsumsi susu yang berarti bahwa balita tidak stunting

mendapatkan protein yang cukup dari susu. Selain sumber protein hewani terdapat

juga sumber protein nabati yang berasal dari kelompok pangan jenis kacang-

kacangan dan olahannya sering dikonsumsi dan pada balita tidak stunting lebih

sering mengkonsumsi dibandingkan balita stunting.

Sayuran dan buah-buahan adalah sumber vitamin dan mineral. Sayuran pada

balita stunting sering dikonsumsi sedangkan pada balita tidak stunting selalu

mengkonsumsi sayur sehingga sumber vitamin dan mineral yang berasal dari

sayuran lebih banyak dikonsumsi balita tidak stunting. Buah-buahan pada

umumnya jarang dikonsumsi tetapi presentase menunjukkan balita stunting lebih

jarang mengkonsumsi buah dibandingkan balita tidak stunting.

Sumber lemak berasal dari kelompok jenis pangan minyak dan hasil olahannya

yang pada umumnya jarang dikonsumsi dan presentase menunjukkan balita

stunting lebih banyak mengkonsumsi lemak dibandingkan balita tidak stunting

yang berarti bahwa balita stunting lebih berpeluang menyebabkan obesitas seperti

penelitian yang dilakukan pada anak-anak di Brazil yang menunjukkan bahwa

stunting berhubungan dengan oksidasi lemak dan penyimpanan lemak tubuh.


58

c) Keragaman Konsumsi Pangan

FAO (2007) dalam Meitasari (2008) menjelaskan bahwa keragaman konsumsi

pangan adalah jumlah pangan atau kelompok pangan yang berbeda yang

dikonsumsi selama periode tertentu yang ditetapkan dan dapat bertindak sebagai

indikator alternatif dari keamanan makanan pada berbagai keadaan. Keragaman

pangan dalam penelitian ini dibuat dengan melihat pangan atau kelompok pangan

yang berbeda selama periode referensi tertentu yang dikonsumsi selama 24 jam.

Distribusi keragaman konsumsi pangan dapat dilihat pada Tabel 4.12.

Tabel 4.12 Distribusi Responden Menurut Keragaman Konsumsi Pangan di


Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang
Indeks TB/U
No Keragaman Konsumsi Pangan
Stunting (%) Tidak Stunting (%)
1 Rendah (≤ 3 kelompok pangan) 64,3 52,0
2 Sedang (4-5 kelompok pangan) 35,7 48,0
3 Tinggi (≥ 6 kelompok pangan) 0 0
Jumlah 100 100
Sumber: Data Primer 2015

Tabel 4.12 menunjukkan bahwa balita yang mengalami stunting maupun tidak

stunting memiliki keragaman konsumsi pangan yang tergolong rendah, tetapi

presentase menunjukkan keragaman konsumsi pangan balita yang mengalami

stunting lebih rendah dibandingkan balita yang tidak mengalami stunting.

Rendahnya keragaman pangan yang dikonsumsi ini mengakibatkan berkurangnya

zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh balita dalam masa pertumbuhannya sehingga

dapat menyebabkan status gizi balita menjadi buruk. Hal ini dibuktikan

berdasarkan hasil penelitian ini bahwa dengan anak balita yang memiliki status

gizi buruk, yaitu mengalami kejadian stunting tingkat keragaman konsumsi


59

pangannya lebih rendah dibandingkan balita yang tidak mengalami kejadian

stunting.

7. Tingkat Sanitasi Lingkungan

Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling penting, seperti

ketersediaan jamban, penyediaan air minum, perumahan, pembuangan sampah

dan pembuangan air limbah yang dapat mempengaruhi status gizi anak balita.

Distribusi responden menurut tingkat sanitasi lingkungan dapat dilihat pada Tabel

4.13.

Tabel 4.13 Distribusi Responden Menurut Tingkat Sanitasi Lingkungan di


Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang
Tingkat Sanitasi Indeks TB/U
No
Lingkungan Stunting (%) Tidak Stunting (%)
1 Kurang 31,6 12,2
2 Baik 68,4 87,8
Jumlah 100 100
Sumber: Data Primer 2015

Tabel 4.13 menunjukkan bahwa keluarga dengan anak balita yang

mengalami kejadian stunting dan tidak stunting memiliki tingkat sanitasi

lingkungan tergolong baik, tetapi keluarga dengan anak balita yang mengalami

stunting memiliki tingkat sanitasi lingkungan lebih rendah dibandingkan keluarga

dengan anak balita yang tidak mengalami kejadian stunting.

