Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Akademika

Program Studi Manajemen Pendidikan Islam IAI Sunan Kalijogo Malang


ISSN: 2622-9293 Volume 1 Juni 2019

AHOK, KONSTITUSI
DAN SURAT AL MAIDAH AYAT 51

Hufron
Institut Agama Islam Sunan Kalijogo Malang
hufron.alfiyah@gmail.com

Abstrak: Nilai-nilai multikulturalisme tersebut adalah keadilan


(al-‘adalah), kesetaraan (al-musawa) dan hak asasi manusia
(human rights), nilai-nilai demokratis (democratic values). Nilai-
nilai tersebut yang kemudian memunculkan berbagai sikap seperti
anti diskriminasi, prasangka (prejudice) dan toleransi terhadap
kelompok-kelompok yang berbeda baik etnis, ras, suku, agama,
budaya dan lain sebagainyaImplementasi perda wajib madin di
Kabupaten Pasuruan masih terkesan terburu-buru tanpa adanya
kesiapan yang matang, alasannya adalah mutu madrasah diniyah
yang masih perlu mendapatkan pembinaan secara intens terutama
di wilayah pedesaan, karena masih banyak adanya madin yang
dikelola secara asal-asalan dan tidak sesuai dengan prosedur.

Kata kunci: Ahok, Konstitusi, Surat Al Maidah.

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki bangsa yang
majemuk dan multikultural. Pemaknaan majemuk di sini yaitu bangsa
dari kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang adat istiadat,
budaya, agama, dan kepentingan atau masyarakat yang terdiri dari dua
atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri dalam suatu kesatuan politik
(Suryana dan Rusdiana, 2015, hal. 3). Sedangkan multikultural adalah
keanekaragaman budaya. Istilah multikultural tersebut telah membentuk
sebuah ideologi yang disebut dengan multikulturalisme, yaitu sebuah
ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan. Defnisi tersebut kemudian disederhanakan menjadi

35
Jurnal Akademika
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam IAI Sunan Kalijogo Malang
ISSN: 2622-9293 Volume 1 Juni 2019
ideologi yang mengakomodir keberagaman budaya baik dalam hal
agama, etnis, ras, bahasa, geografs dan budaya.1

B. Kajian Teori
1. Multikulturalisme
Secara sederhana, ‘multikultural’ dapat berarti ‘keragaman
budaya’.Istilah multikultural dibentuk dari kata ‘multi’ yang berarti
plural; banyak; atau beragam, dan ‘kultur’ yang berarti budaya.
Kultur atau budaya merupakan ciri-ciri dari tingkah laku manusia
yang dipelajari, tidak diturunkan secara genetis dan bersifat khusus,
sehingga kultur pada masyarakat tertentu bisa berbeda dengan kultur
masyarakat lainnya. Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar.2 Kebudayaan seringkali juga mempunyai pengertian
sebagai hasil dari cipta, rasa dan karsa. Istilah peradaban sering juga
digunakan untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai
sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa dan
sistem kenegaraan.
Keragaman (Diversitas) dalam masyarakat menurut Bikhu
Parekh bisa dikategorikan dalam tiga hal. Pertama, perbedaan
subkultur (subculture diversity), yaitu individu atau sekelompok
masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang
berbeda dengan komunitas
besar dengan sistem nilai atau budaya pada umumnya yang
berlaku. Kedua, perbedaan dalam perpektif (perspectival diversity),
yaitu individu atau kelompok dengan perpektif kritis terhadap
mainstream nilai atau budaya mapan yang dianut oleh mayoritas
masyarakat di sekitarnya. Ketiga, perbedaan komunalitas (communal
diversity), yakni individu atau kelompok yang hidup dengan gaya
hidup yang genuine sesuai dengan identitas komunal mereka
(indigeneous people way of life).

1
Abdullah Bin Muhammad ,Terjemah tafsir ibnu katsir jilid 3, Bogor: Pustaka Imam Asy
syafi’I, Hal 106
2
Ahmad Warson Munawwir, 1997, Kamus al Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progressif.

