Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bumi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia):
Planet tempat manusia hidup; dunia; jagat.
Bumi menurut Oxford Dictionary:
(n) The planet on which we live; the world.
Dari kedua pengertian di atas jelaslah sudah bahwasanya bumi adalah sesuatu
yang menjadi tempat tumpuan umat manusia untuk melangsungkan kehidupannya.
Tempat manusia mencari makan, berkembang biak dan sebagainya. Dalam Oxford
Dictionary dinyatakan bahwa bumi adalah sebagai benda yang dinyatakan oleh
kelas katanya (n) yang berarti noun atau dalam bahasa Indonesianya ialah benda,
lalu jika berbicara tentang benda maka pastilah memiliki umur atau masa
pemakaian. Selain masa pakai, benda juga memiliki sifat dapat rusak atau berubah
bentuk dan pada kebanyakan benda jika sudah rusak maka akan sulit untuk kembali
ke bentuk awal diciptakannya. Jadi untuk menghambat kerusakan yang fatal bagi
“si benda” maka manusia sebagai pemakainya harus merawatnya dengan penuh
kasih sayang. Tapi bumi yang hakikatnya sebagai benda yang dapat rusak jika
digunakan terus tanpa dirawat telah banyak dilupakan oleh manusia hari ini,
manusia hari ini hanya berpikir untuk mengeksploitasi bumi untuk memuaskan
nafsu kebendaannya semata. Terkadang mereka lupa mengenai benda apa yang
paling penting untuk hidupnya. Jika eksploitasi besar besaran terus terjadi,
ekosistem alam mulai rusak, tumbuhan tak dapat tumbuh lagi, hewan hewan pun
tak dapat hidup lama, sumber makanan pun tak ada lagi, kekeringan dimana mana
dan bumi menjadi tempat yang tak layak huni lagi bagi umat manusia, barulah
mungkin mereka dapat tersadarkan bahwa materi yang selama ini mereka cari tidak
untuk dapat dimakan.
Keadaan bumi hari ini telah berada pada masa yang memperihatinkan. Data
dari lembaga PBB yang dikutip dari laman resminya yaitu un.org (2017)
menyatakan bahwa pada abad 21 ini suhu permukaan bumi telah meningkat dan
diprediksi melebihi 3 derajat celcius. Hal tersebut jika dibiarkan secara terus

1
2

menerus akan berdampak pada perubahan iklim yang tidak dapat dikendalikan lagi.
Jika perubahan iklim sudah tak dapat dikendalikan dan diprediksi lagi akan
berdampak pada sumber pangan umat manusia, yaitu hewan dan tumbuhan.
Tumbuhan yang tak dapat tumbuh semestinya dikarenakan adanya kenaikan suhu
yang tidak biasa dan hewan yang membutuhkan tumbuhan sebagai makanannya
juga tak dapat bekembang dengan baik dikarenakan keadaan tumbuhan yang tidak
telah tercemar. Akhirnya kedua permasalahan tersebut akan berdampak pada
perkembangan manusia sebagai puncak rantai makan di bumi ini.
Saat sekarang ini isu lingkungan menjadi komoditas global yang berkaitan
dengan eksploitasi ekonomi, masyarakat dunia mulai peduli terhadap lingkungan
mereka dan melakukan berbagai cara untuk memperbaiki kerusakan alam. Proses
perubahan lingkungan telah terjadi dan akan terus berlangsung, yang saat ini telah
mengakibatkan perubahan lingkungan baik secara kualitatif dan kuantitatif.
Setiowati (2010) memberikan lima perbedaan perubahan lingkungan masa lalu dan
masa kini, yaitu: 1) Perubahan lingkungan masa lalu berjalan sangat lambat; 2)
Kerusakan lingkungan akhir-akhir ini bersifat global, melewati batas negara; 3)
Kerusakan lingkungan masa kini telah menjangkau batas-batas generasi dan
merugikan generasi mendatang; 4) Banyak kerusakan lingkungan sekarang bersifat
tidak dapat dipulihkan kembali; dan 5) Masalah lingkungan tidak lagi terbatas
masalah ekologi yang ditangani secara ilmiah belaka.
Setiowati (2010) menyatakan bahwa perhatian para stakeholders terhadap
kinerja lingkungan perusahaan semakin meningkat, yang disebabkan oleh isu
pemanasan global yang semakin populer. Haque dan Islam (2012) dalam
penelitiannya menemukan bahwa sejak tahun 2009 isu yang menjadi perhatian
stakeholders terkait tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah isu perubahan
iklim akibat pemanasan global oleh gas rumah kaca. Aktivitas ekonomi secara
langsung maupun tidak telah menjadi faktor penyebab terjadinya pemanasan global,
dengan perusahaan sebagai penyumbang terbesar gas rumah kaca dikarenakan oleh
berbagai proses produksi perusahaan (Shodiq dan Febri, 2015). Sehingga saat ini
stakeholders menuntut masalah kerusakan lingkungan yang diakibatkan perusahaan
harus menjadi tanggung jawab perusahaan, bukan tanggung jawab masyarakat
(Setiowati, 2010).

