Anda di halaman 1dari 18

BAB I

KONSEP DASAR MEDIS

A. Definisi
a. Definisi Fraktur
1. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2003).
2. Menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation
menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan
tekanan eksternal yang dating lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
3. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner&Suddarth: 2002).
4. Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang (Doenges, 1999).
b. Definisi Fraktur Femur
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi
akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian). Patah pada
tulang femur dapat menimbulkan perdarahan cukup banyak serta mengakibatkan
penderita mengalami syok (Sjamsuhidajat, 2004).
B. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur femur berdasarkan tempat terjadinya antara lain:
a. Fraktur Collum Femur:
Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu misalnya
penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung
terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak
langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah, dibagi
dalam :
1. Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur)
2. Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)
b. Fraktur Subtrochanter Femur
Ialah fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter minor,
dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan mudah dipahami
adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :
1. Tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor
2. Tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter minor
3. Tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas trochanter minor
c. Fraktur Batang Femur (dewasa)
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah pada daerah
ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita
jatuh dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan
adanya luka yang berhubungan dengan daerah yang patah. Fraktur batang femur
dibagi menjadi :
1. Tertutup
2. Terbuka, ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan antara tulang
patah dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat, yaitu ;
a) Derajat I: Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka kecil, biasanya
diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam menembus keluar.
b) Derajat II : Lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan karena benturan
dari luar
c) Derajat III : Lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan lunak
banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah)
d. Fraktur Batang Femur (anak-anak)
e. Fraktur Supracondyler Femur
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke
posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot-otot
gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma langsung
karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress valgus atau varus dan
disertai gaya rotasi.
f. Fraktur Intercondylair
Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular, sehingga
umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.
g. Fraktur Condyler Femur
Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan adduksi
disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.
Selain itu fraktur femur dapat dibedakan menjadi:
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengandunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi
tiga derajat, yaitu :
a) Derajat I
1) luka kurang dari 1 cm
2) kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
3) fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
4) Kontaminasi ringan.
b) Derajat II
1) Laserasi lebih dari 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
3) Fraktur komuniti sedang.
c) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c. Fraktur complete
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergerseran
(bergeser dari posisi normal).
d. Fraktur incomplete
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
C. Etiologi
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Cedera traumatic
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata
secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut
:
a. Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
3. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
D. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka
bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di
kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih
dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut
aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf
yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan,
fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak
disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (
Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan
menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi,
mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri.
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan
dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan
struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau
mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson: 1995).
E. Manifestasi Klinis
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik fraktur adalah sebagai berikut :
1. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
2. Bengkak /edema
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada
daerah fraktur dan extravasasi daerah di jaringan sekitarnya.
3. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasasi daerah di
jaringan sekitarnya.
4. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi di sekitar fraktur.
5. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
6. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot.
Paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
7. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
8. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagian tulang digerakkan.
9. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
10. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
11. Gambaran X-ray menentukan fraktur
Gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe fraktur.

F. Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan
yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat
oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan,
tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.

2. Komplikasi Dalam Waktu Lama


a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan radiologi
a. Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
b. Scan tulang, tomogram, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan
mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma
multipel), Peningkatan Sel darah putih adalah respon stres normal setelah
trauma.
b. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
3. Pemeriksaan Penunjang Lain
a. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
b. CCT: dilakkukan bila banyak kerusakan otot.