36
Jurnal Akademika
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam IAI Sunan Kalijogo Malang
ISSN: 2622-9293 Volume 1 Juni 2019
Lebih jauh, Tilaar mengemukakan pernyataannya berdasarkan
beberapa pertimbangan berikut: pendidikan multikultural secara
inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa
Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika, suka bergotong royong,
membantu, dan menghargai antara satu dengan lainnya. Hal ini
terlihat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing yang terus
berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis Tionghoa,
Arab, Eropa, dan sebagainya. Semua suku secara kultural telah
mampu beradaptasi dengan suku-suku asli Indonesia, seperti Jawa,
Batak, Minang, Bugis, dan lainnya. Proses adaptasi dan akulturasi
yang berlangsung di antara suku-suku tersebut dengan etnis yang
datang kemudian itu yang dikenal dengan pendidikan multikultural.3
2. Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan salah satu unsur penentu
keberhasilan organisasi, terlebih lagi dalam menuju perubahan. Untuk
memahami apa yang dimaksud dengan kepemimpinan (leadership)
ada baiknya terlebih dahulu mengetahui arti pemimpin (leader). Hal
ini disebabkan kepemimpinan dilakukan oleh seorang pemimpin dan
ia mengemban tugas dengan beraktivitas untuk melaksanakan
kepemimpinan tersebut.4
Menurut Robbert D Stuart bahwa pemimpin adalah seorang
yang diharapkan mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi,
memberi petunjuk dan juga mampu menentukan individu untuk
mencapai tujuan. Seiring dengan itu James P. Spillane menyatakan
bahwa pemimpin itu agen perubahan dengan kegiatan
mempengaruhi orang-orang lebih daripada pengaruh orang-orang
tersebut kepadanya.5

C. Pembahasan
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan
multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim

3
Heru Suparman, Multikultural dalam Perspektif Alquran, AL QUDS : Jurnal Studi Alquran
dan Hadis vol. 1, no. 2, 2017
4
https://www.youtube.com/watch?v=Fl2ekX294EY, diakses tanggal 26 januari 2018
5
Inayatul Ulya, Pendidikan Islam Multikultural Sebagai Resolusi Konflik Agama di
Indonesia, Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Hal. 23.

37
Jurnal Akademika
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam IAI Sunan Kalijogo Malang
ISSN: 2622-9293 Volume 1 Juni 2019
otoriter militeristik Orde Baru (1966-1998) karena hempasan badai
reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi
bangsa kita, namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan
primordialisme kultural. Untuk itu, kita perlu menerapkan paradigma
pendidikan multikultural untuk menangkal semangat primordialisme
kultural.6
Persoalan yang kemudian muncul dalam masyarakat majemuk
adalah konflik, yang dengan sendirinya bisa mengguncang tatanan sosial
yang telah lama mengakar. Sehingga multikulturalisme sebenarnya
merupakan buah perjalanan panjang intelektual manusia setelah berjumpa
dan bergelut dengan berbagai konflik. Multikulturalisme adalah posisi
intelektual yang menyatakan keberpihakannya pada pemaknaan terhadap
persamaan, keadilan, dan kebersamaan untuk memperkecil ruang konflik
yang destruksif.
Nabi Muhammad memperkuat dan menyebarkan nilai-nilai
universal Al-Qur’an.Maka tak heran jika akhlak nabi Muhammad
mencerminkan akhlak Al-Qur’an. Nilai-nilai universal Al-Qur’an ini
kemudian menjadi fondasi terbangunnya wacana multikulturalisme yang
terkandung dalam AlQur’an. Nilai-nilai multikulturalisme tersebut adalah
keadilan (al-‘adalah), kesetaraan (al-musawa) dan hak asasi manusia
(human rights), nilai-nilai demokratis (democratic values). Nilai-nilai
tersebut yang kemudian memunculkan berbagai sikap seperti anti
diskriminasi, prasangka (prejudice) dan toleransi terhadap kelompok-
kelompok yang berbeda baik etnis, ras, suku, agama, budaya dan lain
sebagainya.7

