Anda di halaman 1dari 28

Presentasi Kasus

G2P1A0 Gravida 40 Minggu in Partu Kala I Fase Laten


dengan Asma Bronchial

Pembimbing:
dr. Prahadi Rahardjo, Sp.OG

Disusun Oleh:
Melvin Andrean
11.2018.161

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan


Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

1
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS OBSTETRI
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF OBSTETRI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG
Nama Mahasiswa : Melvin Andrean Tanda Tangan
NIM : 112018161
Dr. Pembimbing : dr. Prahadi Rahardjo, Sp. OG .............................
.........................

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 26 tahun Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Sudah menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : SMA
Alamat : jln Cendrawasih Tanggal Masuk RS : 7 Mei 2019

IDENTITAS SUAMI
Nama Lengkap : Tn. I Jenis Kelamin : Laki – laki
Tempat / tanggal lahir : 40 tahun Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Pekerja Swasta Alamat : jln Cendrawasih

I. Anamnesis

Diambil dari : Autoanamnesis Tanggal : 16 September 2019 Jam: 08.00 WIB

1. Keluhan Utama:

Pasien G2P1A0 gravida 40 minggu datang dengan keluhan keluarnya darah dan
lender sejak 9 jam SMRS.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien G2P1A0 gravida 40 minggu datang dari rujukan Puskesmas Cengkareng dengan
keluhan keluarnya darah dan lender sejak 9 jam SMRS. Pasien juga merasakan adanya
mulas yang hilang timbul sejak 3 hari SMRS. Keluar cairan banyak yang tidak tertahan
2
juga disangkal oleh pasien. Gerak janin masih dirasakan aktif. Pasien kontrol kehamilan
terakhir kali 5 hari yang lalu dan hasil USG menunjukan tafsiran berat janin saat itu
3330 gram.

3. Riwayat Menstruasi
Menarche : 14 tahun
Siklus : Teratur/ 28 hari
Lama : 5 Hari
HPHT : 10 Desember 2018
Taksiran Persalinan : 17 September 2019

4. Riwayat Perkawinan:

Status pernikahan : Menikah

Menikah : 1 kali, pernikahan dengan suami sekarang sudah 6 tahun.

5. Riwayat Obstetrik
G2P1A0
Hamil Pertama : Perempuan / 4 tahun 6 bulan / 3500 gram / 38 minggu / Bidan
/ Spontan

6. Riwayat KB
Pasien pernah menggunakan KB suntik 3 bulan selama 3,5 tahun

7. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mempunyai riwayat Asma sejak kecil. Pasien rajin kontrol asma ke poliklinik
paru setiap bulannya. Serangan asma pada pasien jarang terjadi, namun pada bulan ke
3 kehamilan sempat terjadi serangan asma dan pasien dirawat di IGD.
Pasien memiliki riwayat Infeksi Saluran Kemih (ISK) saat bulan ke 7 kehamilan tetapi
sudah berobat dan sembuh. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit kronis seperti
diabetes, hipertensi, HIV, TBC, hepatitis, preeclampsia, penyakit jantung, penyakit
ginjal maupun riwayat alergi.

3
8. Riwayat Keluarga
Pasien mengatakan bahwa ibu dari pasien memiliki riwayat asma. Tidak terdapat
riwayat penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, hipertensi, HIV, TBC,
hepatitis, preeclampsia, penyakit ginjal maupun alergi pada keluarganya.

9. Riwayat Pengobatan
Pasien menggunakan obat-obatan asma berupa Ventolin ketika terjadi serangan asma
dan symbicrot sebagai pengontrol asma sebanyak 2 x 1 hari.

II. Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 16 September 2019, pukul 08.00
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Berat badan : 76 kg
Tinggi badan : 162 cm
4. Vital sign
Tekanan Darah : 116/60 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respiration Rate : 22 x/menit
Suhu : 36.6 0C
5. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Kepala dan Wajah
Kepala mesocephal, simetris. Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan
terdistribusi merata,
2) Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema periorbital (-)
3) Telinga
Discharge (-), deformitas (-)
4) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
5) Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)

4
b. Pemeriksaan leher
Pembesaran kelenjar tiroid (-)

c. Pemeriksaan thoraks
Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : nyeri tekan (-), ictus cordis teraba di IC 4 linea midclavicularis kiri
- Perkusi : batas kanan ICS 4 linea sternalis kanan,
batas atas ICS 2 linea sternalis kiri,

batas kiri ICS 4 linea midclavicularis kiri

- Auskultasi : BJ 1-2 murni reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru :

