Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang


m e n j a d i k l i e n (penerima) asuhan keperawatan. Keluarga berperan dalam
menentukan asuhan keperawatan yang diperlukan oleh anggota keluarga
yang sakit. Keberhasilan keperawtan di rumah sakit akan menjadi sia -sia
jika tidak dilanjutkan dengan perawatan di rumah secara baik dan benar oleh
klien atau keluarganya. Secara empiris hubungan antara kesehatan anggota keluarga
terhadap kualitas kehidupan keluarga sangat berhubungan atau signifikan.
Keluarga Sejahtera dibentuk berdasarkan perkawinan yang
sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup dan memiliki hubungan
y a n g s a m a , s e l a r a s d a n seimbang antar anggota keluarga dengan
masyarakat dan lingkungan. Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak. Secara umum diketahui bahwa pengalaman orang tua berkembang
dari tahun ke tahun, di mana seorang anak tumbuh dewasa dan orang tua menjadi
semakin tua, akan tetapi teori dan metodologi yang cukup memadai dalam
perkembangan perspektif tugas orang tua masih harus dibuktikan dan dapat
diterima.
Program pembagunan keluarga sejahte ra semakin mendapat pijakan
yang k u a t d e n g a n d i u n d a n g k a n n y a U U N o 1 0 t a h u n 1 9 9 2 t e t a n g
perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga
s e j a h t e r a . K e m u d i a n s e k i t a r s a t u setengah tahun kemudian yaitu pada 29
juni 1993 presiden mencanangkan bahwa s e t i a p t a n g g a l 2 9 j u n i s e b a g a i
“ h a r i K e l u a r g a N a s i o n a l ( H a r g a n a s ) ” , d a n digariskan oleh
president saat itu bahwa keluarga dikembangkan menjadi wahana pembangunan
bangsa. dengan penetapan ini, maka dikembangkan kebijakan strategis yang
diperlukan untuk mengembangkan keberhasilan Gerakan Keluarga Berencana lebih
lanjut menjadi “Gerakan Pembangunan Keluarga Sejahtera ” s e a c a r a
lengkap. Selaras dengan hal tersebut diterbitkan keputusan
presiden (Keppres) No. 109 Tahun 1993 tentang BKKBN, dimana
dengan Keppres tersebut, organisasi BKKBN mengalami
p e r o m b a k a n s e s u a i d e n g a n t u g a s baru

1.2 Tujuan
Tujuan umum :

Untuk meningktakan kemampuan keluarga dalam memelihara kesehatan


keluarga mereka sehigga dapat meningkatkan status kesehatan keluarga.

Tujuan Khusus :

a. Meningkatkan kemampuan keluarga dlam mengidentifikasi masalah kesehatan


yang dihadapi oleh keluarga.
b. Meningkatkan kemampuan keluarga dalam menanggulangi masalah-masalah
kesehatan dasar dalam keluarga.
c. Meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan yang tepat
dalam mengatasi masalah kesehatan keluarga.
d. Meningkatkan kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan keperawatan
terhadap anggita keluarga yang sakit dan dalam megatasi masalah kesehatan
anggota keluarga.
e. Meningkatkan produktifitas kelaurga dalam meningkatkan mutu hidupnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP KELUARGA

Keluarga merupakan unit pelayanan kesehatan yang terdepan dalam


meningkatkan derajat kesehatan komunitas. Apabila setiap keluarga sehat akan
tercipta komunitas keluarga yang sehat. Masalah kesehatan yang dialami oleh salah
satu anggota keluarga dapat mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Masalah
kesehatan yang dialami oleh sebuah keluarga dapat mempengaruhi system keluarga
tersebut dan mempengaruhi komunitas setempat, bahkan komunitas global. Sebagai
contoh, apabila ada seorang anggota keluarga yang menderita penyakit demam
berdarah, nyamuk sebagai factor penyebab dapat menggigit keluarga tetangganya.
Hal tersebut dapat mempengaruhi komunitas tempat keluarga tersebut menetap.
Sehat seharusnya dimulai dengan membangun keluarga sehat sesuai dengan budaya
keluarga.
Perawat keluarga sangat dibutuhkan oleh keluarga untuk membangun keluarga
sehat sesuai dengan budayany. Perawat berperan sebagai pemberi asuhan
keperawatan, konselor, pendidik, atau peneliti agar keluarga dapat mengenal tanda
bahaya dini gangguan kesehatan pada anggota keluarganya. Dengan demikian,
apabila keluarga tersebut mempunyai masalah kesehatan, mereka tidak datangke
pelayanan kesehatan dalam kondisi yang sudah kronis. Perawat keluarga memiliki
peran yang sangat strategis dalam pemberdayaan kesehatan keluarga ssehingga
tercapai Indonesia sehat.
Program pemerintah dalam pemberdayaan keluarga di bidang kesehatan belum
mengikutsertakan perawat keluarga secara optimal. Oleh karena itu, kita perlu
mempertimbangkan adanya satu orang perawat keluarga dalam satu kelurahan atau
desa dalam membangun keluarga sehat. Asuhan keperawatan tersebut tentunya
dilaksanakan dengan melibatkan peran serta aktif keluarga.
2.2 DEFINISI KELUARGA

Menurut Departemen Kesehatan (1998), keluarga adalah unit terkecil dari


masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga serta beberapa orang yang berkumpul
dan tinggal di satu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Bailon dan Maglaya (1978) mendefinisikan keluarga sebagai dua atau lebih
individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka
hidup dalam rumah tangga, melakukan interaksi satu sama lain menurut peran
masing-masing, serta menciptakan dan mempertahankan suatu budaya. Menurut
Friedman (1998), definisi keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung
karena ikan tertentu untuk saling membagi pengalaman dan melakukan pendekatan
emosional, seta mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga.
Menurut BKKBN (1999), keluarga adalah dua orang atau lebih yang dibentuk
berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual
dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras dan
seimbang antara anggota kelurga dan masyarakat serta lingkungannya.

2.3 BENTUK KELUARGA

Beberapa bentuk keluarga adalah sebagai berikut.


1. Keluarga inti (nuclear family)
Adalah keluarga yang dibentuk karena ikatan perkawinan yang direncanakan
yang terdiri dari suami, istri, dan beberapa orang anak, baik karena kelahiran
natural maupun adopsi.
2. Keluarga asal (family of origin)
Merupakan satu unit kelurga tempat asal seseorang dilahirkan.
3. Keluarga besar (Extended family)
Keluarga inti ditambah keluarga yang lain (karena hubungan darah), misalnya
kakek, nenek, bibi, paman, sepupu termasuk keluarga modern, seperti orang tua
tunggal, keluarga tanpa anak, serta keluarga pasangan sejenis (guy/lesbian
families).
4. Keluarga berantai (social family)
Keluarga yang terdiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan
merupakan suatu keluarga inti.
5. Keluarga duda atau janda
Keluarga yang terbentuk karena perceraian dan/atau kematian pasangan yang
dicintai.
6. Keluarga komposit (composite family)
Keluarga dari perkawinan poligami dan hidup bersama.
7. Keluaga kohabitasi (cohabitation)
Dua orang menjadi satu keluarga tanpa pernikahan, bisa memiliki anak atau
tidak. Di Indonesia bentuk keluarga ini tidak lazim dan bertentangan dengan
budaya timur. Namun, lambat laun keluarga kohabitasi mulai dapat diterima.
8. Keluarga inses (incest family)
Seiring dengan masuknya nilai-nilai global dan pengaruh informasi yang sangat
dahsyat, dijumpai bentuk keluarga yang tidak lazim, misalnya anak perempuan
menikah dengan ayah kandungnya, ibu menikah dengan anak kandung laki-laki,
paman menikah dengan keponakannya, kakak menikah dengan adik dari satu
ayah dan satu ibu, dan ayah menikah dengan anak perempuan tirinya. Walaupun
tidak lazim dan melanggar nilai-nilai budaya, jumlah keluarga inses semakin hari
semakin besar. Hal tersebut dapat kita cermati melalui pemberitaan dari berbagai
media cetak dan elektronik.
9. Keluarga tradisional dan nontradisional
Dibedakan berdasarkan ikatan perkawinan. Keluarga tradisional diikat oleh
perkawinan, sedangkan keluarga nontradisional tidak diikat oleh perkawinan.
Contoh keluarga tradisional adalah ayah-ibu dan anak dari hasil perkawinan atau
adopsi. Contoh keluarga nontradisional adalah sekelompok orang tinggal
disebuah asrama.

2.4 STRUKTUR DAN FUNGSI KELUARGA


Setiap keluarga mempunyai struktur peran formal dan informal. Misalnya,
ayah mempunyai peran formal sebagai kepala keluarga an pencari nafkah. Peran
informal ayah adala sebagai panutan dan pelindung keluarga.
Struktur kekuatan keluarga meliputi kemampuan berkomunikasi,
kemampuan keluarga untuk saling berbagi, kemampuan system pendukung di antara
anggota keluarga, kemampuan perawatan diri, dan kemampuan menyelesaikan
masalah.
Menurut Friedman (1999), lima fungsi dasar keluarga adalah sebagai berikut.
1. Fungsi afektif, adalah fungsi internal keluarga untuk pemenuhan
kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberkan cinta kasih,
serta saling menerima dan mendukung.
2. Fungsi sosialisasi, adalah proses perkembangan dan perubahan individu
keluarga, tempat anggota keluarga berinteraksi social dan belajar
berperan di lingkungan social.
3. Fungsi reproduksi, adalah fungsi keluarga meneruskan kelangsungan
keturunan dan menambah sumber daya manusia.
4. Fungsi ekonomi, adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, seperti sandang, pangan, dan papan.
5. Fungsi perawatan kesehatan, adalah kemampuan keluarga untuk
merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.