8. Pola Asuh

Pola asuh ibu adalah perilaku yang dipraktikkan oleh ibu dalam

memberikan makanan, pemeliharaan kesehatan, memberikan stimuli serta

dukungan emosional yang dibutuhkan anak untuk tumbuh kembang anak. Pola

asuh dalam penelitian ini meliputi praktek pemberian makan, praktek kebersihan

dan sanitasi lingkungan serta perawatan anak.


60

a) Praktek Pemberian Makan

Perilaku pengasuhan tentang praktek pemberian makan adalah tindakan ibu

tentang pemberian jumlah, jenis, frekuensi, serta jadwal makan anak sehat dan

anak sakit yangbertujuan untuk mendapat zat gizi yang diperlukan tubuh untuk

pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh yang akan mempengaruhi status gizi anak

balita.Distribusi responden menurut praktek pemberian makan dapat dilihat pada

Tabel 4.14.

Tabel 4.14 Distribusi Responden Menurut Praktek Pemberian Makan di


Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang
Indeks TB/U
No Praktek Pemberian Makan
Stunting (%) Tidak Stunting (%)
1 Kurang 15,3 4,1
2 Baik 84,7 95,9
Jumlah 100 100
Sumber: Data Primer 2015

Tabel 4.14 menunjukkan bahwa praktek pemberian makan ibu dengan balita

yang mengalami stunting dan balita yang tidak mengalami kejadian stunting

tergolong baik, tetapi presentase menunjukkan bahwa praktek pemberian makan

ibu dengan anak yang mengalami kejadian stunting lebih rendah dibandingkan

praktek pemberian makan ibu dengan anak yang tidak mengalami kejadian

stunting. Tujuan pemberian makanan pada anak bukan sekedar membuat kenyang,

tetapi untuk memenuhi kebutuhan zat gizi secara kuat untuk keperluan hidup

mendidik anak untuk membina selera dan kebiasaan yang sehat. Praktek

pemberian makan yang dilakukan ibu yang tergolong rendah dapat menyebabkan

kesalahan dalam pemberian makan baik itu jenis, jumlah dan komposisi yang

mengakibatkan terjadinya malnutrisi.


61

b) Praktek Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan

Praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan merupakan perilaku kesadaran

ibu dalam menerapkan personal hygiene (kebiasaan mencuci kaki sebelum tidur,

menggosok gigi, mandi, menggunting kuku dan mencuci tangan dengan sabun)

sehingga anak tahu, mau dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan

sehat. Distribusi responden menurut praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan

dapat dilihat pada Tabel 4.15.

Tabel 4.15 Distribusi Responden Menurut Praktek Kebersihan dan Sanitasi


Lingkungan di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang
Praktek Kebersihan dan Indeks TB/U
No
Sanitasi Lingkungan Stunting (%) Tidak Stunting (%)
1 Kurang 29,6 14,3
2 Baik 70,4 85,7
Jumlah 100 100
Sumber: Data Primer 2015

Tabel 4.15 menunjukkan bahwa praktek kebersihan dan sanitasi yang

dilakukan ibu dengan anak yang mengalami kejadian stunting dan yang dilakukan

ibu dengan anak yang tidak mengalami kejadian stunting tergolong baik, tetapi

presentase menunjukkan bahwa praktek kebersihan dan sanitasi yang dilakukan

ibu dengan anak yang mengalami kejadian stunting lebih rendah dibandingkan

yang dilakukan ibu dengan anak yang tidak mengalami kejadian stunting. Praktek

kebersihan dan sanitasi lingkungan yang baik menunjukkan bahwa dengan

mengupayakan sendiri personal hygiene yang baik maka akan terhindar dari sakit

dan memantau tumbuh kembang anak sehingga bisa meningkatkan status gizi dan

mempertahankan gizi baik yang dibuktikan dari hasil penelitian bahwa praktek

kebersihan dan sanitasi lingkungan yang baik dan lebih tinggi menyebabkan status

gizi anak lebih baik yaitu tidak mengalami kejadian stunting.