- Inspeksi : simetris, pernapasan torakoabdominal


- Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-), taktil fremitus normal
- Perkusi : sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi : vesikuler di kedua lapang paru, wheezing - / - , ronkhi - / -

Punggung : tidak skoliosis, lordosis, maupun kifosis, nyeri tekan (-), massa (-)

d. Pemeriksaan abdomen
Bising usus (+) normal
Hepar : Tidak dapat dinilai
Lien : Tidak dapat dinilai

e. Pemeriksaan ekstremitas
Edema (-) pada ekstremitas superior
Edema (-) pada ekstremitas inferior

f. Pemeriksaan Obstetrik
Tinggi Fundus Uteri : Tidak dilakukan
Detak Jantung Janin : (+)

5
His : (-)
Leopold 1 : bokong (teraba bulat kenyal)
Leopold 2 : punggung kiri (tahanan memanjang di sebelah kiri)
Leopold 3 : kepala (teraba bulat keras)
Leopold 4 : Divergen

g. Vaginal toucher: (dilakukan pukul 08.30)


- Pembukaan 1 cm
- Portio tebak lunak
- Ketuban (+)
- Kepala Hodge 1
- Lendir (-), darah (-)

III. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil

Hematologi

Hemoglobin 10.1 g/dL

Hematrokit 30 %

Leukosit 11.2 x 103/uL

Trombosit 164 x 103/uL

Golongan Darah

Golongan Darah B

Rhesus +

Hemostasis

Masa Perdarahan 1.0 Menit

PT

Pasien 12.1 detik

Kontrol 13.5 detik

6
INR 0.84

APTT

Pasien 29.1 detik

Kontrol 36.1 detik

Kimia Klinik

Glukosa Sure Step 97 mg/dL

RESUME

Pasien (26 tahun) dengan G2P1A0 gravida 40 minggu datang dari rujukan Puskesmas
Cengkareng dengan keluhan keluarnya darah dan lender sejak 9 jam SMRS. Pasien juga
merasakan adanya mulas yang hilang timbul sejak 3 hari SMRS. Keluar cairan banyak yang
tidak tertahan juga disangkal oleh pasien. Gerak janin masih dirasakan aktif. Pasien kontrol
kehamilan terakhir kali 5 hari yang lalu dan hasil USG menunjukan tafsiran berat janin saat itu
3330 gram.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 116/60 mmHg, frekuensi nadi 80
x/menit, frekuensi nafas 22 x/menit, dan suhu 36.6 derajat selsius, tinggi fundus uteri 30 cm.
Dari pemeriksaan fisik generalis dalam batas normal. Pemeriksaan leopold didapatkan leopold
1 = bokong, leopold 2 = punggung kiri, leopold 3 = kepala, leopold 4 = divergen. Dari
pemeriksaan dalam didapatkan pembukaan 1 cm, portio teraba tebal lunak, ketuban (+), kepala
di hodge I, lendir dan darah (-).

Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb yang sedikit menurun yaitu 10.1 g/dL ,


Hematokrit yang sedikit turun yaitu 30%, dan Leukosit yang sedikit meningkat yaitu 11.2 x
103/uL. Pemeriksaan penunjang lainnya dalam batas normal.

Diagnosis
G2P1A0 gravida 40 minggu in partu kala I fase laten dengan Asma Bronchial

7
Penatalaksanaan
- Observasi tekanan darah, pembukaan servix, penurunan kepala dan cairan amnion setiap 4
jam
- Observasi DJJ tiap 1 jam
- Observasi kontraksi dan denyut nadi tiap 30 menit
- Evaluasi kemajuan persalinan
- Symbicord 2 x 1 hari

Prognosis
Ibu
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam

Janin
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam

Follow up

Post Partus

Tanggal Keluhan dan terapi pasien

17/09/2019 S: Telah dilakukan SC karena pembukaan lama pada tanggal 16/09/2019


pukul 20.00. Bekas jahitan terasa agak nyeri.
O: Compos mentis, TD: 120/80, HR: 80 x/menit, RR: 20 x/menit, S: 36,60C
Hb: 10.3 gr/dL , Ht: 31%, Leukosit: 17.1 x 103/uL, Trombosit: 161 x 103/uL
A: Post Sectio Caesaria H-1
P: Cefadroxil 2 x 500 mg PO
Asam Mefanamat 3x 500 mg PO
Cefotaxime 3 x 1 gr IV
Ketorolac 3 x 1 AMP IV
18/07/2019 S: Nyeri pada bekas jahitan berkurang

