Anda di halaman 1dari 11

Reaksi kusta: Patogenesis dan Gambaran Klinis Jhauharina Rizki Fadhilla

1706099496

Pendahuluan
Reaksi kusta adalah episode akut atau subakut yang dimediasi secara imunologis yang
menginterupsi perjalanan penyakit kusta yang kronis yang mempengaruhi kulit, saraf,
mukosa dan/atau organ tubuh lainnya. Reaksi dapat terjadi pada semua jenis kusta kecuali
tipe indeterminate (I). Reaksi ini dapat mengakibatkan deformitas dan cacat. Tetapi, jika
ditangani dengan segera dan memadai, deformitas dan cacat dapat dicegah.
Dalam persepsi pasien, adanya reaksi tidak hanya mengindikasikan memburuknya penyakit,
tetapi juga menimbulkan keraguan tentang kesembuhan penyakit. Serangan reaksi yang
berulang juga mempengaruhi kepatuhan obat.

JENIS-JENIS REAKSI KUSTA


Tiga jenis reaksi yang dikenali diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Reaksi Tipe 1 (reaksi reversal)
2. Reaksi tipe 2 / Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
3. Fenomena Lucio

Reaksi Tipe 1 (reaksi reversal)


Reaksi tipe 1 atau reaksi reversal (RR) merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang
berkaitan dengan perubahan atau peningkatan mendadak respon imun yang diperantarai sel
berhubungan dengan pergeseran spektrum penyakit kusta. Reaksi tipe 1 umum terjadi pada
spektrum borderline (BT,BB,BL) pada penyakit kusta dan jarang terjadi pada tipe LL. Dapat
mengenai saraf, kulit maupun keduanya. Walaupun hanya kulit yang terkena tidak semua lesi
menunjukan tanda akut berupa bengkak dan kemerahan, dapat juga berupa munculnya lesi
baru atau keterlibatan saraf baru dengan atau tanpa gangguan saraf.
Bila terjadi peningkatan status imun, terjadi pergeseran spektrum penyakit dari borderline ke
tuberkuloid, disebut juga upgrading. Sebaliknya, bila terdapat pergeseran mendadak ke
bentuk lepromatosa dengan penurunan imunitas, terjadi reaksi yang dinamakan
downgrading.
Faktor risiko:
o Pasien kusta tipe borderline (BT,BB,BL) merupakan kelompok yang paling
rentan dengan risiko tertinggi terkena reaksi tipe 1. Pasien BL dan BB memiliki
risiko lebih tinggi daripada pasien BT. Namun, reaksi terjadi lebih awal pada
pasien BT.
o Pasien dengan satu episode reaksi lebih mungkin mengalami reaksi berikutnya
o Perempuan memiliki risiko lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini disebabkan
oleh fluktuasi hormonal. Faktor risiko meningkat pada kehamilan dan
persalinan, dan kejadian terbanyak ditemukan pada 6 bulan pertama setelah
melahirkan (postpartum).
o Kelompok usia yang lebih tua berisiko lebih tinggi daripada kelompok usia yang
lebih muda.
o Pasien dengan lesi di wajah dan dekat mata berisiko terjadi lagophthalmos
karena reaksi
o Pasien dengan lesi kulit yang banyak dan tersebar mengenai permukaan tubuh
yang lebih luas, serta keterlibatan saraf multipel berisiko lebih tinggi terkena
RR
 Studi cross-sectional melaporkan peningkatan risiko kerusakan saraf
yang signifikan apabila terdapat lesi di atas kulit yang diinervasi,
terlepas dari apakah lesi ini menunjukkan tanda-tanda adanya reaksi
atau tidak. Hilangnya sensasi posisi sendi atau refleks tendon
mengindikasikan adanya neuropati yang lebih lanjut.
o Pembesaran saraf, nyeri, dan paresthesia pada palplasi berhubungan dengan
meningkatnya risiko reaksi.
o Hepatitis B/C
o Pengobatan awal dapat memicu munculnya reaksi yang diakibatkan break
down dan pelepasan antigen bakteri, peningkatan bioavailibilitas antigen
yang mencetuskan hipersensitivitas lambat
o Reaksi dapat muncul baik saat pengobatan maupun RFT
o Insidensi RR dilaporkan meningkat saat MDT dikombinasi dengan
imunoterapi (mycobacterium indicus pranii/MIP)
o Hepatitis B dan C