62

c) Perawatan Anak

Praktek perawatan anak meliputi upaya ibu dalam hal mencari pengobatan

penyakit pada anak apabila si anak menderita sakit dan tindakan pencegahan

terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu penyakit, serta

membawanya ke tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik,

puskesmas, polindes. Distribusi responden menurut perawatan anak dapat dilihat

pada Tabel 4.16.

Tabel 4.16 Distribusi Responden Menurut Perawatan Anak di Kecamatan Kupang


Tengah Kabupaten Kupang
Indeks TB/U
No Perawatan Anak
Stunting (%) Tidak Stunting (%)
1 Kurang 26,5 4,1
2 Baik 73,5 95,9
Jumlah 100 100
Sumber: Data Primer 2015

Tabel 4.16 menunjukkan bahwa perawatan anak yang dilakukan ibu dengan

balita yang mengalami kejadian stunting dan yang dilakukan ibu dengan balita

yang tidak mengalami kejadian stunting tergolong baik, tetapi presentase

menunjukkan bahwa perawatan anak yang dilakukan ibu dengan balita yang

mengalami kejadian stunting lebih rendah dibandingkan yang dilakukan ibu

dengan balita yang tidak mengalami kejadian stunting. Hasil penelitian terhadap

perawatan anak yang tergolong baik ini disebabkan karena sebagian besar ibu

selalu memperhatikan kesehatan balita ketika sakit. Hal ini dapat dilihat dari

perilaku ibu yang langsung membawa anaknya ke pelayanan kesehatan bila anak

sakit dan ibu selalu menganjurkan anak untuk mandi dan membersihkan gigi dan

kuku. Selain itu, hal ini diasumsikan karena sebagian besar ibu tidak bekerja

(IRT) sehingga ibu mempunyai waktu yang lebih banyak untuk merawat anak
63

pada saat sakit dan dan memperhatikan kebersihan anak dan lingkungan

sekitarnya.

9. Kejadian Sakit

Kejadian sakit akan mempengaruhi status gizi anak balita secara langsung.

Penyakit infeksi yang menyerang anak balita menyebabkan gizi anak balita

menjadi buruk. Kejadian sakit responden diambil dalam kurun waktu 12 bulan

dan 3 bulan terakhir. Distribusi responden berdasarkan kejadian sakit dan jenis

penyakit dapat dilihat pada Tabel 4.17.

Tabel 4.17 Distribusi Responden Menurut Kejadian Sakit dan Jenis Penyakit di
Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang
Indeks TB/U
Kejadian Sakit dan Jenis Penyakit
Stunting (%) Tidak Stunting (%)
Kejadian Sakit
Sakit 72,4 40,8
Tidak Sakit 27,6 59,2
Jumlah 100 100
Jenis Penyakit
DBD 9,9 10
Malaria 12,7 12,5
Campak 11,3 5
Diare 36,6 37,5
ISPA 25,3 30
Penyakit Kulit 4,2 5
Jumlah 100 100
Sumber: Data Primer 2015

Tabel 4.17 menunjukkan bahwa sebagian besar balita yang mengalami

kejadian stunting mengalami kejadian sakit dalam kurun waktu 3 dan 12 bulan

terakhir, sedangkan sebagian besar balita yang tidak mengalami kejadian stunting

tidak mengalami kejadian sakit dalam kurun waktu 3 dan 12 bulan terakhir. Jenis

penyakit yang paling sering diderita adalah diare dan ISPA.


64

Memburuknya keadaan gizi anak akibat mengalami kejadian sakit dapat

menyebabkan turunnya nafsu makan sehingga masukan zat gizi berkurang,

padahal anak memerlukan zat gizi yang lebih banyak.

4.1.3 Hubungan Variabel Independen dengan Variabel Dependen

1. Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga dengan Kejadian

Stunting

Karakteristik sosial ekonomi keluarga khususnya tingkat pendidikan ibu,

tingkat pendapatan orang tua, tingkat pengetahuan gizi ibu dan besar keluarga

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak. Hubungan

antara tingkat pendidikan ibu, jenis pekerjaan ibu, tingkat pendapatan orang tua,

tingkat pengetahuan gizi ibu dan besar keluarga dengan kejadian stunting dapat

dilihat pada Tabel 4.18.


