Anda di halaman 1dari 14

TEROBOSAN HUKUM MEMAJUKAN BADAN USAHA MILIK

DAERAH (BUMD) DALAM ERA OTONOMI DAERAH


Oleh: Turiman Fachturahman Nur

A. BUMD dan Peluang Otonomi Daerah

Berkaitan dengan cara pandang otonomi daerah yaitu pelaksanaan otonomi daerah yang nyata
dan bertanggungjawab serta mempercepat proses pembangunan dan pertumbuhan perekonomian
daerah, untuk meningkatkan pendapatan asli saerah, maka setiap daerah otonom melakukan upaya-
upaya terobosan dan usaha-usaha untuk memupuk sumber pendapatan daerah dengan tanpa
membebani masyarakat, tetapi membuka peluang usaha yang berbasiskan ekonomi daerah yang
selaras dengan potensi daerah.

Berdasarkan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pandapatan Asli Daerah bersumber dari Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, Hasil Pengeloaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan
Asli Daerah yang sah.

Berdasarkan asumsi umum terdapat pandangan bahwa dari hasil Pendapatan Asli Daerah
selama ini, dirasakan masih belum cukup memadai dalam membiayai pembangunan sebuah daerah
otonom, oleh karena itu, Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten menganggap perlu mengadakan
usaha-usaha lain guna menambah sumber-sumber pendapatan daerah.

Sesuai perkembangan keadaan saat ini, usaha-usaha yang lebih tepat dan memungkinkan
serta dapat diandalkan untuk menambah sumber pendapatan daerah adalah mengelola pengusahaan
dengan prinsip ekonomi perusahaan dengan mendirikan Badan Usaha Milik Daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan


Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, sumber Pendapatan Asli Daerah diperoleh antara lain dari hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan.

Untuk mewujudkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah Provinsi melalui hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan tersebut, dilakukan antara lain melalui pendirian Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) di berbagai Provinsi. Dengan pendirian BUMD diharapkan ikut berperan dalam
menghasikan barang dan / atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran masyarakat daerah, oleh karena itu, ruang lingkup BUMD yang ada Provinsi tidak
terfokus pada satu bidang tetapi dapat melakukan usaha-usaha di bidang pembangunan, agrobisnis,
industri strategis, konstruksi, properti, konsultan, jasa/perdagangan, telekomunikasi, perhubungan
(transportasi darat, laut dan udara), energi dan sumber daya mineral, kelautan dan perikanan,
pariwista, penerbangan, infrastruktur, perbankan, investasi, asuransi, dan usaha lain sesuai kebutuhan,
sebagai upaya ekstensifikasi pendapatan daerah maupun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Pada sisi lain BUMD juga diposisikan, sebagai badan usaha yang diupayakan untuk tetap mandiri dan
untuk mendapatkan laba sehingga dapat menunjang kelangsungan usaha BUMD untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerah otonom