2.5 TUMBUH KEMBANG KELUARGA


Menurut Duval (1997), daur atau siklus kehidupan keluarga terdiri dari
delapan tahap perkembangan yang mempunyai tugas dan resiko tertentu pada tiap
tahap perkembangan.
1. Tahap 1, pasangan baru menikah (keluarga baru). Tugas perkembangan keluarga
pada tahap ini adalah membina hubungan perkawinan yang saling memuaskan,
membina hubungan yang harmonis dengan saudara dan kerabat, dan
merencanakan keluarga (termasuk merencanakan jumlah anak yang diinginkan).
2. Tahap 2, menanti kelahiran (child bearing family) atau anak tertua adalah bayi
berusia kurang dari 1 bulan. Tugas perkembangan keluarga pada tahap ini adalah
menyiapkan anggota keluarga yang baru (bayi dalam keluarga), membagi waktu
untuk individu, pasangan, dan keluarga.
3. Tahap 3, keluarga dengan anak prasekolah atau anak tertua 2,5 tahun sampai
dengan 6 tahun. Tugas perkemmbangan keluarga pada tahap ini adalah
menyatukan kebutuhan masing-masing anggota keluarga, antara lain ruang atau
kamar pribadi dan keamanan, mensosialisasikan anak-anak, menyatukan
keinginan anak-anak yang berbeda, dan mempertahankan hubungan yang sehat
dalam keluarga.
4. Tahap 4, keluarga dengan anak sekolah atau anak tertua berusia 7 sampai 12
tahun. Tugas perkembangan keluarga pada tahap ini adalah mensosialisasikan
anak-anak termasuk membantu anak-anak membina hubungan dengan teman
sebaya, mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan, dan memenuhi
kebutuhan kesehatan masing-masing anggota keluarga.
5. Tahap 5, keluarga dengan remaja atau dengan anak tertua berusia 13 sampai 20
tahun. Tugas perkembangan pada tahap ini adalah mengimbangi kebebasan
remaja dengan tanggung jawab yang sejalan dengan maturitas remaja,
memfokuskan kembali hubungan perkawinan, dan melakukan komunikasi yang
terbuka diantara orangtua dengan anak-anak remaja.
6. Tahap 6, keluarga dengan anak dewasa (pelepasan). Tugas perkembangan
keluarga pada tahap ini adalah menambah anggota keluarga dengan kehadiran
anggota keluarga yang baru melalui pernikahan anak-anak yang telah dewas,
menata kembali hubungan perkawinan, menyiapkan datangnya proses penuaan,
termasuk timbulnya masalah-masalah kesehatan.
7. Tahap 7, keluarga usia pertengahan. Tugas perkembangan keluarga pada tahap ini
adalah mempertahankan kontak dengan anak dan cucu, memperkuat hubungan
perkawinan, dan meningkatkan usaha promosi kesehatan.
8. Tahap 8, keluarga usia lanjut. Tugas perkembangan keluarga pada tahap ini
adalah menata kembali kehidupan yang memuaskan, menyesuaikan kehidupan
dengan penghasilan yang berkurang, mempertahankan hubungan perkawinan,
menerima kehilangan pasangan, mempertahankan kontak dengan masyarakat, dan
menemukan arti hidup.

2.6 ISTILAH DALAM KELUARGA


1. Keluarga Sejahtera
Keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu
memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertakwa
kepada TYME, memiliki hubungan serasi, selaras, dan seimbang antar anggota
dan antarkeluarga dengan masyarakat dan lingkungan.

Menurut Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN (1996), tahapan


keluarga sejahtera terdiri dari:
a. Keluarga Prasejahtera
Keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal
atau belum seluruhnya terpenuhi seperti:spiritual, pangan, sandang, papan,
kesehatan dan KB
b. Keluarga Sejahtera I
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal,
tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya seperti
kebutuhan akan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi
lingkungan tempat tinggal, dan transportasi.
c. Keluarga Sejahtera II
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan kebutuhan
social psikologisnya tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan
pengembangan, seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh
informasi.
d. Keluarga Sejahtera III
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial psikologis
dan pengembangan, tetapi belum dapat memberikan sumbangan yang
teratur bagi masyarakat atau kepedulian sosialnya belum terpenuhi seperti
sumbangan materi, dan berperan aktif dalam kegiatan masyarakat
e. Keluarga Sejahtera III plus
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial psikologis
dan pengembangan, dan telah dapat memberikan sumbangan yang teratur
dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan atau memiliki
kepedulian social yang tinggi.
f. Keluarga Berencana
Upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui
pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan
ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk
mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.
g. Kualitas keluarga
Kondisi keluarga yang mencakup aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi,
social budaya, kemandirian keluarga, dan mental spiritual serta nilai-nilai
agama yang merupakan dasar untuk mencapai keluarga sejahtera.
h. Kemandirian keluarga
Sikap mental dalam hal berupaya meningkatkan kepedulian masyarakat
dalam pembangunan, mendewasakan usia perkawinanan, membina dan
meningkatkan ketahanan keluarga, mengatur kelahiran dan
mengembangkan kualitas dan keejahteraan keluarga, berdasarkan
kesadaran dan tanggungjawab.
i. Ketahanan Keluarga
Kondisi dinamik sebuah keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan
serta mengandung kemampuan fisik-material dan psikis-mental spiritual
guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup
harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
j. NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera)
Suatu nilai yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan sosial budaya yang
membudaya dalam diri pribadi, keluarga, dan masyarakat, yang
berorientasi kepada kehidupan sejahtera dengan jumlah anak ideal untuk
mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.

2.7 INDIKATOR KELUARGA SEJAHTERA


Indikator Keluarga Sejahtera pada dasarnya berangkat dari pokok pikiran yang
terkandung didalam undang-undang no. 10 Tahun 1992 disertai asumsi bahwa
kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri dari berbagai indikator yang
spesifik dan operasional. Karena indikator yang yang dipilih akan digunakan oleh
kader di desa, yang pada umumnya tingkat pendidikannya relatif rendah, untuk
mengukur derajat kesejahteraan para anggotanya dan sekaligus sebagai pegangan
untuk melakukan melakukan intervensi, maka indikator tersebut selain harus memiliki
validitas yang tinggi, juga dirancang sedemikian rupa, sehingga cukup sederhana dan
secara operasional dapat di pahami dan dilakukan oleh masyarakat di desa.
Atas dasar pemikiran di atas, maka indikator dan kriteria keluarga sejahtera
yang ditetapkan adalah sebagai berikut :
a. Keluarga Pra-Sejahtera
Adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5
kebutuhan dasarnya (basic needs) sebagai keluarga sejahtera I, seperti
kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan.
Keluarga ini belum mampu untuk melaksanakan indicator sebagai berikut :
1. Keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut masing-
masing.
2. Keluarga makan dua kali sehari atau lebih.
3. Keluarga menggunakan pakaian yang berbeda untuk berbagai
keperluan.
4. Keluarga mempunyai rumah yang sebagian besar berlantai bukan dari
tanah.
5. Keluarga memeriksakan kesehatan ke petugas atau sarana kesehatan
(bila anak sakit atau PUS ingin ber-KB).

b. Keluarga sejahtera 1
Adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
secara minimal yaitu :
1. Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota
keluarga.
2. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau
lebih.
3. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah,
bekerja/sekolah dan bepergian.
4. Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
5. Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber KB dibawa
kesarana/petugas kesehatan.

c. Keluarga Sejahtera tahap II


Yaitu keluarga - keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kriteria
keluarga sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psykologis 6
sampai 14 yaitu :
1. Anggota Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur.
2. Paling kurang, sekali seminggu keluarga menyediakan
daging/ikan/telur sebagai lauk pauk.
3. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian
baru per tahun.
4. Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni
rumah.
5. Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat.
6. Paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun
keatas mempunyai penghasilan tetap.
7. Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca
tulisan latin.
8. Seluruh anak berusia 5 - 15 tahun bersekolah pada saat ini.
9. Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur
memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil)

d. Keluarga sejahtera II
Keluarga ini sudah mampu melaksanakan indicator 1 sampai 14, tetapi
belum mampu melaksanakan indicator-indikator sebagai berikut.
1. Keluarga berusaha meningkatkan atau menambah pengetahuan agama.
2. Keluarga mempunyai tabungan.
3. Keluarga makan bersama paling sedikit sekali sehari.
4. Keluarga ikut serta dalam kegiatan masyarakat.
5. Keluarga melakukan rekreasi bersama/penyegaran paling kurangsekali
dalam 6 bulan.
6. Keluarga memperoleh berita dari surat kabar, majalah, radio, dan
televise.
7. Keluarga mampu menggunakan sarana transportasi.

e. Keluarga sejahtera III


Keluarga ini sudah mampu melaksanakan indicator 1 sampai 21, tetapi
belum mampu melaksanakan indicator sebagai berikut.
1. Keluarga memberikan sumbangan secara teratur (waktu tertentu) dan
sukarela dalam bentuk material kepada masyarakat.
2. Keluargaaktif sebagai pengurus yayasan atau institusi masyarakat.