65

Tabel 4.18 Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Tingkat Pendapatan Orang Tua,
Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dan Besar Keluarga dengan Kejadian
Stunting Pada Anak Balita di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten
Kupang
Karakteristik Sosial Kejadian Stunting
P value
Ekonomi Keluarga Stunting Tidak Stunting
Pendidikan Ibu
Rendah 12,2 8,2
0,584
Menengah 80,6 82,6
Tinggi 7,2 9,2
Pekerjaan Ibu
Tidak bekerja 78,6 71,4 0,248
Bekerja 21,4 28,6
Pendapatan Orang Tua
Rendah 37,8 30,6 0,292
Tinggi 62,2 69,4
Pengetahuan Gizi Ibu
Kurang 21,4 3,1
0,000
Cukup 31,6 26,5
Baik 47 70,4
Besar Keluarga
Kecil 31,6 45,9 0,040
Besar 68,4 54,1

Tabel 4.18 menunjukkan hasil analisis hubungan pendidikan ibu dengan

status gizi balita menggunakan uji chi-square diperoleh nilai p value 0,584 (p >

0,05). Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu

dengan kejadian stunting pada anak balita di Kecamatan Kupang Tengah

Kabupaten Kupang.

Hasil analisis hubungan pekerjaan ibu menggunakan uji chi-square diperoleh

nilai p value 0,248 (p > 0,05). Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara

jenis pekerjaan ibu dengan kejadian stunting pada anak balita di Kecamatan

Kupang Tengah Kabupaten Kupang.


66

Pendapatan dihitung berdasarkan pengeluaran pangan dan non pangan

keluarga selama satu bulan. Hasil analisis hubungan pendapatan orang tua dengan

status gizi balita menggunakan uji chi-square diperoleh nilai p value 0,292 (p >

0,05). Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan

orang tua dengan kejadian stunting pada anak balita di Kecamatan Kupang

Tengah Kabupaten Kupang.

Selain tingkat pendidikan ibu dan tingkat pendapatan orang tua, pengetahuan

gizi ibu dan besar keluarga juga merupakan faktor yang ikut mempengaruhi status

gizi balita dan berdasarkan hasil analisis hubungan menggunakan uji chi-square

diperoleh nilai p value 0,000 (p < 0,05) untuk tingkat pengetahuan gizi ibu yang

artinya ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan

kejadian stunting pada anak balita di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten

Kupang dan 0,040 (p < 0,05) untuk besar keluarga yang artinya ada pengaruh

yang signifikan antara besar keluarga dengan kejadian stunting pada anak balita di

Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang.

2. Hubungan Konsumsi Pangan dengan Kejadian Stunting

Konsumsi pangan balita mencerminkan akses rumah tangga terhadap variasi

pangan yang beragam dan juga mewakili kecukupan gizi pada konsumsi pangan

individu. Metode FFQ (Food Frequency Questionnaire) digunakan untuk

memperoleh data konsumsi secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang jenis

dan frekuensi yang kemudian digabungkan menjadi keragaman konsumsi pangan

yang akan dianalisis untuk mengetahui hubungannya dengan kejadian stunting


67

dan apakah menjadi faktor penentu kejadian stunting. Hubungan antara konsumsi

pangan dengan kejadian stunting dapat dilihat pada Tabel 4.19.

Tabel 4.19 Hubungan Konsumsi Pangan dengan Kejadian Stunting Pada Anak
Balita di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang
Konsumsi Pangan Kejadian Stunting
P value
(Keragaman) Stunting Tidak Stunting
Rendah 64,3 52,0
Sedang 35,7 48,0 0,082
Tinggi 0 0

Tabel 4.19 menunjukkan sebagian besar balita yang mengalami kejadian

stunting dan tidak stunting memiliki konsumsi pangan yang rendah. Hasil analisis

hubungan konsumsi pangan dengan kejadian stunting menggunakan uji chi-

square diperoleh nilai p value 0,082 (p > 0,05). Artinya tidak ada hubungan yang

signifikan konsumsi pangan dengan kejadian stunting pada anak balita di

Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang.

3. Hubungan Tingkat Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Stunting

Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling penting, seperti

ketersediaan jamban, penyediaan air minum, perumahan, pembuangan sampah

dan pembuangan air limbah yang dapat mempengaruhi status gizi anak balita.

Hubungan tingkat sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting dapat dilihat pada

Tabel 4.20.