8
O: Compos mentis, TD: 110/70, HR: 82 x/menit, RR: 19 x/menit, S: 36,40C
A: Post Sectio Caesaria H-2
P: Cefadroxil 2 x 500 mg PO
Asam Mefanamat 3x 500 mg PO
Cefotaxime 3 x 1 gr IV
Ketorolac 3 x 1 AMP IV
19/07/2019 S: Nyeri pada bekas jahitan masih ada sedikit
O: Compos mentis, TD: 110/80, HR: 80 x/menit, RR: 22 x/menit, S: 36,50C
A: Post Sectio Caesaria H-3
P: Cefadroxil 2 x 500 mg PO
Asam Mefanamat 3x 500 mg PO
Cefotaxime 3 x 1 gr IV
Ketorolac 3 x 1 AMP IV

9
BAB I
Pendahuluan
Asma ditandai oleh peradangan saluran napas kronis, dengan peningkatan respons
saluran napas terhadap berbagai rangsangan, dan obstruksi jalan napas yang sebagian atau
seluruhnya reversibel. Patogenesis asma melibatkan jalan napas peradangan di hampir semua
kasus. Manajemen medis saat ini untuk asma menekankan pengobatan peradangan jalan nafas
untuk mengurangi jalan nafas responsif dan mencegah gejala asma.1
Program Pendidikan dan Pencegahan Asma Nasional telah menemukan “Lebih aman
bagi wanita hamil dengan asma untuk dirawat dengan obat asma daripada bagi mereka untuk
memiliki gejala asma dan eksaserbasi ”. Asma ringan dan moderat yang terkontrol dengan baik
dapat dikaitkan dengan hasil perinatal yang baik. Asma yang parah dan tidak terkontrol
mungkin dikaitkan dengan peningkatan prematuritas, kebutuhan untuk kelahiran sesar,
preeklamsia, hambatan pertumbuhan, komplikasi perinatal lainnya, dan morbiditas ibu dan
kematian.2
Tujuan utama terapi asma pada kehamilan adalah mempertahankan oksigenasi janin
yang cukup dengan mencegah episode hipoksia pada bayi ibu. Manajemen asma yang optimal
selama kehamilan meliputi tujuan pemantauan fungsi paru-paru, menghindari atau
mengendalikan pemicu asma, mendidik pasien, dan terapi farmakologis individual untuk
mempertahankan fungsi paru normal. Pendekatan terapi langkah-perawatan menggunakan
jumlah terendah intervensi obat diperlukan untuk mengendalikan keparahan asma pasien.2
Penderita selama kehamilan perlu mendapat pengawasaan yang baik. Penatalaksanaan
dari asma pada kehamilan yaitu menghindari faktor pencetus seperti zat-zat alergan, infeksi
saluran napas, udara dingin dan faktor psikis. Untuk pengobatan yang diberikan secara
maintenance tetap diberikan sampai kelahiran.2

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Pernafasan Ibu hamil


Perubahan sistem respirasi pada masa kehamilan diperlukan untuk pertumbuhan janin
dan kebutuhan oksigen maternal. Perubahan sistem respirasi meliputi perubahan kebutuhan
oksigen, dyspnea (sesak nafas) dan peningkatan volume tidal.3,4
Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan disebabkan oleh
perubahan hormonal dan faktor mekanik. Pengaruh hormonal (peningkatan kadar estrogen)
menyebabkan ligamen pada kerangka iga berelaksasi sehingga ekspansi rongga dada
meningkat. Sedangkan perubahan mekanis meliputi elevasi posisi istirahat diafragma kurang
lebih 4 cm, peningkatan 2 cm tranversal saat sudut subkostal dan iga bawah melebar, serta
lingkar toraks melingkar kurang lebih 6 cm. Semua perubahan ini disebabkan oleh pembesaran
uterus akibat tekanan keatas. Perubahan-perubahan ini diperlukan untuk mencukupi
peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi untuk pertumbuhan janin, plasenta dan uterus.
Adanya perubahan-perubahan ini juga menyebabkan perubahan pola pernapasan dari
pernapasan abdominal menjadi torakal yang juga memberikan pengaruh untuk memenuhi
peningkatan konsumsi oksigen maternal selama kehamilan. Perubahan hormonal pembesaran
mukosa saluran respirasi. Pernafasan melalui hidung akan semakin sulit, sehingga wanita hamil
cenderung bernafas dengan mulut, terutama pada malam hari. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya xerostomia. Insidensi xerostomia pada wanita hamil adalah sekitar 44%. Xerostomia
ini akan meningkatkan frekuensi karies gigi. Selain itu, peningkatan progesteron menyebabkan
hiperventilasi. Hiperventilasi pada kehamilan adalah hiperventilasi relatif, artinya kenaikan
ventilasi alveolar diluar pengaruh CO2 sehingga PaCO2 menurun. 3-5

