Anda di halaman 1dari 12

KAJIAN EVALUASI MANAJEMEN

BADAN USAHA MILIK DAERAH


(BUMD)

A. Pendahuluan :

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan usaha yang dimiliki Pemerintah
Daerah yang tujuannya adalah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah (PAD). Tapi
pada kenyataannya bahwa BUMD yang ada selama ini belum mampu memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD), justru lebih banyak suntikan dana
dari pemerintah daerah daripada keuntungan yang di dapat. Kondisi tersebut menjadi beban
bagi APBD. Sehingga apa yang menjadi tujuan berdirinya BUMD adalah sebagai salah satu
sumber pendapatan pemerintah daerah tidak tercapai.

Berdasarkan data dari Kemedagri aset BUMD 340,118 T sampai dengan Tahun 2011
dan 310,716 T (90.06 %) berasal dari BPD, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sekitar
Rp.11,454 triliun (3,3 persen), perusahaan daerah air minum (PDAM) Rp 9,326 triliun (2,7
persen), serta aneka usaha sebesar Rp 11,622 triliun (3,4 persen). BUMD tercatat sebanyak
1.007 perusahaan yang bergerak di bidang usaha bank umum (BPD), bank perkreditan rakyat
(BPR), air minum (PDAM), serta aneka usaha. Kontribusi laba BUMD tercatat sebesar Rp
10,372 triliun atau rata-rata rasio terhadap aset (ROA) sebesar 3,0 persen. Dengan kondisi di
atas maka rasio laba yang dihasilkan dari BUMD dengan asset yang besar tidaklah seimbang.
Kontribusi 3,0 % dari total seluruh asat yang ada jauh dari harapkan terkait keberadaan
BUMD. (http://www.depdagri.go.id/ news/2012/03/08/bumd-miliki-aset-Rp.343118- triliun
diakses oktober 2012).
Keberadaan Badan Usaha Milik Daerah selama ini tidak seperti Badan Usaha Milik
Negara yang sebagian besar kegiatan usahanya sudah menerapkan prinsip-prinsip tata kelola
perusahaan yang baik atau sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate governance yang
dituangkan dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-103/MBU/2002 tentang
pembentukan komite audit bagi BUMN. Kondisi BUMN selangkah lebih maju dibandingkan
dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh BUMD, dan bahkan perusahaan negara yang
berbentuk perseroan sudah melangkah menjadi perusahaan publik dengan menerbitkan
sahamnya di lantai bursa.

Page 1 of 12
Salah satu permasalahan dalam pengelolaan dan pengembangan BUMD adalah, aspek
hukum pengaturan terkait BUMD tidak secara khusus memberikan arahan dan pedoman
dalam pengelolaan sebuah badan usaha yang dimiliki oleh daerah, seperti layaknya BUMN
yang sudah mempunyai payung hukum UU Nomor 19 Tahun2003. Pengaturan terk ait
dengan BUMD terutama dalam hal pendirian yang masih menggunakan dasar Perda dan UU
Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dirasa belum secara optimal menjawab
tuntutan pengelolaan dan pengembangan BUMD. Selain permasalahan payung hukum
tersebut, pengelompokan BUMD yang masih belum jelas menyebabkan distorsi terkait
pengelolaan BUMD.

Berdasarkan permasalahan diatas paper ini akan menjelaskan lebih rinci terkait kajian
evaluasi pemerintah terhadap Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang di dalamnya
memuat permasalahan yang terjadi di tubuh BUMD dan strategi penanganannya.

B. Pembahasan :

1. BUMD Pasca Berlakunya Undang-undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan


Daerah.

Pengertian BUMD berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-undang No 23 Tahun 2014


Tentang Pemerintahan Daerah dikatakan bahwa BUMD adalah : “Badan Usaha Milik Daerah
yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh Daerah”. Berkaitan dengan karakteristik BUMD, sesuai dengan
ketentuan Pasal 331 ayat (4) tentang tujuan didirikanya BUMD adalah:

a. Memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian Daerah pada


umumnya.

