Anda di halaman 1dari 50

Peritonitis Ec Hernia Femoralis Strangulata

LAPORAN KASUS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam MenjalaniKepaniteraan Klinik Senior


pada Bagian/SMF Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia

Oleh :

Khairun Nisa, S.Ked


140611059

Preseptor :
dr. Hendra Kastiaji, Sp.B

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Allah
SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang karena atas segala rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Peritonitis Ec Hernia Femoralis Strangulata“. Penyusunan laporan kasus ini
sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian/SMF Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hendra Kastiaji, Sp.B
selaku preseptor selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF
Ilmu Bedah atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk memberikan
bimbingan, saran, arahan, masukan, semangat, dan motivasi bagi penulis sehingga
laporan kasus ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan
di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Lhokseumawe, September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1
BAB 2 LAPORAN KASUS ..................................................................... 4
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 18
BAB 4 PEMBAHASAN ........................................................................... 44
BAB 5 KESIMPULAN ............................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 48

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

Suatu kegawatan abdomen dapat digambarkan ke dalam keadaan klinik


akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri
sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang
sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perdarahan, infeksi,
obstruksi atau strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang
mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga
terjadilah peritonitis1.
Peritonitis adalah salah satu penyebab kematian tersering pada penderita
bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Peritonitis difus sekunder yang
merupakan 90% penderita peritonitis dalam praktek bedah dan biasanya
disebabkan oleh suatu perforasi gastrointestinal ataupun kebocoran2. Peritonitis
merupakan peradangan pada peritoneum yang merupakan pembungkus visera
dalam rongga perut dan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis,
perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi,
iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum
resisten terhadap infeksi bakteri, kontaminasi yang terus-menerus, bakteri yang
virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna
aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis2.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena
setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang1. Peritonitis selain disebabkan oleh kelaianan
didalam abdomen yang berupa inflamasi dan penyulitnya, juga oleh ileus
obstruktif, iskemia dan perdarahan. Sebagian kelainan disebabkan oleh cidera
langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan perforasi saluran cerna atau
perdarahan3.

1
Hernia adalah suatu keadaan menonjolnya isi suatu rongga malalui lubang.

Hernia femoralis adalah hernia isi perut yang nampak di daerah fosa femoralis.

Pintu masuk hernia femoralis adalah anulus femoralis. Selanjutnya, isi hernia

masuk ke dalam kanalis femoralis yang berbentuk corong sejajar dengan vena

femoralis sepanjang kurang lebih 2 cm dan keluar pada fosa ovalis di lipat paha31.

Hernia femoralis hampir selalu terlihat sebagai massa yang iredusibel, meskipun

kantungnya mungkin kosong, karena lemak dan kelenjar limfe dari kanalis

melingkari kantung. Kelenjar limfe tunggal yang membesar dapat meniru

hernia femoralis dengan sangat tepat31. Hernia femoralis umumnya dijumpai pada

perempuan tua, kejadian pada perempuan 4 kali lebih tinggi dari lelaki. Pada

wanita, diameter pelvis sejati yang membesar, bila dibandingkan dengan pria,

secara proporsional memperbesar kanalis femoralis dan mungkin merupakan pre-

disposisi dari hernia femoralis.

Hernia strangulata suplai darah untuk isi hernia terputus sehingga terjadi

oklusi vena dan limfe, akumulasi cairan jaringan (edema) menyebabkan

pembengkakan lebih lanjut dan sebagai konsekuensinya peningkatan tekanan

vena. Terjadi perdarahan vena, dan berkembang dengan pembengkakan akhirnya

mengganggu aliran arteri. Jaringannya mengalami iskemi dan nekrosis. Jika isi

hernia abdominal bukan usus, misalnya omentum, nekrosis yang terjadi bersifat

steril, tetapi strangulasi usus yang paling sering terjadi dan menyebabkan

nekrosis yang terinfeksi (gangren). Mukosa usus terlibat dan dinding usus menjadi

permeabel terhadap bakteri, yang bertranslokasi dan masuk ke dalam kantong dan

dari sana menuju pembuluh darah. Usus yang infark dan rentan, mengalami

perforasi (biasanya pada leher pada kantong hernia) dan cairan lumen yang

mengandung bakteri keluar menuju rongga peritonial menyebabkan peritonitis.

2
Terjadi syok sepsis dengan gagal sirkulasi dan kematian3. Bila strangulasi hanya

menjepit sebagian dinding usus, hernianya disebut hernia richter. Ileus obstruksi

mungkin parsial atau total, sedangkan benjolan hernia tidak ditemukan dan baru

terdiagnosis pada waktu laparatomi. Komplikasi hernia richter adalah strangulasi

sehingga terjadi perforasi usus, dan pada hernia femoralis tampak seperti abses di

daerah inguinal.

3
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : Ny. SS
Jenis Kelamin : Perempuan
No. rekam medis : 47.02.09
Umur : 79 tahun
Alamat : Blang Mangat
Agama : Islam
Status perkawinan : Kawin
Suku : Aceh
Pekerjaan : Tidak bekerja
Tanggal Masuk : 26 Agustus 2019
Tanggal Pemeriksaan : 02 September 2019

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :Nyeri perut
Keluhan Tambahan :Perut kembung dan menyesak, mual dan muntah
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD dibawa oleh keluarga dengan keluhan nyeri perut ±1
minggu SMRS. Nyeri perut dirasakan terus-menerus dan semakin sakit apabila
bergerak, perut terasa kaku dan keras seperti papan saat sakit. Nyeri dirasakan
pada seluruh bagian perut. Pasien juga mengeluh perut kembung dan terasa
penuh, pasien mual dan muntah apabila makan. Pasien juga sempat mengalami
demam 3 hari yang lalu SMRS. Pasien mengaku jarang BAB dan BAK sedikit,
serta buang angin jarang, pasien tidak ada riwayat batuk lama dan tidak ada
riwayat mengangkat beban berat. Pasien 4 hari yang lalu pernah di rawat di RS
Cut Meutia dengan keluhan yang sama namun pasien PAPS.

4
Riwayat penyakit dahulu:
4 hari yang lalu pasien dirawat dengan keluhan yang sama.
Asma : (-)
Penyakit jantung : (-)
Diabetes militus : (-)
Penyakit paru-paru : (-)
Hipertensi : (-)
Alergi obat dan makanan : (-)

Riwayat penyakit keluarga:


Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit yang sama pada keluarga.

Riwayat penggunaan obat:


Pasien mendapatkan obat di RS Cut Meutia.

2.3 Pemeriksaan fisik


A. Status Present
a. Keadaan Umum
Kesan sakit : Sakit berat
Kesadaran : Kompos mentis
b. Keadaan Sirkulasi
Tekanan darah : 120/80 mmHg Suhu : 37,3oC
Nadi : 110 x/menit
c. Keadaan Pernafasan
Frekuensi : 22x/menit
Corak Pernafasan : Vesikuler

5
6

B. Status Generalisata
Kepala Normosefali, tanpa tanda trauma
Konjungtiva anemis -/-
Mata Sklera ikterik -/-
Pupil bulat isokor, diameter 3 mm / 3 mm
Refleks cahaya langsung +/+,
reflex cahaya tidak langsung +/+
Visus OD/OS: tidak ada kelainan
Telinga Bentuk normal, tidak ada luka, perdarahan, ataupun cairan
Hidung Septum nasi tidak deviasi, tidak ada perdarahan aktif, sekret tidak
ada
Mulut Tidak ada ulkus, gigi-geligi baik, mukosa kering.
Thorax Dinding dada terlihat simetris kanan dan kiri,.
Jantung Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di interkostal V linea midklavikula
sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan pada linea parasternal interkostal
III dekstra, batas jantung kiri pada 2 cm medial dari linea
midklavikula interkosta V sinistra, batas atas jantung pada linea
parasternal interkosta III sinistra
Auskultasi : S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris saat statis dan
dinamis
Palpasi : Vokal fremitus teraba sama di kedua lapang paru
Perkusi : Bunyi perkusi sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, ronchi -/-,
wheezing -/-

Abdomen Inspeksi :dinding abdomen distensi dan tidak banyak bergerak


ketika inspirasi-ekspirasi , tidak tampak darm contour atau darm
steifung.
Auskultasi : bising usus menurun
Palpasi : defense muscular (+), nyeri tekan seluruh lapang
abdomen (+), nyeri lepas seluruh lapang abdomen (+),hepar tidak
teraba, limpa tidak teraba.
7

Perkusi : nyeri saat perkusi (+) di seluruh lapang abdomen,


timpani di seluruh lapang abdomen, pekak hepar (+).