Pemenuhan kebutuhan oksigen


Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan oleh peningkatan konsumsi
oksigen. Laju Metabolisme Basal (BMR) biasanya meningkat pada bulan ke-4 gestasi,
meningkat 15% -20% pada akhir kehamilan, dan kembali ke nilai sebelum hamil pada hari ke-
5 atau ke-6 pascapartum. Peningkatan BMR mencerminkan peningkatan kebutuhan O2 di unit
janin-plasenta-uterus serta peningkatan konsumsi O2 akibat peningkatan kerja jantung ibu.4,5
Kebutuhan O2 ibu meningkat sebagai respon terhadap percepatan laju metabolik dan
peningkatan kebutuhan O2 jaringan uterus dan payudara. Dengan semakin tuanya kehamilan,

11
pernafasan dada menggantikan pernafasan perut dan penurunan diafragma saat inspirasi
menjadi semakin sulit.3,5
Namun karena adanya peningkatan kebutuhan O2, menyebabkan adanya penurunan
kadar CO2 yang menyebabkan alkalosis.3,5
Selain itu, peningkatan vaskularisasi, sebagai respon peningkatan kadar estrogen,
membuat kapiler membesar sehingga terbentuklah edema dan hiperemia pada traktus
pernafasan atas. Kondisi ini meliputi sumbatan pada hidung dan sinus, epistaksis, perubahan
suara, dll. Peningkatan ini juga membuat membran timpani dan tuba eustaki bengkak, nyeri
pada telinga, atau rasa penuh di telinga.4,5

Peningkatan Volume Tidal


Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan kapasitas sebelum
hamil yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan volume tidal dari 450 cc menjadi 600 cc,
yang menyebabkan terjadinya peningkatan ventilasi permenit selama kehamilan antara 19-50
%. Peningkatan volume tidal ini disebabkan oleh efek progesteron terhadap resistensi saluran
nafas dan dengan meningkatkan sensitifitas pusat pernapasan terhadap karbondioksida.3-5
Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama setelah pertengahan
kedua kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan turunnya kapasitas residu
fungsional, yang merupakan volume udara yang tidak digunakan dalam paru, sebesar 20%.
Selama kehamilan normal terjadi penurunan resistensi saluran napas sebesar 50%.3-5
Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kimia dan gas darah.
Karena meningkatnya ventilasi maka terjadi penurunan pCO2 menjadi 30 mm Hg, sedangkan
pO2 tetap berkisar dari 90-106 mmHg, sebagai penurunan pCO2 akan terjadi mekanisme
sekunder ginjal untuk mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18-22 mEq/L, sehingga pH
darah tidak mengalami perubahan. 3-5

Definisi
Asma berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ”asthma” yang berarti terengah-engah.
Asma bronkial merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang melibatkan
sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan dengan hiperresponsif
saluran pernafasan yang menyebabkan episode wheezing, apneu, sesak nafa, dan batuk-batuk
terutama pada malam hari atau awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas obstruksi
saluran pernafasan yang bersifat reversibel baik secara spontan maupun secara terapi.1

12
Asma bronkial di masyarakat sering disebut sebagai bengek, asma, mengi, ampek,
sasak angok, dan berbagai istilah lokal lainnya. Definisi asma bronkial menurut Departemen
Kesehatan R.I. adalah suatu kelainan inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang
menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan
gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas, dan rasa berat di dada terutama pada
malam hari dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa
pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) yang berarti dapat tenang tanpa gejala
tidak mengganggu aktivitas, tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan
dapat menimbulkan kematian.1

Epidemiologi
Di Indonesia, prevalensi asma sekitar 5-6% dari populasi. Prevalensi asma dalam
kehamilan sekitar 3.7-4%. Hal tersebut membuat asma menjadi salah satu masalah yang biasa
ditemukan dalam kehamilan.4

Diagnosis Asma
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia, disebabkan
berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat
bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter.
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik
cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran
faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit / gejala :
 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi / atopi
 Penyakit lain yang memberatkan