Tabel 4.20 Hubungan Tingkat Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Stunting


Pada Anak Balita di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang
Tingkat Sanitasi Kejadian Stunting
P value
Lingkungan Stunting Tidak Stunting
Kurang 31,6 12,2
0,001
Baik 68,4 87,8
68

Tabel 4.20 menunjukkan hasil analisis hubungan tingkat sanitasi lingkungan

dengan kejadian stunting pada anak balita menggunakan uji chi-square diperoleh

nilai p value 0,001 (p < 0,05). Artinya ada hubungan yang signifikan antara

tingkat sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting pada anak balita di

Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang.

4. Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Kejadian Stunting

Pola asuh ibu merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dalam

menentukan baik atau buruknya status gizi balita. Pada usia balita, anak sangat

tergantung pada pola pengasuhan ibu. Pola asuh dalam penelitian ini meliputi

praktek pemberian makan, praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan serta

perawatan anak. Hubungan pola asuh ibu dengan kejadian stunting dapat dilihat

pada Tabel 4.21.

Tabel 4.21 Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Kejadian Stunting Pada Anak Balita
di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang
Kejadian Stunting
Pola Asuh Ibu P value
Stunting Tidak Stunting
Praktek Pemberian Makan
Kurang 15,3 4,1 0,008
Baik 84,7 95,9
Praktek Kebersihan dan
Sanitasi Lingkungan
0,010
Kurang 29,6 14,3
Baik 70,4 85,7
Perawatan Anak
Kurang 26,5 4,1 0,000
Baik 73,5 95,9

Tabel 4.21 menunjukkan bahwa hasil analisis hubungan pola asuh ibu dalam

melakukan praktek pemberian makan dengan kejadian stunting pada anak balita

menggunakan uji chi-square diperoleh nilai p value 0,008 (p < 0,05). Artinya ada
69

hubungan yang signifikan antara praktek pemberian makan dengan kejadian

stunting pada anak balita di Kecamatan Kupang Tengah.

Pola asuh ibu dalam penelitian ini juga meliputi praktek kebersihan dan

sanitasi lingkungan, serta perawatan anak. Praktek kebersihan dan sanitasi

lingkungan ini berupa personal higiene dan berdasarkan hasil analisis hubungan

menggunakan uji chi-square diperoleh nilai p value 0,010 (p < 0,05). Artinya ada

hubungan yang signifikan antara praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan

dengan kejadian stunting pada anak balita di Kecamatan Kupang Tengah

Kabupaten Kupang.

Perawatan anak meliputi upaya ibu dalam hal mencari pengobatan penyakit

pada anak apabila si anak menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap

penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu penyakit, serta membawanya

ke tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas, polindes.

Hasil analisis hubungan perawatan anak dengan kejadian stunting menggunakan

uji chi-square diperoleh nilai p value 0,000 (p < 0,05). Artinya ada hubungan

yang signifikan antara perawatan anak dengan kejadian stunting pada anak balita

di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang.

5. Hubungan Kejadian Sakit dengan Kejadian Stunting

Kejadian sakit merupakan salah satu faktor yang menentukan status gizi anak

balita. Hubungan kejadian sakit dengan kejadian stunting dapat dilihat pada Tabel

4.22.
70

Tabel 4.22 Hubungan Kejadian Sakit dengan Kejadian Stunting Pada Anak Balita
di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang
Kejadian Stunting
Kejadian Sakit P value
Stunting Tidak Stunting
Sakit 72,4 40,8
0,000
Tidak Sakit 27,6 59,2

Tabel 4.22 menunjukkan bahwa hasil analisis hubungan kejadian sakit

dengan kejadian stunting pada anak balita menggunakan uji chi-square diperoleh

nilai p value 0,000 (p < 0,05). Artinya ada hubungan yang signifikan antara

kejadian sakit dengan kejadian stunting pada anak balita di Kecamatan Kupang

Tengah Kabupaten Kupang. Kejadian sakit yang dialami balita dapat

menyebabkan menurunnya nafsu makan balita yang dapat berpengaruh pada

menurunnya status gizi balita.

