Anda di halaman 1dari 27

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Stunting

2.1.1 Defenisi Stunting

Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Nomor

1995/MENKES/SK/XII/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang standar

Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek

adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur

(PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan pedanan istilah

Stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Dengan kata lain, stunting

dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan diukur

panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar dan hasilnya

berada di bawah nol. Jadi secara fisik balita akan lebih pendek bila dibandingkan

dengan balita seumurnya.

Stunting pada masa kanak-kanak merupakan faktor resiko bagi

meningkatnya angka kematian, kemampuan kognitif dan perkembangan motorik

yang rendah, dan fungsi-fungsi yang tidak seimbang (ACC/SCN, 2001).

Tingginya angka stunting pada populasi diasosiasikan dengan kemiskinan sosial

ekonomi (DE Onis, 2001).

Keadaan makanan dan kondisi sosial memainkan peranan penting terhadap

insiden dari penyakit kurang gizi karena kebanyakan kasus berasal dari kelompok

sosial yang ekonominya rendah sehingga mereka tidak menghiraukan makanan


7

anak-anaknya, disamping itu juga karena faktor ketidaktahuan, kebiasaan, dan

prasangka.

Pengaruh makan terhadap perkembangan otak, apabila makanan tidak

cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan dan keadaan ini berlangsung

lama akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak, berakibat terjadi

ketidakmampuan berfungsi normal. Pada keadaan yang lebih berat dan kronis,

kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan terganggu, badan lebih kecil

diikuti dengan otak yang juga kecil. Jumlah sel dalam otak usia dua berkurang dan

terjadi ketidakmatangan organisasi biokimia dalam otak. Keadaan ini berpengaruh

terhadap perkembangan kecerdasan anak (Anwar, 2008 dalam Pamularsih, 2009).

2.1.2 Besar dan Luasnya Masalah Stunting

Tahun 2005, 20% balita di negara berpenghasilan rendah dan menengah

mengalami underweight dengan prevalensi tertinggi di Asia Selatan dan Afrika

timur, masing-masing 33% dan 28%. Di semua negara berkembang, sekitar 32%

(178 juta) balita mengalami stunting tahun 2005 dengan Afrika Timur dan Afrika

Tengah memiliki prevalensi tertinggi, masing-masing sebesar 50% dan 42%

(Black et al., 2008). Tahun 2011, 110 juta balita mengalami underweight dan 170

juta balita mengalami stunting (Stevens et al., 2012).

Lebih dari sepertiga (36,1%) anak Indonesia mengalami stunting pada saat

memasuki usia sekolah. Prevalensi stunting semakin meningkat dengan

bertambahnya usia dan gizi anak di daerah perkotaan lebih baik bila dibandingkan

dengan pedesaan (Azwar, 2004). Prevalensi stunting ditemukan lebih tinggi pada
8

anak-anak usia 24-59 bulan mencapai 50% dibandingkan anak berusia 0-23 bulan

(Ramli et al., 2009).

Prevalensi stunting (anak pendek) tahun 2013 secara nasional adalah

37,2% yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan

tahun 2007 (36,8%). Prevalensi 37,2% terdiri dari anak sangat pendek 18,0% dan

anak pendek 19,2%. Di Indonesia, 20 Provinsi memiliki prevalensi anak pendek

(stunting) yang tinggi di atas prevalensi nasional dan Provinsi Nusa Tenggara

Timur (NTT) merupakan Provinsi yang memiliki prevalensi tertinggi, yaitu

prevalensi anak pendek (stunting) sebesar 51,7% lebih tinggi dari prevalensi

nasional sebesar 37,2% (Riskesdas, 2013). Berdasarkan data Riset Kesehatan

Dasar NTT (2013), prevalensi anak pendek di Kabupaten Kupang sebesar 46,3%

yang terdiri dari 24,8% anak sangat pendek (severe stunting) dan 21,5% anak

pendek (stunting).

Kabupaten Kupang memiliki 25 Kecamatan dan berdasarkan hasil

pemantauan Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang, Kecamatan Kupang Tengah

memiliki balita yang mengalami stunting cukup tinggi dengan prevalensi sebesar

33%. Kecamatan Kupang Tengah terdiri dari 7 Desa dan 1 Kelurahan. Hasil

pemantauan yang diperoleh dari Puskesmas Tarus, Kelurahan Tarus, Desa Tanah

Merah, Desa Oebelo dan Desa Oelnasi tidak memiliki balita yang mengalami

kejadian stunting, sedangkan Desa Noelbaki memiliki 96 kasus, Desa Penfui

Timur memiliki 66 kasus, Desa Mata Air memiliki 53 kasus dan Desa Oelpuah

memiliki 16 kasus.
9

2.1.3 Cara Ukur Stunting

Antropometri merupakan ukuran dari tubuh, sedangkan antropometri gizi

adalah jenis pengukuran dari beberapa bentuk dan komposisi tubuh menurut umur

dan tingkatan gizi yang digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan protein

dan energi. Antropometri dilakukan untuk pengukuran pertumbuhan tinggi badan

dan berat badan (Gibson, 2005).