Imunopatogenesis
Reaksi reversal disebabkan oleh peningkatan imunitas selular (hipersensitivitas tipe lambat)
terhadap antigen M.leprae di kulit dan saraf yang diperankan oleh makrofag di kulit dan sel
Schwann di saraf. Reaksi tipe 1 ditandai dengan infiltrasi limfosit CD4, khususnya kelas Th1,
dengan peningkatan ekspresi molekul adhesi di endotel pembuluh darah.

Terkait peningkatan ekspresi molekul adhesi tersebut, terjadi pula peningkatan reseptor IL-2
dan INF-gamma, yang menghasilkan peningkatan imunitas seluler (limfosit) di kulit dan
saraf. Secara klinis, hal ini bermanifestasi sebagai lesi kulit dan saraf yang terlokalisir;
menghasilkan neuritis dan kerusakan saraf. Tidak diketahui antigen atau determinan
antigenik M. leprae yang terlibat sebagai penyebab RR. Peran autoimunitas tidak jelas, oleh
karena itu mungkin ada jalur alternatif yang dimediassi oleh imunitas untuk menghasilkan
inflamasi, baik dipicu oleh antigen yang diturunkan inang atau oleh proses molekuler.

Histopatologi
Menunjukkan gambaran karakteristik reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Pada fase awal,
terdapat edema ekstraselular ringan dengan proliferasi fibroblast dan limfosit. Kemudian,
edema bertambah dan terdapat perubahan komposisi sel di dalam dan sekitar granuloma
epiteloid karena influx limfost. Terdapat edema dan infiltrasi di sekitar saraf yang merusak sel
Schwann, akibat adannya limfosit CD4 dan juga iskemia yang menyebabkan sensasi nyeri
serta functional loss.

Studi imunologi
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai penelitian telah menunjukkan peningkatan
ekspresi sitokin proinflamasi, tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha), interleukin 1b (IL-1b),
IL-6, interferon gamma (IFN-t) dan IL-12, dan sitokin imunoregulator, transforming growth
factor beta (TGF-beta) dan IL-10 dalam lesi kulit yang mengalami reaksi, bersamaan dengan
aktivasi makrofag. Dengan menggunakan reaksi PCR berbasis asam ribonukleat (mRNA) dan
hibridisasi in situ, diamati bahwa persentase sel yang lebih tinggi menyatakan IFN-gamma
pada RR daripada lesi ENL. Selain itu, sinyal yang lebih tinggi untuk human serine esterase
(penanda sel T sitotoksik) terdapat pada RR daripada pada ENL. Secara umum, dalam RR,
respon sitokin adalah dari Th1 tipe dan ENL adalah Th2.
Ditemukannya antibodi yang tinggi terhadap protein stres pada pasien dengan RR, terutama
antigen 18 kDa, bersama dengan peningkatan respons lymphoproliferative terhadap M.
leprae soluble extract (MLSE), menunjukkan adanya koeksistensi antara imunitas yang
diperantarai sel dan humoral pada pasien kusta selama reaksi tipe 1.