4.1.4 Faktor Penentu Kejadian Stunting Pada Anak Balita

Hasil uji chi-square (p < 0,25) antara variabel independen (tingkat

pendidikan ibu, jenis pekerjaan ibu, tingkat pendapatan, tingkat pengetahuan gizi

ibu, besar keluarga, keragaman konsumsi pangan, tingkat sanitasi lingkungan,

praktek pemberian makan, praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan, perawatan

anak, serta kejadian sakit) dengan variabel dependen (kejadian stunting) diperoleh

variabel terpilih untuk dimasukkan dalam analisis regresi logistik yang memiliki

nilai proporsi signifikan (p < 0,25), serta variabel yang tidak signifikan (p > 0,25)

namun secara substansi penting berdasarkan pertimbangan logis. Hasil analisis

bivariat variabel independen dengan kejadian stunting pada anak balita di

Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang.


71

Tabel 4.23 Hasil analisis bivariat variabel independen dengan kejadian stunting
pada anak balita di Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang
No Variabel (p < 0,05) Nilai p value
1 Pekerjaan Ibu 0,248
2 Pendapatan Orang Tua 0,292
3 Tingkat pengetahuan gizi ibu 0,000
4 Besar keluarga 0,040
5 Konsumsi pangan 0,082
6 Tingkat sanitasi lingkungan 0,001
7 Praktek pemberian makan 0,008
8 Praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan 0,010
9 Perawatan anak 0,000
10 Kejadian sakit 0,000
Sumber: diolah dari output SPSS 20

Hasil analisis menunjukkan hasil yang dapat disimpulkan bahwa 10 variabel

independen yang memiliki p < 0,25 yang lolos seleksi uji chi-square (p < 0,25)

dan (p > 0,25) yang meskipun memiliki nilai proporsi yang tidak signifikan tetapi

dapat dimasukkan dalam variabel yang akan dianalisis lanjut dengan uji regresi

logistik untuk mengetahui faktor penentu kejadian stunting pada anak balita, yaitu

variabel pekerjaan ibu, pendapatan orang tua, tingkat pengetahuan gizi ibu, besar

keluarga, konsumsi pangan, tingkat sanitasi lingkungan, praktek pemberian

makan, praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan, perawatan anak serta kejadian

sakit.
72

Hasil analisis faktor penentu kejadian stunting pada anak balita di

Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang dapat dilihat pada Tabel 4.24

Tabel 4.24 Hasil Analisis Faktor Penentu Kejadian Stunting Pada Anak Balita
Variabel B Sig. Exp(B)
Besar Keluarga (X1) 0,710 0,032 2,035
Praktek Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan (X2) -0,748 0,063 0,473
Perawatan Anak (X3) -1,781 0,002 0,168
Kejadian Sakit (X4) 1,116 0,001 3,052
Constant 1,083 0,125 2,954
Sumber: Output SPSS 20

Persamaan logit yang diperoleh adalah:

Kejadian stunting = 1,083 + 0,710(X1) – 0,748(X2) – 1,781(X3) + 1,116(X4)

Dengan nilai:

1. Besar Keluarga

Besar keluarga memiliki arah atau berpengaruh positif sebesar 0,710 yang

berarti setiap adanya upaya penambahan satu satuan besar keluarga maka akan

terjadi peningkatan kejadian stunting sebesar 0,710 dengan signifikansi 0,032 (p <

0,05) yang berarti ada pengaruh signifikan besar keluarga terhadap kejadian

stunting pada anak balita. Hasil analisis diperoleh nilai OR = 2,035 yang

mencerminkan balita usia ≥ 12 bulan sampai 59 bulan dengan besar keluarga yang

memiliki arah atau berpengaruh negatif memiliki risiko mengalami kejadian

stunting 2,035 kali lebih tinggi dibandingkan besar keluarga yang memiliki arah

atau berpengaruh positif pada tingkat kepercayaan 95%.

2. Praktek Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan

Praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan memiliki arah atau berpengaruh

negatif sebesar 0,748 yang berarti setiap adanya upaya penambahan satu satuan

praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan maka akan menekan atau terjadi
73

penurunan kejadian stunting sebesar 0,748 dengan signifikansi 0,063 (p > 0,05)

yang berarti tidak ada pengaruh signifikan praktek kebersihan dan sanitasi

lingkungan terhadap kejadian stunting pada anak balita. Hasil analisis diperoleh

nilai OR = 0,473 yang mencerminkan balita usia ≥ 12 bulan sampai 59 bulan

dengan praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan yang memiliki arah atau

berpengaruh positif memiliki risiko mengalami kejadian stunting 0,473 kali lebih

rendah dibandingkan ibu yang melakukan praktek kebersihan dan sanitasi

lingkungan yang memiliki arah atau berpengaruh negatif pada tingkat

kepercayaan 95%.