2
3

Perubahan iklim merupakan tantangan global yang mempengaruhi semua


penduduk di seluruh dunia. Perubahan iklim mengakibatkan perubahan pola cuaca,
naiknya permukaan air laut, dan kejadian cuaca ekstrem lainnya. Hal tersebut dapat
mengganggu ekonomi nasional, mempengaruhi kehidupan umat manusia, bahkan
menelan korban jiwa.
Luas hutan Indonesia mencapai 95 juta hektar atau sekitar 50,6 persen luas
wilayah Indonesia (Purba et al., 2017). Masing-masing kawasan memiliki fungsi
dalam mendukung ekosistem dan ekonomi. Fungsi ekonomi hutan sebagai bahan
baku industri, perdagangan luar negeri, dan konsumsi penduduk untuk makanan,
bahan, dan energi telah memberi tekanan besar pada hutan. Total deforestasi di
Indonesia pada 2014-2015 mencapai 1,09 juta hektar (KLHK, 2017). Deforestasi
menurut KLHK (2015) merupakan perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan
menjadi bukan hutan (termasuk perubahan untuk perkebunan, permukiman,
kawasan industry, dan lain-lain). Deforestasi menurut KLHK (2017) terluas terjadi
di Pulau Sumatera, yaitu 519,0 ribu hektar atau 47,5 persen dari total deforestasi,
kemudian pulau Kalimantan sebesar 34,3 persen. Salah satu penyebab tingginya
deforestasi di 2015 karena kebakaran hutan seluas 250,9 ribu hektar. Hampir 75
persen area deforestasi dibiarkan menjadi lahan terbuka, lalu 9,5 persen menjadi
semak belukar. Area deforestasi berasal dari hutan tanaman seluas 441,9 ribu hektar
(36,1 persen) dan hutan rawa sekunder seluas 267,9 ribu hektar (21,9 persen).
Menurut laporan Greenpeace (2018) sektor perkebunan kelapa sawit dan
bubur kertas merupakan pemicu tunggal terbesar penggundulan hutan di Indonesia
dan Malaysia. Menurut angka-angka yang dikeluarkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2017) Republik Indonesia, sekitar 24
juta hektar (ha) hutan hujan negara ini dihancurkan antara tahun 1990 dan 2015,
sebuah wilayah yang hampir seluas negara Inggris, dengan kehilangan 1,6 juta ha
lebih antara tahun 2015 dan 2017. Sekitar seperlima (19%) dari deforestasi
Indonesia antara tahun 2015–2017 terjadi di konsesi kelapa sawit.
Pengembangan perkebunan merupakan akar penyebab kebakaran hutan dan
lahan gambut di Indonesia, di mana banyak kebakaran merupakan kegiatan
disengaja untuk membersihkan lahan sebelum penanaman. Pada bulan Juli 2015,
kebakaran hutan dan lahan gambut yang menghancurkan, meluas di banyak