Manifestasi klinis
- Dapat dibagi menjadi
o Akut: gejala menetap kurang dari atau sama dengan 1 bulan
o Subakut: gejala menetap lebih dari 1 bulan sampai 6 bulan,
o Kronik: gejala menetap lebih dari 6 bulan,
o Rekuren/berulang: episode rekuren setelah 3 bulan berhenti terapi anti reaksi
o Reaksi reversal lambat: muncul setelah RFT
o RR dapat terjadi setelah MDT, dala 2 tahun pertama setelah RFT. Ini terjadi
terutama pada orang-orang yang mengalami reaksi berulang selama
pengobatan atau bahkan sebelum memulai terapi. Biasanya terlihat di infiltrat
dan plak tipis yang ada di wajah dan area lain yang terbuka seperti lengan.
- Reaksi tipe 1 sebagai bagian dari immune reconstitution in ammatory syndrome
(IRIS) pada pasien HIV positif  setelah pasien mendapatkan highly active
antiretroviral therapy (HAART)  peningkatkan CD4  lesi menjadi inflamatif,
seperti RR, atau bisa juga muncul lesi khas kusta pada pasien yang tidak memiliki lesi
sebelumnya (infeksi subklinis) terjadi pada 3 bulan pertama HAART.
- Gejala: rasa terbakar, tersengat pada lesi kulit. Dapat disertai rasa nyeri dan
hilangnya kekuatan/persepsi sensorik pada ekstremitas. Pasien tiba-tiba mulai
menjatuhkan barang-barang dari tangan mereka dan/atau tersandung ketika
berjalan.
- Tanda:
o Lesi lama menjadi lebih eritematosa dan bengkak, bisa juga nyeri menyerupai
erisipelas.
o Dapat terjadi nekrosis dan ulserasi
o Lesi mengalami deskuamasi setelah mereda
o Bisa muncul kelompok lesi baru di tempat yang semula tidak ada lesi  lesi
mengalami “upgrading” dari lesi yang sebelumnya
o Edema pada ekstremitas atau wajah
o Neuritis
 Pembengkakan cepat dengan nyeri hebat pada satu atau lebih saraf
tepi sering terjadi. Saraf perifer yang terkena biasanya dekat dengan
lesi kulit yang dipersarafi oleh saraf yang sesuai. Dalam bentuk parah
T1R, abses saraf dapat dibentuk.
o ‘silent neuritis’  hilangnya fungsi saraf tiba-tiba tanpa ada tanda lain inflamasi
atau lesi kulit
- Gejala klinis yang jarang dan tidak khas
o Tenosinovitis akibat inflamasi pada sinovial, bermanifestasi dengan bengkak,
nyeri pada dorsum tangan dan jarang pada dorsum kaki. Umumnya terjadi
dengan kusta BT dan BL
o Reaksi yang sangat parah dapat ditandai dengan nekrosis dan ulserasi dalam.
Hal ini mungkin merupakan hasil dari hipersensitivitas berlebihan pada T1R.
o Manifestasi sistemik seperti demam, malaise, muntah, epistaksis, dan nyeri
sendi

- Derajat reaksi reversal


Ringan Berat
beberapa lesi kulit tanpa nyeri saraf atau  nyeri saraf atau parestesia
kehilangan fungsi saraf  kehilangan fungsi saraf bertambah
 demam
 edema pada tangan, kaki
 reaksi ringan yang menetap > 6 minggu
 reaksi atau lesi kulit di wajah
 Lesi kulit yang berulserasi

- Kriteria diagnosis (1 mayor/ 2 minor)


Mayor Lesi kulit lama atau lesi baru menjadi meradang, merah, dan bengkak
Minor  Satu atau lebih saraf menjadi nyeri dan membesar
 Terdapat lesi baru yang tidak nyeri
 Edema mendadak pada wajah dan ekstrimitas
 Kehilangan sensasi pada tangan dan kaki atau tanda lain
kerusakan saraf (keringat, sensasi, kekuatan otot berkurang) di
area yang dipersarafi