1. Multikulturalisme Perspektif Al Qur’an


‫ إن أكرمكم عند هللا‬,‫يأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا‬
(31 :‫ إن هللا عليم خبير )الحجرات‬,‫أتقاكم‬
" Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami
jadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling

6
Tri Astutik Haryati, ISLAM DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL, Tadrîs. Volume 4.
Nomor 2. 2009, Hal. 156.
7
Siti Julaiha, Internalisasi Multikulturalisme Dalam Pendidikan IslaM, Dinamika Ilmu Vol.
14. No 1, Juni 2014, Hal 110

38
Jurnal Akademika
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam IAI Sunan Kalijogo Malang
ISSN: 2622-9293 Volume 1 Juni 2019
mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha mengetahui,
Mahateliti.”

Ayat ini menurut penuturan para mufasirin secara substansial


menegaskan keberagaman umat manusia dari berbagai sisi. Dalam
konteks Alquran diturunkan untuk mencerminkan keragaman manusia
secara geografis, sementara dalam konteks saat ini mewakili
keragaman geo-politik, kultural maupun negara bangsa (nation-state).
Tujuan penciptaan semacam itu bukan untuk saling menjatuhkan,
menghujat, dan bersombong-sombongan melainkan agar masing-
masing saling kenal-mengenal untuk menumbuhkan rasa saling
menghormati dan semangat saling tolong-menolong. Dari paparan
ayat ini dapat di pahami bahwa agama Islam secara normatif telah
menguraikan tentang kesetaraan dalam bermasyarakat yang tidak
mendiskriminasikan kelompok lain.
‫ إن في ذلك أليت للعلمين‬,‫ومن أيته خلق السموت واألرض واختلف ألسنتكم وألونكم‬
“Dan diantara tanda- tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan
langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah
menjelaskan: “Alquran demikian menghargai bahasa dan
keragamannya, bahkan mengakui penggunaan bahasa lisan yang
beragam. Perlu ditegaskan bahwa dalam konteks pembicaraan tentang
paham kebangsaan, Alquran sangat menghargai bahasa. Bahasa
pikiran dan bahasa perasaan jauh lebih penting ketimbang bahasa
lisan, sekalipun bukan berarti mengabaikan bahasa lisan, karena
sekali lagi ditekankan bahwa bahasa lisan adalah jembatan perasaan.
Atas dasar semua itu, terlihat bahwa bahasa saat dijadikan sebagai
perekat dan kesatuan umat, dapat diakui oleh Alquran, bahkan

39
Jurnal Akademika
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam IAI Sunan Kalijogo Malang
ISSN: 2622-9293 Volume 1 Juni 2019
inklusif dalam ajarannya. Bahasanya dan keragamannya merupakan
salah satu bukti ke-Esaan dan kebesaran Allah.8
‫ وال يزالون مختلفين‬,‫ولو شاء ربك لجعل الناس أمة وحدة‬
“Jikalau Tuhan mu menghendaki, tentu Dia menjadikan
manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat”.
Frase “jikalau Tuhanmu menghendaki” ini dipahami oleh
mayoritas ahli tafsir sebagai bentuk pengandaian yang tidak
memerlukan jawaban (gaya bahasa retoris). Artinya frase ini tidak
memerlukan penegasan lebih lanjut. Oleh karena itu, teks dalam Surat
Hud ini meniscayakan keragaman (multikultural) bagi umat manusia
secara umum, bahkan dalam perspektif asy-Syaukani, al-Zamakhsyari
dan al-Alusi, keragaman yang dimaksud adalah keragaman jalan
hidup dan agama.