3
4

wilayah Sumatra, Kalimantan dan Papua menghentikan operasi penerbangan serta


memaksa penutupan sekolah dan kantor di seluruh wilayah tersebut. Selama bulan
September dan Oktober 2015, emisi gas rumah kaca (GRK) harian dari kebakaran
hutan di Indonesia menyumbang sebanyak 1,62 miliar metrik ton karbon dioksida
ke langit (Harris et al., 2015 dalam Greenpeace, 2018). Kebakaran-kebakaran ini
juga menghasilkan kabut asap yang merugikan jutaan orang di Asia Tenggara, para
peneliti di Universitas Harvard dan Columbia memperkirakan, bahwa 100.000
orang mengalami kematian dini akibat penyakit pernapasan yang terkait dengan
kabut asap tahun 2015 dan bank dunia menghitung biaya kerugian akibat bencana
ini mencapai US$ 16 miliar (Koplitz et al., 2016).
Emisi gas rumah kaca dan penggunaan berbagai material yang mengandung
Bahan Perusak Ozon (BPO) dari kegiatan manusia merupakan faktor pendorong
terjadinya perubahan iklim. Emisi gas rumah kaca adalah pelepasan karbon ke
atmosfer, terkait gas rumah kaca yang khususnya CO2 (gas terbesar yang
dihasilkan oleh aktivitas manusia), yang terkait dengan proses produksi maupun
penyediaan barang dan jasa perusahaan (Linggarsari, 2015). Pada 2014, menurut
Purba et al., (2017) total emisi gas rumah kaca Indonesia mencapai 1.808 juta ton
COe. Angka ini, secara konsisten mengindikasikan adanya kenaikan emisi dari
tahun 2000-2013 sebesar 3,5 persen per tahun. Diantara lima sektor tersebut, sektor
AFOLU (kehutanan, sektor pertanian dan lahan gambut) menjadi penyumbang
emisi terbesar dengan kontribusi 60,44 persen, disusul sektor energi kedua dengan
kontribusi sebesar 31,93 persen. Sektor kehutanan dan lahan gambut, terutama
kebakaran hutan, adalah penghasil CO2 tertinggi sementara emisi sektor energi
bergantung pada penggunaan konsumsi energi, terutama energi fosil. Dan jika
telisik secara mendalam penyumbang emisi karbon terbesar menurut Shodiq dan
Kartikasari (2009) adalah aktivitas operasional dari perusahaan, yang dimana
perusahaan saat ini masih banyak yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai
sumber energinya.
Pada masa sekarang perusahaan diperhadapkan pada bagaimana mereka
memenuhi kepentingan banyak pihak. Pihak-pihak ini disebut juga sebagai para
pemangku kepentingan (stakeholders), yaitu pihak yang memengaruhi atau akan
dipengaruhi oleh keputusan dan strategi perusahaan (Clarkson, 2011). Hal tersebut