13
 Perkembangan penyakit dan pengobatan6

Pemeriksaan Jasmani
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal.
Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi.
Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran
objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi
otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka
sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda
klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun
demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi
biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan otot bantu napas.6

Pemeriksaan Faal Paru


Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai asmanya
,demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi; sehingga
dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter
dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma.
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
 obstruksi jalan napas
 reversibiliti kelainan faal paru
 variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan napas.
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara
luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi
(APE).6

Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan
itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator

14
yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai
tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari
nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
 Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80%
nilai prediksi.
 Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1  15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau
setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu
diagnosis asma
 Menilai derajat berat asma

Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih
sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat murah,
mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan
termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/
dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-
hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.6

Manfaat APE dalam diagnosis asma


 Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE  15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/
oral , 2 minggu)
 Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian
selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit (lihat
klasifikasi) Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di
samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh karenanya
pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai
prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan.

15
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai
terendah, dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat
diperoleh melalui 2 cara :
 Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE pagi
hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah bronkodilator.
Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator
menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai
asma.

Variabiliti harian = APE malam - APE pagi


-------------------------------------------- x 100 %
 (APE malam + APE pagi)

 Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi
sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan persentase dari nilai
terbaik (nilai tertinggi APE malam hari). Contoh : Selama 1 minggu setiap hari diukur APE
pagi dan malam , misalkan didapatkan APE pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400;
maka persentase dari nilai terbaik (% of the recent best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode
tersebut paling mudah dan mungkin dilakukan untuk menilai variabiliti.6

Klasifikasi Asma
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:7
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin)
dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi
genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti
yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya
infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering

16
sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik
dan non-alergik.

Faktor Predisposisi dan Presipitasi


Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
asma bronkial.7
1. Faktor predisposisi
a. Genetik
Belum diketahui cara penurunanbakat alergi asma yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit
alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit
asthma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas
saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
a. Alergen
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
- Inhalan, sesuatu yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
- Ingestan, sesuatu yang masuk melalui mulut seperti makanan dan obat-
obatan
- Kontaktan, sesuatu yang masuk melalui kontak dengan kulit sepeti perhiasan,
logam dan jam tangan
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Kadang kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin
serbuk bunga dan debu.
c. Stress
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga
bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang
17
timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami
stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa
diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah
selesai aktifitas tersebut.

Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkiolus yang menyebabkan
sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkioulus terhadap benda-
benda asing di udara.

Gambar 1. Skema patofisiologi asma bronkial.8

Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut:
seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodiIg E
abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan

18
antigen spesifikasinya. Pada asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat
pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen maka antibodi Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi
dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan
berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang
merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari
semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil
maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos
bronkhiolus, sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. Pada
asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena
peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Kalau
bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan
eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma
biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan
ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru
menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara
ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.6

Manifestasi Klinis
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase inspirasi yang
lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi (wheezing), batuk
yang disertai serangn napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma, keluhan
tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan
makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat.1,6
Wheezing terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing tergantung cepat
atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau
kelelahan otot pernapasan, wheezing akan terdengar lebih lemah atau tidak terdengar sama
sekali. Batuk hamper selalu ada, bahkan seringkali diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain
itu, makin kental dahak, maka keluhan sesak akan semakin berat.1,6
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk membungkuk
dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Posisi ini didapati juga pada pasien
dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Tanda lain yang menyertai sesak
napas adalah pernapasan cuping hidung yang sesuai dengan irama pernapasan. Frekuensi
pernapasan terlihat meningkat (takipneu), otot Bantu pernapasan ikut aktif, dan penderita
19
tampak gelisah. Pada fase permulaan, sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan
PaCO2, tetapi pH normal atau sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan
memperberat sesak napas, karena menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta meningkatkan
PaCO2 darah. Selain itu, terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut nadi sampai 110-
130/menit, karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam darah akibat respons
hipoksemia.6

