Disusun untuk Memenuhi Syarat Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar
pada Universitas Negeri Jakarta
Dosen Pengampu:
Ode Sofyan Hardi, S.Pd., M.Si.
Disusun Oleh:
AZIZ YUDHA NUGRAHA
(5315162680)
ANDREW MAHARDIKA
(5315164809)
5. Jelaskan Homo Hominis Lupus dan Homo Homini Socius dalam kehidupan bermasyarakat!
Jawab :
A. Manusia sebagai Homo Homini Socius
Makna manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk ekonomi yang bermoral
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin hidup sendiri dalam
memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan orang lain, karena memang manusia diciptakan
Tuhan untuk saling berinteraksi, bermasyarakat atau bersilaturahmi dengan sesama
serta dapat saling tolong menolong dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan untuk
bermasyarakat atau berkumpul dengan sesama merupakan kebutuhan dasar atau naluri
manusia itu sendiri yang dinamakan Gregariousness. Maka dengan demikian manusia
merupakan makhluk sosial Homo Socius. Socius berasal dari bahasa Latin yang berarti
teman, kawan atau masyarakat, sedangkan Homo yang berarti sejenis. Sehingga Homo
Socius dapat diartikan sebagai makhluk yang selalu ingin berinteraksi dengan sesama
atau bergaul. Adapun ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk yang
mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama sesamanya dinamakan ilmu
sosiologi.
Adam Smith seorang filsuf berlatar belakang ekonomi mengutarakan bahwa
manusia adalah makhluk Homo homini socius yang berarti manusia menjadi kawan
bagi manusia lainnya. Inti dari pikiran ini adalah bahwa manusia akan butuh orang lain
dalam hidupnya untuk berinteraksi. Dalam sebuah teori yang sangat sederhana, teori
ini dapat dengan sederhana dibuktikan dengan kebutuhan manusia akan akurasi dan
dipandang baik oleh orang. Dalam konteks ingin dipandang baik oleh orang lain, akan
menjadi sorotan dalam homo homini socius dan kemudian, kebutuhan ini akan
dijelaskan lebih lanjut dengan konsep self esteem atau yang diterjemahkan menjadi
harga diri.
Kebutuhan akan harga diri pertama kali dijelaskan dalam hierarchy of needs, oleh
Abraham Maslow (Schultz, D. 1976). Maslow membagi atas dua bagian untuk
kebutuhan akan harga diri ini, yaitu kebutuhan yang tergolong rendah dan tergolong
tinggi. Yang tergolong rendah mencakup kebutuhan dihormati oleh orang lain,
kebutuhan akan status, popularitas, kemenangan, dikenal, diperhatikan, reputasi,
apresiasi, martabat, dan bahkan dominansi. sementara yang tergolong tinggi mencakup
kebutuhan akan penghormatan terhadap diri sendiri oleh diri sendiri (self respect)
seperti perasaan yakin, kepemilikan akan kompetensi, perolehan hasil, penguasaan
akan suatu hal, kemandirian, dan kebebasan. Bentuk-bentuk ke dua disebut sebagai
kebutuhan yang dikategorikan tinggi oleh Maslow karena ketika sudah memiliki self
respect tersebut, maka seorang individu akan sulit terlepaskan itu semua.
Semua penjelasan-penjelasan tersebutlah, yang kemudian akan membuat seseorang
membutuhkan orang lain, sebab untuk memperoleh harga diri tadi, maka manusia butuh
orang lain untuk memberikannya. Hal ini bahkan dijelaskan oleh Erik Erikson, seorang
psikolog psikodinamika, dalam teori fase-fase perkembangan manusia, psikososial,
bahwa kebutuhan akan harga diri sudah dimunculkan sejak manusia masih bayi
(santrock, J.W, 2006).Manusia dalam memenuhi kebutuhannya di ungkapkan oleh
Adam Smith ( 1723-1790) dalam bukunya yang berjudul “ An Inquiry into the nature
and causes of the wealth of nations”, yaitu Manusia merupakan makhluk ekonomi atau
Homo Economicus yang cenderung tidak pernah merasa puas dengan apa yang
diperolehnya dan selalu berusaha secara terus menerus dalam memenuhi
kebutuhannya. Sebagai makhluk ekonomi manusia selalu bertindak Rasional artinya
selalu memperhitungkan sebab akibat untung atau rugi dalam mengambil suatu
keputusan dalam rangka memenuhi kebutuhannya sehingga tidak merugikan diri
sendiri. Namun demikian makhluk ekonomi bukanlah makhluk egois yang hanya
Manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran. Mementingkan
diri sendiri dan merugikan orang lain. Makhluk ekonomi cenderung menggunakan
prinsip prinsip ekonomi dalam aktifitasnya.