Standar referensi yang paling sering digunakan untuk standarisasi

pengukuran dikembangkan oleh US National Pusat Statistik Kesehatan (NCHS)

dan direkomendasikan untuk penggunaan secara internasional oleh WHO.

Standarisasi pengukuran merupakan referensi yang digunakan untuk

membandingkan pengukuran anak dengan median dan standar deviasi atau Z-

Score untuk usia dan jenis kelamin yang sama pada anak-anak. Z-Score adalah

unit standar deviasi untuk mengetahui perbedaan antara nilai individu dan nilai

tengah (median) populasi referent untuk usia/tinggi badan yang sama dibagi

dengan standar deviasi dari nilai populasi rujukan.

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan

pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan

dengan pertambahan umur. Indeks panjang badan/tinggi badan menurut umur

(TB/U) menggambarkan status gizi masa lalu selain itu juga erat kaitannya

dengan masalah sosial ekonomi masyarakat (Jahari, 2002).

Stunting didiagnosis melalui pemeriksaan antropometrik. Stunting yang

sedang menunjukkan tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 SD di bawah
10

nilai median berdasarkan baku standar WHO 2005 dan nilai di bawah -3 SD

menunjukkan keadaan yang parah/severe stunting (Depkes, 2007).

Indikator antropometrik seperti tinggi badan menurut umur (stunting)

adalah penting dalam mengevaluasi kesehatan dan status gizi anak-anak di

negara-negara berpenghasilan rendah, karena gizi buruk masih merupakan

masalah kesehatan masyarakat yang besar. Diperkirakan bahwa lebih dari

setengah dari semua angka kematian bayi dan anak di sub-Sahara Afrika didasari

oleh kekurangan gizi (Wamani et al., 2005).

2.2 Tinjauan Tentang Karakteristik Keluarga

2.2.1 Tingkat Pendidikan Ibu

Rendahnya kesehatan bukan hanya karena sosial ekonominya yang rendah,

tetapi sering juga disebabkan karena orang tua tidak mengetahui bagaimana cara

memelihara kesehatan atau tidak tahu makanan bergizi yang harus dimakan

(Notoatmodjo, 2005). Menurut Freedman dalam Moehji (2002), ketidaktahuan

akan faedah makanan bagi kesehatan tubuh merupakan sebab buruknya mutu gizi

makanan keluarga, khususnya makanan anak balita.

Anak yang memiliki ibu berpendidikan tinggi secara rata-rata lebih

panjang 0,5 cm dibandingkan dengan ibu berpendidikan menengah, dan lebih

panjang 1,4 cm dibandingkan dengan ibu berpendidikan rendah (Dangour et al.,

2002).

Pendidikan ibu memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap terjadinya

stunting pada anak. Peningkatan 1 tahun lama sekolah ibu akan mengurangi

prevalensi stunting pada anak sebesar 11% (Jesmin et al., 2011). Ibu yang
11

berpendidikan tinggi diharapkan mampu memahami pentingnya kesehatan anak

sehingga akan mendukung semua upaya peningkatan kesehatan anak, termasuk

menerapkan perilaku sehat.

Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat

terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh. Berdasarkan

penelitian Norliani et al., (2005), tingkat pendidikan ayah dan ibu memiliki resiko

2,1 dan 3,4 kali lebih besar memiliki anak yang stunting pada usia sekolah.

Sedangkan pada studi yang dilakukan di daerah Maluku Utara menunjukkan

bahwa pendapatan yang rendah, frekuensi makan yang kurang atau sama dengan 2

kali per hari, jenis kelamin laki-laki merupakan risiko terjadinya stunting pada

usia 0-23 bulan (Ramli et al., 2009).

2.2.2 Pekerjaan Ibu

Bekerja dalam beberapa konteks di negara berkembang menekankan

bahwa kedua orang tua dapat menghasilkan rumah tangga yang lebih

menguntungkan bagi anak-anak (Bronte-Tinkew and DeJong, 2004). Ibu yang

bekerja dapat mempengaruhi status gizi anak dengan stunted 58,97%

dibandingkan dengan ibu rumah tangga kejadian stunted 44,8% (Mittal et al.,

2007).

Ibu yang bekerja harus mampu membagi waktu antara mengasuh anak dan

bekerja. Hal ini akan mempengaruhi alokasi waktu ibu bersama anak. Penelitian

Mamabolo et al. (2005) menunjukkan ibu yang bekerja berisiko 3,23 kali

memiliki anak stunting, sedangkan ibu yang masih bersekolah berisiko 18,21 kali

memiliki anak stunting. Hasil ini memperlihatkan ada kecenderungan ibu yang
12

bekerja seringkali kesulitan untuk membagi waktu antara bekerja dan mengasuh

anak karena mengejar karir.