- Histopatologi
Sebelum reaksi terlihat secara klinis, mungkin ada beberapa edema ekstraseluler di
dalam dan sekitar granuloma serta di dermis superfisial. Proliferasi fibrosit yang
tampak di dermis.
Namun, ketika reaksinya tampak secara klinis, respons histolopatogisnya tidak dapat
diprediksi sama sekali, namun derajatnya sangat bervariasi. Edema dan proliferasi
fibroblas mungkin banyak atau hampir tidak signifikan.
Jika reaksi DTH meningkat lebih lanjut, granuloma menjadi sepenuhnya tersusun dari
sel-sel epiteloid dan sel giant. Sel giant benda asing dapat muncul pada tahap ini dan
jika edema banyak, sel tersebut memiliki vakuol karena edema intraseluler.
Ini dapat dikacaukan dengan vakuol lepromatosa, tetapi tidak mengandung basil
tahan asam (AFB), dan ada banyak edema ekstraseluler.
Ciri penting dari reaksi berat adalah adanya ulserasi  pemecahan dan penyebaran
granuloma atau bahkan degenerasi mencair.
- Pemeriksaan lepromin  karena peningkatan respons hipersensitivitas tipe lambat:
o pada tipe BT dan TT lepromin akan semakin positif kuat
- Pemeriksaan laboratorium lainnya
- Marker seperti CXCL10 dan IL-8
- Level serum IL-17F meningkat
- Diagnosis banding
Reaksi reversal harus dibedakan dari relaps (terpenting), dan penyakit lain seperti
urtikaria akut, erisipelas, selulitis, dan insect bite.

* Relaps didiagnosa jika skor  3; skor maksimal = 7; skor maksimal untuk faktor waktu
= 3; skor maksimal untuk faktor tambahan = 4

Kriteria membedakan relapse dan reaksi reversal


Kriteria Reaksi Reversal Relapse
Tipe kusta Dapat ditemukan pada tipe Ditemukan pada semua tipe
BT,BB,BL, dan subpolar kusta yang sudah tidak aktif
pasca pengobatan
Onset Tiba-tiba Bertahap secara tidak disadari
Waktu Kapan saja selama masa Lebih dari 3 tahun pasca RFT
pengobatan dan 3 tahun pasca
RFT
Progresivitas Cepat Lambat
Lokasi lesi kulit Pada bekas bercak lama Lokasi baru
Nyeri atau bengkak Dapat timbul pada lesi kulit dan Tidak selalu timbul, meskipun
saraf relaps disertai manifestasi klinis
serupa RR sangat jarang
ditemukan
Kerusakan saraf Onset tiba-tiba Terjadi secara bertahap
Gejala Bisa terjadi (gejala ringan Tidak ada
konstitusional seperti nyeri badan dan
demam)
Respon terhadap Baik Tidak efektif, penyakit masih
steroid mungkin berkembang

- Skor diagnostik relaps pada kusta tipe MB


Faktor Parameter Skor
Waktu setelah RFT (dalam  12 0
bulan
13 – 24 1
25 – 60 2
> 60 3
Faktor risiko IB awal  3+ 1
Faktor klinis (tampilan saat IB pada lesi tunggal  2+ 1
relaps)
IB rata-rata  2+ 1
Tidak ada tanda reaksi 1
Kambuh didiagnosis dengan skor ≥3

Perjalanan penyakit  jarang bertahan selama lebih dari beberapa bulan.


Kekambuhan biasanya menunjukkan terapi yang tidak memadai.

Reaksi tipe 2 / Eritema Nodosum Leprosum (ENL)