Untuk dapat mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam


perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif di BUMD, perlu menumbuhkan
budaya profesionalisme antara lain melalui pembinaan pengurusan dan pengawasannya
yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance).
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sesungguhnya memiliki karakteristik yang sama dengan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Secara legal, BUMN dan BUMD sama-sama merupakan bagian dari
keuangan negara (berdasarkan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara). Namun sayang, meski
BUMD memiliki karakteristik yang sama, kinerja BUMD jauh ketinggalan dibanding BUMN.
Salah satu penyebab, karena stakeholders BUMD terlihat kurang responsif dalam mengikuti
dinamika yang ada, khususnya dinamika pengelolaan (governance) di BUMN. Padahal, jika dicermati,
banyak hal yang berlaku di BUMN dapat menjadi role model ataubenchmark bagi pengelolaan BUMD.
B. Permasalahan BUMD
Dari aspek governance, misalnya, institusi BUMD masih diperlakukan sama dengan institusi
pemerintah. Padahal, BUMD bukanlah institusi pemerintah. Implikasinya, berbagai kewajiban yang
melekat pada pemerintah, melekat pula pada BUMD. Sebagai contoh, BUMD masih harus mengikuti
ketentuan pengadaan barang yang diberlakukan di pemerintahan, yang semestinya tidak perlu karena
BUMD adalah perusahaan.
BUMD juga masih harus menjalani pemeriksaan atas laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) karena alasan keuangan negara. Padahal, sebagai perseroan terbatas (PT), BUMD
juga diperiksa kantor akuntan publik (KAP) yang independen. Dan perlu dicatat, pemeriksaan laporan
keuangan oleh BPK ini, sudah tak berlaku lagi di BUMN.
Tidak adanya equal treatment bagi BUMD (yaitu sebagai perusahaan yang dituntut harus
laba), menyebabkan BUMD tidak dapat bersaing secara seimbang dengan BUMN dan swasta yang
lebih lincah.
BUMD juga menghadapi masalah minimnya permodalan akibat kurangnya perhatian dari
pemilik (dalam hal ini pemerintah daerah/Pemda). Kalaupun ada Pemda yang memiliki perhatian lebih
terhadap aspek permodalan BUMN ini, itu pun masih harus menghadapi ganjalan politik, karena
interpretasi yang keliru dari para politisi DPRD dalam memahami peraturan. Akibatnya, proses
penguatan permodalan BUMD menjadi tidak efisien.
Perlu diketahui, untuk setiap penyertaan modal yang dilakukan Pemda harus dilakukan melalui
Peraturan Daerah (Perda). Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58/2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam Pasal 75 dinyatakan “Penyertaan modal pemerintah
daerah dapat dilaksanakan apabila jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan
telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal daerah berkenaan”.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan ketentuan dalam PP 58/2005. Sebab, menurut
peraturan yang lebih tinggi (undang-undang/UU), kewajiban tersebut juga diatur. Pasal 41 UU No.
1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dinyatakan: “Penyertaan modal pemerintah daerah pada
perusahaan negara/daerah/swasta ditetapkan dengan peraturan daerah”. Mengacu pada UU ini,
memang sudah tepat bila setiap penyertaan modal Pemda ke BUMD harus melalui Perda (yang berarti
harus mendapat persetujuan DPRD).
Persoalannya, interpretasi atas ketentuan ini menjadi berlebihan, karena harus dengan Perda
tersendiri, sehingga tidak efisien. Padahal, praktek penyertaan modal oleh pemerintah pusat di BUMN,
tidak harus melalui mekanisme persetujuan tersendiri oleh DPR (atau tidak melalui UU tersendiri).
Praktek di tingkat pusat, setiap penyertaan modal pemerintah kepada BUMN ditetapkan secara
bersama-sama dalam setiap pembahasan mengenai UU APBN, tidak dengan UU tersendiri. Setelah
UU APBN disahkan, mekanisme penyertaan modal pemerintah pusat kepada BUMN ditetapkan melalui
PP yang tidak membutuhkan persetujuan DPR.
Badan usaha milik negara yang dikelola oleh pemerintah daerah disebut badan usaha milik
daerah (BUMD). Perusahaan daerah adalah perusahaan yang didirikan oleh pemerintah daerah yang
modalnya sebagian besar / seluruhnya adalah milik pemerintah daerah.
Tujuan pendirian perusahaan daerah untuk pengembangan dan pembangunan potensi
ekonomi di daerah yang bersangkutan. Contoh perusahaan daerah antara lain: perusahaan air minum
(PDAM) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Badan Usaha Milik Daerah ( BUMD ) memiliki
kedudukan sangat panting dan strategis dalam menunjang pelaksanaan otonomi. Oleh karena itu,
BUMD perlu dioptimalkan pengelolaannya agar benar-benar menjadi kekuatan ekonomi yang handal
sehingga dapat berperan aktif, baik dalam menjalankan fungsi dan tugasnya maupun sebagai kekuatan
perekonomian daerah. Laba dari BUMD diharapkan memberikan kontribusi yang besar terhadap
Pendapatan Asli Daerah.
Otonomi daerah memberikan konsekuensi yang cukup besar bagi peran Badan Usaha Milik
Daerah ( BUMD ) dalam menopang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sesungguhnya usaha dan
kegiatan ekonomi daerah yang bersumber dari BUMD telah berjalan sejak lama sebelum UU tentang
otonomi daerah disahkan. Untuk mencapai sasaran tujuan BUMD sebagai salah satu sarana PAD,
perlu adanya upaya optimalisasi BUMD yaitu dengan adanya peningkatan profesionalisasi baik dart
segi manajemen. sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana yang memadai sehingga memi
l iki kedudukan yang sej aj ar dengan kekuatan sektor perekonomian lainnya.
Dasar hukum pembentukan BUMD adalah berdasarkan UU No 5 tahun 1962 tetang
perusahaan daerah.
Ciri-ciri BUMD adalah sebagai berikut:
- Pemerintah memegang hak atas segala kekayaan dan usaha Pemerintah berkedudukan sebagai
pemegang saham dalam pemodalan perusahaan.
- Pemerintah memiliki wewenang dan kekuasaan dalam menetapkan kebijakan perusahaan
- Pengawasan dilakukan alat pelengkap negara yang berwenang/Melayani kepentingan umum,
selain mencari keuntungan\· Sebagai stabillisator perekonomian dalam rangka
menyejahterakan rakyat.
- Sebagai sumber pemasukan Negara.
- Seluruh atau sebagian besar modalnya milik Negara.
- Modalnya dapat berupa saham atau obligasi bagi perusahaan yang go publik
- Dapat menghimpun dana dari pihak lain, baik berupa bank maupun nonblank.
- Direksi bertanggung jawab penuh atas BUMN, dan mewakili BUMN di pengadilan

Tujuan Pendirian BUMD:


- Memberikan sumbangsih pada perekonomian nasional dan penerimaan kas Negara.
- Mengejar dan mencari keuntungan
- Pemenuhan hajat hidup orang banyak
- Perintis kegiatan-kegiatan usaha
- Memberikan bantuan dan perlindungan pada usaha kecil dan lemah
- melaksanakan pembangunan daerah melalui pelayanan jasa kepada masyarakat
- penyelenggara kemanfaatan umum, dan peningkatan penghasilan pemerintah daerah
Berdasarkan kategori sasarannya secara lebih detail, BUMD dibedakan menjadi dua yaitu sebagai
perusahaan daerah untuk melayani kepentingan umum yang bergerak di bidang jasa dan bidang
usaha. Tetapi, jelas dari kedua sasaran tersebut tujuan pendirian BUMD adalah untuk meningkatkan
PAD.
Pemberdayaan BUMD dalam Peningkatan Ekonomi Daerah BUMD menurut Ginandjar Kartasasmita
(1996) adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang
tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Ini berarti bahwa
memberdayakan itu adalah memampukan dan memandirikan masyarakat beserta kelembagaannya,
disini termasuk badan usaha milik daerah.
Khusus dalam hal BUMD, upaya memberdayakan itu haruslah pertama-tama dimulai dengan
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensinya untuk berkembang. Ini dengan
landasan pertimbangan bahwa setiap masyarakat dan kelembagaannya, memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Maka dengan pemberdayaan itu pertama-tama merupakan upaya untuk membangun
daya dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi (dan daya) yang
dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Selanjutnya, yang kedua, adalah memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki tersebut, dimana untuk ini diperlukan langkah-langkah yang lebih positif
dan nyata, penyediaan berbagai input yang diperlukan, serta pembukaan akses kepada berbagai
peluang sehingga semakin berdaya memanfaatkan peluang.
Akhirnya, yang ketiga, dimana memberdayakan berarti pula melindungi, sehingga dalam
proses pemberdayaan haruslah dicegah agar jangan pihak yang lemah menjadi bertambah lemah, tapi
dapat hidup dengan daya saing yang memadai. Dalam kaitan dengan perbaikan kinerja BUMD sebagai
Laporan Hasil Studi Analisa Kinerja BUMD Non PDAM, Biro Analisa Keuangan dan Moneter, Depkeu,
dikemukakan berbagai langkah dan tindakan yang dapat dilakukan dalam memperbaiki kinerja usaha
BUMD, dengan tindakan-tindakan yang sifatnya strategis yang dapat dikelompokkan dalam tiga bagian
strategi, yaitu strategi pengusahaan, strategi penumbuhan dan strategi penyehatan perusahaan yang
dapat diringkaskan sebagai berikut:
Strategi Pengusahaan Perusahaan yang dapat dilakukan dengan langkah atau tindakan
memperbaiki kinerja perusahaan, diantaranya dengan Mengatasi kelemahan internal yang diantaranya
melalui penetapan kembali corebusiness, likuidasi unit bisnis yang selalu rugi, dan memperbaiki sistem
manajemen organisasi.
Memaksimumkan kekuatan internal, yang antara lain dengan cara mengkonsentrasikan bisnis
pada usaha yang berprospek tinggi, memperluas pasar dengan mempertahankan dan mencari
pelanggan baru, serta mencari teknik produksi baru yang dapat meningkatkan efisiensi usaha
Mengatasi ancaman eksternal, yang diantaranya dengan cara memperbaiki mutu produk dan
jasa, meningkatkan kualitas SDM serta meningkatkan kreativitas dan keaktifan tenaga pemasaran
dalam mencari terobosan baru, memaksimumkan peluang eksternal, yang antara lain melalui upaya
kerjasama yang saling menguntungkan dengan perusahaan sejenis atau yang dalam keterkaitan. Dan
kerjasama ini dapat dilakukan dalam bentuk joint venture, BOT, BOO atau bentuk kerjasama lainnya.
Strategi Penumbuhan Perusahaan adalah bertujuan untuk menumbuhkan dan
mengembangkan perusahaan sesuai dengan ukuran besaran yang disepakati untuk mencapai tujuan
jangka panjang perusahaan. BUMD dikatakan tumbuh jika perusahaan daerah itu berhasil
meningkatkan antara lain, volume penjualan, pangsa pasar, besarnya laba dan aset perusahaan.
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan agar perusahaan terus tumbuh berkembang diantaranya
adalah mengkonsentrasikan bisnis pada produk yang representatif, melakukan perluasan pasar,
pengembangan produk baru, dan integrasi horizontal dan/atau vertikal.
Strategi Penyehatan Perusahaan yaitu yang dilakukan melalui pendekatan strategik dan
pendekatan operasional. Dalam pendekatan strategik, misalnya, jika terjadi kesalahan strategis seperti
ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan konsumen sesuai dengan misinya, maka
perlu dilakukan penilaian menyeluruh terhadap bisnis yang dilakukan untuk perubahan dan
penyempurnaannya. Sedangkan dengan pendekatan operasional ditujukan untuk melakukan
perubahan operasi perusahaan tanpa merubah strategi bisnis. Dalam hubungan ini langkah-langakah
yang biasa diambil oleh perusahaan dalam rangka penyehatan operasi diantaranya adalah:
Meningkatkan penghasilan yang diperoleh dengan berbagai teknik bisnis, misalnya
pemotongan harga, peningkatan promosi, penambahan dan perbaikan pelayanan konsumen,
memperbaiki saluran distribusi dan memperbaiki kualitas produk (b) Melaksanakan pemotongan biaya