Extremitas Inspeksi : Edema (-), deformitas (-), akral hangat.


Superior

Extremitas Inspeksi : Edema (-), deformitas (-), akral hangat, benjolan(-),


Inferior bengkak(-)
Palpasi: teraba benjolan pada lipatan paha kanan
Rectal Tonus Sfingter Ani: Ketat
Toucher Ampula: Kesan kolaps
Mukosa: Licin, tidak nyeri
Handscoon: Feces (+), lendir (-), darah (-)

2.4 Pemeriksaan penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
30-8- Satuan Nilai
Pemeriksaan 26-8-2019 27-8-2019 28-8-2019
2019 Rujukan
Hb 12,0 10,6 g/dL 12-16
Eritrosit 3,99 3,45 Juta/mm3 3,8-5,8
10,49 Ribu/mm
Leukosit 14,05 3 4-11
Hematokrit 34,6 30,8 % 37-47
MCV 86,9 89,1 fL 76-99
MCH 30,1 30,6 Pg 27-32
MCHC 34,7 34,3 % 33-37
RDW-CV 12,6 13,1 % 11,5-14,5
285 Ribu/mm
Trombosit 383 3 150-450
Masa Menit
Perdarahan/B 2’ 1-3
T
Masa Menit
Pembekuan/ 8’ 9-15
CT
Glukosa mg/dL
Darah 127 110-200
Sewaktu
Glukosa 109 mg/dL
70-126
Darah Puasa
8

Ureum 86,39 mg/dL 30-40


Kreatinin 1,33 mg/dL 0,6-1
Asam Urat 4,7 mg/dL <6,8
Bilirubin mg/dL
4,90 0,1-1,2
Total
Bilirubin mg/dL
0,0-0,3
Direk
Protein Total 5,40 g/dL 6-8,3
Albumin 3,22 3,79 g/dL 3,2-5,2
Globulin 1,68 1,61 g/dL 2,7-3,2
AST (SGOT) 26 IU/L 15-37
ALT (SGPT) 24 IU/L 10-40
Alkali IU/L
31-97
Phospat
Natrium 145 133 129 mmol/L 135-145
Kalium 3,0 2,5 2,7 mmol/L 3,5-5
Klorida 109 120 117 mmol/L 98-109
Kalsium 1,02 0,42 0,56 mg/dL 1,12-1,32
pH
PCO2 mmHg
PO2 mmHg
Base Excess mEq/L (-2)-(+3)
HCO3 mEq/L
Actual 22-26
(HCO3)
HCO3 mEq/L
Standar
(SBC)
Totla CO2 Mmol/L
Plasma
Saturasi O2 % 95-98
9

b. Pemeriksaan Radiologi
Gambar 2.1. Foto Polos Abdomen Posisi Erect Proyeksi AP

Gambar 2.2. Foto Polos Abdomen Posisi LLD Proyeksi AP


10

Gambar 2.1. Foto Thoraks Posisi Erect Proyeksi AP

CTR: 47%

2.5 Diagnosa
a. Diagnosa Banding :
1. Peritonitis ec hernia femoralis strangulata
2. Peritonitis ec appendicitis perforation
3. Peritonitis ec hernia inguinalis lateralis
b. Diagnosa Kerja:
Peritonitis ec hernia femoralis strangulata
11

2.6 Follow Up
Tanggal S O A P
26/8/19 Nyeri perut, VS: Peritonitis ec Th/
perut (TD:120/80; susp - IVFD RL
kembung dan HR:110x/I; RR:22x/I, appendicitis 1500cc/24j
menyesak, T: 37,3°C) perforasi - iv. Ceftriaxone
mual,muntah Status lokalis ar 1gr/12j
BAB jarang, abdomen: - iv. Omeprazole
BAK sedikit Inspeksi :dinding 40mg/12j
abdomen distensi dan - iv. Ketorolac
tidak banyak bergerak 30mg/8j
ketika inspirasi-
ekspirasi , tidak -Observasi K/U
tampak darm contour -Pasang kateter
atau darm steifung. urin dan NGT
Auskultasi : bising dekompresi
usus menurun -Foto xray
Abdomen 2 posisi
Palpasi : defense dan thoraks erect
muscular (+), nyeri -USG Abdomen
tekan seluruh lapang
abdomen (+), nyeri
lepas seluruh lapang
abdomen (+),hepar
tidak teraba, limpa
tidak teraba.
Perkusi : nyeri saat
perkusi (+) di seluruh
lapang abdomen,
timpani di seluruh
lapang abdomen,
pekak hepar (-).
27/8/19 Nyeri perut, VS: Peritonitis ec Th/
perut (TD:120/70 mmhg; susp. - IVFD RL
kembung dan HR:105x/I; RR:18x/I; Appendisitis 1500cc/24j
menyesak, T:37°C) perforasi+hipok - iv. Meropenem
demam, alemia 1gr/12j
mual, Status lokalis ar - iv. Omeprazole
muntah, abdomen: 40mg/12j
flatus (-) Inspeksi :simetris, - iv. Ketorolac
distensi (+). 30mg/8j
Auskultasi :bising
-Observasi K/U
usus menurun
-Puasa
Palpasi : soepel, -Persiapan
defense muscular (+), laparatomi
nyeri tekan seluruh eksplorasi besok
lapang abdomen (+),
nyeri lepas seluruh
12

lapang abdomen
(+),hepar tidak teraba,
limpa tidak teraba.
Perkusi :timpani di
seluruh lapang
abdomen, pekak hepar
(+).
28/8/19 Nyeri perut, VS: Peritonitis ec Instruksi post op:
perut (TD:110/70 mmhg; susp
kembung dan HR:100x/I; RR:20x/I; appendisitis -IVFD
menyesak, T:37°C) perforasi RL:futrolit:D5%
mual,muntah 20gtt/i
BAB jarang, Status lokalis ar -IVFD
BAK sedikit abdomen: RL:Aminofluid:Ka
Inspeksi :simetris, biven 20 gtt/i
distensi (+), -Inf. KCL/H
-iv. Meropenem
Auskultasi :bising
igr/12j
usus menurun
-iv. Ketorolac a/8j
Palpasi : soepel, -iv. Omeprazole
defense muscular (+), vial/12j
nyeri tekan seluruh -iv. Ondancentron
lapang abdomen (+), a/8j
nyeri lepas seluruh
lapang abdomen -Observasi K/U
(+),hepar tidak teraba, -Puasa
limpa tidak teraba. -Koreksi elektrolit
Perkusi :timpani di -Balance cairan:
seluruh lapang -Cek albumin
abdomen, pekak hepar -mobilisasi
(+). bertahap
-Rawat ICU
29/8/19 Nyeri luka VS: Peritonitis ec Th/
POD I post op (+), (TD:128/72 mmhg; perforasi ileum, -IVFD
lemas HR:96x/I; RR:23x/I; hernia RL:futrolit:D5%
T:37°C) femoralis 20gtt/I
dextra, -IVFD
Status lokalis ar hipokalemia RL:Aminofluid:
abdomen: Kabiven 20 gtt/i
Inspeksi :simetris, -Drip.KCL 25mEq
distensi (+), kassa habis dlm 12j
basah di luka operasi. selanjutnya
25mEq/H
Auskultasi :bising
-iv.Meropenem
usus menurun igr/12j
Palpasi : soepel, -iv.Ketorolac a/8j
defense muscular (-), -iv.Omeprazole
nyeri tekan seluruh vial/12j
lapang abdomen (+), -iv. Ondancentron
nyeri lepas seluruh a/8j
13

lapang abdomen
(+),hepar tidak teraba, -Observasi K/U
limpa tidak teraba. -Koreksi elektrolit
Perkusi :timpani di - Diet cair clean
seluruh lapang water/air gula
abdomen, pekak hepar -Rawat stoma
(+). - GV/H