2. Model-model kepemimpinan antara lain:


a. Kepemimpinan Islami
Kepemimpinan atau leadership dalam bahasa Arab disebut
dengan khilafah, imarah, ziamah dan imamah. Secara etimologi
kepemimpinan berarti gaya memimpin atau kualitas seorang
pemimpin atau tindakan dalam memimpin itu sendiri.
Sedangkan secara terminology ada beberapa definisi
mengenai kepemimpinan (leadership). Menurut Davis and
Newstroom bahwa kepemimpinan adalah suatu kemampuan untuk
membujuk orang lain agar dapat mencapai tujuan tertentu yang
telah ditetapkan, atau dengan kata lain bahwa kepemimpinan
merupakan upaya untuk mentransformasikan potens yang
terpendam menjadi kenyataan. Adapun kepemimpinan menurut
Stoner adalah proses upaya pengarahan yang mempengaruhi
aktifitas berkaitan dengan pekerjaan dan anggota kelompok.
Sedangkan kepemimpinan menurut Robbins adalah kemampuan

8
Irawaty A. Kahar, Konsep kepemimpinan dalam Perubahan Organisasi(Organization
Change) pada Perpustakaan Perguruan Tinggi, Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan
Informasi, Vol.4, No.1, Juni 2008, hal 23.

40
Jurnal Akademika
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam IAI Sunan Kalijogo Malang
ISSN: 2622-9293 Volume 1 Juni 2019
seseorang untuk mempengaruhi orang-orang dalam suatu
kelompok kearah tercapainya tujuan tertentu.9
b. Pemimpin Non Muslim
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang
diperbolehkannya memilih non Muslim, seandainya non Muslim
pada akhirnya terpilih sebagai pemimpin, maka dari sudut
pandang agama dan konstitusi sah dan mengikat. Pengakuan atas
kepemimpinan non Muslim yang terpilih secara konstitusional
adalah bagian dari wafā` bi al-‘Ahd. Seperti dijelaskan di atas
bahwa KH. A. Wahid Hasyim yang semula mengusulkan syarat
Islam bagi kepala negara, akhirnya menerima keputusan yang
menolak usulan tersebut. Ia juga menyepakati Pancasila dan UUD
1945 sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Kesepakatan ini
dapat dipahami sebagai perjanjian yang harus ditaati.
Pengakuan terhadap keabsahan terpilihnya non Muslim
juga didasarkan pada sikap Muktamar Banjarmasin yang
memutuskan Indonesia sebagai Darul Islam meskipun berada di
bawah kekuasaan Belanda yang non Muslim. Sebagaimana telah
dijelaskan di atas bahwa implikasi dari keputusan itu adalah
pengakuan terpaksa terhadap kepemimpinan Belanda demi
kemaslahatan.
Bahwa dengan pengakuan tersebut, umat Islam menjadi
tersubordinasi oleh kekuasaan non Muslim adalah hal yang pernah
terjadi dalam sejarah Islam dan tidak disikapi secara negatif.
Rasulullah Ṣalla Allah Alayh wa Sallam pernah memerintahkan
para Sahabat berhijrah ke Habasyah yang saat itu diperintah oleh
seorang non Muslim. Bahkan sebagian Sahabat tetap tinggal di
Habasyah tujuh tahun setelah Hijrah Rasulullah Ṣalla Allah Alayh
wa Sallam ke Madinah. Namun demikian tidak ada yang
mengecam mereka yang tetap tinggal di Habasyah.
Kasus yang sama juga terjadi pada Muslim yang tinggal
di Argon yang saat itu berada di bawah pemerintahan non
Muslim. Hal itu dimintakan fatwa kepada al-Ramlī dengan

9
Mahfudz Junaedi, Multikulturalisme Dalam Perspektif Al-Qur’an: Wacana dan Tafsir Ke
indonesiaan, International Seminar on Islamic Civilization, Hal 396