Pada dasarnya tujuan didirikanya BUMD adalah memberikan manfaat atau keuntungan
bagi daerah yang bersangkutan. Manfaat utama dengan didirikanya BUMD menurut
peneliti adalah manfaat secara ekonomi. Manfaat ekonomi bagi daerah dapat dimaknai
secara luas, yaitu memberikan keuntungan secara finansial bagi peningkatan peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD) dan peningkatan perekonomian secara luas bagi
masyarakat dimana BUMD tersebut berada.

Page 2 of 12
b. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau
jasa yang bermutu .

Bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi,karakteristik dan potensi Daerah
yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik; dan Ketentuan Pasal
334 diatas menjelaskan bahwa tujuan utama BUMD adalah untuk menyelenggarakan
kemanfaatan umum penyediaan barang dan/atau jasa yang baik dan bermutu bagi
pemenuhan hajat hidup masyarakat luas sesuai kondisi,karakteristik dan potensi daerah
yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik. Kondisi ini
mencerminkan fungsi BUMD sebagai fungsi publik.

c. Memperoleh laba dan/atau keuntungan.

Tujuan didirikanya BUMD sesuai dengan Ketentuan Pasal 331 ayat (4) UU NO 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintah Daerah sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Rustian
Kamaludin yang menyatakan bahwa salah satu tujuan didirikannya BUMD oleh
pemerintah daerah adalah sebagai pusat laba, artinya BUMD merupakan unit organisasi
dalam tubuh pemerintah daerah yang didirikan untuk menghasilkan pendapatan bagi
pemerintah daerah yang mendirikan, dan prestasi BUMD tersebut diukur berdasarkan
perbandingan antara laba

2. Problematika Pengelolaan BUMD

Permasalahan dalam rangka pengelolaan BUMD khususnya non persero sebagian


besa terletak pada persoalan SDM dan manajerial dari pengelolaan BUMD. Menurut
Kunarjo, dalam Rustian komaludin, relatif masih kecilnya penerimaan Bagian laba
perusahaan daerah sebagai salah satu sumber PAD daerah, adalah bahwa kebanyakan
usahanya relatif berskala menengah dan kecil, di samping banyak pula diantaranya yang
belum diselenggarakan berdasarkan asas ekonomi perusahaan, namun relatif lebih banyak
didasarkan atas pertimbangan pelayanan publik.

Berikut ini beberapa permasalahan pokok yang berkaitan dengan pengelolaan BUMD
antara lain seabagai berikut ini :

Page 3 of 12
a. Permasalahan Manajemen Pengelolaan.

Dalam pengelolaan BUMD permasalahan utama yang dihadapi oleh pengelola BUMD
adalah belum semua BUMD menerapkan sistem dan pengelolaan BUMD berdasarkan
prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik ataupun berdasarkan prinsip Good
Corporate Governance. Kendala ini dikarenakan struktur dan karakteristik BUMD di
tiap-tiap daerah berbeda. Perbedaan sistem pengelolaan BUMD dikarenakan perbedaan
karakteristik dari BUMD. Pada prinsipnya BUMD diagi menjadi dua yaitu yang
berbentuk perusahaan umum darah (perumda) dan perusahaan perseroan daerah
(perseroda). Visi dan misi masing-masing BUMD tersebut berbeda-beda disesuaikan
dengan karakteristiknya.

b. Permasalahan SDM

Dalam pengelolaan BUMD permasalahan yang sering muncul adalah mengenai sumber
daya manusia yang mengelola BUMD sendiri. Problem utama dalam pengelolaan BUMD
ada pada ketidak mampuan SDM yang mengelola dan kompeten di bidangnya. Hal ini
dikarenakan dalam proses pembentukan dan penentuan pihak yang mengelola BUMD.
Penentuan jajaran dan personil yang akan menduduki BUMD baik yang berbentuk
perumda maupun persero banyak bersingugan dengan kepentianpara pihak baik di
tingkatan eksekutif maupun legislatif. Kedua unsur kepentingan tersebut rawan akan
terjadinya penyimpangan, mengingat konsep dari BUMD yang merupakan badan usaha
milik pemerintah daerah tidak bisa lepas dari kepentingan antara pemerintah daerah
(eksekutif) dengan kepentingan pihak legislatif, maka diperlukan Good Will dari masing-
masing pihak.

c. Permasalahan Pembinaan dan Pengawasan BUMD

Dalam hal pembinaan dan pengawasan kinerja BUMD dilakukan berdasarkan jenis
BUMD itu sendiri. BUMD yang berbentuk perseoan pengawasan dilakukan sesuai
dengan mekanisme yang ada dalam UU No 40 Tahun 2007 yang dilakukan oleh dewan
komisaris dan untuk perumda dilakukan oleh dewan pengawas. Dalam rangka pembinaan
dilakukan sesuai dengan struktur dan organisasi tata pemerintahan di masing-masing
pemerintah daerah.

