Berkaitan dengan cara pandang otonomi daerah yaitu pelaksanaan otonomi daerah yang nyata
dan bertanggungjawab serta mempercepat proses pembangunan dan pertumbuhan perekonomian
daerah, untuk meningkatkan pendapatan asli saerah, maka setiap daerah otonom melakukan upaya-
upaya terobosan dan usaha-usaha untuk memupuk sumber pendapatan daerah dengan tanpa
membebani masyarakat, tetapi membuka peluang usaha yang berbasiskan ekonomi daerah yang
selaras dengan potensi daerah.
Berdasarkan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pandapatan Asli Daerah bersumber dari Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, Hasil Pengeloaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan
Asli Daerah yang sah.
Berdasarkan asumsi umum terdapat pandangan bahwa dari hasil Pendapatan Asli Daerah
selama ini, dirasakan masih belum cukup memadai dalam membiayai pembangunan sebuah daerah
otonom, oleh karena itu, Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten menganggap perlu mengadakan
usaha-usaha lain guna menambah sumber-sumber pendapatan daerah.
Sesuai perkembangan keadaan saat ini, usaha-usaha yang lebih tepat dan memungkinkan
serta dapat diandalkan untuk menambah sumber pendapatan daerah adalah mengelola pengusahaan
dengan prinsip ekonomi perusahaan dengan mendirikan Badan Usaha Milik Daerah.
Untuk mewujudkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah Provinsi melalui hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan tersebut, dilakukan antara lain melalui pendirian Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) di berbagai Provinsi. Dengan pendirian BUMD diharapkan ikut berperan dalam
menghasikan barang dan / atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran masyarakat daerah, oleh karena itu, ruang lingkup BUMD yang ada Provinsi tidak
terfokus pada satu bidang tetapi dapat melakukan usaha-usaha di bidang pembangunan, agrobisnis,
industri strategis, konstruksi, properti, konsultan, jasa/perdagangan, telekomunikasi, perhubungan
(transportasi darat, laut dan udara), energi dan sumber daya mineral, kelautan dan perikanan,
pariwista, penerbangan, infrastruktur, perbankan, investasi, asuransi, dan usaha lain sesuai kebutuhan,
sebagai upaya ekstensifikasi pendapatan daerah maupun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pada sisi lain BUMD juga diposisikan, sebagai badan usaha yang diupayakan untuk tetap mandiri dan
untuk mendapatkan laba sehingga dapat menunjang kelangsungan usaha BUMD untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerah otonom
Tujuan utama sektor publik adalah pemberian pelayanan publik namun tak berarti organisasi sektor publik sama sekali
tak memiliki tujuan yg bersifat finansial. Organisasi sektor publik juga memiliki tujuan finansial akan tetapi hal tersebut
berbeda baik secara filosofis konseptual dan operasional dgn tujuan profitabilitas pada sektor swasta. Tujuan finansial pada
sektor swasta diorientasikan pada maksimasi laba utk memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham sedangkan pada
sektor publik tujuan finansial lbh pada maksimasi pelayanan publik krn utk memberikan pelayanan publik diperlukan dana.
Semenjak Undang-Undang tentang Otonomi Daerah diterapkan persoalan kemampuan daerah
secara ekonomi dan politis pun ramai diperbincangkan. Salah satu isu ekonomi yang menarik untuk
didiskusikan dalam hal ini yakni seputar daya dukung sumber pendapatan daerah dalam menggantikan
penerimaan yang diperoleh dari pemerintah pusat. Isu ini memang strategis mengingat pelaksanaan
otonomi juga dapat diartikan sebagai kemandirian daerah dari sisi pembiayaan pembangunan.
Selama ini sumber penerimaan daerah terdiri dari sumbangan pemerintah pusat, pajak daerah dan penerimaan
lain seperti laba perusahaan daerah. Dengan berkurangnya porsi subsidi pemerintah pusat, tidak ada jalan lain yang perlu
dilakukan pemerintah daerah selain menggali dan mengotimalkan sumber pendapatan asli daerah. Yang menjadi
persoalannya sekarang, mampukah daerah melakukannya mengingat keterbatasan sumber pendapatan daerah, khususnya
bagi daerah yang miskin sumber daya alam? Jawabannya akan sangat tergantung pada proses “restrukturisasi” sumber-
sumber penerimaan daerah. Saya katakan restrukturisasi sebab pemerintah daerah sebenarnya sudah mempunyai sumber-
sumber pendapatan yang potensial namun pada saat ini berada dalam kondisi yang menyedihkan. Yang diperlu dilakukan
pemerintah daerah saat ini yaitu ‘memolesnya’ kembali agar tampak molek dan cantik. Salah satu sumber pendapatan
potensial yang perlu dipoles itu tidak lain perusahaan daerah atau dikenal dengan badan usaha milik daerah (BUMD).