(penghematan). Biaya-biaya yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan kegiatan operasional
pokok perusahaan yang segera membentuk penghasilan, biasanya menjadi pilihan pertama untuk
diturunkan, seperti misalnya biaya-biaya administrasi, penelitian dan pengembangan, dan pemasaran.
Demikianlah pokok-pokok pikiran dari Biro Analisa Keuangan dan Moneter, Depkeu tentang
upaya perbaikan kinerja, yang berarti pula upaya pemberdayaan, dari BUMD di Daerah-daerah untuk
masa mendatang. Pada dasarnya penulis sepakat dengan berbagai upaya, dan langkah dalam rangka
pemberdayaan yang dikemukakan tersebut di atas.
Namun demikian, disamping untuk usaha-usaha BUMD yang telah berjalan dengan kinerja
yang masih rendah dan terbatas di masa lalu tersebut, juga perlu pemikiran lebih lanjut terhadap
usaha-usaha BUMD yang akan didirikan dan dibangun pada masa mendatang dalam rangka lebih
memberdayakannya untuk menunjang keuangan Daerah dan perekonomian Daerah pada umumnya.
Dalam hubungan ini untuk pendirian BUMD baru dan pengembangan lebih lanjut BUMD yang telah
jalan perlu dilakukan antara lain: studi kelayakan usaha yang dilakukan secara teliti betul yang dapat
disimpulkan untukmenghasilkan produk barang dan jasa yang feasible dan berprospek (sangat)
menguntungkan peningkatan kerjasama dengan usaha yang sejenis atau yang bersifat keterkaiatan
dalam rangka peningkatan daya saing penerapan kelembagaan dan organisasi usaha dengan tenaga
terdidik dan terlatih yang dijiwai semangat kewirausahaan pengembangan dan penerapan fungsi-fungsi
manajemen dalam organisasi perusahaan daerah seperti yang dalam usaha korperasi swasta yang
dalam operasionalnya dilakukan dengan tertib, terbuka dan terpadu pemberian kewenangan yang lebih
luas kepada BUMD dari pimpinan daerah sehingga direksinya dapat lebih “leluasa” dalam
melaksanakan kepemimpinan dan operasionalisasi perusahaannya.
Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa yang menjadi dasar pendirian BUMD adalah
UU No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Dalam hal ini, berbagai fungsi dan peranan yang
“dibebankan” kepada dan dilaksanakan oleh BUMD tersebut (BPS, 1997), utamanya adalah:
melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan daerah pemupukan dana
bagi pembiayaan pembangunan daera, mendorong peran serta masyarakat dalam bidang usaha,
memenuhi kebutuhan barang dan jasa bagi kepentingan public, menjadi perintis kegiatan dan usaha
yang kurang diminati swasta.
Mengingat dipandang cukup pentingnya peran BUMD khususnya sebagai salah satu sumber PAD di
Daerah, maka tentu saja BUMD dituntut agar lebih profesional dan lebih efisien dalam melaksanakan
usahanya. Kebijakan dan upaya ke arah itu telah banyak dilakukan, namum karena berbagai kendala,
ternyata BUMD pada umumnya, khususnya di luar PDAM dan BPD menunjukkan hasil yang belum
menggembirakan. Hal ini tampak, antara lain, relatif masih kecilnya peran dan kontribusi laba BUMD
dalam penerimaan PAD di daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Tambahan pula menurut UU No. 5 Tahun 1962 yang mendasarinya, terdapat rincian yang menetapkan
bahwa penggunaan laba bersih perusahaan, setelah terlebih dulu dikurangi penyusutan, ditetapkan
sebagai berikut (Kunarjo, 1993):
(1) Perusahaan Daerah yang memiliki modal seluruhnya terdiri dari kekayaan daerah yang dipisahkan
adalah:
(a) untuk dana pembangunan daerah 30%
(b) untuk anggaran Perencaan Pembangunan belanja daerah 25%
(c) untuk cadangan umum, sosial dan pendidikan, jasa produksi, sumbangan dana pensiun dan
sokongan sejumlah 45%.
(2) Perusahaan daerah yang sebagian modalnya terdiri dari kekayaan daerah yang dipisahkan setelah
dikeluarkan zakat yang dipandang perlu adalah:
(a) untuk dana pembangunan daerah 8%
(b) untuk anggaran belanja daerah 7%
(c) selebihnya (85%) untuk pemegang saham dan untuk cadangan umum.
Dengan demikian bagian laba perusahaan daerah yang jumlahnya relatif kecil di berbagai daerah
menjadi semakin kecil lagi dengan penetapan bagian daerah dalam penggunaan keuntungan
bersihnya yang diperuntukkan bagi penerimaan daerah yang relatif kecil pula. Bahkan adakalanya pula
pada daerah tertentu dan tahun-tahun anggaran tertentu praktis Bagian laba perusahaan daerah itu
“tidak terealisir” karena daerah sendiri terpaksa menambah permodalan (atau investasi) pada BUMD
yang bersangkutan yang jumlahnya sama atau bahkan melebihi Bagian laba perusahaan daerah yang
seharusnya disetorkan dalam mendukung APBD daerah yang bersangkutan.
Berdasarkan laporan hasil studi Biro Analisa Keungan Daerah Depkeu tentang Analisis Kinerja BUMN
Non PDAM (1997) dikemukakan bahwa berbagai permasalahan yang dihadapi BUMD dalam
perjalanan hidupnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
(1) lemahnya kemampuan manajemen perusahaan
(2) lemahnya kemampuan modal usaha
(3) kondisi mesin dan peralatan yang sudah tua atau ketinggalan dibandingkan usaha
lain yang sejenis
(4) lemahnya kemampuan pelayanan dan pemasaran sehingga sulit bersaing
(5) kurang adanya koordinasi antar BUMD khususnya dalam kaitannya dengan industry hulu maupun
hilir
(6) kurangnya perhatian dan kemampuan atas pemeliharaan aset yang dimiliki,sehingga rendahnya