Page 4 of 12
d. Permasalahan Restrukturisasi BUMD

Dalam rangka meningkatkan kinerja dan optimalisasi peran BUMD diperlukan


restrukturisasi dalam pengelolaan BUMD. Restrukturisasi BUMD dapat dilakukan
dengan melakukan inventarisasi terkait dengan pengelompokan bentuk, jenis, dan
karakteristik BUMD. Banyaknya jumlah dan karekteristik BUMD di setiap daerah
menyebabkan pengelolaan BUMD tidak fokus. Dalam rangka menuju Good Corporate
Governance maka diperlukan beberapa penyesuaian-penyesuaian antara lain konstruksi
bentuk dan status hukum dari BUMD itu sendiri, SDM, dan Manajemen.

e. Permasalahan Payung Hukum Pengaturan BUMD.

Berkaitan dengan payung hukum pengeloaan BUMD, terjadi tumpang tindih pengaturan
sektoral tentang BUMD antara satu peraturan dengaan peraturan yang lainya. Tumpang
tindih antar peraturan yang mengatur BUMD dapat dilihat pada :
1) Undang-undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara terkait konsep
“Kekayaan Negara yang dipisahkan”.
Berkaitan dengan pemahaman tentang keuangan negara yang dipisahkan pada
pengelolaan entitas bisnis milik pemerintah baik yang berbentuk BUMN dan BUMD
sampai saat ini uji materiil terhadap Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara masih menganggap penyertaan modal yang ada pada BUMN
maupun BUMD masih menjadi domain keuangan negara. Permasalahan ini
berdampak pada proses dan tata cara pemeriksaaan keuangan yang ada pada BUMD.
2) Terkait dengan undang-undang penanaman modal dan investasi.
Undang-undang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 5 ayat (2)
dinyatakan bahwa penanaman modal asing wajib berbentuk perseroan terbatas
berdasarkan ketentuan peraturan perundangan republik Indonesia. Konstruksi BUMN
yang tidak semuanya berbentuk perseroan terbatas menjadi kendala dalam menrapkan
mekanisme penanamanmodal khususnya investor asing.

3. Strategi Pengelolaan BUMD

Dalam pengelolaan manajerial di Badan Usaha Milik Daerah kerap ditemukan


berbagai pelanggaran yang terjadi. Oleh karena adanya solusi yang tepat untuk meminimalisir
dan tindak kecurangan yang terjadi di tubuh BUMD. Secara umum dalam rangka
mewujudkan prinsip-prinsip good corporate governance dalam lingkup perusahaan terutama

Page 5 of 12
dalam pengelolaan BUMD tentunya harus dipahami dan di implementasikan ke lima prinsip
tersebut secara nyata dan riil dalam praktik pengelolaan BUMD. Kelima prinsip tersenut
antara lain : Transparancy (keterbukaan informasi), Accountability (akuntabilitas),
Responsibility (pertanggungjawaban), Independency (kemandirian), dan Fairness (kesetaraan
dan kewajaran).

Selain itu penulis juga memberikan beberapa alternatif tambahan adalah sebagai berikut :
a. Melakukan pengelompokan bidang usaha yang ada di BUMD selain PDAM maka
hanya ada dua bidang usaha kegiatan yaitu bidang perbankan dan aneka usaha.
b. Tiap pemerintah daerah memiliki BUMD yang jumlahnya lebih dari satu baik bidang
usaha yang sama (Hulu dan hilir) maupun di bidang usaha yang berbeda (aneka
usaha).
c. Konsep pengeloaan perseroda dengan menggunakan perusahaan pengendali (holding
company) merupakan upaya untuk mendongkrak kinerja perusahaan agar BUMD
terutama yang berbentuk perseroan tidak memiliki ketergantungan pada pendanaan
pemerintah daerah.