41
Jurnal Akademika
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam IAI Sunan Kalijogo Malang
ISSN: 2622-9293 Volume 1 Juni 2019
pertanyaan sebagai berikut, Patut digaris-bawahi bahwa Muslim
yang tinggal di Argon dapat menjalankan ajaran agamanya secara
terang-terangan tanpa ada gangguan dari pemerintah. Namun
demikian mereka khawatir kalau-kalau mereka bermaksiat dengan
tetap tinggal di negara non Muslim.
Dari jawaban di atas dapat dipahami bahwa umat Islam
diperbolehkan tinggal di negara yang diperintah oleh non Muslim
sepanjang mereka dapat mengamalkan agamanya tanpa gangguan.
Dan negara yang demikian itu tetap disebut sebagai Darul Islam.
Ibnu Taimiyah memiliki pendapat yang lebih ekstrem
ketika menjawab persoalan yang sama pada kasus umat Islam di
Maridin, suatu daerah di Turki Utara. Saat itu Maridin dikuasai
oleh Tatar yang dalam pandangan Ibnu Taimiyah merupakan
kombinasi pemerintahan kafir dan penjajah (baghy). Menurut
Ibnu Taimiyah Maridin bukan darul Harbi juga bukan Darul
Islam, melainkan bentuk gabungan antara Darul Harbi dan Darul
Islam di mana Muslim dan non Muslim diperlakukan sesuai hak-
hak masing-masing.
Pendapat Ibnu Taimiyah yang mengategorikan Maridin
sebagai kombinasi antara Darul Islam dan Darul Harbi di mana
masing-masing pemeluk agama diperlakukan sesuai hak-haknya,
dapat menjadi acuan yang tepat dalam memosisikan status negara
Indonesia. Dengan demikian pengakuan terhadap keabsahan
terpilihnya non Muslim dapat dipahami dalam konteks negara
kombinasi.10
ِ ‫ض ا َ ْن َوا‬
‫ع‬ ِ ‫اف َب ْع‬ ِ َّ‫َو أ ُ ُم ْو ُر الن‬
ِ ‫اس ِإنَّ َما ت َ ْست َ ِقيْ ُم ْوا في ِ الد ُ ْن َيا َم َع ال َعدْ ِل اَّلذِي قَ ْد َي ُك ْو ُن في ِ ا ْش ِت َر‬
َ ‫ق َو ِإ ْن َل ْم ت َ ْشت َِر ْك في ِ اْ ِِلثْ ِم َو ِل َهذَا ِقي َْل ِإ َّن‬
‫هللا‬ ِ ‫ظ ْل ِم في ِ ال ُحقُ ْو‬
ُ ‫ِإثْ ٍم ا َ ْكث َ َر ِم َّما ت َ ْست َ ِف ْي ُم ْوا َم َع ال‬
‫َت ُم ْس ِل َمةً َويُقَا ُل الد ُ ْن َيا‬
ْ ‫ظا ِل َمةَ َو ِإ ْن كَان‬ ْ ‫يُ ِق ْي ُم ْوا الدَ ْولَةَ ال َعا ِدلَةَ َو ِإ ْن كَان‬
َ ‫َت كَافِ َرة ً َوالَ يُ ِق ْي ُم ْوا ال‬
‫اِل ْسالَ ِم‬ ِ ‫ظ ْل ِم َو‬
ُ ‫تَد ُْو ُم َم َع ال َعد ِْل َوال ُك ْف ِر َوالَتَد ُْو ُم َم َع ال‬
Persoalan-persoalan dunia bisa tegak hanya dengan
keadilan boleh jadi pemerintah yang menegakkan keadilan
melakukan dosa (non muslim) itu akan lebih tegak daripada orang
yang dalam hal agama tidak melakukan dosa tapi dholim. Allah

10
Rosita Endang Kusmaryani, Pendidikan Multikultural Sebagai Alternatif Penanaman Nilai
Moral Dalam Keberagaman, Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006, Hal 51