 Sindrom kompleks imun (reaksi antigen antibody melibatkan komplemen) yang
menyebabkan inflamasi pada kulit, saraf, dan organ lain. Merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe III atau fenomena Arthus. Terdapat IgG, IgM, komplemen
(C3) pada lesi ENL. Biasanya terjadi pada tipe lepromatosa, seperti BL dan LL,
atau dengan indeks bakteri yang tinggi.
 Faktor risiko:
 Kusta tipe lepromatosa dengan infiltrasi kulit
 Obat-obatan antileprosy, kecuali klofazimin
 Indeks bakteri (IB) > 4+
 Pasien berusia < 40 tahun
 Infeksi penyerta: Streptococcal, viral, parasit intestinal , filariasis, malaria
 Trauma, tindakan bedah
 Stress fisik dan psikis
 Imunisasi
 Hasil Mantoux positif kuat
 Kehamilan dan persalinan
 Penggunaan potassium iodide
 Imunopatomekanisme
Terjadi peningkatan jumlah limfosit perivaskular, terutama sel Th2 CD4,
melebihi jumlah CD8 (sel supresor), terdapat juga peningkatan sitokin (IL-4, IL-
5, IL,13, IL-10) yang mengindikasikan reaksi Th2.
Pada fase awal ENL, monosit yang berada di antara sel busa menjadi makrofag
aktif dan dapat menghancurkan foamy macrophage inert. Antigen yang
dilepaskan oleh foamy macrophage ini disajikan oleh makrofag baru ke sistem
imun yang merangsang imunitas seluler lebih lanjut. Antigen ini membentuk
kompleks imun dengan antibodi.
 Histopatologi
Lesi ENL menunjukkan histopatologis LL/BL sesuai spektrum klinis pasien dan
infiltrat neutrofil padat pada dermis superfisial atau dermis dalam, hingga
subkutan. Jika jumlah neutrofil banyak, dapat ditemukan microabcess Pada
beberapa kasus, vaskulitis merupakan fitur predominan. Sering didapatkan
kerusakan pada serabut kolagen dan elastin. Pada ENL nekrotikans, terdapat
nekrosis dan ulserasi kulit, load bakteri berkurang, kebanyakan bankteri
fragmented dan granular. Pada masa penyembuhan neutrofil digantikan oleh
limfosit.
Pada neuritis yang terkait dengan T2R, terdapat edema, dan eksudat seluler
dalam perineurium.
 Manifestasi klinis
 Umum terjadi selama pengobatan kusta
 Lesi kulit: papul, nodul, atau plak berwarna merah muda yang nyeri pada
perabaan. Lesi berada di dermis atau lebih dalam membentuk nodul
subkutan
 Lokasi tersering pada paha, tungkai bawah, dan wajah. Lesi kemudian
berubah warna menjadi kebiruan dalam 24 - 48 jam, kemudian menjadi
kecoklatan dalam 7 hari - 10 hari
 Dapat terjadi edema pada tangan, kaki, atau wajah
 Gejala sistemik: demam, malaise, sakit kepala, nyeri otot/sendi
 Kerusakan saraf dapat terjadi pada reaksi tipe 2 namun tidak secepat pada
reaksi tipe 1
 Gejala lainnya yang dapat terjadi pada reaksi tipe 2 antara lain miositis,
sinovitis, rhinitis, epistaksis, laryngitis, iridosiklitis, glaucoma, dan daktilitis
Bisa terjadi pembesaran kelenjar getah bening, epididimo-orkitis, nefritis,
proteinuria, gagal ginjal, hepatosplenomegali, anemia, dan amiloidosis
 Reaksi tipe 2 dapat terjadi tanpa manifestasi kulit, berupa neuritis atau
keterlibatan sistemik, tergantung deposisi kompleks imun terjadi di organ
mana
 Perbedaan derajat reaksi tipe 2
Klinis Ringan Berat
1 Lesi kulit dan keterlibatan sedikit Nodul multipel, merah,
nyeri di kulit,
dengan/tanpa ulserasi
2 Ulserasi/nekrosis Tidak ada Ada
3 Gejala konstitusi (demam, Tidak ada Ada
arthralgia)
4 Neuritis Tidak ada Ada
5 Edema Ringan Jelas pada tangan, kaki,
atau wajah
6 Keterlibatan mata Tidak ada Bisa ada
(Nyeri pada mata, dengan
atau tanpa penurunan
visus)
7 ENL rekuren TIdak ada 4 atau lebih
episode/tahun
8 Respons terhadap steroid Biasanya respons Menetap lama
oral dalam 6 minggu
9 Limfadenopati yang nyeri Tidak ada Ada
10 Keterlibatan sistemik Tidak ada Bisa ada