C. Kesimpulan :

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan usaha yang dimiliki oleh pemerintah daerah,
dimanasalah satu tujuannya adalah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah (PAD). Tapi
pada kenyataannya bahwa BUMD yang ada selama ini belum mampu memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap PAD, justru lebih banyak suntikan dana dari pemerintah daerah
daripada keuntungan yang di dapat. Kondisi tersebut menjadi beban bagi APBD, sehingga
apa yang menjadi tujuan berdirinya BUMD adalah sebagai salah satu sumber pendapatan
pemerintah daerah tidak tercapai. Banyak permasalahan yang dihadapi BUMD dalam
mencapai tujuannnya tersebut. Permasalahan-permasalahan tersebut berkaitan dengan
buruknya manajerial pengelolaan di tubuh BUMD, SDM yang kurang kompeten, pembinaan
dan pengawasan yang kurang optimal dan permasalahan payung hukum terhadap pengaturan
BUMD. Untuk meminimalisir kecurangan yang terjadi di tubuh BUMD diberikan beberpa
alteratif diantaranya : penerapan good corporate governance, melakukan pengelompokkan
bidang usaha, mewajibkan tiap-tiap daerah memiliki BUMD lebih dari satu dan penerapan
sistem holding company agar tidak terlalu bergantung pada dana pemerintah.

Page 6 of 12
D. Rekomendasi :

1. Adanya berbagai permasalahan di atas, membutuhkan komitmen pemerintah daerah


untuk mengelola BUMD secara lebih professional dengan mengutamakan
kepentingan terbaik untuk rakyat bersandarkan pada tata kelola perusahaan yang baik.
2. Adanya desain BUMD sebagai perusahaan kelompok/grup (holding company) harus
diiringi dengan kemandirian baik secara ekonomi maupun secara hukum oleh
karenanya diperlukan pendelegasian kewenangan yang lebih besar dan pemilihan
pengelola BUMD berdasarkan kompetensi dan kelayakan perilaku

Referensi :
http://www.depdagri.go.id/news/2012/03/08/bumd-miliki-aset-Rp.343118-triliun diakses [oktober 2012]
diakses tanggal 04 Juni 2018

http://digilib.uinsgd.ac.id/4044/1/003.%2020015%20LAPKHIR%20EVALUASI%20BUMD%20%28jadi%29.
pdf diakses tanggal 04 Juni 2018

Page 7 of 12
KAJIAN EVALUASI PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR DI LAMPUNG

A. Pendahuluan

Provinsi Lampung merupakan daerah yang sangat strategis karena menghubungkan


pulau jawa dan pulau sumatera sehingga menjadikan provinsi Lampung menjadi salah satu
tempat dengan aktivitas pelabuhan yang terpadat di Indonesia. Selain itu Lampung juga
merupakan daerah yang banyak dikelilingi oleh lautan oleh karenanya memiliki potensi
perikanan dan kelautan yang besar. Hal itu dapat dilihat dari Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Provinsi Lampung yang mana 31,45 persennya berasal dari sektor tersebut
untuk kemudian diikuti di bawahnya dari sektor pengolahan dengan sumbangsih sebesar
18,83 persen. Selain faktor kelautan Provinsi Lampung juga memiliki daratan yang luas
sehingga hasil pertanian dan perkebunan juga melimpah ruah.

Banyak sumber komoditas di daerah Lampung tidak serta merta menjadikan Provinsi
Lampung menjadi daerah yang maju dan makmur hal tersebut dikarenakan pembanguanan
infrastruktur yang belum merata di berbagai kabupaten di Lampung. Sehingga akses
masyarakat semakin terhambat, oleh karenanya perekonomian di Lampung cenderung
berjalan lambat. Sehingga menjadikan provinsi lampung dalam bidang pembangunan masih
kalah jauh dengan Sumatera Selatan, Medan dan Riau.