42
Jurnal Akademika
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam IAI Sunan Kalijogo Malang
ISSN: 2622-9293 Volume 1 Juni 2019
akan memperkuat Negara yang adil meskipun dipimpin oleh
orang yang kafir dan allah tidak akan memeperkuat Negara yang
dipimpin oleh orang islam yang dholim. Persoalan dunia akan bisa
terselesaikan dengan keadilan meskipun pemimpinnya kafir dan
begitu pula sebaliknya.
‫ض َو َم ْن يَت ََولَّ ُه ْم‬
ٍ ‫ض ُه ْم ا َ ْو ِليَا ُء بَ ْع‬
ُ ْ‫ص َرى ا َ ْو ِليَا َء بَع‬ َ َّ‫يَاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْوا الَتَت َّ ِخذ ُ ْوا اليَ ُه ْودَ َوالن‬
َّ ‫ِم ْن ُك ْم فَإِنَّهُ ِم ْن ُه ْم ِإ َّن هللاَ الَيَ ْهدِى ْالقَ ْو َم ال‬
َ‫ظا ِل ِميْن‬
“Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang orang yahudi dan nasroni menjadi pemimpin
pemimpin (mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian
yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka orang itu termasuk golongan mereka,.
Sesungguhnya Allah tidak member petunjuk kepada orang yang
dzalim” (al Maidah:51).
Ibnu abi Hatim mengatakan dari Iyadh “bahwa umar
pernah menyuruh Abu musa al “asyari untuk melaporkan
kepadanya pemasukan dan pengeluaran yang di catat pada
selembar kulit yang telah disamak. Pada waktu itu abu musa
mempunyai seorang sekertaris beragama nasrani. Kemudian umar
sangat kagum seraya berkata “ia benar benar orang yang sangat
teliti” kemudian umar meminta dia untu membacakan satu surat di
masjid, kemudian abu musa menjawab bahwa ia tidak bisa, karena
ia seorang nasrani. Maka umar memukul paha ku, lalu berkata
“keluarkan orang itu”. Kemudian umar membaca ayat diatas.
Adapun tafsir kata “awliya” yang menjadi bahan
perdebatan diantara para pemikir Islam dan juga oknum yang
menggunakan ayat ini sebagai sarana politik untuk mencapai
kekuasaan.
Adapun secara bahasa makna kata “awliya” mengandung
banyak makna. Diantaranya adalah: Yang berarti dekat, mengikuti
dengan tanpa batas, menguasai, mengurus.
Lalu, dilanjutkan oleh ayat 51 Surat Al-Maidah. Kalau
memang seperti itu sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani –
mengubah kitab suci mereka, enggan mengikuti Al-Qur’an,
keinginannya mengikuti jahiliyah, “Maka wahai orang-orang

43
Jurnal Akademika
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam IAI Sunan Kalijogo Malang
ISSN: 2622-9293 Volume 1 Juni 2019
beriman janganlah engkau menjadikan orang-orang Yahudi dan
Nasrani sebagai awliya.”
Bagi Quraish Shihab, hubungan ayat ini dan ayat
sebelumnya sangat ketat. “Kalau begitu sifat-sifatnya, jangan
jadikan mereka awliya. Nah, awliya itu apa?,” tanyanya memantik
diskusi sebelum mengkaji lebih dalam.‘Awliya’ ialah jamak atau
bentuk plural dari ‘wali’. Di Indonesia, kata ini populer sehingga
ada kata wali-kota, wali-nikah dst. Wali ialah, kata penulis Tafsir
Al Misbah ini, pada mulanya berarti “yang dekat”. Karena itu,
waliyullah juga bisa diartikan orang yang dekat dengan Allah.
“Dari sini, kata ‘wali’ yang jamaknya ‘awliya’ memiliki makna
bermacam-macam.”
Yang jelas, kata jebolan Al Azhar Mesir ini, kalau ia
dalam konteks hubungan antar manusia, berarti persahabatan yang
begitu kental. Sedemikan hingga tidak ada lagi rahasia di antara
mereka. Demikian pula hubungan suami-istri yang dileburkan
oleh cinta.11
“Dalam ayat ini, jangan angkat mereka –Yahudi dan
Nasrani- yang sifatnya seperti dikemukakan pada ayat
sebelumnya menjadi wali atau orang dekatmu. Sehingga engkau
membocorkan rahasia kepada mereka.”
Dengan demikian, ‘awliya’ bukan sebatas bermakna
pemimpin, kata Quraish Shihab. “Itu pun, sekali lagi, jika mereka
enggan mengikuti tuntunan Allah dan hanya mau mengikuti
tuntunan Jahiliyah seperti ayat yang lain.”