Kriteria diagnosis
Termasuk 1 mayor atau setidaknya 3 minor
Mayor Erupsi mendadak papul, nodul, atau plak eritematosa yang nyeri
dan dapat berulserasi
Minor  Demam ringan
 Pembesaran saraf yang nyeri
 Kehilangan sensasi atau kekuatan otot bertambah
 Artritis
 Limfadenitis
 Epididimo-orkitis
 Iridosiklitis atau episklerisis
 Edema ekstremitas atau wajah
 Uji Ryrie atau Ellis positif (Tes 'Ryrie' dilakukan dengan menggunakan
instrumen tumpul (gagang refleks hammer) digerakan di telapak kaki
dengan tekanan ringan (seperti pada Tes refleks Babinski), sambil
mengamati wajah pasien. Tes dinyatakan positif ketika pasien
menunjukkan mengalami rasa sakit dengan menunjukan wajah kesakitan)

 Pemeriksaan laboratorium: leukositosis, peningkatan LED, peningkatan CRP,


anemia megaloblastik

Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2


Tipe 1 Tipe 2
Tipe reaksi imunologis Reaksi hipersensitivitas tipe Reaksi kompleks imun (tipe
lambat (tipe IV) III)
Spektrum klinis yang terkena Borderline (BT, BB, BL, jarang LL, jarang BL
LL)
Tanda dan gejala Tidak ada atau jarang Sering
konstitusional seperti
demam, malaise, artralgia,
myalgia
Lesi kulit Lesi kulit lama (sedikit atau Plak-nodul yang baru,
banyak) menjadi merah, merah, nyeri. Lesi kulit lama
membengkak, hangat, nyeri tidak ada perubahan
Keterlibatan saraf Saraf yang dekat dengan lesi Saraf dapat terlibat namun
kulit dapat membesar, tidak sesering dan seberat
disertai nyeri karena neuritis pada reaksi tipe 1
akut dengan kehilangan
fungsi saraf (kehilangan
sensasi dan kelemahan
otot). Neuritis juga dapat
terjadi tiba-tiba
Keterlibatan mata Anestesi kornea dan Kelainan pada bagian dalam
lagophthalmos (kelemahan mata: iritis, iridosiklitis,
penutupan kelopak mata) glaucoma, katarak
dapat terjadi karena
keterlibatan saraf (nervus
trigeminus dan fasialis)
Organ lain Tidak terlibat Sering terlibat: limfadenitis,
epididimotritis, nyeri
daktilitis, nyeri periosteal,
miositis, artritis, dan
glomerulonefritis

FENOMENA LUCIO
Fenomena lucio adalah jenis reaksi ditemukan pada kusta tipe LL non-nodular (infiltrat dan
mengkilap), sering terjadi di Meksiko. Reaksi ini hanya terjadi dalam kasus yang tidak diobati.
Pada tahun 1852 , Lucio dan Alvardo menemukan jenis reaksi ini di Meksiko dan kemudian,
Latapi dan Zamora pada tahun 1948. Dilaporkan juga kasus kusta Lucio dengan gejala awal
berupa fenomena Lucio; kemudian setelah diobati MDT, kasus ini berkembang menjadi lesi
ENL klasik.
Etiopatogenesis dari fenomena ini kurang dipahami dengan baik. M. leprae ditemukan dalam
jumlah banyak di sel endotel pembuluh darah supersial, dan temuan ini behubungan dengan
komplikasi vaskular yang parah. Terdapat vaskulitis dan trombosis pembuluh darah
superifisial dan dalam yang mengakibatkan perdarahan dan infark kulit. Fenomena Lucio
mungkin merupakan varian lain dari ENL, seperti necrotizing ENL.
Manifestasi Klinis
• Reaksi dimulai dengan plak merah kebiruan dengan sedikit indurasi kulit, dan tampak halo
eritematosa, biasanya pada salah satu ektremitas, tetapi juga dapat berkembang pada area
lain dari tubuh. Lesi tidak begitu jelas, terasa nyeri dan jarang teraba. Bentuk lesi ireguler
atau segitiga. Setelah beberapa hari mereka menjadi keunguan di bagian tengah, infark
hemoragik pada bagian tengah dapat terjadi dengan atau tanpa pembentukan lepuh.
Kemudian, lesi menjadi eschar nekrotik, yang mudah terlepas, meninggalkan ulkus yang
bentuknya tidak beraturan. Ulkus sembuh meninggalkan skar superfisial.
• Kadang-kadang lesi bula yang inflamatif dapat juga terjadi, yang kemudian pecah
meninggalkan ulkus dengan tepi bergerigi. Ulkus ini sembuh perlahan dan dapat terjadi
komplikasi selulitis.
• Biasanya, pasien memiliki lesi yang tampak pada tahapan yang berbeda-beda (polimorf).
Dibutuhkan sekitar 3 minggu untuk menjadi ulkus, dan butuh waktu berbulan-bulan untuk
sembuh.
• Tidak ada keluhan demam
• Sebagian kasus berkembang menjadi ENL yang khas setelah memulai MDT. Dalam satu
laporan, 4 dari 10 pasien, menjadi ENL dalam 3 bulan hingga 3 tahun setelah memulai terapi
dapson.