f. Keluarga sejahtera III plus


Sebuah keluarga dapat disebut keluarga sejahtera plus bila sudah mampu
melaksanakan semua indicator (23).
2.8 PELAKSANAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA
Peraturan pemerintah No. 21 tahun 1994 pasal 2, menyatakan bahwa
penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera diwujudkan melalui pengembangan
kualitas keluarga dan keluarga berencana yang diselenggarakan secara menyeluruh dan
terpadu oleh pemerintah, masyarakat, dan keluarga.
Tujuan : mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat, produktif, mandiri, dan memiliki kemampuan
untuk membangun diri sendiri dan lingkungan.
Pokok-pokok kegiatan :
1. Pembinaan ketahanan fisik keluarga adalah kegiatan pertumbuhan dan
pengembangan perilaku usaha dan tenaga terampil sehingga dapat melakukan
usaha ekonomi produktif untuk mewujudkan keluarga kecil, behagia, dan
sejahtera.
Bentuk kegiatan pembinaan ketahan fisik keluarga adalah sebagai berikut.
a. Penumbuhan dan pengembangan pengetahuan, sikap perilaku usaha, dan
keterampilan keluarga melalui penyuluhan, pelatihan magang, studi banding,
dan pendampingan.
b. Penumbuhan dan pengembangan kelompok usaha, melalui kelompok Usaha
Peningkatan Pendapatan Keluarga sejahtera (UPPKS)
c. Pembinaan permodalan, melalui tabungan, takesra (tabungan keluarga
sejahtera), Kukesra (Kredit keluarga sejahtera)
d. Pembinaan pemasaran, melalui kerja sama dengan para pengusaha dan sector
terkait.
e. Pembinaan produksi, melalui bimbingan dalam memilih dan memanfaatkan
alat teknologi tepat guna yang diperlukan dalam proses produksi.
f. Pembinaan kemitrausahaan, dengan para pengusaha dari sector terkait
koperasi.
g. Pengembangan jaringan usaha, khususnya bekerja sama dengan departemen
koperasi dan PPKM.
2. Pembinaan ketahanan nonfisik keluarga.
Tujuan : peningkatan kualitas anak, pembinaan kesehatan reproduksi remaja,
dan peningkatan keharmonisan keluarga, keimanan, dan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
Bentuk kegiatan ketahanan nonfisik keluarga adalah sebagai berikut.
a. Bina Keluarga Balita
Pembinaan terhadap orang tua anak balita agar pertumbuhan dan
perkembangan anaknya optimal secara fisik dan mental melalui kelompok
dengan bantuan alat permainan edukatif ( APE)
b. Pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan melalui.
1) Pusat-pusat konsultasi remaja
2) Penyuluhan konseling di sekolah dan pesantren, kelompok-kelompok.
3) Remaja, karang taruna, remaja masjid, pramuka, dan lain-lain.
4) Kelompok Bina Keluarga Remaja ( BKR), dan penyuluhan melalui
media massa.
c. Pembinaan keluar
d. pembinaan lansia melalui kelompok Bina Keluarga lansia (BKL).
e. Kegiatan-kegiatan lain adalah sebagai berikut.
1) Gerakan Keluarga Sejahtera Sadar Buta Aksara
2) Beasiswa supersemar.
3) Satuan Karya Pramuka Keluarga Berencana (Saka Kencana) kegiatan
lomba-lomba.
3. Pelayanan Keluarga Berencana
a. Kegiatan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE)
Kegiatan ini meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan perubahan
perilaku masyarakat dalam pelaksanaan KB.
b. Pelayanan kesehatan reproduksi meliputi pelayanan kontrasepsi,
pelayanan kesehatan reproduksi bagi ibu, serta pelayanan lain yang ada
hubungannnya dengan reproduksi.
4. Pendataan Keluarga Sejahtera
Dalam rangka mengevaluasi pelaksanaan Gerakan Keluarga Sejahtera setiap
tahun, antara bulan Januari sampai Maret., dilakukan pendataan keluarga untuk
mengetahui pencapaian keluarga berencana dan tahapan keluarga sejahtera.
Friedman (1981) membagi lima tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh
keluarga, yaitu :
a. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya.
b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.
c. Memberikan tindakan keperawatan kepada anggota keluarganya yang sakit
dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri.
d. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian annggota keluarga.
e. Mempertahankan hubungan timbal-balik antara keluarga lembaga-lembaga
kesehatan yang menunjukkan manfaat fasilitas kesehatan dengan baik.

2.9 STANDAR PELAYANAN MINIMAL


Standar Pelayanan Minimal (SMP) terdiri dari 2 bagian pokok, yaitu : 1)
Indikator percapaian hasil; dan 2) Target sasaran yang ditetapkan dalam pelayanan
public bidang KB dan KS. Rincian indikator kinerja dan target, khususnya di bidang
KS yang meliputi pengembangan kualitas keluarga, dan penguatan kelembagaan dan
jaringan KB adalah sebagai berikut :
a. Pengembangan Kualitas Keluarga
i.Pembinaan Tumbuh Kembang Anak
 Cakupan desa/kelurahan yang mempunyai kelompok Bina Keluarga
Balita (BKB) aktif sebesar lebih dari 50%.
ii. Pembinaan Keluarga Remaja
 Cakupan desa/kelurahan yang mempunyai kelompok Bina Keluarga
Remaja (BKR) aktif sebesar lebih dari 30%.
iii. Pembinaan Keluarga Lansia
 Cakupan desa/kelurahan yang mempunyai kelompok Bina Keluarga
Lansia (BKL) aktif sebesar lebih dari 10%.
iv. Pembunuhan dan Pengembangan Kelompok Bina Keluarga Lansia
 Cakupan desa/kelurahan yang mempunyai kelompok Usaha
Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) yang aktif sebesar
lebih dari 80%.
b. Penguatan Kelembagaan dan Jaringan KB
i. Pembinaan Institusi Masyrakat dalam pengelolaan Program Keluarga
Berencana/Kesehatan Reproduksi (KB/KR), dan Keluarga Sejahtera (KS) dan
Pemberdayaan Keluarga (PK) di setiap tingkatan wilayah :
 Cakupan Institusi Masyarakat Pedesaan/Perkotaan (IMP) aktif di
desa/kelurahan, dusun/RW RT sebesar 100%.
 Cakupan Institusi Masyarakat Pedesaan/Perkotaan (IMP) mandiri di
desa/kelurahan, dusun/RW RT sebesar 50%.
ii. Pembinaan Petugas Lini Lapangan dalam Pengolaan Program KB/KR, dan
KS/PK di desa/kelurahan.
 Cakupan desa/kelurahan yang mempunyai Petugas Lapangan KB/PKB di
desa/kelurahan sebesar 100%.
2.10 MDGs,Kesehatan Masyarakat serta keadaannya di Indonesia

2.10.1 Definisi MDGs


MDGs (Milenium Development Goal) adalah agenda ambisius untuk
mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kehidupan yang disepakati para
pemimpin dunia pada Millennium Summit pada bulan September 2000. Untuk
setiap tujuan satu atau lebih target yang telah ditetapkan, sebagian besar untuk
tahun 2015, menggunakan tahun 1990 sebagai patokan. Millenium
Development Goals (MDGs) pada dasarnya mewujudkan komitmen
internasional yang dibuat di Perserikatan Bangsa-Bangsa

Isi MDGs

MDGs terdiri dari 8 tujuan (goals), 20 target, serta 60 indikator (indicators). Berikut
adalah isi MDGs secara keseluruhan:

 Tujuan 1. Mengentaskan Kemiskinan Ekstrim dan Kelaparan

Target 1a: Mengurangi sampai setengah jumlah orang yang hidup


dengan kurang dari satu dollar per hari
Dengan indikator:
 1.1 Proporsi pendapatan penduduk di bawah $ 1 (PPP) per hari
 1.2 Rasio Kesenjangan Kemiskinan
 1.3 Kontribusi kuantil pertama penduduk berpendapatan terendah
terhadap konsumsi nasional.

Target 1b: Mencapai penuh dan produktif kerja dan pekerjaan


yang layak bagi semua, termasuk perempuan dan kaum muda

Dengan indikator:
 1.4 Laju Pertumbuhan PDB per orang dipekerjakan
 1.5Pekerjaan per perbandingan penduduk
 1.6 Proporsi orang yang diperkerjakan yang hidup di bawah $ 1 (PPP)
per hari
 1.7 Proporsi rekening sendiri dan memberikan kontribusi pada pekerja
keluarga kerja

Target 1c: Mengurangi sampai setengah proporsi penduduk yang menderita


kelaparan
 1.8 Prevalensi berat badan-anak di bawah usia lima tahun
 1.9 Proporsi penduduk di bawah tingkat diet konsumsi minimum
(2.100 kkal/per kapita/hari).

 Tujuan 2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua

Target 2a: Memastikan bahwa setiap anak laki-laki dan


perempuan menyelesaikan pendidikan sekolah dasar
Dengan Indikator:
 2.1 Rasio partisipasi pendidikan dasar
 2.2 Proporsi murid mulai kelas 1 yang mencapai kelas terakhir primer
 2.3 Melek Huruf-anak usia 15-24 tahun, perempuan dan laki-laki

 Tujuan 3. Mendukung Kesetaraan Gender dan Memberdayakan


Perempuan

Target 3a: Menghapus perbedaan gender dalam pendidikan dasar


dan menengah pada tahun 2005, dan pada semua tingkatan pada tahun
2015.
Dengan Indikator:
 3.1 Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di
pendidikan primer, sekunder dan tersier.
 3.2 Proporsi perempuan dalam upah kerja di sektor non-
pertanian
 3.3 Proporsi kursi dipegang oleh perempuan di parlemen
nasional
 Tujuan 4. Mengurangi Tingkat Kematian Anak

Target 4a: Mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak di bawah usia
lima.
Dengan Indikator:
 4,1 bawah-lima angka kematian
 4.2 Infant mortality rate Angka kematian bayi 4,2
 4.3 Proporsi 1 tahun anak-anak diimunisasi terhadap campak

 Tujuan 5. Meningkatkan Kesehatan Ibu Target

Target 5a: Mengurangi sampai tiga perempat rasio kematian ibu


Dengan Indikator:
 5.1 Rasio kematian ibu
 5.2 Proporsi kelahiran yang dibantu oleh tenaga kesehatan terampil

Target 5b: Mencapai, pada tahun 2015, akses universal untuk kesehatan
reproduksi.
Dengan Indikator:
 5.3 Prevalensi kontrasepsi
 5.4 Tingkat kelahiran remaja.
 5.5 Cakupan kehamilan (setidaknya satu kunjungan dan setidaknya
empat dilihat).
 5.6 Belum terpenuhi kebutuhan keluarga berencana.