Wanita yang berstatus sebagai ibu rumah tangga memiliki peran ganda

dalam keluarga, terutama jika memiliki aktivitas di luar rumah seperti bekerja

ataupun melakukan aktivitas lain dalam kegiatan sosial. Wanita yang bekerja di

luar rumah biasanya dalam hal menyusun menu tidak terlalu memperhatikan

keadaan gizinya, tetapi cenderung menekankan dalam jumlah atau banyaknya

makanan. Sedangkan gizi sangat berperan bagi pertumbuhan dan perkembangan

mental maupun fisik anak. Selama bekerja ibu cenderung mempercayakan anak

mereka diawasi oleh anggota keluarga lainnya yang biasanya adalah nenek,

saudara perempuan, atau anak yang sudah besar bahkan orang lain yang diberi

tugas untuk mengasuhnya (Sunarti dkk, 1989).

Ibu yang bekerja dapat mempengaruhi status gizi anak dengan stunting

58,97% dibandingkan dengan ibu rumah tangga kejadian stunting 44,8% (Mittal

et al., 2007). Prevalensi stunting lebih tinggi pada anak-anak yang memiliki ibu

seorang petani dibandingkan seorang ibu rumah tangga (Sakisaka et al., 2006).

Beban kerja ibu menentukan waktu yang dimiliki untuk membawa anak ke rumah

sakit atau ke pelayanan kesehatan. Hal ini akan menjadi gangguan bagi ibu yang

bekerja apabila tidak mendapat bantuan dari anggota keluarga atau orang di luar

keluarga. Keadaan yang sulit pada ibu yang bekerja adalah ketersediaan dukungan

penitipan anak menjadi sangat penting dengan kualitas yang baik (Engle et al.,

1997).
13

2.2.3 Tingkat Pendapatan

Penghasilan keluarga merupakan faktor yang mempengaruhi secara

langsung terhadap status gizi. Penghasilan keluarga mempengaruhi mutu fasilitas

perumahan, penyediaan air bersih dan sanitasi yang pada dasarnya sangat

berperan terhadap timbulnya penyakit infeksi, terutama infeksi saluran pernapasan

dan saluran pencernaan. Selain itu, penghasilan keluarga akan menentukan daya

beli keluarga termasuk makanan. Tersedia atau tidaknya makanan dalam keluarga

akan menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan yang dikonsumsi oleh

anggota keluarga yang sekaligus mempengaruhi asupan zat gizi (Prawirohartono,

2000).

Pendapatan yang rendah merupakan kendala untuk dapat memenuhi

kebutuhan hidup yang sehat, yaitu tidak tercukupinya zat gizi dari sudut kualitas

maupun kuantitas terlebih lagi bila dengan banyaknya anak. Pendapatan yang

terbatas setidak-tidaknya keanekaragaman bahan makanan kurang terjamin karena

dengan uang yang terbatas tidak akan banyak pilihan (Apriadji, 1986).

Meningkatnya pendapatan keluarga tidak akan memecahkan masalah gizi.

Peningkatan pendapatan keluarga miskin penting untuk mencegah kurang gizi

jangka panjang, akan tetapi meningkatnya pendapatan tidak akan meningkatkan

status gizi bila pendapatannya tidak dipakai untuk membeli makanan bergizi dan

sampai ke mulut anggota keluarga yang paling membutuhkan (Minarto, 2007).

Demikian pula menurut Scroeder (2001), ketidakmampuan keluarga

menyediakan pangan (kemiskinan) sehingga intake gizi anak kurang dan berlanjut
14

sampai dewasa akan mengakibatkan kurangnya produktivitas, serta kurangnya

kemampuan intelektual dan kemampuan belajar.

2.2.4 Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu

Dengan berpedoman kepada pendidikan, sebagaimana yang diperkirakan

bahwa semakin meningkatnya pendidikan yang bisa dicapai orang tua, semakin

membantu kemudahan pengertian akan pentingnya bahan pangan yang beraneka

ragam, selain itu mereka dapat memilih serta dapat menentukan alternatif terbaik

untuk kepentingan rumah tangganya terutama dalam pemilihan makanan untuk

anaknya.

Pentingnya pengetahuan gizi, didasarkan pada 3 aspek, yaitu:

a. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan

b. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya

mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh

yang optimal, pemeliharaan dan energi.

c. Ilmu gizi memberikan fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar

menggunakan pangan yang baik bagi kebutuhan gizi (Nuryati, 2005).

2.2.5 Besar Keluarga

Jumlah anak adalah banyaknya anak yang dilahirkan oleh ibu dalam

keadaan hidup selama berumah tangga. Ibu yang mempunyai banyak anak akan

menimbulkan banyak masalah dalam keluarga tersebut apabila penghasilan tidak

mencukupi kebutuhan (Mahlia, 2009). Dalam penelitian di Indonesia

membuktikan, jika keluarga hanya mempunyai tiga orang anak maka dapat

mengurangi 60% angka kekurangan gizi balita. Ibu yang mempunyai banyak anak
15

juga menyebabkan terbaginya kasih sayang dan perhatian yang tidak merata pada

setiap anak (Almatsier, 2004).