produktivitas, serta mutu dan ketepatan hasil produksi
(7) besarnya beban administrasi, akibat relatif besarnya jumlah pegawai dengan kualitas yang rendah
(8) masih dipertahankannya BUMD yang merugi, dengan alasan menghindarkan PHK dan “kewajiban”
pemberian pelayanan umum bagi masyarakat.
Selain dari pada itu, dari berbagai pengamatan dan keluhan yang seringkali disampaikan oleh
pihak internal maupun eksternal dari perusahaan daerah sendiri adalah adanya berbagai kendala lain
dalam pembinaan dan pengembangan usaha BUMD tersebut. Diantaranya dirasakan adanya campur
tangan pemerintah daerah yang cukup besar atas jalannya organisasi BUMD serta adanya
keterbatasan kewenangan tertentu dalam operasionalisasi perusahaan. Selanjutnya seringkali pula
dalam penempatan direksi tidak terlepas dari pertimbangan KKN atau kedekatan para calonnya
dengan pimpinan daerah. Dalam hubungan ini banyak pula penempatan direksi dan bahkan tenaga
kerja yang kurang didasarkan pada pertimbangan profesionalisme, keahlian dan keterampilaan,
bahkan adakalanya penempatan di perusahaan daerah itu sebagai “tempat buangan” bagi pejabat
tertentu yang tergeser kedudukannya.
C. Faktor Penyebab Buruk Performance BUMD
Kinerja BUMD yang buruk ini disebabkan oleh banyak faktor. Baik dari dalam dan dari luar BUMD itu
sendiri. Kita sudah sering mendengar bahwa BUMD ini dikelola oleh orang-orang yang tidak cukup
cakap. Banyak terjadi penempatan direksi dan bahkan tenaga kerja yang kurang didasarkan pada
pertimbangan profesionalisme, skill, dan kompetensi. Bahkan, beberapa penempatan di BUMD
sebagai "tempat buangan" bagi pejabat yang tergeser kedudukannya. Ketimpangan kompetensi ini
mengakibatkan lemahnya kemampuan manajemen perusahaan serta lemahnya kemampuan
pelayanan dan pemasaran sehingga sulit bersaing dengan perusahaan yang dikelola swasta murni.
Jumlah pegawai yang tidak berkualitas ini cukup memberikan beban fixed operation head yang
besar bagi neraca keuangan perusahaan. Kurang adanya spesialisasi dan konsentrasi utama dalam
bidang usaha perusahaan daerah juga menyebabkan efesiensi yang rendah dan beban biaya
operasional yang ditanggung menjadi relatif lebih besar. Faktor internal lainnya adalah kurangnya
perhatian dan kemampuan atas pemeliharaan aset yang dimiliki yang berakibat rendahnya
produktivitas, mutu, serta ketepatan produksi. Management asset yang acak adut dan neraca
keuangan yang selalu negatif mengakibatkan ketidakmampuan BUMD untuk menambah belanja modal
(pemberian alat baru, preventif, dan prediktif maintenance, dan lain-lain). Hal ini mengakibatkan rata-
rata kondisi mesin dan peralatan sudah tua serta ketinggalan zaman dibandingkan usaha sejenis
lainnya. Faktor eksternal yang berpengaruh cukup besar adalah kurangnya koordinasi antar BUMD
dalam kaitannya dengan industri hulu dan hilir (Analisa Depkeu 1997).
D. Strategi Penyehatan BUMD
Untuk memperbaiki kinerja BUMD ada beberapa langkah yang bisa dilakukan sebagai solusi praktis
yaitu:
Pertama, menempatkan orang-orang yang profesional yang memiliki skill dan kompetensi sesuai
bidang usaha BUMD yang digarap. Selain itu peningkatan kompetensi dan profesionalisme direksi
beserta stafnya dalam menjalankan perusahaan sebagai usaha komersial murni yang mengutamakan
pertimbangan efesiensi dan pencapaian laba usaha yang memadai. Direksi dan staff yang ditempatkan
di BUMD haruslah orang-orang yang mempunyai jiwa dan semangat wiraswasta/ entrepeneurship
dalam menjalankan operasional usaha.
Kedua, pemberian wewenang dan pendelegasian kebijakan yang lebih besar dan luas oleh pimpinan
daerah kepada BUMD dalam operasionalnya. BUMD tidak boleh dijadikan sapi perah atau kereta politik
bagi kepentingan birokrat maupun partai politik. Tujuan semata-mata adalah tetap profit oriented untuk
menambah PAD.
Ketiga, mengatasi kelemahan internal dengan penetapan kembali core bisnis, likuidasi unit usaha yang
selalu merugi. Memperbaiki sistem manajemen dengan cara memperluas pangsa pasar dengan
mempertahankan pasar lama dan mencari pasar baru, mengadopsi teknik produksi baru yang lebih
efesien dan efektif. Dan, yang terakhir memperbaiki koordinasi antar BUMD dalam industri hulu dan
hilir.
Memaksimumkan peluang eksternal berupa upaya kerja sama yang saling menguntungkan dengan
perusahaan sejenis atau yang ada keterkaitan. Bentuk kerja sama bisa berupa joint venture atau
bentuk kerja sama lainnya.
E. Tinjauan Peraturan Perundang-Undangan Tentang BUMD
UU No 5 Tahun 1962 sudah tidak relevan dan kurang mampu mengakomodasi penyelenggaraan
BUMD dan justru membuka celah salah kelola dan penyimpangan Ketentuan UU No. 5 Tahun 1962
yang perlu direvisi:
• Dasar dan tatacara pendirian BUMD
• Bentuk BUMD yang memaksimalkan profit dan yang memaksimalkan pelayanan public
• Kerjasama dengan pihak ketiga
• Mekanisme kepemilikan dan pengambilan keputusan BUMD
• Pengangkatan dan kewenangan direksi
• Perencanaan jangka panjang dan pendek perusahaan
• Pertanggungjawaban dan pengawasan BUMD
• Kepegawaian
• Kebijakan manajemen peningkatan kinerja BUMD: restrukturisasi dll.
Berikut adl fungsi dan peran BUMD dalam menunjang penyelenggaraan pemerintah daerah :