H. Penatalaksanaan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi
(circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah
lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci.
Penatalaksanaan kegawatdaruratan meliputi
1. Inspeksi bagian tubuh yang fraktur
a. Inspeksi adanya laserasi, bengkak dan deformitas
b. Observasi angulasi, pemendekan dan rotasi
c. Palpasi nadi distal untuk fraktur dan pulsasi semua perifer
d. Kaji suhu dingin, pemucatan, penurunan sensasi atau tidak adanya pulsasi; hal
tersebut menandakan cedera pada saraf atau suplai darah terganggu
e. Tangani bagian tubuh dengan lembut dan sesedikit mungkin gerakan yang
kemungkinan dapat menyebabkan gerakan pada tulang yang fraktur
2. Berikan bebat sebelum pasien dipindahkan; bebat dapat mengurangi nyeri,
memperbaiki sirkulasi, mencegah cedera lebih lanjut, dan mencegah fraktur tertutup
menjadi fraktur terbuka.
a. Imobilisasi sendi diatas dan dibawah daerah fraktur. Tempatkan satu tangan distal
terhadap fraktur dan berikan satu penarikan ketika menempatkan tangan lain
diatas fraktur untuk menyokong.
b. Pembebatan diberikan diberikan meluas sampai sendi dekat fraktur.
c. Periksa status vaskuler ekstremitas setelah pembebatan; periksa warna, suhu, nadi
dan pemucatan kuku.
d. Kaji untuk adanya deficit neurologi yang disebabkan oleh fraktur.
e. Berikan balutan steril pada fraktur terbuka.
3. Kaji adanya keluhan nyeri atau tekanan pada area yang mengalami cedera.
4. Pindahkan pasien secara hati-hati dan lembut, untuk meminimalisasi gerakan yang
dapat menyebabkan gerakan pada patahan tulang.
5. Lakukan penanganan pada trauma yang spesifik (trauma femur)
Femur biasanya patah pada sepertiga tengah, walaupun pada orang tua selalu
dipikirkan patah pangkal tulang paha (collum femoris). Fraktur ini dapat menjadi
fraktur terbuka dan kalau hal ini terjadi harus ditangani sebagai fraktur terbuka.
Banyak otot disekeliling femur dan perdarahan massif dapat terjadi pada paha. Fraktur
femur bilateral dapat menyebabkan kehilangan sampai dari 50% volume sirkulasi
darah
Menurut Price (1995) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu
menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya, mengetahui dan menilai keadaan fraktur
dengan anamnesis, pemeriksaan klinik dan radiologis. Pada awal pengobatan
perlu diperhatikan: lokasi, bentuk fraktur, menentukan teknnik yang sesuai
untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah
pengobatan.Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan
bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka. fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau
reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila
cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,
pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan
untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk
menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal
perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat
fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan
eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur
pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan
pelvis (Mansjoer, 2000).
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari
atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai
melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan
mobilisasi (Mansjoer, 2000).
Selain konsep dasar tersebut terdapat beberapa penatalaksanaan fraktur, diantaranya:
a. Terapi konservatif :
1) Proteksi
2) Immobilisasi saja tanpa reposisi
3) Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips/traksi
b. Terapi operatif : ORIF (Open Reduction And Internal Fixation)
1) Indikasi ORIF :
a) Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair necrosis tinggi
b) Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
c) Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan
d) Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik
dengan operasi
e) Excisional Arthroplasty
2) Jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan :
a) Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang
yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan
tulang yang patah
b) Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan
skrup, plat, paku dan pin logam
c) Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun
heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau
mengganti tulang yang berpenyakit.
d) Amputasi : penghilangan bagian tubuh
e) Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat
yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa
irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka
f) Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
g) Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam
atau sintetis
h) Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam
sendi dengan logam atau sintetis
i) Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi
j) Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot
atau mengurangi kontraktur fasia. (Ramadhan: 2008)
3) Tindakan ORIF meliputi:
a) Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan
sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur
b) Fraktur diperiksa dan diteliti,
c) Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi dari luka
d) Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal kembali
e) Sesudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat
ortopedik berupa; pin, sekrup, plate, dan paku
4) Keuntungan ORIF:
a) Reduksi akurat
b) Stabilitas reduksi tinggi
c) Pemeriksaan struktur neurovaskuler
d) Berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal
e) Penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah menjadi
lebih cepat
f) Rawat inap lebih singkat
g) Dapat lebih cepat kembali ke pola kehidupan normal

5) Kerugian ORIF:
a) Kemungkinan terjadi infeksi
b) Osteomielitis
I. Terapi Medis
1. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone
2. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
3. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
4. Bedrest, Fisioterapi
BAB II

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Tinjauan Teori Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Pasien dengan Fraktur
Femur
1. Pengkajian
a. Pengkajian primer
1) Circulation
TD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut,
takikardia, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan
membrane mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
2) Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan
sekret akibat kelemahan reflek batuk.
3) Breathing
Kelemahan menelan/batuk/melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan/atau tak teratur, suara napas terdengar
rochi/aspirasi.
b. Pengkajian sekunder
1) Aktivitas/istirahat
a) Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
b) Keterbatasan mobilitas
2) Sirkulasi
a) Hipertensi (kadang terlihat sebgai respon nyeri/ansietas)
b) Hipotensi (respon terhadap kehilangan darah)
c) Tachikardia
d) Penurunan nadi pada bagian distal yang cedera
e) Capillary refill melambat
f) Pucat pada bagian yang terkena
g) Masa hematoma pada sisi cedera
3) Neurosensori
a) Kesemutan
b) Deformitas, krepitasi, pemendekan
c) Kelemahan
4) Kenyamanan
a) Nyeri tiba-tiba saat cedera
b) Spasme/kram otot
5) Keamanan
a) Laserasi kulit
b) Perdarahan
c) Perubahan warna
d) Pembengkakan lokal