 Tujuan 6. Memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya Target

Target 6a: Menghentikan dan mulai membalikkan penyebaran HIV / AIDS


Dengan Indikator:
 6.1 Prevalensi HIV di antara penduduk usia 15-24 tahun.
 6.2 Penggunaan kondom pada seks berisiko tinggi.
 6.3 Proporsi penduduk berusia 15-24 tahun dengan pengetahuan
yang benar tentang komprehensif HIV / AIDS
 6.4 Perbandingan kehadiran disekolah anak yatim dan sekolah non-
anak yatim berusia 10-14.

Target 6b: Mencapai, pada tahun 2010, akses universal terhadap


pengobatan untuk HIV/AIDS bagi semua orang yang membutuhkannya.
Dengan Indikator:
 6.5 Proporsi penduduk dengan infeksi HIV lanjut dengan akses
terhadap obat antiretroviral.

Target 6c: Menghentikan dan mulai membalikkan insiden malaria


dan penyakit utama lainnya.
Dengan Indikator:
 6.6 Insidensi dan angka kematian yang terkait dengan malaria
 6.7 Proporsi anak-anak di bawah 5 tidur di bawah diperlakukan
insektisida dan kelambu.
 6.8 Proporsi anak-anak di bawah 5 dengan demam yang tepat diobati
dengan obat anti-malaria.
 6.9 Insiden, prevalensi dan tingkat kematian yang terkait dengan TBC
 6.10 Proporsi kasus TBC yang terdeteksi dan sembuh di bawah
pengobatan yang diawasi secara langsung.

 Tujuan 7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Target

Target 7a: Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang


berkelanjutan dalam kebijakan setiap negara dan program; sebaliknya
hilangnya sumber daya lingkungan.

Target 7b: Mengurangi hilangnya keanekaragaman hayati dan


mencapai pada tahun 2010, penurunan yang signifikan pada tingkat
kerugian
Dengan indikator:
 7.1 Proporsi luas daratan ditutupi oleh hutan
 7.2 Emisi CO2, total, per kapita dan setiap $ 1 PDB (PPP)
 7.3 Konsumsi zat-zat pengurang ozon
 7.4 Proporsi stok ikan dalam batas-batas biologis yang aman
 7.5 Proporsi dari total sumber daya air yang digunakan
 7.6 Proporsi darat dan wilayah laut yang dilindungi
 7.7 Proporsi spesies terancam punah

Target 7c: Mengurangi sampai setengah proporsi penduduk tanpa


akses berkelanjutan ke air minum yang aman dan sanitasi dasar
Dengan Indikator
 7.8 Proporsi penduduk menggunakan sumber air minum diperbaiki
 7.9 Proporsi penduduk menggunakan fasilitas sanitasi yang baik

Target 7d: Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan untuk


sedikitnya 100 juta di daerah kumuh, tahun 2020
Dengan Indikator
 7.10 Proporsi penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh

 Tujuan 8. Mengembangkan Kemitraan untuk Pembangunan

Target 8a: Mengembangkan lebih jauh lagi terbuka, berbasis


peraturan, dapat diprediksi, non-diskriminatif perdagangan dan sistem
keuangan
Termasuk komitmen terhadap pemerintahan yang baik, pembangunan dan
pengentasan kemiskinan – baik nasional dan internasional

Target 8b: Membantu kebutuhan khusus dari negara-negara kurang


berkembang
Termasuk: tarif dan kuota bebas akses bagi negara berkembang ‘ekspor, program
peningkatan hutang untuk negara-negara miskin berutang banyak (HIPC) dan pembatalan
utang bilateral resmi dan lebih murah hati ODA bagi negara-negara berkomitmen untuk
pengentasan kemiskinan.
Target 8c: Membantu kebutuhan khusus negara-negara berkembang
dan daratan pulau kecil berkembang Serikat (melalui Program Aksi untuk
Pembangunan Berkelanjutan di Pulau Kecil Mengembangkan Serikat dan
hasil dari kedua puluh dua sidang khusus Majelis Umum).

Target 8d: Secara komprehensif mengusahakan persetujuan


mengenai masalah utang dengan negara-negara berkembang melalui upaya
nasional dan internasional untuk membuat utang berkelanjutan dalam
jangka panjang.
Beberapa indikator yang tercantum di bawah ini dimonitor secara terpisah untuk
negara-negara kurang berkembang (LDCs), Afrika, negara-negara berkembang yang
terkurung daratan dan kepulauan kecil yang sedang bekembang.

Official development assistance (ODA)/Bantuan pembangunan resmi (ODA)


 8.1 Net ODA, total dan untuk negara berkembang, sebagai
persentase OECD / DAC donor pendapatan nasional bruto
 8.2 Proporsi dari total bilateral, sektor-ODA dapat diperuntukkan
OECD / DAC donor untuk pelayanan sosial dasar (pendidikan dasar, perawatan
kesehatan primer, gizi, air bersih dan sanitasi)
 8.3 Proporsi bantuan pembangunan bilateral resmi OECD / DAC donor
yang tidak mengikat
 8.4 ODA yang diterima di daratan negara-negara berkembang sebagai
proporsi dari pendapatan nasional bruto mereka
 8.5 ODA yang diterima di kepulauan kecil yang sedang bekembang
sebagai proporsi dari pendapatan nasional bruto mereka.

Akses pasar
 8.6 Proporsi dari total impor negara maju (dengan nilai dan tidak
termasuk senjata) dari negara-negara berkembang dan negara sedang
berkembang, mengaku bebas dari kewajiban
 8.7 Rata-rata tarif yang diberlakukan oleh negara-negara maju pada
produk-produk pertanian dan tekstil dan pakaian dari negara-negara berkembang
 8.8 Dukungan Pertanian perkiraan untuk negara-negara OECD sebagai
persentase dari produk domestik bruto mereka
 8.9 Proporsi ODA yang disediakan untuk membantu membangun
kapasitas perdagangan

Debt sustainability Keberlanjutan hutang


 8.10 Total jumlah negara-negara yang telah mencapai titik
keputusan HIPC dan jumlah yang telah mencapai penyelesaian HIPC poin
(kumulatif)
 8.11 Penghapusan utang berkomitmen di bawah Inisiatif HIPC dan
MDRI
 8.12 Utang layanan sebagai persentase dari ekspor barang dan jasa

Target 8e: Dalam kerjasama dengan perusahaan farmasi,


menyediakan akses ke obat-obatan penting yang terjangkau di negara-
negara berkembang
 8.13 Proporsi penduduk dengan akses ke obat-obatan penting yang
terjangkau atas dasar yang berkelanjutan

Target 8F: Dalam kerjasama dengan pihak swasta, membangun


adanya penyerapan keuntungan dari teknologi-teknologi baru, terutama
teknologi informasi dan komunikasi
 8.14 Jaringan telepon per 100 penduduk
 8.15 Pelanggan telepon seluler per 100 penduduk
 8.16 Pengguna internet per 100 penduduk

PROGRAM PEMERINTAH UNTUK MENCIPTAKAN


PERNIKAHAN DAN KELUARGA SEHAT
1. Konseling pranikah
2. Tes kesehatan pranikah
3. Penundaan usia nikah
4. Penundaan usia hamil
5. Keluarga berencana
 Indikator 1 :
 Pelayanan komunikasi informasi dan edukasi (kie kb dan ks untuk
 Menurunkan jumlah pasangan usia subur yang isterinya dibawah usia
dibawah 20 tahun melalui kegiatan pembinaan remaja).

Indikator 2 :
Pelayanan kie untuk memenuhi permintaan masyarakat menjadi
 Peserta kb aktif melalui pelayanan kb baru dan membina peserta kb
aktif

Indikator 3
Pelayanan kie bagi pus yang ingin ber kb agar terpenuhi
Kebutuhannya (unmet need)

Indikator 4
Pelayanan kie untuk menambah cakupan keluarga balita anggota
Bina keluarga balita (bkb) untuk ber kb

Indikator 5
Pelayanan kie untuk meningkatkan cakupan keluarga kps dan ks i
Anggota uppks berusaha dan ber kb .