Balance cairan:
Input: 1.490 cc
Output: 1.900 cc
30/8/19 Nyeri luka VS: Peritonitis ec Th/
POD II post op(+), (TD:124/80 mmhg; perforasi ileum, IVFD
mual, lemas, HR:98x/I; RR:22x/I; hernia RL:futrolit:D5%
flatus (+) T:37°C) femoralis 20gtt/i
dextra, -IVFD
Status lokalis ar hipokalemia RL:Aminofluid:
abdomen: Kabiven 20 gtt/i
Inspeksi :simetris, -KCL 25mEq/H
distensi (+), kassa -iv.Meropenem
basah di luka operasi. igr/12j
-iv.Ketorolac a/8j
Auskultasi :bising -iv.Omeprazole
usus menurun vial/12j
Palpasi : soepel, -iv. Ondancentron
defense muscular (-), a/8j
nyeri tekan seluruh
lapang abdomen (+), -Observasi K/U
nyeri lepas seluruh -Koreksi
lapang abdomen elektrolit cek
(+),hepar tidak teraba, ulang
limpa tidak teraba. - Diet lunak
Perkusi :timpani di -Rawat stoma
seluruh lapang - GV/H
abdomen, pekak hepar
(+). Balance cairan:
Input: 1460 cc
Output: 1.350 cc
31/8/19 Nyeri luka VS: Peritonitis ec Th/
POD III post op(+), (TD:128/77 mmhg; perforasi ileum, IVFD
flatus (+) HR:80x/I; RR:22x/I; hernia RL:futrolit:D5%
T:37°C) femoralis 20gtt/i
dextra, -IVFD
Status lokalis ar hipokalemia RL:Aminofluid:
abdomen: Kabiven 20 gtt/i
Inspeksi :simetris, -KCL 25mEq/H
distensi (-), kassa -iv.Meropenem
basah di luka operasi. igr/12j
-iv.Ketorolac a/8j
Auskultasi :bising -iv.Omeprazole
14

usus normal vial/12j


-iv. Ondancentron
Palpasi : soepel,
a/8j
defense muscular (-),
nyeri tekan seluruh
lapang abdomen (-), -Observasi K/U
nyeri lepas seluruh -Koreksi elektrolit
lapang abdomen (- - Diet lunak
),hepar tidak teraba, -Rawat stoma
limpa tidak teraba. -Aff drain
- GV/H
Perkusi :timpani di -Acc pindah
seluruh lapang ruangan
abdomen, pekak hepar
(+).
Balance cairan:
Input: 1560 cc
Output: 1.350 cc
1/9/19 Nyeri luka op VS: Peritonitis ec Th/
POD IV berkurang, (TD:120/86 mmhg; perforasi ileum, -IVFD RL:
flatus (+) HR:95x/I; RR:22x/I; hernia Aminofluid 20 gtt/i
T:37°C) femoralis -iv.Meropenem
dextra, 1gr/12j
Status lokalis ar hipokalemia -iv. Ketorolac
abdomen: 30mg a/8j
Inspeksi :simetris, -iv. Ondancentron
distensi (-), kassa 4mg a/12j
basah di luka operasi. -iv. Omeprazole
vial/12j
Auskultasi :bising
usus normal
-Observasi K/U
Palpasi : soepel, - Diet lunak
defense muscular (-), -Rawat stoma
nyeri tekan seluruh -GV/H
lapang abdomen (-),
nyeri lepas seluruh
lapang abdomen (-
),hepar tidak teraba,
limpa tidak teraba.
Perkusi :timpani di
seluruh lapang
abdomen, pekak hepar
(+).
2/8/19 Nyeri luka VS: Peritonitis ec Th/
POD V operasi, BAB (TD:120/84 mmhg; perforasi ileum, -IVFD RL:
(+), flatus HR:78x/I; RR:24x/I; hernia Aminofluid 20 gtt/i
(+). T:7°C) femoralis -iv.Meropenen
dextra, 1gr/12j
Status lokalis ar hipokalemia -iv. Ketorolac
abdomen: 30mg a/8j
15

Inspeksi :simetris, -iv. Ondancentron


distensi (-), kassa 4mg a/12j
basah di luka operasi. -iv. Omeprazole
vial/12j
Auskultasi :bising
usus normal
-Observasi K/U
Palpasi : soepel, - Diet lunak
defense muscular (-), -Rawat stoma
nyeri tekan seluruh -GV/H
lapang abdomen (-), -Aff kateter
nyeri lepas seluruh
lapang abdomen (-
),hepar tidak teraba,
limpa tidak teraba.
Perkusi :timpani di
seluruh lapang
abdomen, pekak hepar
(+).

2.7 Laporan Operasi


Diagnosa Pra Bedah : Peritonitis ec susp appendisitis perforasi,
hipokalemia
Diagnosa Pasca Bedah : Peritonitis ec perforasi ileum, hernia femoralis
dextra (richter hernia), hipokalemia
Tindakan Operasi : Laparatomi eksplorasi, loop ileostomi, hernia
repair with mesh.
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum.4 Peritoneum adalah
membran serosa terbesar dalam tubuh manusia yang terdiri dari epitel skuamosa
simpel dengan jaringan ikat aerolar sebagai jaringan penyokong dibawahnya.
Peritoneum dibagi menjadi peritoneum parietal yang melapisi dinding rongga
abdominopelvis, dan peritoneum viseral yang menyelubungi beberapa organ di
dalam rongga dan bertindak sebagai lapisan serosanya.6
3.2 Epidemiologi
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas, namun yang
pasti diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder
merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik.10,13
Hampir 80% kasus peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus
gastrointestinal.14 Penyebab umum dari peritonitis sekunder, antara lain
appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi
kolon karena diverticulitis, volvulus, atau keganasan, dan strangulasi dari usus
halus.10
Pada era pre-antibiotik peritonitis primer mencakup sekitar 10% dari
seluruh akut abdomen, namun dewasa ini hanya mencakup kurang dari 1-2%.
Penurunan yang bermakna diduga dikarenakan penemuan dari antibiotik.
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) ditemukan terutama pada pasien sirosis
hepatis Child-Pugh class C (Pasien yang mengalami SBP, 70% merupakan Child-
Pugh class C).Peritonitis tersier ditemukan umumnya pada pasien
immunocompromised.10

18
19

3.3 Klasifikasi dan Etiologi


Peritonitis dapat terjadi akibat perforasi, inflamasi, infeksi, atau kerusakan
akibat iskemi sistem gastrointestinal atau genitourinari.10
Tabel 3.1 Penyebab Peritonitis
Keparahan Penyebab Mortality Rate
Appendicitis
Perforated gastroduodenal
Mild <10%
ulcers
Acute salpingitis
Diverticulitis (localized
perforations)
Non vascular small bowel
Moderate <20%
perforation
Gangrenous cholecystitis
Multiple trauma
Large bowel perforations
Ischemic small bowel
injuries
Severe 20-80%
Acute necrotizing
pancreatitis
Postoperative complications

Peritonitis dibagi menjadi tiga berdasarkan penyebabnya, yakni:5


1. Peritonitis Primer

Umumnya terjadi berkesinambungan dengan sirosis hati. Ascites yang


terjadi memberikan medium pertumbuhan yang baik untuk mikroba yang
menyebar secara hematogen. Umumnya ditemukan bakteri gram negatif seperti
Eschericia coli.
2. Peritonitis Sekunder

Terjadi akibat adanya kontaminasi bakteri intra-abdominal dari perforasi


viskus. Umumnya terdapat berbagai jenis mikroba yang menginfeksi secara
bersamaan yang berasal dari flora normal usus. Umumnya ditemukan E. coli,
Bacteroides fragilis. Selain bakteri, peritonitis sekunder dapat terjadi akibat iritasi
kimia dari perforasi gaster.
20

3. Peritonitis Tersier
Peritonitis tersier terjadi akibat intervensi medis seperti dialisa peritonitis,
sehingga umumnya terjadi infeksi oleh mikroba flora kulit. Mikroba tersering
adalah Staphylococcus spp.