F. Persoalan Serupa BUMD Mirip BUMN Tetapi tak sama
Secara umum kondisi perusahaan daerah dapat dikatakan sama dengan apa yang dialami oleh
kebanyakan BUMN kita. Persoalan BUMD kurang terekspos karena memang secara makro posisinya
kurang strategis bila dibandingkan dengan BUMN. Dilihat dari misi pendiriannya, BUMN jelas memiliki
peran yang sangat signifikan dalam mendukung perekonomian nasional. Sebegitu pentingnya,
pemerintah pun perlu membuat kementrian khusus yang menangani BUMN. Akan tetapi dengan
diberlakukannya UU tentang Otonomi Daerah tersebut, peranan BUMD harus mulai diperhatikan.
Bila dibuat pembandingan antara BUMN dan BUMD, akan terlihat kesamaan permasalahan di
antara keduanya. Pertama, masalah efisiensi. Kebanyakan BUMD di Indonesia beroperasi di bawah
kondisi yang sangat tidak efisien. Terjadi pemborosan dana di sana-sini karena para pengelolanya
tidak memiliki keahlian yang cukup. Terkadang keputusan-keputusan manajerial berkaitan dengan
investasi baru, penentuan tarif atau keputusan lain diambil secara tidak profesional. Pekatnya nuansa
kolusi, korupsi dan nepotisme menandakan ketidakprofesionalan para pengelola BUMD tersebut. Di
samping itu, inefisiensi BUMD juga bersumber dari pemanfaatan teknologi yang sudah ketinggalan
jaman. Kebanyakan BUMD beroperasi dengan mesin-mesin peninggalan kolonial yang umurnya
sampai saat ini sudah puluhan tahun. Bahkan ada mesin yang umurnya lebih tua dari karyawan yang
paling tua sekalipun. Dengan kondisi ini, jelas beban pemeliharaan mesin tidak sebanding dengan
output yang diperoleh dari mesin tua tersebut.
Kedua, masalah intervensi dan birokrasi. Bila saat ini banyak BUMD yang kalah bersaing dengan
sektor swasta dan akhirnya tumbang di tengah jalan, salah satu penyebabnya adalah besarnya campur
tangan dan lambannya pemerintah daerah dalam mengantisipasi perubahan situasi dan kondisi bisnis.
Selama ini semua keputusan bisnis baik yang bersifat strategis maupun keputusan-keputusan
konvensional lainnya harus selalu ijin kepada pemerintah. Repotnya, respon pemerintah seringkali,
bahkan dapat dikatakan selalu, lambat. Maklum, sekali lagi berurusan dengan birokrasi. Pemerintah
akan selalu "mempertimbangkan", "menampung", lalu "membahas" usulan para direksi perusahaan
daerah. Keputusannya akan diberitahukan kemudian, bisa dalam hitungan bulanan atau bahkan
tahunan. Bisa dibayangkan, jika suatu BUMD mengajukan proposal investasi mesin baru saat ini dan
keputusan "ya" atau "tidak" baru datang setahun kemudian.
Ketiga, pengendalian dan pengawasan. Selaku pemilik, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan
untuk mengawasi perkembangan BUMD-BUMD di wilayahnya. Pemerintah daerah biasanya
membentuk badan pengawas, yang bertindak seperti dewan komisaris pada perusahaan
swasta. Anggotanya terdiri dari para pejabat di lingkungan pemda, yang terkadang tidak mempunyai
latar belakang bisnis sama sekali. Biasanya, badan pengawas ini tidak melakukan kegiatan sesuai
tugas dan fungsinya, yaitu selaku wakil pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya perusahaan
daerah. Para anggota badan pengawas rata-rata menyatakan tidak sempat memikirkan perkembangan
usaha daerah, karena sudah sibuk dengan tugas dalam jabatan formalnya sendiri-sendiri. Tetapi,
ironisnya mereka senang-senang saja menerima "gaji" dari jabatan tersebut. Dalam kondisi seperti ini,
posisi perusahaan daerah seakan-akan menjadi anak ayam yang berusaha hidup dan mengais-ngais
makanan tanpa tuntunan sang induk.