Banyaknya anak dalam keluarga mengakibatkan beratnya beban tanggung

keluarga baik secara sosial (pola pengasuhan anak), maupun ekonomi yang

selanjutnya berpengaruh terhadap status gizi anak (Mahlia, 2009).

Keluarga yang memiliki 3 orang anak atau lebih cenderung menjadi

stunting dibandingkan dengan keluarga yang memiliki anak kurang dari 3.

Kejadian ini disebabkan karena ibu yang mempunyai anak yang banyak yang

memiliki lebih sedikit waktu untuk mengurus anak mereka dibandingkan dengan

yang memiliki anak <3 anak (Mamabolo et al., 2005; Hien and Kam., 2008).

Jumlah anak di usia di bawah 5 tahun meningkatkan kejadian stunting

pada anak baik di pedesaan maupun perkotaan. Memiliki anak di bawah usia 5

tahun dengan jumlah yang banyak akan mengalami kesulitan dalam mengasuh

anak-anak, sehingga perlu perencanaan keluarga dalam pengaturan jarak kelahiran

(Young Lives, 2005).

2.3 Faktor-Faktor Penentu Kejadian Stunting

2.3.1 Faktor Langsung

A. Keragaman Konsumsi Pangan

Household Dietary Diversity (keragaman konsumsi pangan rumah tangga)

merupakan jumlah jenis makanan yang berbeda yang dikonsumsi selama

periode tertentu yang ditetapkan. Keragaman konsumsi pangan adalah

indikator yang baik untuk alasan sebagai berikut (Swindale & Bilinsky 2006):
16

a) Konsumsi pangan yang lebih beragam berhubungan dengan peningkatan

hasil pada berat kelahiran, status anthropometrik anak, dan peningkatan

konsentrasi hemoglobin.

b) Konsumsi pangan yang lebih beragam berkaitan erat dengan faktor seperti:

kecukupan energi dan protein, persentase protein hewani (protein kualitas

tinggi), dan pendapatan rumah tangga. Bahkan pada rumah tangga yang

sangat miskin, peningkatan pengeluaran untuk makanan yang dihasilkan

dari penghasilan tambahan berhubungan dengan peningkatan kualitas dan

kuantitas konsumsi pangan.

Menurut FAO (2007) keragaman konsumsi pangan adalah jumlah pangan

atau kelompok pangan yang berbeda yang dikonsumsi selama periode tertentu

yang ditetapkan yaitu dapat bertindak sebagai indikator alternatif dari

keamanan makanan pada berbagai keadaan, termasuk negara dengan

pendapatan sedang atau menengah, daerah pedesaan dan urban, serta untuk

berbagai musim.

Keragaman konsumsi pangan adalah ukuran kualitatif dari konsumsi

pangan yang mercerminkan akses rumah tangga terhadap variasi pangan yang

beragam dan juga mewakili kecukupan gizi pada konsumsi pangan individu.

Skor keragaman konsumsi pangan dibuat dengan menjumlahkan baik pangan

atau kelompok pangan yang berbeda yang dikonsumsi selama periode referensi

tertentu. Skor keragaman konsumsi pangan yang disebutkan terdiri dari

perhitungan kelompok makanan yang sederhana yang dikonsumsi individu atau

rumah tangga yang dikonsumsi selama 24 jam (FAO 2007).


17

B. Kejadian Sakit

Penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak menjadi

buruk. Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit infeksi dapat

menyebabkan turunnya nafsu makan sehingga masukan zat gizi berkurang,

padahal anak memerlukan zat gizi yang lebih banyak. Penyakit infeksi sering

disertai oleh diare dan muntah yang menyebabkan penderita kehilangan cairan

dan sejumlah zat gizi seperti mineral, dan sebagainya (Moehji, 2003). Hasil

penelitian Thamrin (2002) di Kabupaten Maros menyimpulkan bahwa penyakit

infeksi merupakan faktor resiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian

KEP pada balita.

Supariasa (2002), interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan

penyakit infeksi dan juga infeksi akan mempengaruhi status gizi dan

mempercepat malnutrisi. Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam,

baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan, yaitu:

1) Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya

absorbsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit

2) Peningkatan kehilangan cairan atau zat gizi akibat penyakit diare,

mual/muntah dan perdarahan yang terus menerus

3) Meningkatnya kebutuhan, baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit

(human host) dan parasit yang terdapat dalam tubuh.


18

2.3.2 Faktor Tidak Langsung

A. Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Konsep ketahanan pangan menurut World Food Conference on Human

Rights 1993 dan World Food Summit 1996 memiliki arti setiap orang pada

setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan

yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan

sehat (Masithah, 2002). Undang-Undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan

terdapat 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan

pangan, yaitu :

1. Kecukupan ketersediaan pangan

2. Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau

dari tahun ke tahun

3. Aksesbilitas/keterjangkauan terhadap pangan

4. Kualitas/keamanan pangan

Keempat komponen tersebut digunakan untuk mengukur ketahanan pangan di

tingkat rumah tangga sehingga menghasilkan indeks ketahanan pangan

(Aswatini, dkk., 2005).