Pertumbuhan ekonomi Lampung terus mengalami penurunan selama periode 2011 –


2014 Selama kurun waktu 2011-2014 kinerja perekonomian Provinsi Lampung memiliki laju
pertumbuhan rata-rata 5,97 persen,lebih kecil dari rata-rata pertumbuhan nasional sebesar
5,90 persen. Melambatnya pertumbuhan ekonomi disebabkan laju pertumbuhan pada sektor
sektor yang mendominasi relatif lebih rendah dibandingakn pertumbuhan sektor lainnya.
Selama kurun waktu 2010-2014 pendapatan per kapita di Provinsi Lampung cenderung
meningkat, nemun lebih rendah dari pendapatan per kapita nasional. Jika pada tahun 2010
rasio PDRB perkapita Provinsi Lampung dan PDB Nasional sebesar 68,5 persen, maka pada
tahun 2014 rasionya meningkat menjadi 69,3 persen. Hal ini menunjukkan pengaruh sektor
pertanian mulai mengalami penurunan bagi peningkatan pendapatan perkapita di provinsi ini.

Page 8 of 12
Berdasarkan permasalahan di atas penulis dalam paper ini akan membahas lebih
lanjut mengenai evaluasi pembangunan infrastruktur di provinsi Lampung serta memberikan
rekomendasi dalam mengahadapi permasalahan tersebut.

B. Pembahasan

1. Rendahnya Kualitas dan Kuantitas Infrastruktur di Wilayah Lampung

Pembangunan infrastruktur yang baik akan menjamin efisiensi, memperlancar


pergerakan barang dan jasa, dan meningkatkan nilai tambah perekonomian. Ketersediaan
infrastruktur merupakan salah satu faktor pendorong produktivitas daerah. Keberadaan
infrastruktur seperti jalan raya jembatan, pelabuhan dan bandara akan mampu membuka
akses bagi masyarakat dalam melaksanakan aktivitas ekonomi. Provinsi Lampung memiliki
jaringan jalan negara sepanjang 1.159,57 km dan jalan provinsi 1.702,81 km. Pembangunan
ekonomi membutuhkan dukungan sarana transportasi dan ketersediaan jaringan listrik yang
memadai. Kerapatan jalan yang menunjukkan rasio panjang jalan terhadap luas wilayah di
Provinsi Lampung menempati peringkat 10 dibandingkan 33 provinsi lain di Indonesia.
(sumber BPS Nasional 2014)

Berdasarkan realita di atas dapat diasumsikan terdapat korelasi antara tingkat


kerapatan jalan dan tingkat pendapatan perkapita dalam suatu perekonomian, dengan
menggunakan data 33 provinsi terlihat hubungan positif antara PDRB per kapita dan tingkat
kerapatan jalan. Semakin tinggi pendapatan per kapita wilayah kerapatan jalannya cenderung
tinggi pula. Provinsi-provinsi yang posisinya di bawah kurva linier tersebut berarti
mengalami defisiensi infrastruktur jalan. Dengan menggunakan ukuran ini terlihat bahwa
posisi Lampung relatif lebih baik dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Secara kuantitas
kerapatan jalan di Lampung di atas rata-rata tingkat kerapatan jalan provinsi lain di
Indonesia.

Secara kualitas, kondisi jalan di Provinsi Lampung cukup baik. Berdasarkan jenis
permukaannya, sebagian besar (>90 persen) sudah beraspal, namun masih terdapat kondisi
jalan rusak ringan dan belum beraspal. Kondisi jalan yang buruk akan meningkatkan waktu
tempuh perjalanan dan membengkakkan biaya distribusi barang antar daerah, yang pada
gilirannya menghambat perekonomian daerah. Dengan adanya perbedaan kapasitas fiskal

Page 9 of 12
antar daerah, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi upaya peningkatan integrasi jaringan
antar wilayah.