Indikator 6
Petugas lapangan keluarga berencana/penyuluh keluarga
Berencana disetiap desa/kelurahan

Indikator 7
Cakupan petugas pembina keluarga berencana desa (ppkbd)
Disetiap desa/kelurahan

Indikator 8
Pelayanan penyediaan alat, obat dan cara kontrasepsi

Indikator 9
Pelayanan penyediaan informasi data mikro ketersedian informasi
Data mikro keluarga disetiap desa

6. Adanya UUD KDRT


7. Adanya UUD anti perdagangan wanita dan anak.

MASALAH-MASALAH
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan kesehata keluarga, yang menjadi prioritas
utama adalah keluarga-keluarga yang risiko tinggi dalam bidang kesehatan, meliputi:
a. Keluarga dengan anggota keluarga dalam masa usia subur dengan masalah
sebagai berikut:
Tingakat social ekonomi keluarga rendah
Keluarga kurang atau tidak mampu mengatasi maslaah kesehatan sendiri
Kelurga dengan keturunan yang kurang baik atau keluarga dengan penyakit
keturunan
b. Keluarga degan ibu risiko tinggi kebidanan. Waktu hamil:
Umur ibu (16th atau lebih 35th)
Menderita kekurangan gizi atau anemia
Menderita hipertensi
Primipara atau multipara
Riwayat persalinan dengan komplikasi
c. Keluarga dimana anak menjadi risiko tinggi, karena:
Lahir prematur atau BBLR
Lahir degan cacat bawaan
ASI ibu kurang sehigga tidak mencukupi kebutuhan bayi
Ibu menderita penyakit menular yang dapat mengancam bayi atau anaknya
d. Kelurga mempunyai maslah dalam hubungan antara anggota keluarga:
Anak yag tidak dikehendaki dan pernah dicoba untun digugurkan
Tidak ada kesesuaiana pendapatantara anggota keluarga dan sering cekcok dan
ketegangan
Ada anggota keluarga yang sering sakit
Salah satu orang tua (suami atau istri) meinggal, caria, atau lari meninggalkan
keluarga.
BAB III

KONDISI LAPANGAN

I. Demografi
Data demografi yang disajikan dalam laporan ini mencakup
keterangan yang berkaitan dengan keluarga, mencakup jumlah keluarga, kepala
keluarga, jumlah jiwa dalam keluarga baik dalam bentuk agregat maupun
kelompok umur, dan jumlah pasangan usia subur (PUS).
a. Kepala Keluarga (KK)
Informasi tentang Kepala Keluarga (KK) yang dikumpulkan dalam
Pendataan Keluarga Tahun 2012 tercatat sebanyak 64.693.806 KK atau
99,13 % dari jumlah keluarga yang ada sebanyak 65.262.232 KK. Dari
seluruh Kepala Keluarga yang didata itu dapat dirinci menurut
karakteristiknya, seperti status jenis kelamin, status pekerjaan (bekerja
dan tidak bekerja), status perkawinan (kawin dan janda/duda/belum
kawin), dan tingkat pendidikan (tidak tamat SD, tamat SD SLTP, tamat
SLTA, dan tamat AK/PT).Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2012 yang
secara nasional, Kepala Keluarga menurut status jenis kelamin tercatat
sebanyak 57.147.185 KK (88,33%) adalah KK laki-laki dan sebanyak
7.546.621 (11,67 %) adalah KK perempuan. Daerah Provinsi yang
prosentase KK dengan jenis kelamin perempuan yang tinggi adalah di
Kepulauan Riau(31,32%), Aceh, (17,47%), Nusa Tenggara Barat
(14,87%), Sulawesi Selatan (14,33%) dan Sumatera Barat (14,25%). Menurut
status kawin para Kepala Keluarga yang didata itu sebanyak 55.966.040 KK
(86,51 %) berstatus kawin, dan sisanya sebanyak 8.727.766 KK (13,49
%) berstatus janda/duda/belumkawin. Angka persentase tertinggi KK
berstatus janda/duda/belum kawin adalah di Provinsi Aceh (19,04%), Nusa
Tenggara Barat (17,24%), DI Yogyakarta (17,02%), Sulawesi Selatan
(16,98%) dan Sumatera Barat (16,10%). Sedangkan angka persentase status
kawin tertinggi ada di Provinsi Bali (92,34%), Papua Barat (91,16%), Riau
(91,11%), Lampung (90,77%), Sumatera Selatan (90,66%), Kepulauan Riau
(90,51%) dan Bengkulu (90,35%). Menurut status pendidikan dari Kepala
Keluarga pada umumnya masih berpendidikan rendah yaitu sebanyak
67,91% dari seluruh Kepala Keluarga itu berpendidikan Tamatan SLTP
kebawah bahkan 17,35% diantaranya tidak tamat SD. Provinsi dengan
angka persentase tertinggi untuk KK berpendidikan Tidak Tamat SD
adalah Provinsi Papua (43,27%), Nusa Tenggara Barat (31,71%), Nusa
Tenggara Timur (29,44%)dan Gorontalo (29,36%). Sebaliknya angka
persentase tertinggi untuk KK berpendidikan Tamat Akademi/Universitas
adalah Provinsi DKI Jakarta (17,26%), Bengkulu (11,55%), Maluku
(10,94%), Kepulauan Riau (10,90%) dan Kalimantan Timur (10,45%).
Menurut status pekerjaan dapat diungkapkan bahwa sebanyak 57.903.517
KK (89,50 %) berstatus bekerja, dan sebanyak 6.790.289 KK (10,50 %)
berstatus tidak bekerja. Provinsi dengan persentase KK tidak bekerja
tertinggi adalah Provinsi Papua (21,21%), Maluku (16,28%), DKI Jakarta
(15,62%), Banten (15,48%) dan Jawa Barat (15,12%). Sebaliknya angka
persentase KK dengan status bekerja tertinggi adalah Provinsi Nusa
Tenggara Timur (96,35%), Bali (95,72%) dan Kalimantan Tengah (95,08%).
Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2012 menunjukkan bahwa secara
nasional sebanyak 5.269.864 KK atau 8,15% dari 64.693.806 keluarga
yang didata berstatus mendapat bantuan modal. Angka persentase KK
yang mendapat bantuan modal terendah ada di Provinsi Sumatera Utara
(2,13%), Kalimantan Tengah (2,49%), dan Lampung (2,50%). Sementara
itu angka persentase tertinggi terdapat di Provinsi Gorontalo (26,03%)
dan Nusa Tenggara Timur (20%).
b. Jumlah dan Rata-rata Jiwa per Keluarga
Jumlah jiwa dalam keluarga yang terekam dalam pendataan
keluarga tahun 2012 tercatat sebanyak 237.896.180 jiwa. Terdiri dari
jumlah jiwa dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 119.376.274 jiwa dan
sebanyak 118.519.906 jiwa perempuan atau sex ratio 101 .
Dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 64.693.806 KK, dapat
diperoleh rata-rata jumlah jiwa per keluarga sebesar 3,68 jiwa, artinya
setiap keluarga mempunyai anggota keluarga sekitar 3-4 jiwa. Rata-rata
jumlah jiwa dalam keluarga lebih cenderung menggambarkan beban yang
harus ditanggung oleh keluarga, dari pada menggambarkan kondisi
tingkat fertilitas. Hal ini dikarenakan anak yang sudah berkeluarga (berstatus
kawin) tidak lagi dihitung sebagai anggota keluarga. Semakin besar rata-rata
jumlah jiwa dalam keluarga berarti semakin berat beban yang harus
ditanggung keluarga.
Di wilayah Jawa Bali angka rata-rata jumlah jiwa per keluarga sebesar
3,52 jiwa atau lebih rendah dibanding wilayah Luar Jawa Bali I (3,88 ) dan
Luar Jawa Bali II (4,01 ). Tiga provinsi di wilayah Jawa Bali yang angka rata-
rata jiwa per keluarga masih tinggi antara lain Banten (4,00), DKI Jakarta
(3,89) dan Bali (3,79). Di wilayah Luar Jawa Bali I, provinsi-provinsi
yang rata-rata jumlah jiwa per keluarga tinggi antara lain Sumatera Utara
(4,24), Sulawesi Barat (4,11) dan Kalimantan Barat (3,99). Sedangkan
untuk wilayah Luar Jawa Bali II rata-rata jumlah jiwa per keluarga yang
tinggi antara lain Provinsi Papua (5,00), Papua Barat (4,34), Nusa
Tenggara Timur (4,32) dan Maluku (4,32).
Perkembangan rata-rata jumlah jiwa per keluarga secara nasional
selama 2 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 3. Angka rata-rata
jumlah jiwa per keluarga secara nasional pada tahun 2011 dan 2012
menunjukkan sedikit penurunan menjadi 3,68 jiwa per keluarga.
c. Komposisi Jiwa dalam Keluarga menurut Kelompok Umur
Jumlah jiwa dalam keluarga menurut komposisi kelompok umur
adalah sebagai berikut:
1. Jumlah jiwa anggota keluarga yang berusia 0 - < 1 tahun
(bayi) tercatat sebanyak 3.938.393 jiwa atau 1,66 % dari seluruh jiwa
dalam keluarga. Dilihat per provinsi angka persentase jumlah bayi
dibawah satu tahun ini yang tertinggi ada di Provinsi Papua (3,32%),
sedangkan yang terendah ada di Provinsi DI Yogyakarta (0,41%).
2. Jumlah jiwa anggota yang berusia 1 - < 5 tahun tercatat
sebanyak13.772.389 jiwa atau 5,79 % dari seluruh jiwa dalam
keluarga. Dilihat per provinsi angka persentase ini bervariasi dari
terendah di ProvinsiJawa Timur (5,00%), dan tertinggi di Provinsi
Kepulauan Riau (8,12%).
3. Jumlah jiwa anggota keluarga umur 5 - 6 tahun tercatat
sebanyak 8.800.303 jiwa atau 3,70 % dari seluruh jiwa dalam keluarga.
Dilihat per provinsi angka persentase ini bervariasi dari terendah di
Provinsi DI Yogyakarta (2,81%) dan teringgi di Provinsi Papua Barat
(5,94%).
4. Jumlah jiwa anggota keluarga yang berusia 7 - 15 tahun (usia
wajib belajar) secara nasional tercatat sebanyak 41.815.397 jiwa atau
17,58 % dari seluruh jiwa dalam keluarga. Angka persentase anak usia
sekolah (7 -15 th) tertinggi di Provinsi Sulawesi Barat (22,92%), dan
terendah di Provinsi DI Yogyakarta (13,25%).
5. Jumlah jiwa anggota keluarga kelompok umur 16 - 21 tahun
secara nasional tercatat sebanyak 29.855.479 jiwa atau sebesar 12,55
% dari seluruh anggota keluarga yang didata. Dilihat per provinsi
angka persentase ini tertinggi di Provinsi Papua (23,87%), dan terendah
di Provinsi D.I.Yogyakarta (8,89%)
6. Jumlah jiwa anggota keluarga kelompok umur 22 - 59 tahun
secara nasional tercatat sebanyak 122.642.463 jiwa atau sebesar 51,55
% dari seluruh anggota keluarga yang didata. Dilihat per provinsi
angka persentase ini tertinggi di Provinsi DKI Jakarta (58,05%), dan
terendah di Provinsi Papua Barat (40,83%).
7. Jumlah jiwa anggota keluarga umur 60 tahun ke atas,
secara nasional tercatat sebanyak 17.071.756 jiwa atau 7,18 % dari
seluruh jiwa dalam keluarga. Dilihat per provinsi angka persentase ini
tertinggi di Provinsi D.I. Yogyakarta (14,50%), dan terendah di Provinsi
Papua (1,96%).
d. Anak Usia Sekolah Berstatus Sekolah
Data tentang anak usia sekolah yang dikumpulkan melalui Pendataan
Keluarga ini, dan dirinci menurut kelompok umur jenjang pendidikan dasar
(SD dan SLTP), serta menurut status sekolah dan tidak sekolah, dan jenis
kelamin. Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2012 memperlihatkan bahwa
secara nasional jumlah anak usia 7 – 15 ntahun yaitu usia sekolah (wajib
belajar 9 tahun) dalam keluarga tercatat sebanyak 41.815.397 orang. Dari
jumlah ini anak usia sekolah yang berstatus sekolah tercatat sebanyak
39.377.190 orang atau 94,17 % dari seluruh anak usia sekolah 7-15 tahun.
Menurut jenis kelamin usia sekolah 7 -15 tahun yang bersekolah terdiri dari
20.210.510 laki-laki (48,33 %), dan 19.166.680 perempuan (45,84 %).
Sementara itu, jumlah anak usia sekolah 7-15 tahun yang tidak sekolah
tercatat sebanyak 2.438.207 jiwa (5,83 %), dan menurut jenis kelamin
terdiri dari 1.302.928 jiwa laki-laki (3,12 %) dan 1.135.279 jiwa
perempuan (2,71 %).
e. Rata – Rata Anak Balita
Hasil pendataan tahun 2012 menunjukkan bahwa di seluruh Indonesia
tercatat jumlah kepala keluarga sebanyak 64.693.806 KK dan jumlah
anak balita sebanyak 17.710.782 anak, sehingga rata-rata anak balita per
keluarga terdapat 0,3 balita, atau dengan kata lain setiap 100 keluarga
terdapat 30 balita. Pada pendataan tahun 2012 ini terdapat 3 provinsi
mempunyai rata-rata balita per keluarga terendah yaitu Provinsi Jawa
Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara dan Kalimantan
Tengah masing-masing 0,2 balita per keluarga.
Sementara itu Pendataan Keluarga Tahun 2012 ini juga tercatat
jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) sebanyak 45.504.450 PUS. Jika
dibandingkan dengan jumlah anak balita, maka dapat dikatakan bahwa rata-
rata setiap PUS terdapat 0,4 balita, atau dengan kata lain setiap 100 PUS
terdapat 40 balita. Dilihat per provinsi rata-rata terendah di Provinsi Jawa
Barat, Jawa Timur, Bali, dan Kalimantan Tengah (0,3 balita per PUS) dan
tertinggi diProvinsi Nusa Tenggara Timur (0,7 balita per PUS) dan Maluku,
Papua Barat dan Kepualauan Riau (0,6 balita per PUS).
Pada pendataan keluarga tahun 2012 ini juga dicatat jumlah Wanita
Usia Subur (WUS) sebanyak 67.551.924 wanita. Kalau angka ini
dibandingkan dengan jumlah anak balita, maka rata-rata jumlah balita per
wanita usia subur tercatat sebesar 0,3 balita per WUS. Dengan kata lain
setiap 100 WUS terdapat 30 anak balita. Menurut provinsi angka rata-rata
balita per WUS ini terendah di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, Bengkulu, Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Timur (0,2) dan tertinggi di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Maluku, Papua Barat dan Kepulauan Riau (0,4).