Pengklasifikasian ketahanan pangan rumahtangga ke dalam food secure

(tahan pangan) dan food insecure (rawan pangan) dapat dilakukan dengan

berbagai macam cara. Salah satunya adalah pengukuran dengan indikator out

put, yaitu konsumsi pangan (asupan energi) atau status gizi individu

(khususnya wanita hamil dan balita). Rumahtangga disebut rawan pangan jika

asupan energi atau status gizi lebih rendah dari cut off point (kebutuhan
19

minimum). Tujuh puluh persen dari kebutuhan energi biasanya digunakan

sebagai cut off point untuk konsumsi pangan (Zeitlin & Brown 1990).

B. Pola Asuh Ibu

Pola asuh anak adalah perilaku yang dipraktikkan oleh pengasuh (ibu,

bapak, nenek, atau orang lain) dalam memberikan makanan, pemeliharaan

kesehatan, memberikan stimuli serta dukungan emosional yang dibutuhkan

anak untuk tumbuh kembang anak termasuk di dalamnya tentang kasih sayang

dan tanggung jawab orang tua (Anwar, 2008).

1. Praktek Pemberian Makanan

Pemberian makanan balita bertujuan untuk mendapat zat gizi yang

diperlukan tubuh untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh. Zat gizi

berperan memelihara dan memulihkan kesehatan serta untuk melaksanakan

kegiatan sehari-hari, dalam pengaturan makanan yang tepat dan benar

merupakan kunci pemecahan masalah (Suharjo, 2005).

Tujuan pemberian makanan pada anak balita adalah (Suharjo, 2005):

1. Untuk mendapat zat gizi yang diperlukan tubuh dan digunakan oleh tubuh.

2. Untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh.

3. Zat gizi berperan dalam memelihara dan memulihkan kesehatan serta untuk

melaksanakan kegiatan sehari-hari.

4. Untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan gizi pada balita diperlukan

adanya prilaku penunjang dari para orang tua, ibu atau pengasuhan dalam

keluarga.

5. Selalu memberikan makanan bergizi yang seimbang kepada balita.


20

Gizi seimbang adalah makanan yang dikonsumsi dalam satu hari yang

beragam dan mengandung zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur sesuai

dengan kebutuhan tubuhnya. Keadaan ini tercermin dari derajat kesehatan dan

tumbuh kembang balita yang optimal (Direktorat Gizi Masyarakat, 2000).

Jenis, jumlah dan frekuensi makan pada bayi dan anak balita,

hendaknya diatur sesuai dengan perkembangan usia dan kemampuan organ

pencernaannya (Depkes, 2006).

Suharjo (2005) menjelaskan bahwa penataan makanan yang baik

merupakan bagian dari gaya dan prilaku hidup sehat untuk memperoleh

kesehatan yang bugar, yang perlu selalu dikondisikan pada semua lapisan

masyarakat sehingga akan diperoleh bangsa yang sehat dan bangsa yang kuat.

2. Praktek Kebersihan dan Sanitasi Lingkungan

Praktek kebersihan dan kesehatan sanitasi lingkungan adalah usaha

untuk pengawasan terhadap lingkungan fisik manusia yang dapat memberikan

akibat merugikan kesehatan jasmani dan kelangsungan hidupnya (Slamed

dalam Husin, 2008).

Widaninggar (2003), mengatakan kondisi lingkungan anak harus benar

diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan

berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan

ruangan (tempat bermain-main) pergantian udara, sinar matahari, penerangan,

air bersih, pembuangan sampah, SPAL, kamar mandi dan WC, dan halaman

rumah. Untuk kebersihan, baik kebersihan perorangan dan kebersihan

lingkungan memegang peranan penting bagi tumbuh kembang anak,


21

kebersihan perorangan yang kurang akan memudahkan terjadinya penyakit

kulit dan saluran pencernaan seperti diare, cacingan, dll. Kebersihan

lingkungan erat hubungan dengan penyakit saluran pernapasan, saluran

pencernaan, serta penyakit akibat nyamuk.

Praktek kebersihan perorangan dan kesehatan lingkungan adalah

(Depkes, 2002):

1. Kotoran manusia/tinja harus dibuang ke jamban. Cara yang paling penting

untuk mencegah penyebaran kuman adalah dengan membuang kotoran atau

tinja ke jamban, kotoran binatang harus dibuang jauh dari rumah, jalanan

tempat anak-anak bermain, jamban harus sering dibersihkan dan tersedia

sabun untuk mencuci tangan.