G. Dualisme Peranan BUMD
Secara konseptual, BUMD didirikan atas dasar dualisme fungsi dan peranan, yang keduanya sangat
sulit, jika tidak dapat dikatakan mustahil, untuk dipadukan. Seperti BUMN, ia punya tugas dalam
mengembangkan perekonomian daerah melalui peranannya sebagai institusi public service. Namun
pada saat yang sama, BUMD juga diharapkan mampu menghasilkan laba dari usahanya selaku
pelayan masyarakat. Secara implisit, BUMD dijadikan sumber dana APBD. Dalam ketentuan, BUMD
diwajibkan menyetorkan bagian labanya sebagai dana pembangunan daerah sebesar 55% dari laba
bersih tahunan. PDAM adalah contoh BUMD yang mempunyai fungsi pelayanan publik dominan
sekaligus sumber dana pembangunan daerah.
Dalam tataran operasionalnya, peran dan fungsi ini dilaksanakan secara distortif. Fungsi service lama-
kelamaan bergeser sebagai fungsi ekploitatif. Hal ini nampak, misalnya ketika PDAM menetapkan tarif
baru. Manajemen selalu berargumen bahwa kenaikan tarif itu diperlukan untuk menyesuaikan
perkembangan cost of product, atau untuk menutup kerugian yang dideritanya. Tetapi bila dicermati,
tingginya biaya atau munculnya kerugian itu disebabkan oleh pengelolaan jaringan yang kurang
profesional atau sebab lain yang berkaitan dengan inefisiensi.
Jika demikian keadaannya, hal itu telah menunjukkan kekacauan dalam menerjemahkan peran
dan fungsi di atas. Namun demikian, wajar-wajar saja jika terjadi. Rasanya memang sulit, jika sebuah
institusi dituntut untuk memenuhi keduanya. Apalagi, sampai sekarang PDAM bisa dikatakan satu-
satunya perusahaan yang melayani kebutuhan air bersih di daerah alias monopoli. Tanpa ada pesaing
dalam lingkungan bisnis serupa, akan sulit bagi PDAM untuk melakukan benchmarking, apakah
operasinya berjalan efisien atau tidak.
H. Ambiguitas Pemerintah
Sementara itu, pemerintah daerah sendiri terlihat ambigu dalam kapasitasnya sebagai pemilik
perusahaan daerah. Pemerintah daerah yang seharusnya mempunyai kewajiban membina dan
mengawasi, justru cenderung eksploitatif terhadap perusahaan daerah. Acapkali, perusahaan daerah
dijadikan sapi perah. Pemerintah selalu menargetkan penerimaan APBD dari perusahaan daerah.
Tanpa menghiraukan, apakah perusahaan untung atau rugi, ia tetap saja menyetorkan dana
pembangunan daerah sesuai yang ditargetkan. Praktik ini tentu saja menyulitkan perusahaan daerah
sebagai institusi bisnis. Bagaimana bisa menjamin kontinuitas operasi perusahaan, jika perusahaan
daerah tetap saja dimintai setoran manakala ia menderita kerugian?
Contoh riil ekploitasi atas perusahaan daerah oleh pemerintah yaitu kasus utang Persebaya kepada
PDAM Kodya Surabaya yang sempat terekspos di sebuah media beberapa tahun lalu. Secara
prosedural, bagaimana mungkin PDAM mengeluarkan uang ratusan juta rupiah untuk dipinjamkan
sebagai dana operasional sebuah kesebelasan? Dilihat dari kacamata apa pun hal ini sebetulnya tidak
dapat dibenarkan. Dari sisi bisnis, jelas hal itu merupakan kerugian besar bagi perusahaan, karena ia
meminjamkan dana begitu besar tanpa bunga. Dari sisi aturan pun, PDAM juga tidak punya kewajiban
lain kepada pemerintah daerah kecuali menyetorkan dana pembangunan sebesar 55% dari laba
bersih. Kasus-kasus serupa akan ditemukan dalam jumlah banyak bila dilakukan penelitian lebih jauh.
Misalnya, pemberian fasilitas-fasilitas khusus kepada pejabat tertentu, baik berbentuk setoran gaji buta,
seperti keberadaan badan pengawas, atau bentuk fasilitas lain yang cenderung merongrong keuangan
perusahaan.
I. Quo vadis BUMD?
Sebagai dipahami bahawa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan usaha yang dimiliki oleh
pemerintah daerah, dimana tujuannya adalah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah (PAD).
Tapi pada kenyataannya bahwa BUMD yang ada selama ini belum mampu memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap PAD, justru lebih banyak suntikan dana dari pemerintah daerah daripada
keuntungan yang di dapat. Kondisi tersebut menjadi beban bagi APBD.Sehingga apa yang menjadi
tujuan berdirinya BUMD adalah sebagai salah satu sumber pendapatan pemerintah daerah tidak
tercapai. Banyak permasalahan yang dihadapi BUMD dalam mencapai tujuannnya tersebut.