D. Kesimpulan
Tafsir kata “awliya” yang menjadi bahan perdebatan diantara para
pemikir Islam dan juga oknum yang menggunakan ayat ini sebagai sarana
politik untuk mencapai kekuasaan. Adapun secara bahasa makna kata
“awliya” mengandung banyak makna. Diantaranya adalah: Yang berarti
dekat, mengikuti dengan tanpa batas, menguasai, mengurus

11
Majdi H. Ibrahim, et all, Proceeding Aicis XIV;Multicultural Education In
Indonesia:Challenges and Opportunities, Hal 58-59

44
Jurnal Akademika
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam IAI Sunan Kalijogo Malang
ISSN: 2622-9293 Volume 1 Juni 2019
Dengan demikian, ‘awliya’ bukan sebatas bermakna pemimpin, sehingga
perlu adanya pemahaman lebih mendalam sebelum menentukan apakah
dalam penyebutan ayat terdapat kesalahan makna atau tidak, karena
pemikiran setiap manusia itu pasti berbeda-beda, setingkat ulama’ pasti ada
khilafiyah (perbedaan) tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita
menyikapi dengan bijak sebuah perbedaan tanpa harus mengorbankan
persatuan bangsa.

E. Daftar Pustaka
Abdullah Bin Muhammad ,Terjemah tafsir ibnu katsir jilid 3, Bogor: Pustaka
Imam Asy syafi’I, Hal 106
Ahmad Warson Munawwir, 1997, Kamus al Munawwir, Yogyakarta:
Pustaka Progressif.
Heru Suparman, Multikultural dalam Perspektif Alquran, AL QUDS : Jurnal
Studi Alquran dan Hadis vol. 1, no. 2, 2017
https://www.youtube.com/watch?v=Fl2ekX294EY, diakses tanggal 26
januari 2018
Inayatul Ulya, Pendidikan Islam Multikultural Sebagai Resolusi Konflik
Agama di Indonesia, Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi
Keagamaan, Hal. 23
Irawaty A. Kahar, Konsep kepemimpinan dalam Perubahan
Organisasi(Organization Change) pada Perpustakaan Perguruan
Tinggi, Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol.4,
No.1, Juni 2008, hal 23.
Mahfudz Junaedi, Multikulturalisme Dalam Perspektif Al-Qur’an: Wacana
dan Tafsir Ke indonesiaan, International Seminar on Islamic
Civilization, Hal 396
Majdi H. Ibrahim, et all, Proceeding Aicis XIV;Multicultural Education In
Indonesia:Challenges and Opportunities, Hal 58-59
Rosita Endang Kusmaryani, Pendidikan Multikultural Sebagai Alternatif
Penanaman Nilai Moral Dalam Keberagaman, Paradigma, No. 02 Th.
I, Juli 2006, Hal 51
Siti Julaiha, Internalisasi Multikulturalisme Dalam Pendidikan IslaM,
Dinamika Ilmu Vol. 14. No 1, Juni 2014, Hal 110
Tri Astutik Haryati, ibid, Hal 156-157

45
Jurnal Akademika
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam IAI Sunan Kalijogo Malang
ISSN: 2622-9293 Volume 1 Juni 2019
Tri Astutik Haryati, Islam dan Pendidikan Multikultural, Tadrîs. Volume 4.
Nomor 2. 2009, Hal. 156.

46

Anda mungkin juga menyukai