Histopatologi
Rea dan Ridley telah membandingkan gambaran histologi ENL dan lesi fenomena Lucio.
Mereka membedakan fenomena Lucio dari ENL dengan gambaran fenomena Lucio terapat
nekrosis epidermis iskemik, vaskulitis nekrotikan pembuluh darah kecil di dermis atas,
proliferasi endotelial fokal parah pada pembuluh mid-dermal, dan dengan adanya sejumlah
besar basil pada sel endotel.

Diagnosa
 Distribusi geografis: banyak ditemui di Meksiko. Ini jarang dilaporkan dari India
 Diamati pada kusta Lucio yang sudah lama tidak diobati (bentuk kusta LL non-nodular).
Kusta Lucio ditandai dengan infiltrat difus, hilangnya lipatan kulit wajah (tampak youthful
appearance-beautiful leprosy) dan tidak adanya papul dan nodus.
 Gambaran klinis klasik: Plak eritematosa yang menjadi purpura, kemudian nekrotik diikuti
oleh pembentukan eschar hitam. Eschar lepas dalam beberapa hari meninggalkan ulkus
besar dengan bentuk tidak teratur.
 Tidak adanya gejala konstitusional
 Gambaran histopatologis spesifik: diagnosis klinis yang dikonfirmasi dengan gambaran
histopatologi berupa nekrosis epidermis iskemik, nekrotikan vaskulitis pembuluh darah
kecil di dermis atas, proliferasi endotelial fokal parah pada pembuluh mid-dermal, dan
dengan adanya sejumlah besar AFB dalam sel endotel.
 Kondisi membaik setelah memulai MDT.