Efek Kehamilan Terhadap Asma


Kehamilan memiliki efek yang tidak terduga pada asma yang mendasarinya yang
mekanismenya masih belum jelas. Dalam pengamatan terhadap enam studi prospektif lebih
dari 2000 gravida, Gluck dan Gluck (2006) melaporkan bahwa sekitar sepertiga masing-masing
membaik, tetap tidak berubah, atau jelas memburuk. Eksaserbasi lebih sering terjadi pada
penyakit berat.2,3,9
Dalam sebuah studi oleh Schatz dan rekan (2003), keparahan awal berkorelasi dengan
morbiditas asma selama kehamilan. Dengan asma ringan, 13 persen wanita mengalami
eksaserbasi dan 2,3 persen membutuhkan perawatan rumah sakit, dengan asma sedang, angka-
angka ini adalah 26 dan 7 persen; dan untuk asma berat, 52 dan 27 persen. Tingkat morbiditas
meningkat secara tidak proporsional pada orang berkulit hitam dibandingkan dengan wanita
kulit putih. Terdapat peningkatan risiko eksaserbasi 18 kali lipat setelah sesar dibandingkan
pelahiran per vaginam.2,3,9

Efek Asma Terhadap Kehamilan


Berdasarkan berbagai studi menunjukkan bahwa pasien dengan asma ringan atau
sedang dapat memiliki hasil ibu dan bayi yang sangat baik. Namun, asma yang kurang
terkontrol selama kehamilan dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kepada ibu atau janin.
Hal ini disebabkan karena adanya hubungan yang signifikan antara penurunan FEV1 selama
kehamilan dan peningkatan risiko berat lahir rendah dan prematuritas.2,3
Terapi yang disesuaikan dengan keparahan asma dapat menghasilkan hasil bayi dan ibu
yang sangat baik. Meskipun banyak penelitian prospektif ini meyakinkan dalam konsensus
mereka tentang hasil kehamilan yang baik, mereka tidak menunjukkan bahwa asma harus
dianggap sebagai kondisi jinak karena manajemen asma aktif adalah bagian dari studi ini dan
mungkin memiliki dampak positif pada hasil sehingga asma pada kehamilan tetap harus
dikontrol dengan ketat.2,3

20
Efek Asma Terhadap Janin
Respons janin terhadap hipoksemia ibu adalah penurunan aliran darah umbilikalis,
peningkatan resistensi vaskular sistemik dan paru, dan penurunan curah jantung. Insiden
restriksi pertumbuhan janin meningkat dengan keparahan asma. Karena janin berdampak
secara serius ketika keparahan asma meningkat, kebutuhan untuk penanganan secara agresif
ditekankan.2,3

Klasifikasi Derajat Keparahan Asma


Tabel 1. Klasifikasi Asma Berdasarkan Derajat Keparahan.2

Assesment Asma pada Ibu Hamil


Evaluasi klinis meliputi penilaian subyektif dan tes fungsi paru. Karena fungsi paru dan
keparahan asma dapat berubah selama kehamilan, evaluasi rutin fungsi paru pada wanita hamil
dengan asma persisten dianjurkan. Untuk penilaian fungsi paru selama kunjungan rawat jalan,
spirometri lebih disukai, tetapi pengukuran PEF dengan Peak Expiratory Flow Meter juga
cukup. Pasien dengan gejala yang memburuk harus dievaluasi dengan Peak Flow dan
auskultasi paru.2,3
Derajat keparahan asma harus dinilai dalam hal gejala eksaserbasi dan gangguan paru.
Penting untuk mengidentifikasi riwayat rawat inap sebelumnya (terutama rawat inap di rumah
sakit yang memerlukan masuk atau intubasi unit perawatan intensif), gawat darurat atau
kunjungan tak terjadwal lainnya untuk pengobatan asma, atau persyaratan kortikosteroid oral.
Pada pasien yang tidak menggunakan pengontrol, akan berguna untuk menilai kerusakan paru
berdasarkan klasifikasi tingkat keparahan asma.2,3

21
Pasien dengan dua atau lebih episode eksaserbasi gejala yang membutuhkan
penggunaan kortikosteroid oral dalam 12 bulan sebelumnya juga harus dianggap memiliki
asma persisten. Menilai domain gangguan kontrol terdiri dari menentukan frekuensi gejala
siang hari, gejala nokturnal, pembatasan aktivitas, frekuensi terapi penyelamatan, dan FEV1.
Penilaian pada pasien hamil dengan asma juga harus mencakup efek dari kehamilan
sebelumnya pada keparahan atau kontrol asma karena ini dapat memprediksi perjalanan asma
selama kehamilan berikutnya.2,3