2. Ibu dan anggota keluarga, termasuk anak-anak harus mencuci tangan

dengan sabun sesudah buang air besar, sebelum menyentuh makanan dan

sebelum memberikan makanan anak. Mencuci tangan dengan sabun dapat

menghilangkan kuman. Hal ini membantu menghentikan kuman dan

kotoran untuk masuk ke makanan atau mulut. Mencuci tangan juga dapat

mencegah infeksi cacing.

3. Jendela rumah harus dibuka setiap pagi sehingga pertukaran udara di dalam

rumah menjadi baik.

4. Pakailah air bersih dari sumber air bersih yang aman dan sehat. Tempat air

harus ditutup agar air tetap bersih dan dikuras 1 minggu sekali.
22

5. Air minum harus dimasak sampai mendidih, buah dan sayuran harus di cuci

sampai bersih sebelum diolah, makanan yang sudah masak harus segera

dimakan atau dipanaskan sesudah di simpan.

6. Makanan, alat-alat makan dan peralatan memasak harus selalu dalam

keadaan bersih, makanan harus disimpan pada tempat yang tertutup.

7. Rumah harus mempunyai tempat pembuangan sampah, pembuangan air

limbah yang aman dan sehat untuk membantu dalam pencegahan penyakit.

8. Asap dari dapur di rumah harus dapat keluar dengan baik dan hindari

kebiasaan ibu membawa anak ketika memasak di dapur.

9. Rumah harus dilindungi dari serangga dan binatang penular penyakit seperti

kecoa, nyamuk dan tikus.

Menurut Sulistijani (2001), mengatakan bahwa lingkungan yang sehat

perlu diupayakan dan dibiasakan, tetapi tidak dilakukan sekaligus, harus

berlahan-lahan dan terus-menerus. Lingkungan yang sehat terkait dengan

keadaan yang bersih rapi dan teratur. Oleh karena itu anak perlu dilatih untuk

mengembangkan sifat-sifat sehat sebagai berikut: (a) mandi 2 kali sehari, (b)

cuci tangan sebelum dan sesudah makan, (c) menyikat gigi sebelum tidur, (d)

membuang sampah pada tempatnya, (e) buang air kecil dan besar pada

tempatnya.

3. Perawatan Anak dalam Keadaan Sakit

Perawatan adalah kasih sayang yang diberikan ibu kepada anak untuk

membantu pertumbuhan, menggendong, memeluk dan berbicara kepada anak

akan merangsang pertumbuhan dan meningkatkan perkembangan perasaan


23

anak. Rasa aman pada anak akan tumbuh apabila ia selalu berada dengan

ibunya dan memperoleh Air Susu Ibu (ASI) sesuai dengan kebutuhan dan

apabila sakit ibu selalu menyimpan obat dan membawa ke rumah sakit atau

pelayanan kesehatan (Depkes, 2002).

Praktek perawatan kesehatan anak dalam keadaan sakit adalah salah satu

aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi anak. Praktek perawatan

kesehatan meliputi pengobatan penyakit pada anak apabila si anak menderita

sakit dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai

terkena suatu penyakit. Praktek perawatan kesehatan anak yang baik dapat

ditempuh dengan cara memperhatikan keadaan gizi anak, kelengkapan

imunisasi, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana anak berada, serta

upaya ibu dalam hal mencari pengobatan apabila anak sakit dan membawanya

ke tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas, polindes

(Husin, 2008).

C. Tingkat Sanitasi Lingkungan

Masalah kesehatan merupakan suatu masalah yang sangat komplek, yang

saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri.

Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun

kesehatan masyarakat (Notoatmodjo, 2003). Menurut model segitiga

epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat interaksi satu sama lain yaitu antara

faktor lingkungan, agent dan host (Timmreck, 2004).

Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling penting, sehingga

diperlukan upaya perbaikan sanitasi lingkungan (Zubir dkk, 2006). Seseorang


24

yang daya tahan tubuhnya kurang, maka akan mudah terserang penyakit.

Masalah-masalah kesehatan lingkungan antara lain pada sanitasi (jamban),

penyediaan air minum, perumahan, pembuangan sampah dan pembuangan air

limbah (Notoatmodjo, 2003).

1. Kualitas fisik air bersih

Air minum yang ideal seharusnya jernih, tidak berwarna, tidak berasa dan

tidak berbau. Menurut Notoatmodjo (2003), syarat-syarat air minum yang sehat

adalah sebagai berikut:

1) Syarat Fisik

Persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah bening (tidak

berwarna), tidak berasa, tidak berbau, suhu dibawah suhu udara di

luarnya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari cara mengenal air yang

memenuhi persyaratan fisik tidak sukar.

2) Syarat Bakteriologis

Air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas dari segala bakteri,

terutama bakteri patogen. Cara untuk mengetahui apakah air minum

terkontaminasi oleh bakteri patogen adalah dengan memeriksa sampel

air tersebut. Bila dari pemeriksaan 100 cc air terdapat kurang dari

empat bakteri E. coli, maka air tersebut sudah memenuhi syarat

kesehatan.