3.4 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya


eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.11
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. 11
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.11
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi
sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.11
21

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum


atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik;
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan
dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
11,12

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa
ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.12
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena
sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general. 11,12
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai
organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai
dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia
22

sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat
dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah
lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula
tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritonium.11,12
Berdasarkan penyebabnya, peritonitis dibagi menjadi tiga, yakni peritonitis
primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis primer terjadi bila terdapat peritonitis
yang tidak ditemui sumber kontaminasinya. Peritonitis sekunder terjadi bila
terdapat perpindahan bakteri ke dalam rongga peritoneum akibat perforasi viskus
atau saluran pencernaan. Peritonitis tersier terjadi karena penggunaan tindakan
medis tertentu seperti dialisis peritoneum yang memberikan akses flora kulit ke
dalam rongga peritoneum.5
3.4.1 Peritonitis Primer
Peritonitis primer umumnya berhubungan dengan sirosis hepar, dimana
pasien dengan sirosis hepar mengalami ascites akibat hipertensi vena portal dan
merembesnya plasma darah ke dalam rongga peritoneum. Namun berdasarkan
laporan terkini, peritonitis primer juga terjadi pada pasien dengan kelainan
metastase yang ganas, sirosis post-nekrotik, hepatitis kronis, hepatitis akut, gagal
jantung kongestif, systemic lupus erythematosus, dan limfedema.5
3.4.2 Peritonitis Sekunder
Peritonitis sekunder terjadi akibat munculnya akses bakteri yang bervariasi
ke dalam rongga peritoneum akibat perforasi viskus atau saluran pencernaan.
Organisme yang ditemukan umumnya bervariasi dengan bakteri fakultatif gram
negatif dan bakteri anaerob yang mendominasi, terutama bila sumbernya berasal
dari kolon. Kematian pada pasien dengan peritonitis sekunder umumnya terjadi
karena sepsis oleh bakteri basiler gram negatif dan endotoksin yang bersirkulasi
dalam peredaran darah. Bakteri gram negatif seperti E. coli merupakan bakteri
yang paling sering ditemukan dalam kultur.5
23

Selain itu, peritonitis sekunder dapat terjadi akibat iritasi kimiawi yang
dapat disertai atau tidak disertai infeksi. Contohnya, selama pasien tersebut tidak
mengalami aklorhidria, sebuah perforasi ulkus gaster akan menghasilkan asam
kuat yang beraksi sebagai bahan kimiawi yang iritatif.5
Penyebab peritonitis sekunder tersering adalah perforasi appendiks,
perforasi ulkus duodenum, perforasi kolon sigmoid akibat divertikulitis, volvulus,
atau kanker, strangulasi usus kecil, dan peritonitis post-operatif.7

3.4.3 Peritonitis Tersier


Umumnya peritonitis ini terjadi pada pasien yang menjalani dialisis
peritoneum secara kontinyu. Tidak seperi peritonitis primer atau sekunder yang
umumnya disebabkan bakteri endogen, peritonitis tersier disebabkan oleh bakteri
kulit. Secara patogenesis, peritonitis tersier seripa dengan infeksi yang terjadi
secara intravaskuler, dimana mikroba kulit tersebut bermigrasi sepanjang kateter
yang berfungsi sebagai pintu masuk dan menghasilkan efek benda asing.5

3.5 Tanda dan Gejala Klinis


Tanda dan gejala klinis peritonitis dibagi berdasarkan penyebabnya,
yakni:5
1. Peritonitis Primer
 Demam
 Ascites
 Nyeri Abdomen
 Malaise
 Lethargi
 Ensefalopati tanpa sebab yang jelas

2. Peritonitis Sekunder
 Nyeri abdomen yang bergantung pada letak ruptur viskus (nyeri
epigastrik bila terjadi perforasi gaster)
 Rasa tidak nyaman pada perut
24

 Mual
 Defance muskuler dikeempat kuardran
 Posisi tubuh yang meringkuk
 Rebound tenderness
 Demam
 Takikardi
3. Peritonitis Tersier
 Serupa dengan peritonitis sekunder

3.6 Diagnosa
Penegakan diagnosis peritonitis dilakukan dengan anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat. Secara umum
pemeriksaan penunjang untuk peritonitis meliputi pemeriksaan darah lengkap,
yang memiliki karakteristik berupa leukositosis shift to the left. Foto polos
abdomen dapat menunjukan gambaran ileus dengan distensi dari ileum maupun
kolon, air-fluid level, dan cairan bebas di dalam rongga peritoneum. Foto
abdomen dalam posisi duduk dapat memperlihatkan udara bebas dibawah
diafragma pada 80% pasien dengan perforasi duodenum.4,5,7

1) Pemeriksaan klinis

a. Anamnesis

Dari anamnesis, dapat di temukan beberapa gejala sebagai berikut :

 Nyeri abdomen
Anamnesa riwayat penyakit sekarang dan dahulu pasien sangat penting,
termasuk didalamnya adalah riwayat sakit berat yang lampau, riwayat operasi, dan
obat-obatan yang dikonsumsi saat ini. Gejala-gejala yang dirasakan pasien juga
perlu ditanyakan secara lengkap dan jelas. Rasa nyeri merupakan keluhan yang
sering dirasakan pasien, dan bila kita dapat memperoleh informasi letak nyerinya,
25

hal ini dapat membantu penegakan diagnosa, sebab nyeri abdomen dimediasikan
melalui sistem saraf otonom dan somatik.8
Nyeri viseral ditimbulkan dari organ abdomen yang dipersarafi sistem
otonom. Umumnya rasa nyerinya berupa kram, kurang terlokalisir dengan baik,
dan sering disertai rasa mual dan muntah. Hal-hal yang menimbulkan nyeri viseral
adalah peregangan dinding usus oleh udara atau benda padat, iskemia, dan zat
kimiawi tertentu. Nyeri viseral juga terbagi berdasarkan pola pertumbuhan, nyeri
epigastrium berasal dari organ foregut (lambung, duodenum, hati, sistem empedu,
pankreas, limpa), nyeri periumbilikus berasal dari midgut (usus halus, appendiks,
kolon ascendens), dan nyeri hipogastrium dari organ hindgut (Kolon tranversal,
kolon descenden, rektum). Pola ini terlihat karena sistem persarafan otonom
mengikuti distribusi vaskularisasi arteri splanchnic mayor (celiaca, mesenterium
superior, mesenterium inferior).8
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada
peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada
penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian
abdomen.10,22
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus,
tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai
gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan
peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan
adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah
meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran
dari peritonitis.22
 Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat
diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan
terasa seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul.
Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40OC. 22
26

b. Pemeriksaan fisis

 Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau
komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic
dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal
sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal.
Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang
menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini
harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan
dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan
yang lebih buruk.20,22
 Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya
distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen
tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa
pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat
tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan
eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.22
 Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara
usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal
sampai hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan
ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltik yang terdengar tanpa stetoskop
lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-
tiba hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi
dari usus yang mengalami strangulasi.22
 Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi
intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum
27

yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan
tanda awal dari peritonitis.22
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga,
udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga
akan ditemukan pekak hepar yang menghilang.22
 Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada
kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah
yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang
dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi
yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak
berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada
orang yang sudah tua sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari
otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri
tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan
menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara
involunter. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu
proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi
local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pankreatitis berat. Nyeri tekan
lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik
peradangan yang maksimal.22
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan
spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis,
reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.20,22

2) Pemeriksaan radiologi

Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi.

1) Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi


anteroposterior (AP).
28

2) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
3) Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksi AP.
Ditambah dengan foto thoraks duduk atau setengah duduk.21

Interpretasi dari gambaran radiologi yaitu berdasarkan cairan dan kadar


gas pada usus dan pola mukosanya. Tanda utamanya yaitu :

1) Retensi dari gas dan fluid level di usus kecil dan usus besar.
2) Tanda-tanda inhibisi, penurunan pergerakan usus.
3) Perubahan pola mukosa, edema usus.
4) Perkaburan dari “flank stripe,” retroperitoneal fat
5) Pertanda retiuklasi pada lemak subkutan
6) Terbatasnya pergerakan diafragma
7) Perubahan sekunder pada paru dan pleura.20

Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus


buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah :

1) Posisi supinasi, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line


menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen.
2) Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan
sabit (semilunair shadow).
3) Posisi LLD, didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut yang
paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara
pelvis dengan dinding abdomen.21
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada
cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara
bebas subdiafragma.20,21
29

Gambar 3.1. Posisi erect: Udara bebas di sub-diafragma pada foto radiologi.20
Gambar 3.2. Posisi lateral decubitus: Terdapat udara bebas antara dinding
abdomen dan liver (panah putih). Dan juga cairan bebas pada peritoneum (panah
hitam).20
30

8) Pemeriksaan lain untuk memastikan diagnosis

Pemeriksaan penunjang lain misalnya pemeriksaan darah, urin, dan feses.


Beberapa uji laboratorium tertentu dilakukan, antara lain nilai hemoglobin dan
hematokrit, untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau dehidrasi. Hitung
leukosit dapat menunjukkan adanya proses peradangan. Hitung trombosit dan dan
faktor koagulasi, selain diperlukan untuk persiapan bedah, juga dapat membantu
menegakkan demam berdarah yang memberikan gejala mirip gawat abdomen.10

3.7 Diagnosa Banding


Penegakan diagnosis peritonitis harus memperhatikan kemungkinan
penyebab akut abdomen.
 Kolesistitis akalkulosa

Kolesistitis akalkulosa adalah peradangan kantung empedu yang tidak


disebabkan oleh batu empedu. Kadang kala peradangan ini dapat terjadi pada
pasien dengan trauma bakar, trauma luas, atau seusai operasi besar. Spesis dan
stasis bilier juga merupakan faktor yang mendukung. Insidensi gangren dan
perforasi lebih tinggi pada kasus kolesistitis ini. Diagnosanya cukup sulit
ditegakan dan kecurigaan didasarkan pada anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Kolesistitis akalkulosa memerlukan intervensi yang segera.
 Iskemia mesenterium akut

Iskemia mesenterium akut merupakan keadaan akut abdomen yang paling


sulit ditegakan diagnosanya, hal ini disebabkan anamnesa dan pemeriksaan fisik
tidak dapat secara tegas menunjukan kecurigaan ke arah keadaan ini. Umumnya
iskemia mesenterium akut disebabkan oleh tiga hal, yakni emboli, trombosis, dan
insufisiensi mesenterium non-oklusif. Emboli seringkali berasal dari kelainan
jantung dan pembuluh darah (90%). Emboli tersebut kemudian paling sering
mengobstruksi pada arteri mesenterika superior bagian proksimal, hanya beberapa
sentimeter dari muaranya, sehingga tidak mengenai arteri colic tengah dan
percabangan arteri jejunal proksimal dari arteri mesenterika superior. Trombosis
31

pada arteri mesenterika superior umumnya disebabkan plak arterosklerotik yang


luas, sehingga usus mengalami iskemia dari duodenum hingga kolon tranversal
bagian tengah. Insufisiensi mesenterium non-oklusif umumnya terjadi pada pasien
dengan gangguan jantung atau disritmia. Penegakan diagnosanya dilakukan
dengan arteriografi
 Pankreatitis

Walau beberapa pasien dapat segera didiagnosa dengan


pankreatitis,namun pankreatitis akut dapat menyebabkan komplikasi dalam
berbagai operasi. Diperlukan kepekaan yang tinggi untuk dapat mencurigai
kemungkinan pankraeatitis. Manifestasi yang umum adalah takikardia, nyeri
abdomen, dan efusi pleura pada paru-paru bagian kiri. Pemeriksaan laboratorium
dapat menunjukan hiperamilasemia atau peningkatan lipase, namun hal tersebut
tidak bersifat spesifik. Pasien dengan pankreatitis tidak membaik dengan terapi
konservatif. Kemungkinan terjadinya necrotizing pancreatitis dengan
pembentukan abses perlu dicurigai. Hal ini dapat dikonfirmasi dengan CT scan
dinamik dan aspirasi. Pengurangan kadar hemoglobin yang tidak ditemukan
sebabnya dapat mengarahkan pada diagnosa perdarahan pankreas.

3.8 Penatalaksanaan
Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan
resusitasi cairan (resusitasi hemodinamik, berikan vasopressor bila dibutuhkan)
untuk mencegah terjadinya syok hipovolemik (dan syok septik) yang
memperparah disfungsi organ.10,19 Pemberian antibiotik mencakup bakteri gram
positif dan negatif serta bakteri anaerob (walaupun secara umum perforasi upper
GI tract lebih mengarah ke gram positif dan perforasi pada usus halus distal dan
colon lebih mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob).10,14 Beberapa pilihan
regimen antibiotik yang direkomendasikan, antara lain gabungan dari golongan
penicillin/β-lactamase inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena),
atau golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750 mg intravena), atau
sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan
metronidazole 3x500 mg intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care Unit
32

dapat diberikan imipenem 4x 500 mg intravena atau meropenem 3x 1gram


intravena).12 Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan
leukosit normal dan hitung jenis batang < 3%.17Resusitasi cairan dan monitoring
hemodinamik perlu untuk dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial
pressure >65 mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central
venous pressure CVP antara 8-12mmHg).14 Tindakan lainnya, meliputi
pemasangan nasogastric tube (NGT) pada pasien ileus dengan distensi perut dan
mual-muntah yang dominan. Pada pasien penurunan kesadaran dan adanya syok
septik perlu dipertimbangkan pemasangan intubasi.19
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad
spectrum, seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau
ceftriaxone 1x2 gram), penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam
4x 3,375 gram pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal).Terapi empiris
untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien dengan primary bacterial
peritonitis (PBPatau SBP). Pasien peritonitis primer umumnya mengalami
perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat
diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur darah
yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya
rekurensi pada SBP, sampai 70% pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi
<20%. Regimen yang diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain
ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim-
sulfamethoxazole.18
Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi
etiologi (source control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian
antibiotik sistemik, dan terapi suportif (resusitasi).10 Tidak seperti penanganan
peritonitis primer yang secara prinsip adalah tindakan non-pembedahan, sine qua
non penanganan peritonitis sekunder adalah tindakan pembedahan dan bersifat
life-saving.18 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat “early and definitive
source control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder, tetapi juga dapat
33

mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga abdomen. Keterlambatan dan


tidak adekuatnya tindakan pembedahan dapat memperburuk prognosis.19
Prinsip terapi untuk peritonitis sekunder adalah :
1. Resusitasi
Semua pasien dengan peritonitis memiliki keadaan hipovolemia dengan
berbagai derajat dikarenakan kehilangan cairan ke dalam rongga ketiga yakni
rongga peritoneum. Pasien harus diresusitasi dengan cairan seperti kristaloid
sebelum operasi. terapi cairan yang diberikan dapat berupa bolus kristaloid
hangat 1 – 2 liter untuk dewasa atau 20 mL/kg untuk anak-anak.9
2. Terapi antimikroba