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


a. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema
dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/ immobilisasi
b. Kerusakan integritas jaringan yang berhubungan dengan cedera jaringan lunak
sekuderakibat fraktur femur terbuka.
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran
darah arteri atau vena, trauma pada pembuluh darah.
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan intregritas tulang,
terapi pembatasan gerak, kerusakan musculoskeletal
e. Resilko tinggi syok hipovolemik yang berhubungan dengan hilangnya darah dari
luka terbuka, kerusakan vaskuler, dan cedera pada pembuluh darah.
f. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tak ada kuatnya pertahanan
primer: kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkugan, prosedur
invasif, traksi tulang
3. Perencanaan
1. Diagnosa 1:
a. Rencana Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan nyeri yang dialami pasien
berkurang atau hilang.
b. Kriteria Hasil
(1) Pasien menyatakan nyeri berkurang
(2) Pasien mengungkapkan mampu tidur / istirahat dengan baik.
(3) Pasien tampak rileks
(4) TD pasien dalam rentang normal 100/60- 120/80 mmHg
(5) Frekuensi nadi pasien dalam rentang normal 80-100 x/menit
(6) Skala nyeri 0 dari 0 - 10
(7) Pasien dapat beraktivitas sesuai kemampuan.
c. Rencana Tindakan
(1) Observasi TTV.
(2) Kaji nyeri dengan teknik PQRST.
(3) Anjurkan klien istirahat di tempat tidur.
(4) Beri posisi nyaman.
(5) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.
(6) Beri kompres hangat / dingin sesuai indikasi.
(7) Intruksikan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera jika nyeri itu
muncul.
(8) Beri teknik sentuhan yang terapeutik, biofeedback, hipnotis sendiri, dan
reduksi stress.
(9) Beri HE mengenai manajemen nyeri.
2. Diagnosa 2
a. Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kerusakan integritas
jaringan dapat diatasi.
b. Kriteria hasil
(1) Penyembuhan luka sesuai waktu
(2) Tidak ada laserasi, integritas kulit baik
c. Rencana tindakan
(1) Observasi keadaan kulit/kerusakan jaringan lunak yang terjadi pada klien.
(2) Evaluasi kerusakan jaringan dan perkembangan pertumbuhan jaringan.
(3) Lakukan perawatan luka dengan teknik steril.
(4) Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun
kencang)
(5) Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.
(6) Kolaborasi dengan tim bedah untuk dikukan bedah perbaikan pada
karusakan jaringan agar tingkat kesembuhan dapat dipercepat.
3. Diagnosa 3
a. Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan perfusi jaringan efektif
b. Kriteria hasil
(1) Meningkatkan perfusi jaringan
(2) Tingkat kesadaran composmentis
(3) Fungsi kognitif dan motorik/sensorik yang membaik
(4) Tidak terjadinya tanda-tanda peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial)
(5) Tekanan darah dalam rentang yang normal (100/60- 120/80 mmHg)
(6) Nadi perifer tidak teraba
(7) Edema perifer tidak ada
c. Rencana tindakan
(1) Auskultasi frekuensi dan irama jantung, catat terjadinya bunyi jantung
ekstra
(2) Pantau/catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan
keadaan normalnya.
(3) Melakukan perawatan sirkulasi perifer secara komprehensif misal: periksa
nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna, dan suhu ekstremitas
(4) Ajarkan pasien pentingnya mematuhi diit dan program pengobatan.
(5) Tinggikan anggota badan yang terkena 20 derajat atau lebih tinggi dari
jantung.
(6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian anti trombosit & anti koagulan
4. Diagnosa 4
a. Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan pasien dapat melakukan
mobilitas fisik secara mandiri atu kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang
b. Kriteri hasil
1) Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat yang paling
tinggi yang mungkin
2) Mempertahankan posisi fungsional
3) Meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit
c. Rencana tindakan
(1) Kaji kemampuan mobilisasi pasien
(2) Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun
yang sehat sesuai keadaan klien.
(3) Berikan penyangga pada ekstrimitas yang bermasalah
(4) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
(5) Dorong/pertahankan asupan cairan.
(6) Berikan diet TKTP.
5. Diagnosa 5
a. Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan resiko syok hipovolemik
tidak terjadi.
b. Kriteria hasil
1) Klien tidak mengeluh pusing
2) Membra mukosa lembab
3) Turgor kulit normal
4) TTV dalam batas nomal (N : 80-100 x/menit, TD : 100/60- 120/80
mmHg)
5) CRT <2 detik
6) Urine >600 ml/hari
c. Rencana tindakan
1) Pantau status cairan (turgor kulit, membran mukosa, haluaran urine).
2) Kaji sumber kehilangan cairan.
3) Auskultasi tekanan darah. Bandingkan kedua lengan.
4) Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer, dan diaforesis secara teratur.
5) Pantau frekuensi dan irama jantung
6) Kolaborasi pemberian cairan melalui intravena.
6. Diagnosa 6\
a. Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi
b. Kriteri hasil
1) Tidak terdapat tanda dan gejala infeksi
2) Klien mampu mendiskripsikan proses penularan penyakit, factor yang
mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya
3) Klien mempunyai kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
4) Jumlah leukosit dalam batas normal(5.000 – 10.000)
c. Rencana tindakan
1) Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda infeksi
2) Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED,
Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)
3) Lakukan perawatan perawatan luka
4) Ajarkan klien untuk mempertahankan kebersihan luka.
5) Jelaskan kepada klien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
6) Kolaborasi pemberian antibiotika

Anda mungkin juga menyukai