Kebebasan Individual
Namun terdapat suatu paradoks tersendiri dalam kebutuhan akan harga diri
tersebut, yaitu ketika seorang membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya
ini, terdapat juga issue yang dikemukakan oleh Maslow bahwa manusia butuh mandiri
dan bebas. Jika kita masih membutuhkan orang lain dalam membentuk harga diri kita,
maka dimana letak kebebasan individual dalam bertingkah laku? (Luijpen, W.A, 1969)
Seorang Psikolog Psikodinamika, Erich Fromm, dalam teorinya yang berjudul
“Escape from freedom“, mencoba menjelaskan paradoks ini. Fromm menggunakan
pendekatan dari dua sisi, yaitu bahwa manusia terbatas dalam hal biologis (menurut
pandangan Freud) dan dalam hal aspek sosial (menurut pandangan Marx). Kedua
pendekatan ini yang kemudian menjadi dasar, mengapa manusia bagaimanapun
mencoba untuk lepas dari keterikatannya, tidak akan pernah bisa lepas secara mutlak,
atau menurut Jean Paul sartre (filsuf dari Eropa) bahwa manusia itu ada sebagai
faktisitas (terbatas dalam memilih) juga, selain sebagai eksistensialis (bebas dalam
memilih).
Ada tiga saja, cara melepas diri dari keterikatan yang dilakukan manusia, yang
dikemukakan oleh Fromm, yaitu authoritarianism (melepas diri dari kekuasaan orang
lain dengan menjadi kekuasaan itu sendiri, atau menghindari dari kekuasaan yang dapat
mengganggu dia), Destructiveness (membuat diri menjadi tidak ada sehingga tidak ada
hal dapat diikat, atau menghancurkan pengikat diri), dan automaton conformity
(menjadi sama dengan orang lain di bawah pengikat dirinya, sehingga tidak ada
konfrontasi antara pengikat dengan diri sendiri).
Ciri Ciri Manusia sebagai makhluk sosial dan ekonomi yang bermoral
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki naluri untuk saling tolong menolong,
setia kawan dan toleransi serta simpati dan empati terhadap sesamanya. Keadaan inilah
yang dapat menjadikan suatu masyarakat yang baik, harmonis dan rukun, hingga
timbullah norma, etika dan kesopan santunan yang dianut oleh masyarakat. Bila hal hal
diatas dilanggar atau terabaikan maka terjadilah yang dinamakan penyimpangan social.
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki 2 harat yaitu :
1. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia yang lain di sekelilingnya
(Masyarakat).
2. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekitarnya.
Manusia sebagai makhluk ekonomi memiliki ciri- ciri yaitu :
1. Cenderung melakukan tindakan ekonomi atas dasar kepentingan sendiri.
2. Cenderung melakukan tindakan ekonomi secara efisien.Selalu memikirkan
perbandingan antara apa yang dikorbankan atau dikeluarkan dengan apa
yang akan dicapai hasilnya.
3. Cenderung memilih suatu kegiatan yang paling dekat dengan pencapaian
tujuan diinginkan.
Hubungan antara manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk ekonomi yang
bermoral.Manusia dalam memenuhi kebutuhannya tak lepas dari hubungannya dengan
orang lain, karena dengan adanya hubungan tersebut maka apa yang dibutuhkan
mungkin dapat terpenuhi, sebagai contoh; Manusia membutuhkan makan nasi maka ia
harus pergi ke pasar untuk membeli beras pada penjual beras, adapun penjual beras
tentunya mendapatkan beras (membelinya) dari para petani di desa. Hubungan jual
beli ini tentunya akan lebih baik dengan mengindahkan etika dan norma (Moral) yaitu
tidak melakukan kecurangan dalam transaksi jual belinya. Seperti mengurangi
timbangan atau transaksi dengan menggunakan sebagian uang palsu dan berbagai
bentuk kecurangan lainya. Bila terjadi kecurangan kecurangan tentunya hubungan
antar manusia tidak akan harmonis. Walau manusia sebagai makhluk ekonomi yang
selalu ingin mementingkan diri sendiri dalam memenuhi kebutuhannya namun tidak
dibenarkan untuk melakukan kecurangan dalam memperoleh apa yang diinginkannya.
Manusia tidak boleh mengabaikan etika dan nilai nilai moral didalam hubungannya
dengan manusia lain (homo socius) dan dalam memenuhi kebutuhannya (homo
economicus).