Umumnya hasil pemeriksaan mikrobiologi akan menunjukan berbagai


jenis mikroba di dalam sampel yang didapat dan umumnya berupa gabungan dari
bakteri enterik gram negatif dan bakteri anaerob. Berdasarkan uji secara klinis dan
eksperimental, dianjurkan bila terapi antimikroba yang diberikan mencakup
bakteri aerobik maupun anaerobik, dimana yang tersering adalah E.coli dan
bacteroides fragilis. Pemberian terapi antimikroba harus disesuaikan dengan
keadaan klinis pasien, dimana bila ditemukan pasien afebris, leukosit normal,
maka kemungkinan sepsis setelah penghentian obat tidak ada. Namun bila
didapatkan keadaan demam atau leukositosis, maka kemungkinan terjadinya
infeksi rekuren atau residual berkisar antara 33 – 50 %. Dengan pendekatan ini,
pemberian antibiotik dapat dihentikan paling cepat 4 hari setelah operasi. Bila
didapatkan pasien tetap demam dan mengalami leukositosis setelah lebih dari 7
hari, maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi infeksi residual.5,7
Tabel 3.3. Anjuran Antibiotik untuk Peritonitis Sekunder.4
Agen Tunggal
Ampicillin / Sulbactam
Cefotetan
Cefoxitin
Ertapenem
Imipenem / Cilastatin
Meropenem
Piperacillin / Tazobactam
Ticarcillin / Clavulonic acid
34

Agen Kombinasi
Aminoglikosida ( Amikacin, Gentamicin, Netilmicin, Tobramycin )
dan antianaerob
Aztreonam dan Clindamycin
Cefuroxime dan Metronidazole
Ciprofloxacin dan Metronidazole
Sefalosporin generasi ketiga / keempat ( Cefepime, Cefotaxime,
Ceftazidime, Ceftizoxime, Ceftriaxone ) dan antianaerob

3. Intervensi bedah

Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari


kontaminasi (koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan
mencegah sepsis.14,19 Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan
tujuan agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan komplit tercapai.19
Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang mengalami
perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair (perforasi ulkus).14,17
Teknik yang digunakan untuk mengkontrol kontaminasi bergantung pada
lokasi dan sumber keadaan patologisnya. Secara umum, pembersihan peritoneum
secara menerus dilakukan dengan menutup, mengeksklusi, atau memotong viskus
yang perforasi. Kolon yang patologis ditangani dengan efektif dengan cara reseksi
segmen yang bermasalah dengan eksteriorisasi ujung proksimal sebagai bagian
akhir kolostomi, dan membentuk fistula bermukosa. Sebuah anastomosis primer
pada pasien dengan peritonitis difus, diasosiasika dengan peningkatan pembukaan
luka operasi dan harus dihindari. Sebuah kelainan patologis pada usus halus perlu
ditangani dengan cara yang serupa, yakni reseksi segmen yang bermasalah. Bila
terdapat kontaminasi peritoneum yang ekstensif atau keadaan usus menjadi tidak
stabil, pembentukan stoma lebih dianjurkan. Ulkus duodenum yang mengalami
perforasi dapat ditangani dengan menambalnya dengan omentum atau dilakukan
pyloroplasty. Perforasi ulkus gaster ditangani dengan reseksi gaster bagian distal
dengan pembentukan anastomosis gastroduodenal atau gastrojejunal, atau dengan
eksisi lokal dan penutupan secara primer. Appendisitis ditangani dengan
appendektomi.5,7
35

Sebagai tambahan untuk mengatasi keadaan patologis yang mendasari,


eksudat purulen yang banyak diaspirasi, dan lokalisasi pada pelvis, celah
parakolik, dan daerah subfrenik dibuka secara halus dan dilakukan debridement.
Benda-benda kontaminan seperti feses, barium, jaringan nekrotik, dan darah harus
dikeluarkan dalam prosedur ini.7 Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan
cairan normal saline (>3L) hangat dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan
tujuan mengurangi bacterial load dan mengeluarkan pus(mencegah sepsis dan re-
akumulasi dari pus). Tidak direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan
iodine atau agen kimia lainnya. Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup
kembali. Secara ideal, fascia ditutup dengan benang non-absorbable dan kutis
dibiarkan terbuka dan ditutup dengan kasa basah selama 48-72 jam. Apabila tidak
terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat dilakukan (delayed primary closure
technique). Teknik ini merupakan teknik closed-abdomen, pada laporan kasus ini
tidak akan dibahas secara mendalam mengenai teknik open-abdomen.14,17,19
Peritonitis tersier diobati dengan pemberian antibiotik yang ditujukan
untuk S.aureus, Staphylococcus koagulase-negatif, dan basil gram negatif hingga
hasil kultur tersedia. Pengunaan cefalosporin seperti cefazolin dan floroquinolone
atau sefalosporin generasi ketiga secara tunggal ( ceftazidime ) dapat
dipertimbangkan. Loading doses diberikan secara intraperitoneal, dan dosis obat
bergantung pada proses dialisis peritoneum dan fungsi ginjal pasien. Antibiotik
dapat diberikan secara kontinyu atau secara intermiten. Bila pasien tampak sakit
berat, antibiotik IV dapat diberikan. Bila tidak terdapat perbaikan setelah terapi
selama 48 jam, dianjurkkan untuk melepas kateter.2

3.9 PROGNOSIS

Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah


10%-40% pada perforasi kolon (Tabel 3.4). Faktor yang mempengaruhi tingkat
mortalitias yang tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi
penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum penanganan, usia pasien, dan
keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah 10% ditemukan pada pasien
dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri
36

yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk
(APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan
tingkat serum albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi
yang membutuhkan penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka
mortalitas yang tinggi. 17

3.10 Hernia Femoralis

3.10.1 Definisi
Hernia merupakan penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian
lemah dari dinding rongga bersangkutan. Hernia femoralis umumnya dijumpai
pada permepuan tua, kejadian pada permepuan kira-kira 4 kali laki-laki. Pintu
masuk hernia femoralis adalah anulus femoralis, selanjutnya isi hernia masuk ke
dalam kanalis femoralis yang berbentuk corong sejajar dengan vena femoralis
sepanjang kurang lebih 2 cm dan keluar pada fosa ovalis di lipat paha.32

Gambar 3.3 lokasi hernia femoralis


3.10.2 Etiologi
Hernia terjadi karena dinding otot yang melemah atau membran yang
secara normal menjaga organ tubuh pada tempatnya melemah atau mengendur.
Hernia kebanyakkan diterita oleh orang yang berusia lanjut, karena pada usia
lanjut otot – otot mulai melemah dan mengendur sehingga peluangnya sangat
37

besar untuk terjadi hernia. Pada wanita sebagian besar hernia diakibatkan karena
obesitas (berat badan yang berlebih). Hal lain yang dapat mengakibatkan hernia
antara lain.22,23

1. Mengangkat barang yang terlalu berat


2. Batuk
3. Penyakit kronik paru – paru
4. Akibat sering mengejan pada saat buang air besar
5. Gangguan metabolisme pada jaringan ikat
6. Asites (penumpukan cairan abnormal di dalam rongga perut)
7. Diare atau kejang perut
8. Kehamilan
9. Aktifitas fisik yang berlebihan
10. Bawaan lahir (kongenital)
3.10.3 Klasifikasi23,25
1. Hernia Internal
Hernia yang terjadi di dalam tubuh penderita sehingga tidak dapat dilihat
dengan mata. Contohnya hernia diaphragmatica.
2. Hernia Eksternal
Hernia yang dapat dilihat oleh mata dikarenakan benjolan hernia menembus
keluar sehingga dapat dilihat oleh mata.

a. Berdasarkan waktu terjadinya, hernia dibagi atas :

1. Hernia bawaan (kongenital)

2. Hernia didapat (akuisita)

b. Hernia berdasarkan tempatnya:


1. Hernia diafragma yaitu menonjolnya organ perut kedalam rongga dada
melalui lubang pada diafragma (sekat yang membatasi rongga dada dan
rongga perut).
38

2. Hernia inguinal
3. Hernia umbilical yaitu benjolan yang masuk melalui cincin umbilikus
(pusar)
4. Hernia femoral yaitu benjolan di lipat paha melalui anulus femoralis

c. Berdasarkan sifatnya:
1. Hernia reponibel; bila isi hernia dapat keluar masuk. Usus keluar jika
berdiri atau mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk
perut, tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus.
2. Hernia ireponibel; bila isi kantong hernia tidak dapat direposisi kembali ke
dalam rongga perut. Ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantong
pada peritoneum kantong hernia. Hernia ini disebut hernia akreta. Tidak ada
keluhan rasa nyeri ataupun tanda sumbatan usus.
3. Hernia inkarserata; bila isinya terjepit oleh cincin hernia sehingga isi
kantong terperangkap dan tidak dapat kembali kedalam rongga perut.
Akibatnya terjadi gangguan pasase atau vaskularisasi.