II. Keluarga Berencana


a. Pasangan Usia Subur (PUS) menurut Kelompok Umur
Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di seluruh Indonesia yang
tercatat pada Pendataan Keluarga Tahun 2012 sebanyak 45.504.450
pasangan. Dari jumlah tersebut dilihat dari kelompok umur istri tercatat
sebanyak 1.765.071 istri atau 3,88% berusia di bawah 20 tahun,
15.401.459 istri atau 33,85% berusia 20-29 tahun, dan 28.337.920 istri
atau 62,28 % berusia 30 tahun ke atas. Di tingkat provinsi, angka
persentase PUS berusia di bawah 20 tahun berkisar antara 1,07% di DKI
Jakarta hingga 12,59% di Papua Barat. Jarak sebar untuk PUS berusia 20-29
tahun antara 19,22% di DI Yogyakartahingga 40,21% di Papua,
sedangkan PUS berusia 30 tahun ke atas antara 49,45% hingga 79,68%,
masing-masing di Kalimantan Baratdan DI Yogyakarta.
Perkembangan angka persentase PUS menurut kelompok umur
selama dua tahun terakhir dapat diungkapkan sebagai berikut:
1) Angka persentase jumlah PUS umur dibawah 20 tahun
terhadap seluruh PUS, antara tahun 2011 dan tahun 2012, secara
nasional sedikit menurun dari 3,91% menjadi 3,88%.
2) Angka persentase jumlah PUS usia 20-29 tahun
terhadap seluruh PUS, terjadi sedikit penurunan dari 34,58% menjadi
33,85%.
3) Angka persentase jumlah PUS usia 30 tahun keatas
terhadap seluruh PUS terjadi peningkatan dari 61,10% menjadi 62,28%.
b. Tingkat Kesertaan ber-KB
Tingkat kesertaan ber-KB diukur dari angka persentase PUS yang
menjadi peserta KB. Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2012 menunjukkan
bahwa secara nasional jumlah peserta KB tercatat sebanyak 32.773.343
peserta, dan jumlah PUS sebanyak 45.504.450 pasangan, sehingga tingkat
kesertaan ber-KB dari seluruh pasangan usia subur (PUS) sebesar 72,02 %,
atau 7 dari 10 PUS pada tahun 2012 menjadi peserta KB. Tingkat kesertaan
ber-KB ini dilihat menurut provinsi hasil pendataan keluarga tahun 2012
menunjukkan jarak sebar yang tinggi pula, yaitu terendah di Provinsi Papua
Barat sebesar 32,80%, dan tertinggi di Bali sebesar 85,05%.
III. Keluarga Sejahtera
Secara nasional jumlah keluarga yang didata pada tahun 2012 sebanyak
64.693.806 keluarga. Dengan menggunakan 21 indikator, maka dapat
diklasifikasikan jumlah keluarga sejahtera dalam 5 tahapan yaitu:
a. Keluarga Para Sejahtera sebanyak 13.106.115 (20,26 %)
b. Keluarga Sejahtera I sebanyak 14.934.983
(23,09 %)
c. Keluarga Sejahtera II sebanyak 18.567.901
(28,70 %)
d. Keluarga Sejahtera III sebanyak 14.940.673
(23,09%)
e. Keluarga Sejahtera III Plus sebanyak 3.144.134 (4,86% )
jumlah keluarga menurut klasifikasi tahapan KS I sampai KS III+
meningkat, tetapi untuk Keluarga Prasejahtera menurun dari 13.226.040
keluarga pada tahun 2011 menjadi 13.106.115 keluarga pada tahun 2012.
Untuk Keluarga Sejahtera I, II, III dan III+ baik secara absolut
maupun angka persentase terhadap seluruh keluarga mengalami peningkatan.
Angka persentase Keluarga Pra Sejahtera mengalami penurunan sebesar 0,60
point dari 20,86% di tahun 2011 menjadi 20,26% di tahun 2012. Sedangkan
angka persentase Keluarga Sejahtera I pada Pendataan Keluarga Tahun 2012
secara nasional mengalami kenaikan sebesar 0,08 point yaitu dari 23,01%
pada Pendataan Keluarga Tahun 2011 menjadi 23,09% pada Pendataan
Keluarga Tahun 2012. Pada Keluarga Sejahtera II pada Pendataan Keluarga
Tahun 2012 secara nasional mengalami kenaikan sebesar 0,12 point yaitu dari
28,66% pada Pendataan Keluarga Tahun 2011 menjadi 28,70% pada
Pendataan Keluarga Tahun 2012. Begitu pula dengan Persentase untuk
Keluarga Sejahtera III juga mengalami kenaikan sebesar 0,14 point dari
22,95% di tahun 2011 menjadi 23,09% di tahun 2012.Persentase untuk
Keluarga Sejahtera III+ juga mengalami kenaikan sebesar 0,34 point dari
4,52% di tahun 2011 dan menjadi 4,86% di tahun 2012.
BAB IV

PEMBAHASAN

Keluarga memiliki fungsi yang sangat strategis dalam mempengaruhi status kesehatan
anggotanya. Diantara fungsi keluarga dalam tatanan masyarakat yaitu memenuhi kebutuhan
gizi dan merawat serta melindungi kesehatan para anggotanya. Hal itu dilakukan dalam
upaya mengoptimalkan pertumbuhan, perkembangan dan produktivitas seluruh anggotanya.