1. Melaksanakan kebijakan pemerintah daerah di bidang ekonomi dan pembangunan.


2. Pemupukan dana bagi pembiayaan pembangunan.
3. Mendorong peran serta masyarakat dalam bidang usaha.
4. Memenuhi barang dan jasa bagi kepentingan masyarakat.
5. Menjadi perintis kegiatan yg tak diminati masyarakat.

Tujuan utama sektor publik adalah pemberian pelayanan publik namun tak berarti organisasi sektor publik sama sekali
tak memiliki tujuan yg bersifat finansial. Organisasi sektor publik juga memiliki tujuan finansial akan tetapi hal tersebut
berbeda baik secara filosofis konseptual dan operasional dgn tujuan profitabilitas pada sektor swasta. Tujuan finansial pada
sektor swasta diorientasikan pada maksimasi laba utk memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham sedangkan pada
sektor publik tujuan finansial lbh pada maksimasi pelayanan publik krn utk memberikan pelayanan publik diperlukan dana.
Semenjak Undang-Undang tentang Otonomi Daerah diterapkan persoalan kemampuan daerah
secara ekonomi dan politis pun ramai diperbincangkan. Salah satu isu ekonomi yang menarik untuk
didiskusikan dalam hal ini yakni seputar daya dukung sumber pendapatan daerah dalam menggantikan
penerimaan yang diperoleh dari pemerintah pusat. Isu ini memang strategis mengingat pelaksanaan
otonomi juga dapat diartikan sebagai kemandirian daerah dari sisi pembiayaan pembangunan.
Selama ini sumber penerimaan daerah terdiri dari sumbangan pemerintah pusat, pajak daerah dan penerimaan
lain seperti laba perusahaan daerah. Dengan berkurangnya porsi subsidi pemerintah pusat, tidak ada jalan lain yang perlu
dilakukan pemerintah daerah selain menggali dan mengotimalkan sumber pendapatan asli daerah. Yang menjadi
persoalannya sekarang, mampukah daerah melakukannya mengingat keterbatasan sumber pendapatan daerah, khususnya
bagi daerah yang miskin sumber daya alam? Jawabannya akan sangat tergantung pada proses “restrukturisasi” sumber-
sumber penerimaan daerah. Saya katakan restrukturisasi sebab pemerintah daerah sebenarnya sudah mempunyai sumber-
sumber pendapatan yang potensial namun pada saat ini berada dalam kondisi yang menyedihkan. Yang diperlu dilakukan
pemerintah daerah saat ini yaitu ‘memolesnya’ kembali agar tampak molek dan cantik. Salah satu sumber pendapatan
potensial yang perlu dipoles itu tidak lain perusahaan daerah atau dikenal dengan badan usaha milik daerah (BUMD).
F. Persoalan Serupa BUMD Mirip BUMN Tetapi tak sama
Secara umum kondisi perusahaan daerah dapat dikatakan sama dengan apa yang dialami oleh
kebanyakan BUMN kita. Persoalan BUMD kurang terekspos karena memang secara makro posisinya
kurang strategis bila dibandingkan dengan BUMN. Dilihat dari misi pendiriannya, BUMN jelas memiliki
peran yang sangat signifikan dalam mendukung perekonomian nasional. Sebegitu pentingnya,
pemerintah pun perlu membuat kementrian khusus yang menangani BUMN. Akan tetapi dengan
diberlakukannya UU tentang Otonomi Daerah tersebut, peranan BUMD harus mulai diperhatikan.
Bila dibuat pembandingan antara BUMN dan BUMD, akan terlihat kesamaan permasalahan di
antara keduanya. Pertama, masalah efisiensi. Kebanyakan BUMD di Indonesia beroperasi di bawah
kondisi yang sangat tidak efisien. Terjadi pemborosan dana di sana-sini karena para pengelolanya
tidak memiliki keahlian yang cukup. Terkadang keputusan-keputusan manajerial berkaitan dengan
investasi baru, penentuan tarif atau keputusan lain diambil secara tidak profesional. Pekatnya nuansa
kolusi, korupsi dan nepotisme menandakan ketidakprofesionalan para pengelola BUMD tersebut. Di
samping itu, inefisiensi BUMD juga bersumber dari pemanfaatan teknologi yang sudah ketinggalan
jaman. Kebanyakan BUMD beroperasi dengan mesin-mesin peninggalan kolonial yang umurnya
sampai saat ini sudah puluhan tahun. Bahkan ada mesin yang umurnya lebih tua dari karyawan yang
paling tua sekalipun. Dengan kondisi ini, jelas beban pemeliharaan mesin tidak sebanding dengan
output yang diperoleh dari mesin tua tersebut.
Kedua, masalah intervensi dan birokrasi. Bila saat ini banyak BUMD yang kalah bersaing dengan
sektor swasta dan akhirnya tumbang di tengah jalan, salah satu penyebabnya adalah besarnya campur
tangan dan lambannya pemerintah daerah dalam mengantisipasi perubahan situasi dan kondisi bisnis.
Selama ini semua keputusan bisnis baik yang bersifat strategis maupun keputusan-keputusan
konvensional lainnya harus selalu ijin kepada pemerintah. Repotnya, respon pemerintah seringkali,
bahkan dapat dikatakan selalu, lambat. Maklum, sekali lagi berurusan dengan birokrasi. Pemerintah
akan selalu "mempertimbangkan", "menampung", lalu "membahas" usulan para direksi perusahaan