3. Perawatan Anak

Perawatan anak memiliki arah atau berpengaruh negatif sebesar 1,781 yang

berarti setiap adanya upaya penambahan satu satuan perawatan anak maka akan

menekan atau terjadi penurunan kejadian stunting sebesar 1,781 dengan

signifikansi 0,002 (p < 0,05) yang berarti ada pengaruh signifikan perawatan anak

terhadap kejadian stunting pada anak balita. Hasil analisis diperoleh nilai OR =

0,168 yang mencerminkan balita usia ≥ 12 bulan sampai 59 bulan dengan

perawatan anak yang memiliki arah atau berpengaruh positif memiliki risiko

mengalami kejadian stunting 0,168 kali lebih rendah dibandingkan ibu yang

melakukan perawatan anak dengan arah atau berpengaruh negatif pada tingkat

kepercayaan 95%.

4. Kejadian Sakit

Kejadian sakit memiliki arah atau berpengaruh positif sebesar 1,116 yang

berarti setiap adanya upaya penambahan satu satuan kejadian sakit maka akan
74

terjadi peningkatan kejadian stunting sebesar 1,116 dengan signifikansi 0,001 (p <

0,05) yang berarti ada pengaruh signifikan kejadian sakit terhadap kejadian

stunting pada anak balita. Hasil analisis diperoleh nilai OR = 3,052 yang

mencerminkan balita usia ≥ 12 bulan sampai 59 bulan dengan kejadian sakit yang

memiliki arah atau berpengaruh negatif memiliki resiko mengalami kejadian

stunting 3,052 kali lebih tinggi dibandingkan anak balita yang mengalami

kejadian sakit dengan arah atau berpengaruh positif pada tingkat kepercayaan

95%

4.2 Pembahasan

Status gizi dipengaruhi secara langsung oleh asupan zat gizi dan kebutuhan

tubuh akan zat gizi. Asupan zat gizi tergantung pada konsumsi makanan yang

dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keadaan ekonomi, pola asuh ibu, pola

makan, kondisi emosiaonal, perilaku ibu dan masyarakat, kepedulian orang tua

terhadap anak, budaya, dan penyakit infeksi (Hammond, 2000). Efek jangka

panjang yang ditimbulkan oleh defisiensi gizi pada awal usia kanak-kanak

bergantung pada pengalaman sebelum, sekarang dan masa datang (Gibney, 2009).

Menurut Soekirman (2000), pokok masalah gizi kurang adalah rendahnya

ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, pola makan

yang tidak seimbang, sanitasi lingkungan serta pelayanan yang tidak memadai.

Hasil regresi logistik dapat dilihat beberapa faktor penentu kejadian stunting

pada anak balita di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang, yaitu besar

keluarga, perawatan anak dan kejadian sakit.


75

1. Besar Keluarga

Pemenuhan gizi balita juga berkaitan erat dengan jumlah anggota dalam

keluarga. Hasil penelitian diketahui bahwa jumlah anggota keluarga tergolong

besar dengan jumlah anggota keluarga 68,4% pada keluarga yang memiliki balita

stunting lebih tinggi dibandingkan pada keluarga yang tidak memiliki balita

stunting, yaitu 54,1% yang menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga besar

pada keluarga yang memiliki balita stunting lebih tinggi dibandingkan pada

keluarga yang tidak memiliki balita stunting. Hasil penelitian ini didukung dengan

hasil penelitian Kigutha (1994) dalam Tanziha (2010) menemukan bahwa

peningkatan jumlah anggota keluarga berhubungan negatif dengan konsumsi

pangan hewani dan makanan pokok, mengakibatkan berkurangnya konsumsi

energi dan protein sehingga status gizi menjadi menurun.

Dalam penelitian di Indonesia membuktikan, jika keluarga hanya

mempunyai tiga orang anak maka dapat mengurangi 60% angka kekurangan gizi

balita. Ibu yang mempunyai banyak anak juga menyebabkan terbaginya kasih

sayang dan perhatian yang tidak merata pada setiap anak (Almatsier, 2004).