3) Syarat Kimia

Air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu di dalam

jumlah tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia
25

di dalam air, akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia

seperti flour (1-1,5 mg/l), chlor (250 mg/l), arsen (0,05 mg/l), tembaga

(1,0 mg/l), besi (0,3 mg/l), zat organik (10 mg/l), pH (6,5-9,6 mg/l),

dan CO2 (0 mg/l). Berdasarkan hasil penelitian Rahadi (2005) bahwa

air mempunyai peranan besar dalam penyebaran beberapa penyakit

menular. Besarnya peranan air dalam penularan penyakit disebabkan

keadaan air itu sendiri sangat membantu dan sangat baik untuk

kehidupan mikroorganisme. Hal ini dikarenakan sumur penduduk tidak

diplester dan tercemar oleh tinja. Banyaknya sarana air bersih berupa

sumur gali yang digunakan masyarakat mempunyai tingkat

pencemaran terhadap kualitas air bersih dengan kategori tinggi dan

amat tinggi. Kondisi fisik sarana air bersih yang tidak memenuhi

syarat kesehatan berdasarkan penilaian inspeksi sanitasi dengan

kategori tinggi dan amat tinggi dapat mempengaruhi kualitas air bersih

dengan adanya pencemaran air kotor yang merembes ke dalam air

sumur.

2. Kepemilikan jamban

Jamban merupakan sarana yang digunakan masyarakat sebagai tempat

buang air besar. Sehingga sebagai tempat pembuangan tinja, jamban

sangat potensial untuk menyebabkan timbulnya berbagai gangguan bagi

masyarakat yang ada di sekitarnya. Gangguan tersebut dapat berupa

gangguan estetika, kenyamanan dan kesehatan. Menurut Notoatmodjo


26

(2003), suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan, apabila

memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1) Tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban tersebut.

2) Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya.

3) Tidak mengotori air tanah di sekitarnya.

4) Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat, kecoak, dan

binatang-binatang lainnya.

5) Tidak menimbulkan bau.

6) Mudah digunakan dan dipelihara.

7) Sederhana desainnya.

8) Murah.

9) Dapat diterima oleh pemakainya.

3. Jenis lantai rumah

Syarat rumah yang sehat, jenis lantai rumahnya yang penting tidak

berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Lantai

rumah dari tanah agar tidak berdebu maka dilakukan penyiraman air

kemudian dipadatkan. Dari segi kesehatan, lantai ubin atau semen

merupakan lantai yang baik sedangkan lantai rumah dipedesaan cukuplah

tanah biasa yang dipadatkan. Apabila perilaku penghuni rumah tidak

sesuai dengan norma-norma kesehatan seperti tidak membersihkan lantai

dengan baik, maka akan menyebabkan terjadinya penularan penyakit

termasuk diare (Notoatmodjo, 2003).


27

4. SPAL (Saluran Pembuangan Air Limbah)

Syarat SPAL yang baik yang digunakan di rumah tangga adalah tidak

mencemari sumber air, tidak mencemari tanah, tidak dijadikan tempat

perkembangbiakan serangga dan binatang penular penyakit serta tidak

mengganggu pemandangan dan bau yang tidak sedap/estetika.

5. Tempat sampah

Tempat sampah adalah tempat membuang sampah di rumah tangga

sebelum diolah atau diangkut lebih lanjut ke tempat lain. Syarat tempat

sampah yang baik digunakan adalah tidak mencemari lingkungan seperti

air, tanah dan udara, tidak digunakan sebagai tempat perkembangbiakan

vektor penyakit, tidak terjangkau oleh vektor penyakit, tidak mengganggu

pemandangan dan tidak menimbulkan bau tidak sedap akibat proses

pembusukan, serta mudah dibersihkan.

2.3 Dampak Kejadian Stunting

Stunting sering tidak dipandang penting oleh keluarga karena pendek terlihat

normal. Di antara tenaga kesehatan, stunting secara umum tidak diberi perhatian

sama seperti gizi kurang atau kurus, khususnya jika tinggi badan tidak diukur

rutin sebagai bagian dari program kesehatan masyarakat. Banyak keluarga, tenaga

kesehatan, dan pengambil kebijakan tidak memberikan perhatian terhadap

konsekuensi stunting, sehingga masalah stunting tidak dipandang sebagai masalah

kesehatan masyarakat (Dewey & Begum, 2011). Stunting memiliki pengaruh yang

besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita. Stunting pada balita ini
28

akan menghambat perkembangan dan potensial yang seharusnya dapat dicapai

dalam 5 tahun pertama kehidupannya.