4
5

digambarkan Triyuwono (2015) mengenai konsep perusahaan dan


pengoperasiannya yang didasarkan atas tujuan untuk memaksimalkan keuntungan
untuk memenuhi kepentingan para homo economicus (stakeholders). Menurut
Thaler (2000); Sigmund (2010); Xin dan Li (2013) inti dari homo economicus ialah
untuk memaksimalkan kepentingan diri untuk semakin meningkatkan kekayaannya.
Selain dari homo economicus, menurut Jensen & Meckeling (1994) dalam
karakteristik alamiah manusia terdapat pula karakteristik homo sociologicus yang
dimana homo sociologicus ini tidak terlalu memiliki kepentingan akan pendapatan
yang akan ia terima, tetapi hanya memiliki perhatian pada lingkungan sosialnya,
sifat psikologi apa yang dibutuhkan oleh manusia dan nama baiknya di mata orang
lain.
Selanjutnya selain dihadapkan dengan permasalahan peningkatan
profitabilitas, perusahaan juga dituntut untuk peka terhadap permasalahan
lingkungan akibat dari pengoperasian usahanya. Selain dari itu sebuah perusahaan
juga harus mampu mengontrol potensi finansial maupun potensi non finansial di
dalam meningkatkan nilai perusahaan untuk eksistensi perusahaan dalam jangka
panjang (Munawaroh, 2014). Hal tersebut mengindikasikan bahwa nama baik suatu
perusahaan dimata shareholder tidak boleh luput dari tujuan perusahaan demi
menjaga keberlanjutan usahanya. Sedangkan disisi lain pengendalian atas
eksploitasi alam yang dilakukan oleh perusahaan dalam penegoperasian usahanya
dirasa sangat perlu untuk dimintai pertanggung jawabann akan hal tersebut.
Kebutuhan akan keharusan agar diadakannya suatu pertanggung jawaban sosial atas
dampak pengeksploitasian alam bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peran
perusahaan pada lingkungannya, baik itu yang berdampak baik dan buruk.
Maka berangkat dari hal tersebutlah perusahaan sekarang ini tidaklah dapat
lepas dari bagaimana keadaan alam sekitarnya. Perusahaan mau tidak mau pasti
memiliki dampak terhadap perubahan lingkungan alam sekitarnya, baik itu oleh
perusahaan yang sumber daya utamanya langsung bersumber dari alam maupun
yang tidak. Meskipun sumber daya utama suatu perusahaan tidak langsung
berhubungan dengan alam tetapi pasti setiap perusahaan memiliki limbah dari hasil
pengoperasiannya, maka dari hal tersebutlah yang langsung bersinggungan dengan
alam. Sedangkan jika hal tersebut tidak ditanggulangi secara komprehensif maka

5
6

kerusakan alam tidaklah dapat terhindarkan lagi, misalnya saja lumpur lapindo di
sidoarjo yang hingga hari ini tidak kunjung menunjukkan tanda tanda untuk dapat
dikembalikan pada bentuk asalnya.
Secara umum konsep pertanggung jawaban sosial perusahaan masa kini atau
yang biasa dikenal sebagai CSR sebenarnya bertumpu pada suatu kesamaan
pemahaman yaitu tentang bagaimana perusahaan menjalin relasi yang baik dengan
lingkungannya sebagai pembantu pemerintah dengan ikut andil dalam
menyejaterahkan masyarakat, menjaga kelestarian alam dan secara tidak langsung
menaikkan nilai perusahaan nya sendiri di mata masyarakat (Kotler dan Lee, 2005;
Wibisono, 2007; Lindawati dan Puspita, 2015). Lalu jika menelisik pada Undang
Undang No. 40 tahun 2007 dan Undang Undang No. 25 tahun 2007 pemahaman
mengenai CSR yang telah dijelaskan sebelumnya tidaklah terlalu jauh dari maksud
peraturan ini.
Corporate Social Responsibility jika diperhadapkan dengan ilmu akuntansi
tentulah memiliki suatu keterikatan yang begitu erat. Hal tersebut dikarenakan baik
secara langsung maupun tidak langsung CSR dapat mempengaruhi arus keuangan
perusahaan. Hal tersebut tercermin dalam setiap laporan keuangan suatu entitas
bisnis mengenai jumlah biaya CSR yang dikeluarkan setiap tahunnya.
Namun hal tersebut belum dibarengi dengan adanya suatu standar pelaporan
keuangan yang dapat menaungi pertanggung jawaban sosial perusahaan secara
komprehensif. Hal ini mungkin belum memiliki daya tarik bagi IAI sebagai
kompartemen yang menaungi dunia akuntansi Indonesia untuk segera menyusun
suatu regulasi terkait hal ini. Menurut Fatwatie (2015) PSAK yang disusun oleh IAI
belum sama sekali mengatur secara tegas mengenai sesuatu yang mengharuskan
perusahaan untuk melaporkan tanggung jawab sosial mereka. Pengelompokan,
pengukuran dan pelaporan juga belum diatur, jadi untuk pelaporan tanggung jawab
sosial diserahkan pada masing-masing perusahaan. Akibatnya terdapat multitafsir
dalam menyikapi PSAK No 1, sehingga kemungkinan akan berdampak pada tidak
seriusnya perusahaan dalam mengungkapkan tanggung jawab sosialnya yang
berakibat pula pada berbedanya tingkat pengungkapan sosial antar perusahaan.
Terlepas dari ada atau tidak nya mengenai regulasi akuntansi tentang
pertanggung jawaban sosial ini akuntansi tidak bisa lepas dari berbagai