Menurut Robert et al.(1994) dalam Sab’atmaja (2010) bahwa pertambahan

jumlah anggota keluarga akan memberikan dampak yang merugikan kepada status

gizi anggota rumah tangga, termasuk anak berumur dibawah dua tahun.

Bertambahnya jumlah anggota keluarga akan menyebabkan masa kelaparan dan

kesempitan ruang. Hal ini akan menyebabkan terbatasnya ruang gerak dan

mengahambat jalannya sirkulasi udara sehingga memberikan pengaruh yang

kurang baik terhadap kesehatan.


76

2. Perawatan Anak

Praktek perawatan kesehatan anak dalam keadaan sakit adalah salah satu

aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi anak. Praktek perawatan

kesehatan meliputi pengobatan penyakit pada anak apabila si anak menderita sakit

dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai terkena

suatu penyakit. Praktek perawatan kesehatan anak yang baik dapat ditempuh

dengan cara memperhatikan keadaan gizi anak, kelengkapan imunisasi,

kebersihan diri anak dan lingkungan dimana anak berada, serta upaya ibu dalam

hal mencari pengobatan apabila anak sakit dan membawanya ke tempat pelayanan

kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas, polindes (Husin, 2008).

Hasil penelitian diketahui bahwa pola asuh ibu dalam perawatan anak

tergolong baik. Hal ini disebabkan karena sebagian besar ibu selalu

memperhatikan kesehatan balita ketika sakit. Hal ini dapat dilihat dari perilaku ibu

yang langsung membawa anaknya ke pelayanan kesehatan bila anak sakit dan ibu

selalu menganjurkan anak untuk mandi dan membersihkan gigi dan kuku. Selain

itu, hal ini diasumsikan karena sebagian besar ibu tidak bekerja (IRT) sehingga

ibu mempunyai waktu yang lebih banyak untuk merawat anak pada saat sakit dan

dan memperhatikan kebersihan anak dan lingkungan sekitarnya. Hasil penelitian

ini didukung dari hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Sihombing (2005)

di Kelurahan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal pada anak batita menunjukkan

juga bahwa 72,04% yang praktek kesehatannya berada pada kategori baik

sedangkan praktek kesehatan pada kategori tidak baik 27,96%.


77

Soetjiningsih (1995) mengemukakan bahwa kesehatan anak harus mendapat

perhatian dari para orang tua yaitu dengan segera membawa anaknya yang sakit

ke tempat pelayanan kesehatan yang terdekat. Masa balita sangat rentan terhadap

penyakit seperti : flu, diare atau penyakit infeksi lainnya. Salah satu faktor yang

mempermudah anak balita terserang penyakit adalah keadaan lingkungan.

3. Kejadian Sakit

Kejadian sakit dapat berpengaruh negatif pada keadaan gizi anak.

Memburuknya keadaan gizi anak akibat mengalami kejadian sakit dapat

menyebabkan turunnya nafsu makan sehingga masukan zat gizi berkurang,

padahal anak memerlukan zat gizi yang lebih banyak (Moehji, 2003). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian sakit balita pada kelompok kasus

lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol. Pada penelitian ini penyakit

yang paling sering diderita adalah diare dan ISPA yang berdasarkan penelitian

Sitepu (2005) menemukan bahwa penyakit infeksi (ISPA dan diare) berhubungan

dengan status gizi.

Secara teoritis menurut UNICEF (1998) dalam Gibney et al.(2009) status

gizi berhubungan dengan sakit. Hal serupa ditulis oleh Scrimshaw et al.(1959)

dalam Supariasa (2002) bahwa ada hubungan yang sangat erat antara sakit karena

infeksi dengan malnutrisi. Hasil penelitian Thamrin (2002) di Kabupaten Maros

menyimpulkan bahwa penyakit infeksi merupakan faktor resiko yang paling

berpengaruh terhadap kejadian KEP pada balita.

Pudjiaji (2000) dalam Bora (2009) menyatakan infeksi berat dapat

memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan makanannya dan


78

meningginya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh melalui muntah-muntah dan

diare. Selain itu penyakit infeksi saluran pernapasan dapat juga menurunkan nafsu

makan. Sebaliknya malnutrisi berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh

terhadap infeksi.

Anda mungkin juga menyukai