daerah. Keputusannya akan diberitahukan kemudian, bisa dalam hitungan bulanan atau bahkan
tahunan. Bisa dibayangkan, jika suatu BUMD mengajukan proposal investasi mesin baru saat ini dan
keputusan "ya" atau "tidak" baru datang setahun kemudian.
Ketiga, pengendalian dan pengawasan. Selaku pemilik, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan
untuk mengawasi perkembangan BUMD-BUMD di wilayahnya. Pemerintah daerah biasanya
membentuk badan pengawas, yang bertindak seperti dewan komisaris pada perusahaan
swasta. Anggotanya terdiri dari para pejabat di lingkungan pemda, yang terkadang tidak mempunyai
latar belakang bisnis sama sekali. Biasanya, badan pengawas ini tidak melakukan kegiatan sesuai
tugas dan fungsinya, yaitu selaku wakil pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya perusahaan
daerah. Para anggota badan pengawas rata-rata menyatakan tidak sempat memikirkan perkembangan
usaha daerah, karena sudah sibuk dengan tugas dalam jabatan formalnya sendiri-sendiri. Tetapi,
ironisnya mereka senang-senang saja menerima "gaji" dari jabatan tersebut. Dalam kondisi seperti ini,
posisi perusahaan daerah seakan-akan menjadi anak ayam yang berusaha hidup dan mengais-ngais
makanan tanpa tuntunan sang induk.
G. Dualisme Peranan BUMD
Secara konseptual, BUMD didirikan atas dasar dualisme fungsi dan peranan, yang keduanya sangat
sulit, jika tidak dapat dikatakan mustahil, untuk dipadukan. Seperti BUMN, ia punya tugas dalam
mengembangkan perekonomian daerah melalui peranannya sebagai institusi public service. Namun
pada saat yang sama, BUMD juga diharapkan mampu menghasilkan laba dari usahanya selaku
pelayan masyarakat. Secara implisit, BUMD dijadikan sumber dana APBD. Dalam ketentuan, BUMD
diwajibkan menyetorkan bagian labanya sebagai dana pembangunan daerah sebesar 55% dari laba
bersih tahunan. PDAM adalah contoh BUMD yang mempunyai fungsi pelayanan publik dominan
sekaligus sumber dana pembangunan daerah.
Dalam tataran operasionalnya, peran dan fungsi ini dilaksanakan secara distortif. Fungsi service lama-
kelamaan bergeser sebagai fungsi ekploitatif. Hal ini nampak, misalnya ketika PDAM menetapkan tarif
baru. Manajemen selalu berargumen bahwa kenaikan tarif itu diperlukan untuk menyesuaikan
perkembangan cost of product, atau untuk menutup kerugian yang dideritanya. Tetapi bila dicermati,
tingginya biaya atau munculnya kerugian itu disebabkan oleh pengelolaan jaringan yang kurang
profesional atau sebab lain yang berkaitan dengan inefisiensi.
Jika demikian keadaannya, hal itu telah menunjukkan kekacauan dalam menerjemahkan peran
dan fungsi di atas. Namun demikian, wajar-wajar saja jika terjadi. Rasanya memang sulit, jika sebuah
institusi dituntut untuk memenuhi keduanya. Apalagi, sampai sekarang PDAM bisa dikatakan satu-
satunya perusahaan yang melayani kebutuhan air bersih di daerah alias monopoli. Tanpa ada pesaing
dalam lingkungan bisnis serupa, akan sulit bagi PDAM untuk melakukan benchmarking, apakah
operasinya berjalan efisien atau tidak.
H. Ambiguitas Pemerintah
Sementara itu, pemerintah daerah sendiri terlihat ambigu dalam kapasitasnya sebagai pemilik
perusahaan daerah. Pemerintah daerah yang seharusnya mempunyai kewajiban membina dan
mengawasi, justru cenderung eksploitatif terhadap perusahaan daerah. Acapkali, perusahaan daerah
dijadikan sapi perah. Pemerintah selalu menargetkan penerimaan APBD dari perusahaan daerah.
Tanpa menghiraukan, apakah perusahaan untung atau rugi, ia tetap saja menyetorkan dana
pembangunan daerah sesuai yang ditargetkan. Praktik ini tentu saja menyulitkan perusahaan daerah
sebagai institusi bisnis. Bagaimana bisa menjamin kontinuitas operasi perusahaan, jika perusahaan
daerah tetap saja dimintai setoran manakala ia menderita kerugian?
Contoh riil ekploitasi atas perusahaan daerah oleh pemerintah yaitu kasus utang Persebaya kepada
PDAM Kodya Surabaya yang sempat terekspos di sebuah media beberapa tahun lalu. Secara
prosedural, bagaimana mungkin PDAM mengeluarkan uang ratusan juta rupiah untuk dipinjamkan
sebagai dana operasional sebuah kesebelasan? Dilihat dari kacamata apa pun hal ini sebetulnya tidak
dapat dibenarkan. Dari sisi bisnis, jelas hal itu merupakan kerugian besar bagi perusahaan, karena ia
meminjamkan dana begitu besar tanpa bunga. Dari sisi aturan pun, PDAM juga tidak punya kewajiban
lain kepada pemerintah daerah kecuali menyetorkan dana pembangunan sebesar 55% dari laba
bersih. Kasus-kasus serupa akan ditemukan dalam jumlah banyak bila dilakukan penelitian lebih jauh.
Misalnya, pemberian fasilitas-fasilitas khusus kepada pejabat tertentu, baik berbentuk setoran gaji buta,