Perbedaan fenomena Lucio dan reaksi kusta tipe 2 dengan fenomena vasculonecrotic
Fenomena Lucio Reaksi kusta tipe 2 dengan fenomena vasculonecrotic
Terjadi hanya dalam kusta yang difu, tanpa ada lesi Terjadi pada kusta dengan plak dan nodul, lesi
nodular. vasculonecrotic dengan eschar
Lesi eritematosa yang muncul tanpa infiltrat (lesi
kusta tidak pernah menunjukkan adanya papul, plak,
atau lesi kusta lainnya selama perjalanan penyakit)
kemudian mengalami ulserasi, umumnya berbentuk
segitiga atau angular, yang menyembuh
meninggalkan bekas skar dan hipokromik.
Terjadi pada individu yang tidak diobati, beberapa Lebih sering terjadi pada bulan-bulan pertama
tahun setelah timbulnya penyakit dan, menghilang pengobatan
dengan pengobatan yang kadang-kadang berubah
menjadi eritema nodosum
Lesi eritematosa berukuran 0,5-1,0 cm yang Lesi nekrotik yang luas dan dalam, ulkus berbentuk
mengalami ulserasi bulat atau oval di atas nodus
Sensasi terbakar Nyeri iskemik
Biasanya tidak demam, tidak pernah tampak sakit Terdapat demam dan gejala konstitusional
akut, kecuali pada kasus nekrosis yang luas
Tidak mempengaruhi saraf Bisa disertai dengan neuritis
Tidak ada gejala sistemik atau kerusakan visceral Arthralgia, iridocyclitis, orchitis, limfadenopati,
nefritis, hepatitis
Tes Medina positif Tes Medina negatif
Tes ini mirip dengan tes lepromin, tetapi ntigen
dibuat dari lepra Lucio.
Histopatologi menunjukkan kolonisasi BTA pada sel Histopatologi menunjukkan panvaskulitis, yang
endotel, nekrosis epidermis iskemik, nekrosis dimulai dari subkutis, pembuluh darah yang terkena
vaskulitis pada pembuluh kecil dermis superfisial, bervariasi, dengan nekrosis yang lebih besar yang
proliferasi endotel, kongesti vena pasif, dan sebukan menyebabkan skar fibrotik
neutrofilik
Tidak respons dengan thalidomide Respons thalidomide
Resolusi dalam 15 hari Resolusi lambat
Skar hipokromik kecil dengan batas hiperkromik Ulkus dalam yang menimbulkan skar fibrotik,
hipertrofik, dan radiating scars

Tatalaksana
 Nonmedikamentosa
 Istirahat dan imobilisasi
 Perbaikan gizi dan keadaan umum
 Tatalaksana penyakit penyerta dan menghilangkan faktor pencetus

 Medikamentosa
o Reaksi ringan:
 Istirahat di rumah
 Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
 Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
o Reaksi berat:
 Imbolisasi lokal organ tubuh yang terkena neuritis/istirahat di rumah
 Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
 Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
 Memberikan obat anti reaksi: prednison, lamprene, talidomid (bila tersedia)
o Reaksi tipe 1:
 MDT harus segera dimulai (bila pasien belum mendapat terapi kusta) atau
tetap dilanjutkan (bila pasien sedang dalam terapi kusta)
 Terapi reaksi reversal ringan: diberikan aspirin atau parasetamol selama
beberapa minggu
 Terapi reaksi reversal berat dan neuritis akut: diberikan kortikosteroid
(prednisolon)

40 mg/hari Minggu 1-2


30 mg/hari Minggu 3-4
20 mg/hari Minggu 5-6
15 mg/hari Minggu 7-8
10 mg/hari Minggu 9-10
5 mg/hari Minggu 11-12

o Reaksi tipe 2:
 Identifikasi tingkat keparahan reaksi tipe 2
 Cari dan atasi faktor pencetus
 Lanjutkan pemberian MDT
 Terapi reaksi tipe 2 ringan: analgetik dan obat antiinflamasi (OAINS). Aspirin
dapat diberian 600 mg setiap 6 jam setelah makan

 Terapi reaksi tipe 2 episode pertama ENL berat:


1. Prednison
Dosis awal 1mg/kgBB/hari atau 40-60 mg sampai ada perbaikan klinis
kemudian diturunkan bertahap 5-10 mg setiap minggu selama 6-8 minggu
atau lebih
Dosis rumatan 5-10 mg diperlukan selama beberapa minggu untuk
mencegah rekurensi ENL
2. Kombinasi prednisolon dan klofazimin
Klofazimin  stimulasi sintesis PGE2  inhibisi motilitas neutrofil, supresi
Th
Kombinasi prednisolon dengan dosis seperti di tabel dan klofazimin dengan
dosis:
 300 mg/hari selama 1 bulan
 200 mg/hari selama 3-6 bulan
 100 mg/hari selama gejala masih ada
3. Talidomid, dosis awal 400 mg atau 4x100 mg selama 3-7 hari atau sampai
reaksi terkontrol, diikuti penurunan dosis dalam 3-4 minggu atau
diturunkan perlahan jika rekurensi terjadi

Anda mungkin juga menyukai