4. Hernia strangulata: Suplai darah untuk isi hernia terputus sehingga terjadi

oklusi vena dan limfe, akumulasi cairan jaringan (edema) menyebabkan

pembengkakan lebih lanjut dan sebagai konsekuensinya peningkatan

tekanan vena. Terjadi perdarahan vena, dan berkembang dengan

pembengkakan akhirnya mengganggu aliran arteri. Jaringannya

mengalami iskemi dan nekrosis. Jika isi hernia abdominal bukan usus,

misalnya omentum, nekrosis yang terjadi bersifat steril, tetapi strangulasi

usus yang paling sering terjadi dan menyebabkan nekrosis yang terinfeksi

(gangren). Mukosa usus terlibat dan dinding usus menjadi permeabel

terhadap bakteri, yang bertranslokasi dan masuk ke dalam kantong dan


39

dari sana menuju pembuluh darah. Usus yang infark dan rentan,

mengalami perforasi (biasanya pada leher pada kantong hernia) dan cairan

lumen yang mengandung bakteri keluar menuju rongga peritonial

menyebabkan peritonitis. Terjadi syok sepsis dengan gagal sirkulasi dan

kematian3. Bila strangulasi hanya menjepit sebagian dinding usus,

hernianya disebut hernia richter. Ileus obstruksi mungkin parsial atau total,

sedangkan benjolan hernia tidak ditemukan dan baru terdiagnosis pada

waktu laparatomi. Komplikasi hernia richter adalah strangulasi sehingga

terjadi perforasi usus, dan pada hernia femoralis tampak seperti abses di

daerah inguinal.

3.10.4 Patofisiologi

Secara patofisiologi peninggian tekanan intraabdomen akan mendorong

lemak preperitoneal ke dalam kanalis femoralis yang akan menjadi pembuka jalan

terjadinya hernia. Faktor penyebab lainnya adalah kehamilan multipara, obesitas,

dan degenerasi jaringan ikat karena usia lanjut. Hernia femoralis sekunder dapat

terjadi sebagai komplikasi herniorafi pada hernia inguinallis, terutama yang

memakai teknik bassini atau shouldice yang menyebabkan fasia transversa dan

ligamentum inguinale tergeser ke ventrokranial sehingga kanalis femoralis lebih

luas. Komplikasi yang paling sering adalah strangulasi dengan segala akibatnya.

Hernia femoralis keluar di sebelah ligamntum inginale pada fosa ovalis. Kadang-

kadang hernia femoralis tidak teraba dari luar, terutama bila merupakan hernia

richter.23-24
40

3.10.5 Penatalaksanaan23

a. Non operatif

Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan

pemakaian penyangga (pemakaian sabuk) atau penunjang untk mempertahankan

isi hernia yang telah direposisi. Namun penggunaan sabuk hernia merupakan

kontraindikasi pada hernia femoralis.

b. Operatif

1.Herniotomy merupakan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya.

Kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan jika ada perlekatan, kemudian

direposisi, kantong hernia dijahit dan diikat lalu di potong.

2. Hernioplasty merupakan tindakan memperkecil annulus inguinalis internus dan

memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.

c. Teknik operasi hernia

1. Bassini

Conjoint tendon didekatkan dengan ligamentum poupart’s dan spermatic

cord diposisikan seanatomis mungkin dibawah aponeurosis muskulus oblicuus

eksterna., menjahit conjoint tendon dengan ligamentum inguinale.

2. Shouldice

Teknik seperti bassini ditambah jahitan fascia tranversa dengan

ligamentum cooper.

3. Lichtenstein

Menggunakan propylene (bahan sintetik) menutup segitiga hasselbach dan

mempersempit annulus internus.


41

4. Halsted

Menempatkan musculus oblikuus eksterna diantara cord kebalikannya cara

bassini. Seperti bassini tetatpi funiculus spermatikus berada diluar aponeurosis

MOE.

5. Mc Vay

Dikenal dengan metode ligamentum cooper, meletakkan conjoint tendon

lebih posterior dan inferior terhadap ligamentum cooper.

3.10.6 Komplikasi

Komplikasi hernia bergantung pada keadaan yang dialami isi hernia. Isi

hernia dapat tertahan dalam kantong hernia pada hernia ireponible ini dapat terjadi

jika isi hernia terlalu besar, misalnya terdiri dari omentum, organ ekstraperitoneal

atau merupakan hernia akreta. Di sini tidak dapat timbul gejala klinis kecuali

berupa benjolan. Dapat pula terjadi isi hernia tercekik oleh cincin hernia sehingga

terjadi hernia strangulata yang menimbiulkan gejala obstruksi usus yang

sederhana. Sumbatan yang terjadi total atau pasrisal seperti pada hernia richter.

Bila cincin hernia sempit, kurang elastis, atau lebih kaku seperti pada hernia

femoralis dan hernia obturatoria, lebih sering terjadi jepitan parsial. Jarang terjadi

inkaserasi retrograd, yaitu dua segmen usus terperangkap di dalam kantong hernia

dan satu segmen lainnya berdada dalam rongga peritoneum23

Jepitan cincicn hernia akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan isi

hernia. Pada permulaan terjadi bendungan vena sehingga terjadi udema organ atau

struktur di dalam hernia dan transudasi ke dalam kantong hernia makin bertambah

sehingga akhirnya peredarah darah jaringan terganggu. Isi hernia menjadi nekrosis
42

dan kantong hernia akan berisi transudat beruapa cairan serosanguinis. Kalau isis

hernia terdiri atas usus, dapat terjadi perforasi yang akhirnya dapat menimbulkan

abses lokal, fistel atau peritonitis jika terjadi hubungn dengan rongga perut.23,24
BAB 4
PEMBAHASAN

Anamnesis

Pasien pada laporan kasus ini datang dengan keluhan nyeri perut. Hal ini
sesuai dengan teori yang dikemukakan bahwa nyeri abdomen merupakan gejala
yang hampir selalu ada pada peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang
tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada
seluruh bagian abdomen.10,22

Pasien juga mengeluhkan kembung, mual disertai muntah, dan beberapa


hari SMRS pasien demam. Studi literatur menyebutkan bahwa pada penderita
peritonitis juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan
muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam
yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38 OC sampai
40OC. 22

Berdasarkan anamnesis juga didapatkan keterangan bahwa pasien berusia


79 tahun, riwayat batuk lama (-), riwayat angkat beban berat (-). Hal ini dapat
dipikirkan bahawa pada usia lanjut fungsi orang tubuh mulai menurun, dimana
otot – otot mulai melemah dan mengendur sehingga peluangnya sangat besar untuk
terjadi hernia sebagai kemungkinan penyebab munculnya keluhan utama pasien.
Sesuai dengan teori yang dikemukakan bahwa salah satu penyebab peritonitis
adalah hernia yang rentan terjadi pada wanita usia lanjut dikarenakan fungsi organ
yang menurun, hernia yang mungkin terjadi adalah hernia strangulata, dimana
suplai darah untuk isi hernia terputus akhirnya terjadi oklusi vena dan limfe
sehingga menyebabkan jaringan mengalami iskemi dan nekrosis. Strangulasi yang
sering terjadi adalah usus, usus yang infark menjadi permeabel terhadap bakteri
dan rentan mengalami perforasi dan cairan lumen yang mengandung bakteri
keluar menuju rongga peritonial menyebabkan peritonitis.