2. Faktor-Faktor yang menghambat jalannya pemangunan infrastruktur

Dalam implementasi pembangunan infrastruktur setidaknya ada bebera faktor yang


menjadi kendala diantaranya sebagai sebikut ini :
a. Kebijakan Pemerintah .
Untuk menciptakan pembangunan infrastruktur yang memadai tentunya sangat
tergantung erat dengan kebijakan pemerintah. Apabila pemimpin daerah (gubernur,
bupati dan walikota) yang memimpin daerah tersebut menjadikan program
pembangunan infrastruktur menjadi poin utama maka tentunya daerah tersebut akan
menjadi daerah maju. Namun pada kenyataanya seorang pemimpin daerah tidak
menjadikan pembangunan infrastruktur menjadi hal yang urgensi melaikan memilih
program-program yang bersifat politis.
b. Dana
Dana Untuk Pembangunan Infrastruktur jalan berdasar dari APBD Provinsi Lampung
setiap tahun. Dana sendiri juga menjadi masalah dikarenakan dana untuk
pembangunan jalan sendiri terbatas sehingga tidak dapat melakukan pembangunan
secara menyeluruh tetapi bertahap sesuai dengan kebutuhan masyarakat, efisiensi dan
efektivitas keberadaan jalan yang akan dibangun di daerah. Dana untuk pembangunan
jalan per tahun hanya dialokasikan sekitar 100 miliar setiap tahunnya. Melihat luasnya
daerah di Provinsi Lampung itu masih kurang bahkan ada beberapa proyek yang
bersifat multi years dikarenakan dana setiap tahun yang kurang sehingga harus
diselesaikan dalam lebih dari 1 tahun anggaran. Sehingga pemerataan infrastruktur
sulit di capai umumnya di daerah pedesaan yang pembangunan insfrastrukturnya
cenderung lambat.
c. Kesadaran masyarakat
Proses pembebasan lahan untuk dijadikan lokasi yang dilakukan pembangunan jalan
menjadi masalah besar. Hal ini dikarenakan masyarakat masih belum bisa merelakan
tanah milik mereka untuk dijadikan lokasi pembangunan jalan. Pada permasalahan
pembebasan lahan, masyarakat masih banyak yang tidak menerima tentang biaya
ganti rugi dari pemda provinsi maupun kabupaten/kota.

Page 10 of 12
d. Dana Infrastruktur Rawan Korupsi
Tidak menjadi rahasia umum lagi bahwa banyak pemimpin daerah maupun pejabat
daerah yang tertangkap KPK atas tindakan korupsi dana pembangunan infrastruktur,
hal tersebut tentunya dapan menghambat jalannya pembanguan karena dana yang
seharusnya digunakan untuk membangun justru digunakan untuk kepentingan pribadi.

C. Kesimpulan

Secara umum kualitas dan kuantitas infrastruktur di Lampung masih dirasa belum efektif dan
efisien. Pemerataan pembnagunan jalan juga masih belum merata antar kabupaten. Masih
banyak dijumpai jalan rusan di sepanjang jalan provinsi maupun jalan kabupaten. Hal yang
menjadi faktor penghambat implementasi pembangunan infrastruktur adalah : Kebijakan
Pemerintah, Dana, Kesadaran masyarakat akan pembebasan lahan dan tindakan korupsi dana
infrastruktur.

D. Rekomedasi

Penanganan isu-isu di atas diperkirakan dapat meningkatkan kinerja perekonomian daerah


secara keseluruhan. Salah satu agenda prioritas pembangunan adalah mewujudkan
pemerataan pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu disarankan beberapa kebijakan
operasional sebagai berikut:
1. Perbaikan kualitas jaringan jalan.
2. Sebaiknya dana lebih difokuskan untuk belanja modal infrastruktur. Untuk
mensukseskan hal tersebut maka dibutuhkan peran pemerintah kota setempat dalam
pembuataan perencanaan yang terintegrasi yang nantinya akan dibiayai dengan dana
tersebut.
3. Perlu dibuat matriks infrastruktur berdasarkan kebutuhan wilayah tersebut yang dapat
mengaitkan infrastruktur yang sudah ada dengan infrastruktur yang akan dibangun
sehingga tidak terjadinya tumpang tindih dan pembangunan yang mubazir.
4. Masyarakat dan legislatif ikut berperan aktif dalam pengawasan terhadap pemerintah
terutama ketika program pembangunan infastruktur berjalan.
5. Ikut merawat dan menjaga infrastruktur yang sudah ada agar keberadaanya dan
fungsinya bertahan lama.

Page 11 of 12
Referensi :
http://simreg.bappenas.go.id/view/publikasi/clickD.php?id=70 (diakses 05 Juni 2018)
http://Laporan.Evaluasi.Renja 2016 (diakses 05 Juni 2018)

Page 12 of 12

Anda mungkin juga menyukai