Ibu dan anak merupakan anggota keluarga yang perlu mendapatkan prioritas dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan, karena ibu dan anak merupakan kelompok rentan terhadap
keadaan keluarga dan sekitarnya secara umum. Sehingga penilaian terhadap status kesehatan
dan kinerja upaya kesehatan ibu dan anak penting untuk dilakukan.

A. KESEHATAN IBU
Terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur status kesehatan
ibu pada suatu wilayah, salah satunya yaitu Angka Kematian Ibu (AKI). AKI merupakan
salah satu indikator yang peka terhadap kualitas dan aksesibilitas fasilitas pelayanan
kesehatan.
Dari data 5.1 yang ada pada keadaan lapangan menunjukkan bahwa AKI di
Indonesia sejak tahun 1991 hingga 2007 mengalami penurunan dari 390 menjadi 228 per
100.000 kelahiran hidup. Namun pada tahun 2012 SDKI kembali mencatat kenaikan
AKI yang signifikan, yakni dari 228 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran
hidup.
Upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian neonatal dilakukan
dengan cara :
a. Meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru
lahir minimal 150 rumah sakit (PONEK) dan 300 puskesma/balkesmas (PONED)
b. Memperkuat sistem rujukan yang efektif dan efisien antar puskesmas
dan rumah sakit.

Upaya pelayanan kesehatan ibu meliputi :


1. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil
Pelayanan kesehatan ibu hamil diwujudkan dengan pemberian pelayanan
antenatal sekurang-kurangnya empat kali selama masa kehamilan, dengan distribusi
waktu minimal satu kali pada trimester pertama (0-12 minggu), satu kali pada
trimester kedua (12-24 minggu), dan dua kali pada trimester ketiga (usia kehamilan
24 minggu sampai persalinan). Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk
menjamin perlindungan terhadap ibu hamil dan atau janin berupa deteksi dini faktor
resiko, pencegahan dan penanganan dini komplikasi kehamilan.
Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan indikator
cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh
pelayanan antenatal pertama kali oleh tenaga kesehatan dibandingkan jumlah sasaran
ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Sedangkan cakupan K4
adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan
standar paling sedikit empat kali sesuai jadwal yang dianjurkan dibandingkan jumlah
sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Indikator
tersebut memperlihatkan akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hami dan tingkat
kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya pada tenaga kesehatan.
Dari tabel 5.2 yang ditunjukkan pada kondisi lapangan secara umum cakupan
pelayanan kesehatan ibu hamil K1 dan K4 mengalami kenaikan. Cakupan K1 dan K4
secara umum mengalami kenaikan tersebut menunjukkan semakin banyaknya akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu hamil yang diberikan oleh tenaga
kesehatan. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa kenaikan cakupan K1 dari
tahun ke tahun relatif lebih stabil dibandingkan dengan cakupan K4. Cakupan K1
hampir selalu mengalami peningkatan, kecuali pada dua tahun terakhir. Hal itu sedikit
berbeda dengan cakupan K4 yang tidak selalu mengalami kenaikan, meskipun selama
kurun waktu 10 tahun terakhir tetap memiliki kecenderungan mengalami peningkatan.
Upaya meningkatkan cakupan antenatal juga makin diperkuat dengan adanya
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010 dan diluncurkannya
Jaminan Persalinan (Jampersal) sejak tahun 2011 hingga tahun 2013, dimana
keduanya saling bersinergi dalam memperkuat penurunan AKI di Indonesia.
Semakin kuatnya kerja sama dan sinergi berbagai program yang dilakukan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat sektor swasta diharapkan
mendorong tercapainya target cakupan pelayanan antenatal yang berkualitas dan
sekaligus menurunkan AKI di Indonesia.
2. Pelayanan Kesehatan Ibu Bersalin
Pencapaian upaya kesehatan ibu bersalin diukur melalui indikator presentase
persalinan ditolong tenaga kesehatan terlatih (Cakupan Pn). Indikator ini
memperlihatkan tingkat kemampuan pemerintah dalam menyediakan pelayanan
persalinan berkualitas yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
Dari tabel 5.5 pada kondisi lapangan menunjukkan bahwa secara umum
cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia mengalami
kenaikan setiap tahunnya. Cakupan secara nasional pada tahun 2014 yaitu sebesar
88,68 % dimana angka ini belum dapat memenuhi target Renstra Kementrian
Kesehatan tahun 2014 yakni sebesar 90 %. Namun demikian, di Indonesia sebanyak
14 provinsi telah dapat mencapai target Renstra tersebut, dan 20 provinsi belum dapat
mencapai target.
Kementerian Kesehatan harus tetap konsisten dalam menerapkan kebijakan
bahwa seluruh persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatandan didorong untuk
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan, hal itu untuk menekan resiko kematian ibu
dalam persalinan.

3. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas


Dari tabel 5.11 pada kondisi lapangan menunjukkan bahwa capaian cakupan
kunjungan nifas (KF3) di Indonesia dalam kurun waktu 7 tahun terakhir secara umum
mengalami kenaikan. Capaian indikator KF3 yang meningkat dalam 7 tahun terakhir
merupakan hasil dari berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat
termasuk sektor swasta.

B. KESEHATAN ANAK PADA KELUARGA SEJAHTERA

Upaya pemeliharaan kesehatan anak ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang


akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian
anak. Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak janin masih dalam kandungan,
dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.

Untuk mencapai target penurunan AKB pada MDG 2015 yaitu sebesar 23 per 1.000
kelahiran hidup maka peningkatan akses dan kualitas pelayanan bagi bayi baru lahir
(neonatal) menjadi prioritas utama. Komitmen global dalam MDGs menetapkan target terkait
kematian anak yaitu menurunkan angka kematian anak hingga dua per tiga dalam kurun
waktu 1990-2015.

Data dan informasi yang akan disajikan berikut ini menerangkan berbagai indikator
kesehatan anak yang meliputi :

1. Pelayan Kesehatan Pada Bayi


Kesehatan bayi dan balita harus selalu dipantau untuk memastikan kesehatan
mereka selalu dalam kondisi optimal. Pelayanan kesehatan bayi termasuk salah satu
dari beberapa indikator yang bisa menjadi ukuran keberhasilan upaya peningkatan
kesehatan bayi dan balita. Pelayanan kesehatan pada bayi ditujukan pada bayi usia 29
hari sampai dengan 11 bulan dengan memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
standar oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi klinis kesehatan (dokter,
bidan, dan perawat) minimal empat kali, yaitu pada usia 29 hari–2 bulan, usia 3–5
bulan, usia 6–8 bulan dan usia 9–12 bulan sesuai standar di satu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu.
Pelayanan ini terdiri dari penimbangan berat badan, pemberian imunisasi dasar
(BCG, DPT/HB1-3, Polio 1-4, dan Campak), Stimulasi Deteksi Intervensi Dini
Tumbuh Kembang (SDIDTK) bayi, pemberian vitamin A pada bayi, penyuluhan
perawatan kesehatan bayi serta penyuluhan ASI Eksklusif dan pemberian makanan
pendamping ASI (MP ASI).

2. Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpapar
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.
Beberapa penyakit menular yang termasuk ke dalam Penyakit yang Dapat Dicegah
dengan Imunisasi (PD3I) antara lain: TBC, Difteri, Tetanus, Hepatitis B, Pertusis,
Campak, Polio, radang selaput otak, dan radang paru-paru. Anak yang telah diberi
imunisasi akan terlindungi dari berbagai penyakit berbahaya tersebut, yang dapat
menimbulkan kecacatan atau kematian.
Proses pembentukan antibodi untuk melawan antigen secara alamiah disebut
imunisasi alamiah. Sedangkan program imunisasi melalui pemberian vaksin adalah
upaya stimulasi terhadap sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi dalam
upaya melawan penyakit dengan melumpuhkan antigen yang telah dilemahkan yang
berasal dari vaksin. Program imunisasi merupakan salah satu upaya untuk melindungi
penduduk terhadap penyakit tertentu. Program imunisasi diberikan kepada populasi
yang dianggap rentan terjangkit penyakit menular, yaitu bayi, balita, anak-anak,
wanita usia subur, dan ibu hamil.
Imunisasi terdiri dari:
a. Imunisasi Dasar Pada Bayi
Imunisasi melindungi anak terhadap beberapa Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Seorang anak diimunisasi dengan vaksin yang
disuntikkan pada lokasi tertentu atau diteteskan melalui mulut. Sebagai salah satu
kelompok yang menjadi sasaran program imunisasi, setiap bayi wajib
mendapatkan imunisasi dasar Lengkap yang terdiri dari : 1 dosis BCG, 3 dosis
DPT-HB dan atau DPT-HB-Hib, 4 dosis polio, dan 1 dosis campak. Dari
imunisasi dasar lengkap yang diwajibkan tersebut, campak merupakan imunisasi
yang mendapat perhatian lebih, hal ini sesuai komitmen Indonesia pada global
untuk mempertahankan cakupan imunisasi campak sebesar 90% secara tinggi dan
merata. Hal ini terkait dengan realita bahwa campak adalah salah satu penyebab
utama kematian pada balita. Dengan demikian pencegahan campak memiliki
peran signifikan dalam penurunan angka kematian balita.

b. Imunisasi Lengkap Pada Bayi


Program imunisasi pada bayi mengharapkan agar setiap bayi mendapatkan
imunisasi dasar secara lengkap. Keberhasilan seorang bayi dalam mendapatkan
imunisasi dasar tersebut diukur melalui indikator imunisasi dasar lengkap.
Capaian indikator ini di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 86,9%. Angka ini
belum mencapai target Renstra pada tahun 2014 yang sebesar 90%. Sedangkan
menurut provinsi, terdapat sembilan provinsi (27,27%) yang mencapai target
Renstra tahun 2014.