Permasalahan-permasalahan tersebut berkaitan dengan visi misi yang kurang jelas, faktor birokrasi,
serta sumberdaya manusia. Masalah lain yang juga membuat BUMD tidak dapat berkembang ada
Undang-Undang yang berkaitan dengan BUMD. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
permasalahan apa yang dihadapi BUMD dalam mengembangkan usahanya yang pada akhirnya akan
dirumuskan suatu langkah konkrit kebijakan dalam hal peningkataan peran BUMD dalam
perekonomian daerah. Dalam hal ini peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Lalu bagaimana? Pertanyaan ini sering muncul ketika pemerintah sendiri berusaha mengatasi
permasalahan tersebut. Yang pasti, pemerintah daerah tidak mungkin terus-terusan menerapkan
praktik-praktik yang tidak sehat seperti di atas. Yang perlu dilakukan justru harus melakukan
serangkaian upaya sistematis untuk merestrukturisasi BUMD di wilayahnya. Apalagi, jika kemandirian
daerah yang diterjemahkan dalam konsep otonomi menjadi suatu keharusan di pada saat ini. Mau tidak
mau, kalau ingin memperoleh bagian laba, perusahaan daerah harus dalam keadaan sehat dan
mampu menjalankan fungsinya secara wajar. Di samping itu masyarakat juga tidak selalu jadi objek
penderita atas kebobrokan yang diderita perusahaan daerah.
Upaya perbaikan kinerja BUMD juga harus dilakukan seperti BUMN saat ini. Secara sederhana
restrukturisasi dilakukan dengan mengubah mindset manajemen dari berorientasi birokratis menjadi
bisnis-profesional. Nuansa birokratis perlu dipangkas dari tubuh perusahaan daerah agar keputusan-
keputusan bisnis dapat diambil dengan cepat. Perusahaan daerah harus diberi kewenangan
sepenuhnya untuk menentukan kebijakan demi kemajuannya sendiri. Pemerintah daerah tidak harus
ikut campur tangan yang cenderung "mengobok-obok" kegiatan operasional maupun keuangan
perusahaan. Keterlibatan pemerintah dalam tubuh perusahaan telah terbukti membebani dan
cenderung membatasi gerak dan inovasi perusahaan.
Format BUMD sebagai perusahaan juga perlu dipikirkan untuk menjamin kelangsungannya dalam
jangka panjang. Jika mau mencontoh upaya reformasi BUMN, BUMD harus diarahkan menjadi
perusahaan publik yang kepemilikannya didasarkan atas saham-saham. BUMD harus berubah menjadi
PT yang sahamnya terdaftar dalam bursa saham. Konsekuansinya, perubahan manajemen secara
mendasar harus dilakukan.
Hal terakhir yang patut diupayakan oleh pemerintah, yakni mengeluarkan deregulasi yang
memungkinkan perusahaan swasta memasuki wilayah bisnis yang selama ini dikuasai oleh
perusahaan daerah, misalnya pengelolaan air bersih. Di samping demi kepentingan masyarakat,
karena akan terdapat banyak pilihan untuk jenis layanan kebutuhan tertentu, hal ini juga akan
berdampak positif bagi persaingan bisnis. Perusahaan daerah akhirnya dituntut untuk beroperasi dalam
skala yang efisien, sehingga dalam jangka panjang ia tidak hanya bisa survive, melainkan juga akan
dapat bermain dalam dunia bisnis yang persaingannya semakin mengglobal
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asumsi pandangan terhadap BUMD yang selama
ini sudah umum terjadi pada rata rata BUMD adalah sbb:
a. Rekruitmen yang tidak transparan, mayoritas titipan pejabat dan penampungan pensiunan.
b. Kualitas SDM yang tidak memadai.
c. Kultur bisnis yang tidak terbangun dengan baik, mungkin karena perusahaan plat merah yang
menjadikan suasananya berbeda. Padahal disisi lain perusahaan plat merah ini memiliki privilege /
privilence /keistimewaan khusus dari Pemda, khususnya dalam hal modal dan regulasi-regulasi
lainnya.
d. Struktur manajemen yang tidak ramping, sehingga tidak efisien.
e. Tidak optimalnya pengawasan dari pemilik/owner melalui Dewan Pengawas, disamping itu pemilik
kurang memahami alur bisnis.
f. Legalitas dan legislasi yang kurang dapat mewadahi kondisi usaha yang dinamis.
g. Lingkungan usaha yang tidak kondusif.