Penatalaksaan Asma dalam Kehamilan


Tujuan Penatalaksanaan Asma Dalam Kehamilan :
Tujuan terapi asma pada pasien hamil adalah memberikan terapi manajemen asma yang untuk
mempertahankan kualitas hidup dan kesehatan ibu yang baik dan juga untuk pematangan janin.
Asma dikatakan terkontrol bila: 3,10
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada eksaserbasi/minimal
3. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk berolahraga
4. Kebutuhan bronkodilator (agonis beta2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
5. Menjaga fungsi paru mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
Diperlukan pengawasan dan penyesuaian terapi yang tepat untuk mempertahankan fungsi paru-
paru karena berpengaruh terhadap pasokan oksigen ke janin. Kontrol asma yang tepat harus
memungkinkan seorang wanita dengan asma untuk mempertahankan kehamilan normal
dengan resiko seminimal mungkin bagi dirinya dan janinya.3,10
Secara umum, wanita dengan asma sedang hingga berat idealnya mengukur dan
mencatat FEV1 atau PEFR mereka dua kali sehari. Nilai ideal dari FEV1 adalah > 80%. Untuk
PEFR, nilai prediksi berkisar antara 380 hingga 550 L / mnt. Terapi asma pada ibu hamil
disesuaikan dengan derajat asma dari ibu. β-Agonis membantu meredakan bronkospasme, dan
kortikosteroid mengobati peradangan. Pada asma intermiten, β-agonis inhalasi sesuai
kebutuhan biasanya cukup. Untuk asma persisten, kortikosteroid inhalasi diberikan setiap 3
hingga 4 jam. Tujuannya adalah untuk mengurangi penggunaan agonis β untuk menghilangkan
gejala. Sebuah studi kasus-kontrol dari Kanada dengan kohort lebih dari 15.600 wanita tidak
hamil dengan asma menunjukkan bahwa kortikosteroid inhalasi mengurangi rawat inap hingga
80%.2,3
22
Gambar 2. Rekomedasi Pengobatan Asma Berdasarkan Tingkat Keparahan.3

Pasien yang gejalanya tidak berespon terhadap pengobatan secara optimal harus
menerima peningkatan pengobatan (step-up) untuk terapi medis yang lebih intensif. Setelah
kontrol tercapai dan dipertahankan selama beberapa bulan, pendekatan step-down dapat
dipertimbangkan, tetapi perubahan dalam terapi harus dilakukan dengan hati-hati dan diberikan
secara bertahap untuk menghindari kompromi stabilitas kontrol asma. Untuk beberapa pasien,
mungkin lebih bijaksana untuk menunda, sampai setelah kelahiran, pengurangan terapi yang
secara efektif mengendalikan asma pasien.3

Serangan Asma pada Ibu Hamil


Pengobatan asma akut selama kehamilan tidak jauh berbeda dengan asma tidak hamil.
Yang penting, ambang batas untuk rawat inap secara signifikan lebih rendah. Hidrasi intravena
(IV) dapat membantu membersihkan sekresi paru, dan oksigen tambahan diberikan dengan
masker. Tujuan terapeutik adalah mempertahankan PO2 > 60 mm Hg, dan lebih disukai
normal, bersama dengan saturasi oksigen 90 hingga 95%. Pengujian fungsi paru dasar meliputi
FEV1 atau PEFR. Oksimetri nadi kontinu dan pemantauan janin elektronik, tergantung pada
usia kehamilan, dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Antibiotik tidak diberikan
kecuali ada pneumonitis secara bersamaan. Terapi lini pertama untuk asma akut meliputi
agonis β-adrenergik kerja pendek (terbutaline, albuterol, isoetharine, epinefrin, isoproterenol,
atau metaproterenol) yang diberikan secara subkutan, oral, atau dihirup. Pada wanita yang
sakit parah, obat ini bisa diberikan IV. Jika sebelumnya tidak diberikan untuk pemeliharaan,

23
kortikosteroid inhalasi dimulai. Obat antikolinergik nebulisasi dapat ditambahkan jika respons
pada titik ini tidak memuaskan. Juga, untuk eksaserbasi berat, magnesium IV sulfat atau
teofilin terbukti manjur.2,3
Kortikosteroid diberikan sejak awal untuk semua pasien dengan asma akut berat.
Kecuali respons terhadap bronkodilator dan terapi kortikosteroid inhalasi segera diberikan,
kortikosteroid oral atau parenteral diberikan. Satu rejimen adalah prednisone oral atau
prednisolon atau IV methylprednisolone dalam dosis 30 hingga 45 mg setiap hari selama 5
hingga 10 hari tanpa pengurangan. Karena onset aksi mereka adalah beberapa jam,
kortikosteroid awalnya diberikan bersama dengan β-agonis untuk asma akut berat. Pada saat
ini, penatalaksanaan lebih lanjut tergantung pada tingkat keparahan dan respons terhadap
terapi. Jika terapi awal dengan agonis β dikaitkan dengan peningkatan FEV1 atau PEFR hingga
di atas 70 persen dari baseline, maka debit dapat dipertimbangkan. Beberapa wanita mungkin
mendapat manfaat dari pengamatan yang lebih lama. Atau, untuk wanita dengan gangguan
pernapasan yang jelas, atau jika FEV1 atau PEFR diprediksi <70 persen setelah tiga dosis β-
agonis, biasanya dianjurkan untuk masuk. Terapi intensif dilanjutkan dengan β-agonis inhalasi,
kortikosteroid IV, dan observasi dekat untuk memperburuk tekanan pernapasan atau kelelahan
bernapas. Wanita itu dirawat di unit persalinan atau unit perawatan sedang atau intensif
(ICU).2,3

Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut 6

Gambar 3. Klasifikasi Asma Berdasarkan Berat Serangan.6

24
Tata Laksana Eksaserbasi Asma di Rumah

Gambar 4. Algoritma Penatalaksaan Awal Serangan Asma di Rumah

25
Tatalaksana Serangan Asma di Rumah Sakit

Gambar 5. Algoritma Penatalaksaan Awal Serangan Asma di Rumah Sakit

26
BAB III
PENUTUP

Asma adalah kondisi medis umum yang berpotensi serius yang mempersulit suatu
proses kehamilan. Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang
ditandai dengan gejala wheezing, apneu, sesak nafas, dan batuk-batuk terutama pada malam
hari dengan prevalensi asma dalam kehamilan sekitar 3.7-4%. Kehamilan memiliki efek yang
tidak terduga pada asma yang mendasarinya yang mekanismenya masih belum jelas. pasien
dengan asma ringan atau sedang dapat memiliki hasil ibu dan bayi yang sangat baik. Namun,
asma yang kurang terkontrol selama kehamilan dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko
kepada ibu atau janin.
Dalam kasus ini, pasien (26 tahun) merupakan G2P1A0 gravida 40 minggu in partu
kala I fase laten dengan Asma Bronchial. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah
116/60 mmHg, frekuensi nadi 80 x/menit, frekuensi nafas 22 x/menit, dan suhu 36.6 derajat
selsius, tinggi fundus uteri 30 cm. Dari pemeriksaan fisik generalis dalam batas normal.
Pemeriksaan leopold didapatkan leopold 1 = bokong, leopold 2 = punggung kiri, leopold 3 =
kepala, leopold 4 = divergen. Dari pemeriksaan dalam didapatkan pembukaan 1 cm, portio
teraba tebal lunak, ketuban (+), kepala di hodge I, lendir dan darah (-).
Pasien direncakan untuk melakukan partus normal dengan observasi tekanan darah,
pembukaan servix, penurunan kepala dan cairan amnion setiap 4 jam, Observasi DJJ tiap 1
jam, Observasi kontraksi dan denyut nadi tiap 30 menit dan Evaluasi kemajuan persalinan.
Tetapi terjadi pembukaan serviks yang lama sehingga pada akhirnya dilakukan section
caesaria. Pada pasien kasus ini asma terkontrol baik dalam selama kehamilan sehingga
prognosis janin dan kondisi dari ibu diperkirakan baik selama dan setelah terjadinya kehamilan.

27
Daftar Pustaka
1. Pocket guide for asthma management and prevention. Global Initiative for Asthma
2019.
2. American College of Obstetricians and Gynecologists . 2008 Asthma in pregnancy.
ACOG Practice Bulletin No. 90. Obstetrics and Gynecology, 111(2): 457–464.
3. Gary CF, et al. Williams Obstetrics. 25th ed. Newyork: MC Graw Hill Education. 2018.
4. Saifuddin AB. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: PT Bina Pustaka.
2016.
5. Mauro AL, Aliverti A. Respiratory Physiology of Pregnancy. Breathe. 2015: 11(4):
297-301.

6. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia. Diakses 18 September


2019 dari http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.pdf
7. Tanjung, D. 2003. Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. Diakses 18 September 2019
dari USU digital library: http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-dudut2.pdf
8. Brewis RAL. Lectures notes on respiratory disease. 3rd ed. Blackwell Scientific
Publications. Oxford.
9. Shebl E, Chakraborty RK. Asthma In Pregnancy . Zagazig University of Medicine.
10. Murphy VE. Managing Asthma in Pregnancy. Breathe. 2015: 11(4): 258-67.

28

Anda mungkin juga menyukai