Anda di halaman 1dari 2

Sesekali kopi itu terserap dari mulutku.

Melewati tenggorokan di setiap kepahitan hidup


masuk kedalam lambung pencernaan. Dalam benak ada beberapa hal yang membuat pagi ini
terasa nikmat. Bukan karena mendung yang datang melainkan dirimu yang hadir dalam segelas
kopi saat kau harir membawa terang. Segelasku pagi ini adalah komposisi dari kerinduan yang
tak pernah sembuh, seutas belai darimu yang belum pernah kau sadur dan senyum hangat yang
lebih kecut dari mataku yang terpejam sudutnya.Ketika ku aduk, butiran dari langit sekan luruh
bersatu menjadi guratan-guratan cairan yang ketika kuseduh membuat sendu. Dalam otakku,
merangkai untuk aku segera bertemu denganmu.

Kopi hitam tanpa gula. Kenangan tentangmu akan membuat luka. Namun, kau tahu ?
tidak ingin lupa aku untuk mengingatnya. Meski duluya lebam itu ksu ciptakan dengan sengaja
bagaimana aku bisa menghindarinya . Jika hanya dengan itu aku bisa bersua denganmu. Akalku
berkata untuk berhenti mencintaimu. Namun, batin selalu melanjutkan untuk selalu
mengatakan tidak apa-apa. Jika proses adalah sebuah hal yang haru aku lakukan untuk
membuat baik akhirnya, maka kenapa tidak.

“Tak kusangka, Jo. Masa depanmu sekarang benar-benar baik. Kau apakah benar akan
menikahinya ?” Tanya kawan lamaku

“Apakah menurutmu aku terlihat bercanda ?” Kataku sambil menyeduh kopiku sore itu

“Apa yang kau pikirkan sampai bertahan dengan belasan tahun bersamanya.”

“Apalagi jika bukan komitmen. Selalu akan ada perubahan yang lebih baik dari
prosesnya, Dul. Aku yakin dengan keputusanku”

“Aku sangat bangga padamu. Jika kupikir memang seharusnya begitu. Apakah dia akan
pulang tahun ini ?”

“Tentunya. Yang benar saja pertanyaanmu. Pernikahanku tahun ini, Dul.” Kataku
Sambil memandang langt sore di sebuah ciffe pinggian kota.

Sore itu, senja benar-benar ada di bola mataku. Menyapa dengan lembut, tersenyum
namun memlukku dengan hangat. Rona wajah itu, berisi kerinduan yang mendesak untuk
dihancurkan. Warna jingga yang melukis dibaris mataku, seakan kembali mempermainkan
rasa, bahwa aku sangat ingin bertemu. Sudah setahun lalu, Naila berangkat ke London untuk
kembali menyelesaikan studynya. Tepat setelah cincin perak itu, aku lingkarkan dijari kiri
manisnya. Aku hidup dalam kesibukan yang aku jalani. Sibuk merindukannya, juga aku
sibukkan dengan mengunjungi setiap gerai yang aku diirkan sudah 3 tahun ini.

Naila, gadis dengan pawakan tinggi, kulit putih, hidung mancung dan bola mata cokla
yang indah. Aku perkenalkan. Naila calon ibu dari anak-anakku kelak. Pemberi kopi disetiap
pagiku, penikmat senja kala soreku dan pengiring langkahku dalam keabikan. Iu peristiwa akan
yang sellau aku semogakan. Tidak banyak yang tahu, dulunya aku hidup dengan sakit hati
karenanya. Berulang kali digoreskan luka pada hidupku. Namun, aku bertahan untuk
menciptakan ending yang seperti ini. Naila tumbuh menjadi pribadi yang lebih dari sekedar
harapanku.

“Aku pulang bulan ini, sampai bertemu. Semoga rinduku benar-benar luruh.
Bagaimana kopi seduhanmu hari ini ?” tanyanya lewat sambungan online yang kami sengaja
buat.

“Hari ini aku menyeduhnya dengan creamer. Seperti biasa tanpa gula”

“Kenapa ada creamer. Tidak seperti biasanya. Apa kau baik-baik saja ?”

“Menurutmu ?” jawabku dengan sedih yang mengguncang

“Apakah kau serindu itu denganku ? hahaha bersabarlah. Kau membuatku tambah
sedih.” Naila tertawa untuk menyembunyikan kesedihannya

“Aku tidak sabar menunggu bulan depan”

Begitulah Aku. Meraa lebih baik jika kopiku disanding dengan creamer. Karena otakku
sudah mengingat, bahwa hanya ketika bersama Naila kopi seguhanku, kopi hitam tanpa gula
akan terasa lebih nikmat dari kopi manapun. Jika kupandang wajahnya. Bagaimana tidak aku
dibuatnya jatuh dan cinta berkali-kali. Dan aku katakan sekali lagi, aku tidak sabar untuk bulan
depan.

Anda mungkin juga menyukai