3. Pelayanan Kesehata Anak Balita


Kehidupan anak, usia dibawah lima tahun merupakan bagian yang sangat
penting. Usia tersebut merupakan landasan yang membentuk masa depan kesehatan,
kebahagiaan, pertumbuhan, perkembangan, dan hasil pembelajaran anak di sekolah,
keluarga, masyarakat dan kehidupan secara umum. Kesehatan bayi dan balita harus
dipantau untuk memastikan kesehatan mereka selalu dalam kondisi optimal. Untuk itu
dipakai indikator-indikator yang bisa menjadi ukuran keberhasilan upaya peningkatan
kesehatan bayi dan balita, salah satu diantaranya adalah pelayanan kesehatan anak
balita. Adapun batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur
12-59 bulan. Pelayanan kesehatan pada anak balita yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan meliputi : 1. Pelayanan pemantauan pertumbuhan minimal delapan kali
setahun (penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan minimal delapan kali
dalam setahun). 2. Pemberian vitamin A dua kali dalam setahun yakni setiap bulan
Februari dan Agustus 3. Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang
balita minimal dua kali dalam setahun. 4. Pelayanan Anak Balita Sakit sesuai standar
menggunakan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).

4. Pelayanan Kesehatan Anak Sekolah


Mulai masuk sekolah merupakan hal penting bagi tahap perkembangan anak.
Banyak masalah kesehatan terjadi pada anak usia sekolah, seperti misalnya
pelaksanaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti menggosok gigi dengan
baik dan benar, mencuci tangan menggunakan sabun, karies gigi, kecacingan,
kelainan refraksi/ketajaman penglihatan dan masalah gizi. Pelayanan kesehatan pada
anak termasuk pula intervensi pada anak usia sekolah. Anak usia sekolah merupakan
sasaran yang strategis untuk pelaksanaan program kesehatan, karena selain jumlahnya
yang besar, mereka juga merupakan sasaran yang mudah dijangkau karena
terorganisir dengan baik. Sasaran dari pelaksanaan kegiatan ini diutamakan untuk
siswa SD/sederajat kelas satu. Pemeriksaan kesehatan dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan bersama tenaga lainnya yang terlatih (guru UKS/UKSG dan dokter kecil).
Tenaga

123 Kesehatan Keluarga


kesehatan yang dimaksud yaitu tenaga medis, tenaga keperawatan atau
petugas puskesmas lainnya yang telah dilatih sebagai tenaga pelaksana UKS/UKGS.
Guru UKS/UKGS adalah guru kelas atau guru yang ditunjuk sebagai pembina
UKS/UKGS di sekolah dan telah dilatih tentang UKS/UKGS. Dokter kecil adalah
kader kesehatan sekolah yang biasanya berasal dari murid kelas 4 dan 5 SD dan
setingkat yang telah mendapatkan pelatihan dokter kecil. Hal ini dimaksudkan agar
pembelajaran tentang kebersihan dan kesehatan gigi bisa dilaksanakan sedini
mungkin. Kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan siswa tentang
pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut pada khususnya dan kesehatan tubuh
serta lingkungan pada umumnya.
Upaya kesehatan pada kelompok ini yang dilakukan melalui penjaringan
kesehatan terhadap murid SD/MI kelas satu juga menjadi salah satu indikator yang
dievaluasi keberhasilannya melalui Renstra Kementerian Kesehatan. Kegiatan
penjaringan kesehatan selain untuk mengetahui secara dini masalah-masalah
kesehatan anak sekolah sehingga dapat dilakukan tindakan secepatnya untuk
mencegah keadaan yang lebih buruk, juga untuk memperoleh data atau informasi
dalam menilai perkembangan kesehatan anak sekolah, maupun untuk dijadikan
pertimbangan dalam menyusun perencanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

Kaitan kesehatan keluarga sejahtera dengan sasaran MDG’s adalah


 MDG’s secara keseluruhan :
- Tujuan 2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua.
Target 2a: Memastikan bahwa setiap anak laki-laki dan perempuan
menyelesaikan pendidikan sekolah dasar.
Dengan Indikator:
 Rasio partisipasi pendidikan dasar
 Proporsi murid mulai kelas 1 yang mencapai kelas terakhir primer
 Melek Huruf-anak usia 15-24 tahun, perempuan dan laki-laki.

- Tujuan 4. Mengurangi Tingkat Kematian Anak.


Target 4a: Mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak di
bawah usia lima.
Dengan Indikator:
 bawah-lima angka kematian
 Infant mortality rate Angka kematian bayi 4,2
 Proporsi 1 tahun anak-anak diimunisasi terhadap campak.

 MDG’s dan Kesehatan Masyarakat


- Tujuan 2 : Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua
Kekurangan gizi dapat mempengaruhi peluang seorang anak
pergi ke sekolah, belajar di sekolah serta menunjukkan performa yang
baik di sekolahnya. Jika seorang anak mengalami kekurangan gizi,
maka daya tahan tubuhnya terhadap suatu penyakit pasti akan
berkurang, dengan demikian semakin besar kemungkinam seorang
anak sakit, maka semakin besar pula kemungkinan anak tidak hadir
serta belajar dalam sekolah.Kekurangan zat gizi, Iodine misalnya,
menyebabkan hampir 18 juta bayi lahir dengan kecacatan mental
bahkan bayi dengan kekurangan Iodine menengah mendapatkan IQ
kurang dari 10 sampai 15 poin dari mereka yang tak kekurang Iodine.

- Tujuan 4 : Mengurangi Tingkat Kematian Anak

Kekurangan gizi, langsung maupun tak langsung, dikaitkan


dengan banyak kematian anak. Seperti telah disebutkan di atas,
anemia akibat kekurangan zat besi membunuh banyak ibu baik yang
sedang hamil ataupun pada saat melahirkan. Dengan meninggalnya
ibu,terutama pada saat kelahiran, mengecilkan peluang harapan hidup
seorang anak.

 MDGs di Indonesia
- Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua
Target MDGs kedua adalah mencapai pendidikan dasar untuk
semua pada 2015. Ini artinya bahwa semua anak Indonesia, baik laki-
laki maupun perempuan, akan dapat menyelesaikan pendidikan dasar.
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memenuhi target ini dengan
mencanangkan Program Wajib Belajar 9 tahun. Kebijakan ini terbukti
telah meningkatkan akses untuk pendidikan SD. Akan tetapi, masih
banyak anak usia sekolah di pelosok negeri yang belum dapat
menyelesaikan SD-nya. Bahkan di perdesaan, tingkat putus sekolah
dapat mencapai 8,5%. Kualitas pendidikan di Indonesia selama ini
masih perlu ditingkatkan dan manajemen pendidikan juga kurang baik.

- Mengurangi Tingkat Kematian Anak


Indonesia sedang mencanangkan Program Nasional Anak
Indonesia yang menjadikan issu kematian bayi dan balita sebagai salah
satu bagian terpenting. Program tersebut merupakan bagian dari Visi
Anak Indonesia 2015, sebuah gerakan yang melibatkan seluruh
komponen masyarakat, dari mulai pemerintah, sektor swasta hingga
akademisi dan masyarakat sipil. Bersama-sama, kelompok ini berusaha
meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejaheraan Bayi dan Balita.
Selain mempromosikan hidup sehat untuk anak dan peningkatan akses
dan kualitas terhadap pelayanan kesehatan yang komprehensif, bagian
dari Target keempat MDG adalah untuk meningkatkan proporsi
kelahiran yang dibantu tenaga terlatih, sehingga diharapkan terjadi
perubahan perilaku di masyarakat untuk lebih aktif mencari pelayanan
kesehatan, terutama untuk anak dan balita karena UU no 23 tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak memiliki hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan dan keamanan sosial menurut
kebutuhan fisik, psikis dan sosial mereka.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa karakteristik keluarga adalah : Terdiri dari dua atau
lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi yang biasanya
hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu sama lain. Anggota
keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran sosial : suami,
istri, anak, kakak dan adik. Mempunyai tujuan untuk menciptakan dan mempertahankan
budaya, meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anggota
Konsep keluarga sejahtera yaitu dimana keluarga dibentuk atas perkawinan yang
sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materil yang layak, bertaqwa kepada
Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan
antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.

5.2 Saran
Mahasiswa keperawatan hendaknya mengetahui tentang masalah kesehatan di
Indonesia pada saat ini ataupun masa lalu terutama masalah angka kemiskinan di
Indonesia yang sekarang lagi trend dan banyak dibicarakan oleh pemerintah. Karena
kalau angka kematian ibu ini semakin meningkat setiap tahunnya maka bangsa Indonesia
akan rugi.
Kemampuan perawat harus bisa menangani apa yang menjadi penyebab dari
kemiskinan di Indonesia. Untuk itu, institusi pendidikan Hendaknya lebih memberikan
arahan dan bimbingan pada peserta didik dalam melaksanakan praktek di lapangan
beserta pada saat pembelajaran dikelas.

Anda mungkin juga menyukai