seperti keberadaan badan pengawas, atau bentuk fasilitas lain yang cenderung merongrong keuangan
perusahaan.
I. Quo vadis BUMD?
Sebagai dipahami bahawa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan usaha yang dimiliki oleh
pemerintah daerah, dimana tujuannya adalah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah (PAD).
Tapi pada kenyataannya bahwa BUMD yang ada selama ini belum mampu memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap PAD, justru lebih banyak suntikan dana dari pemerintah daerah daripada
keuntungan yang di dapat. Kondisi tersebut menjadi beban bagi APBD.Sehingga apa yang menjadi
tujuan berdirinya BUMD adalah sebagai salah satu sumber pendapatan pemerintah daerah tidak
tercapai. Banyak permasalahan yang dihadapi BUMD dalam mencapai tujuannnya tersebut.
Permasalahan-permasalahan tersebut berkaitan dengan visi misi yang kurang jelas, faktor birokrasi,
serta sumberdaya manusia. Masalah lain yang juga membuat BUMD tidak dapat berkembang ada
Undang-Undang yang berkaitan dengan BUMD. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
permasalahan apa yang dihadapi BUMD dalam mengembangkan usahanya yang pada akhirnya akan
dirumuskan suatu langkah konkrit kebijakan dalam hal peningkataan peran BUMD dalam
perekonomian daerah. Dalam hal ini peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Lalu bagaimana? Pertanyaan ini sering muncul ketika pemerintah sendiri berusaha mengatasi
permasalahan tersebut. Yang pasti, pemerintah daerah tidak mungkin terus-terusan menerapkan
praktik-praktik yang tidak sehat seperti di atas. Yang perlu dilakukan justru harus melakukan
serangkaian upaya sistematis untuk merestrukturisasi BUMD di wilayahnya. Apalagi, jika kemandirian
daerah yang diterjemahkan dalam konsep otonomi menjadi suatu keharusan di pada saat ini. Mau tidak
mau, kalau ingin memperoleh bagian laba, perusahaan daerah harus dalam keadaan sehat dan
mampu menjalankan fungsinya secara wajar. Di samping itu masyarakat juga tidak selalu jadi objek
penderita atas kebobrokan yang diderita perusahaan daerah.
Upaya perbaikan kinerja BUMD juga harus dilakukan seperti BUMN saat ini. Secara sederhana
restrukturisasi dilakukan dengan mengubah mindset manajemen dari berorientasi birokratis menjadi
bisnis-profesional. Nuansa birokratis perlu dipangkas dari tubuh perusahaan daerah agar keputusan-
keputusan bisnis dapat diambil dengan cepat. Perusahaan daerah harus diberi kewenangan
sepenuhnya untuk menentukan kebijakan demi kemajuannya sendiri. Pemerintah daerah tidak harus
ikut campur tangan yang cenderung "mengobok-obok" kegiatan operasional maupun keuangan
perusahaan. Keterlibatan pemerintah dalam tubuh perusahaan telah terbukti membebani dan
cenderung membatasi gerak dan inovasi perusahaan.
Format BUMD sebagai perusahaan juga perlu dipikirkan untuk menjamin kelangsungannya dalam
jangka panjang. Jika mau mencontoh upaya reformasi BUMN, BUMD harus diarahkan menjadi
perusahaan publik yang kepemilikannya didasarkan atas saham-saham. BUMD harus berubah menjadi
PT yang sahamnya terdaftar dalam bursa saham. Konsekuansinya, perubahan manajemen secara
mendasar harus dilakukan.
Hal terakhir yang patut diupayakan oleh pemerintah, yakni mengeluarkan deregulasi yang
memungkinkan perusahaan swasta memasuki wilayah bisnis yang selama ini dikuasai oleh
perusahaan daerah, misalnya pengelolaan air bersih. Di samping demi kepentingan masyarakat,
karena akan terdapat banyak pilihan untuk jenis layanan kebutuhan tertentu, hal ini juga akan
berdampak positif bagi persaingan bisnis. Perusahaan daerah akhirnya dituntut untuk beroperasi dalam
skala yang efisien, sehingga dalam jangka panjang ia tidak hanya bisa survive, melainkan juga akan
dapat bermain dalam dunia bisnis yang persaingannya semakin mengglobal
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asumsi pandangan terhadap BUMD yang selama
ini sudah umum terjadi pada rata rata BUMD adalah sbb:
a. Rekruitmen yang tidak transparan, mayoritas titipan pejabat dan penampungan pensiunan.
b. Kualitas SDM yang tidak memadai.
c. Kultur bisnis yang tidak terbangun dengan baik, mungkin karena perusahaan plat merah yang
menjadikan suasananya berbeda. Padahal disisi lain perusahaan plat merah ini memiliki privilege /
privilence /keistimewaan khusus dari Pemda, khususnya dalam hal modal dan regulasi-regulasi
lainnya.
d. Struktur manajemen yang tidak ramping, sehingga tidak efisien.
e. Tidak optimalnya pengawasan dari pemilik/owner melalui Dewan Pengawas, disamping itu pemilik
kurang memahami alur bisnis.
f. Legalitas dan legislasi yang kurang dapat mewadahi kondisi usaha yang dinamis.
g. Lingkungan usaha yang tidak kondusif.

Anda mungkin juga menyukai