44
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hasil yang bermakna berupa
distensi, defense muscular (+), nyeri tekan seluruh lapang abdomen (+), nyeri lepas
seluruh lapang abdomen (+), nyeri saat perkusi (+) di seluruh lapang abdomen, serta
pada auskultasi didapatkan bising usus menurun dan pemeriksaan ekstremitas teraba
benjolan di lipatan paha. Berikut penjelasan manifestasi klinis tersebut.

 Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya


distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen
tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita
diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru
terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan
dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus
paralitik.22
 Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap
lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih
luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter.
Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah,
tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari
peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada
apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti
pada pankreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada
daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal.22
 Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan
spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis,
reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan (Defans
muskular).20,22
 Pada pemeriksaan palpasi ekstremitas ar femur teraba benjolan di lipatan
paha. Pada pemeriksaan zieman’s test pemeriksan meletakkan jari untuk
mengetahui hernia femoralis, jari kedua diletakkan diatas anulus inguinalis

45
internus, jari ketiga diletakkan pada anulus inguinalis eksternus dan jari ke
empat diletakkan pada fossa ovalis, pasien disuruh mengejan maka timbul
dorongan pada salah satu jari. Bila dorangan pada jari kedua berarti hernia
inguinalis lateralis, bila jari ketiga hernia inguinalis medialis, dan bila jari
keempat hernia femoralis.22
Hal ini sesuai dengan teori yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa
manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan peritonitis didapatkan pada
pasien ini.

46
45

.Pemeriksaan Penunjang

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis. Hal


ini sesuai dengan studi literatur yang menyebutkan bahwa secara umum
pemeriksaan penunjang untuk peritonitis meliputi pemeriksaan darah lengkap,
yang memiliki karakteristik berupa leukositosis.

Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya tanda-tanda peritonitis seperti


teori yang telah dikemukakan yaitu :

- Retensi dari gas dan fluid level di usus kecil dan usus besar.
- Tanda-tanda inhibisi, penurunan pergerakan usus.
- Perubahan pola mukosa, edema usus.
- Perkaburan dari “flank stripe,” retroperitoneal fat
- Pertanda retiuklasi pada lemak subkutan
- Terbatasnya pergerakan diafragma
- Perubahan sekunder pada paru dan pleura.2

Penatalaksanaan
Pada pasien ini dilakukan tindakan laparotomi eksplorasi. Sebelumnya
pasien diberikan obat-obatan pre operatif yang sudah sesuai dengan teori yang
dikemukakan pada bab sebelumnya. Lalu pada pasien ini diberikan terapi post
operatif berupa pemberian obat antibiotic spectrum luas, analgetik dan obat-
obatan simptomatis lainnya yang disertai dengan observasi ketat di ruang ICU.
Prinsip-prinsip penatalaksanaan peritonitis telah dilakukan pada pasien ini
diantaranya; resusitasi cairan untuk stabilisasi hemodinamik, pemberian antibiotic
untuk mengatasi infeksi serta tindakan operatif sebagai terapi definitive.
Pada pasien ini juga dilakukan tindakan loop ileostomi dan hernia repair
with mesh.
BAB 5
KESIMPULAN

Peritonitis merupakan peradangan pada peritoneum yang merupakan


pembungkus visera dalam rongga perut dan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi usus, ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,
komplikasi iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal,
peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri, kontaminasi yang terus-menerus,
bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim
pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.2
Sampai saat ini peritonitis masih menjadi salah satu masalah kesehatan di
Indonesia.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena
setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.1
Telah dilaporkan sebuah laporan kasus pasien dengan diagnosis
peritonitis. Semoga laporan kasus ini dapat menjadi referensi dan menambah
pemahaman yang holistik terhadap kasus peritonitis sehingga setiap kasus yang
sama dapat didiagnosis dan dilakukan penatalaksanaan yang benar agar
morbiditas dan mortalitas akibat penyakit ini dapat berkurang dikemudian hari.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Oetomo, K.S., 2013 Makalah Peritonitis. Ilmu Bedah RSU Haji Surabaya.
Available from: http://www.scribd.com/doc/157587424/Makalah-Peritonitis-
2013-Dr-dr-Koernia-Swa-Oetomo-SpB-Peritonitis
2. Snell RS. Abdomen : bagian II cavitas abdominalis. Anatomi Klinik. Jakarta :
EGC, 2006. p.210-218.
3. Marshall JC, Innes M. Intensive Care Management of Intra Abdominal
Infection. Ciritical Care Medicine 2003; 31(8) : 2228-37
4. Atherton JC, Bacon BR, Blumberg RS, et al. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 17th edition : Acute Appendicitis and Peritonitis.
Singapore. McGraw Hill. 2008. p1916-7
5. Beeching NJ, Calderwood SB, Callahan MV, et al. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 17th edition : Intraabdominal Infections and Abscesses.
Singapore. McGraw Hill. 2008. p807-10
6. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. Danvers :
John Wiley & Sons ; 2006
7. Rotstein OD, Abrams JH. Surgical Critical Care : Intra-abdominal Infection.
Singapore. Taylor&Francis. 2005. p693-8
8. Pasquale MD, Barke RA. Surgical Critical Care : Acute Abdomen.
Singapore. Taylor&Francis. 2005. p591-601
9. Fildes J, Meredith JW, Kortbeek JB, et al. Advanced Trauma Life Support for
Doctors diterjemahkan oleh [ Pusponegoro AD, Karnadihardja W, Soedarmo
S, et al ]. Jakarta: FK UI ; 2008.
10. Daley. J. B. 2015. Peritonitis And Abdominal Sepsis. University Of
Tennessee Health Science Center College Of
Medicine.http://emedicine.medscape.com/article/180234-
overview#showall
11. Williams,N.S, Bulstrode, C.J.K & O’Connell,P.R. 2008. Bailey & Love’s
Short Practice of Surgery 25th edition.The peritoneum, omentum, mesentery
and retroperitoneal space.India : Phoenix Photosetting, h993
12. Johnson, Caroline C, Baldessarre, James, Levison, Matthew E. 1997. Update
on Pathophysiology, Clinical Manifestatio, and Management. In : Peritonitis.
Allegheny University-MCP
13. Sartelli M. A Focus on Intra-Abdominal Infections. W J Emerg Surg 2010;5:9
14. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill
Patient. Surg Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49
15. Gupta S, Kaushik R. Peritonitis - the Eastern experience. World J Emerg Surg
2006; 1:13.
16. Malangoni M, Inui T. Peritonitis - the Western experience. World J Emerg
Surg 2006; 1(1):25.
17. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT
Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5215855.

48
18. Baron MJ, Kasper DL. Chapter 127. Intraabdominal Infections and
Abscesses. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18 edition. The
McGraw Hill Companies. 2012.
19. Peralta R, Geibel J. Surgical Approach to Peritonitis and Abdominal Sepsis.
Emedicine Medscape 2013. Accessed in:
http://emedicine.medscape.com/article/1952823-overview#showall
20. Mansjoer , Arif, Dkk. 2000. Bedah Digestif. Kapita Selekta Kedokteran
Jilid 2 Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit Fkui.
21. R Mike. 2012. Rad potioning test 3.
https://www.studyblue.com/notes/note/n/rad-positoning-test-
3/deck/3947471
22. Schwartz. S. J., Shires. S. T. S., Spencer. F.C. 2000. Peritonitis Dan Abces
Intraabdomen Dalam Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Ed.6. Jakarta :
Egc.
23. Setya H, Hernia and Treatment. Article Kedokteran. Cirebon:2011
24. Sjamsuhidayat R, Wm de Jong. 2011, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 6.
Jakarta: EGC
25. Syarifuddin, 2013. Hernia. Article Kedokteran. Jakarta.

49

Anda mungkin juga menyukai