1) Rendahnya kemampuan kognitif

Beberapa riset telah menunjukkan keadaan gizi kurang dalam awal usia

kanak-kanak, yaitu stunting sedang dan berat, underweight dan wasting

merupakan salah satu gizi utama yang berkaitan dengan perkembangan anak,

kemampuan kognitif dan afektif orang dewasa. Anak-anak yang bertubuh pendek

(stunting) terus menunjukkan kemampuan yang lebih buruk dalam fungsi kognisi

yang beragam dan prestasi sekolah yang lebih buruk jika dibandingkan dengan

anak-anak yang bertubuh normal hingga usia 12 tahun. Mereka juga memiliki

masalah perilaku, lebih terhambat dan kurang perhatian serta lebih menunjukkan

gangguan tingkah laku (Henningham & McGregor, 2005).

Anak yang stunted ketika bayi dan pada usia 2 tahun memiliki score test

lebih rendah bila dibandingkan dengan anak yang tidak stunted. Severe stunting

pada usia 2 tahun mempunyai hubungan yang signifikan dengan rendahnya

kecerdasan kognitif (Adair & Guilkey, 1999). Penelitian lain menunjukkan

stunting pada balita berhubungan dengan keterlambatan perkembangan bahasa

dan motorik halus (Hizni et al., 2010).

2) Penyakit degeneratif dan obesitas

Anak stunted memiliki risiko tinggi untuk menderita penyakit kronik,

seperti obesitas dan mengalami gangguan intolerans glukosa. Sebuah penelitian

yang dilakukan pada anak-anak di Brazil menunjukkan stunting berhubungan

dengan oksidasi lemak dan penyimpanan lemak tubuh. Stunting juga dapat
29

meningkatkan risiko kejadian hipertensi. Sebuah studi di Jamaika, Gaskin et al

menemukan stunting yang terjadi pada usia 2 tahun pertama berhubungan dengan

tekanan darah sistolik pada usia 7-8 tahun (Branca & Ferrari, 2002).

2.4 Kerangka Konsep

2.4.1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti

Stunting pada anak balita merupakan salah satu indikator status gizi kronis

yang dapat memberikan gambaran gangguan keadaan sosial ekonomi secara

keseluruhan di masa lampau.

Teori UNICEF (1998), penyebab malnutrisi diklasifikasikan dalam

penyebab langsung, penyebab tidak langsung dan pokok masalah. Penyebab

langsung malnutrisi adalah ketidakcukupan asupan makanan dan penyakit infeksi

yang mungkin diderita anak dimana keduanya saling mempengaruhi. Anak yang

tidak mendapatkan makanan yang cukup bergizi akan memiliki daya tahan tubuh

yang rendah terhadap penyakit serta mudah terserang penyakit. Sebaliknya

penyakit menyebabkan asupan zat gizi tidak dapat diserap oleh tubuh sehingga

menyebabkan masalah gizi dan kematian.

Penyebab tidak langsung malnutrisi adalah kurangnya akses pangan, pola

asuh ibu dan anak yang kurang memadai, air bersih/sanitasi dan pelayanan

kesehatan yang kurang memadai. Faktor politik dan ideologi, ekonomi dan sosial

menjadi pokok masalah akses yang tidak mencukupi pada makanan, perawatan

yang tidak mencukupi bagi ibu dan anak, dan pelayanan kesehatan yang kurang

serta lingkungan yang tidak sehat.


30

Secara skematis, keterkaitan hubungan antara faktor ini dapat dilihat pada

bagan penyebab malnutrisi.

Bagan penyebab Malnutrisi (UNICEF, 1998)

(Status Gizi)
Dampak

Asupan Makanan Penyakit Infeksi


Penyebab
langsung

Penyebab
Ketahanan pangan Pola Asuh Ibu Sanitasi, air bersih
dan pelayanan tidak
rumah tangga
kesehatan langsung

Informasi/pendidikan/komunikasi

Sumber daya dan kontrol Pokok


Manusia, ekonomi dan organisasi masalah di
masyarakat
Suprastuktur Politik dan Ideologi

Struktur Ekonomi

Potensi sumber daya


31

2.4.2 Kerangka Hubungan Antar Variabel

Melandasi kerangka teori UNICEF, maka dirancang kerangka hubungan

antar variabel yang diduga terkait dengan faktor penentu kejadian stunting pada

anak balita.

Karakteristik Sosial
Ekonomi Keluarga
- Pendidikan
- Pekerjaan
Tingkat Sanitasi
- Pengetahuan
lingkungan
- Pendapatan
- Besar keluarga

Pola Asuh Ibu

- Praktek pemberian Konsumsi Pangan


makan
- Perawatan kesehatan
- Praktek kebersihan dan
sanitasi lingkungan

Kejadian Sakit

Kejadian
Stunting
Keterangan :
: variabel independen yang diteliti

: variabel dependen yang diteliti


32

2.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah :

Karakteristik sosial ekonomi keluarga (tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat

pengetahuan, tingkat pendapatan, besar keluarga, tingkat sanitasi lingkungan),

konsumsi pangan (keragaman), pola asuh ibu (praktek pemberian makanan,

perawatan anak, praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan), dan kejadian sakit

menunjukkan hubungan signifikansi dan merupakan faktor penentu kejadian

stunting pada anak balita di Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang.

Anda mungkin juga menyukai