6
7

pengeksploitasian lingkungan alam oleh perusahaan. Maka boleh dikata secara


tidak langsung IAI memiliki peran atas kerusakan alam di negeri ini. Hal tersebut
dikarenakan IAI sebenarnya memiliki kekuataan yang dapat mempengaruhi seluruh
kegiatan perusahaan untuk mengikuti kehendaknya karena telah beroperasi di
Indonesia. Kekuatan tersebut berupa kuasa dalam menentukan penyajian akun akun
yang harus ada pada laporan keuangan suatu perusahaan. Terlebih lagi kuasa
tersebut diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan IFRS. Apalagi
permasalahan ini berdampak pada lingkungan alam yang notabene telah menjadi
fokus utama bangsa bangsa di dunia selain dari kelaparan dan kesejahteraan.
Selain dari hal di atas ternyata jika dilihat dari sisi pemerintah permasalahan
serupa mengenai regulasi dari pihak pemerintah mengalami permasalahan yang
sama, yaitu tidak adanya regulasi yang mengatur secara komprehensif mengenai
permasalah pelaporan CSR ini. Hal ini juga dijelaskan oleh Muallidin dan Suryono
(2015) bahwa Pengaturan pengelolan program CSR menimbulkan berbagai
persoalan praktis dilapangan. Misalnya, dari sisi format yang tidak sama, bentuk
perundanagan, serta isi ketentuan yang berbeda. Seperti tidak adanya kelembagaan
daerah yang jelas yang menjadi pengawas pelaksanan program tersebut, munculnya
bermacam tafsir terhadap penggunaan dana CSR, ketidakjelasan hak dan kewajiabn
perusahan pemerintah maupun masyarakat penerima program, dan sistem evaluasi
pelaksanan CSR yang rancu. Ketidakharmonisan muncul juga karena tidak adanya
standar acuan yang diberikan oleh pemerintah pusat bagi pemerintah daerah dalam
mengatur pengelolaan program CSR. Standard acuan tersebut tentunya harus
dirumuskan dalam bentuk model kebijakan yang mengakomodasi kepentingan
pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat, tanpa menyampingkan kaidah–
kaidah hukum perundang undangan yang berlaku. Sehingga harmonisasi ini dapat
mengurangi hambatan dan menjaga efektifitas bekerjanya peraturan perundang-
undangan bagi pemerintah daerah.
Dari data di atas jelas bahwasanya secara langsung perusahaan besar berskala
international yang memiliki usaha di negeri ini telah berjasa besar dalam
meningkatkan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Hal tersebutlah yang
mengakibatkan keadaan iklim dunia hari ini terkhususnya di Indonesia menjadi
sudah tidak dapat diprediksi lagi, bencana banjir terjadi hampir disetiap daerah,

7
8

kekeringan pun semakin menjadi jadi dan kematian satwa pun tak dapat
terhindarkan dari kegiatan deforestasi ini.
Hal hal diatas menerangkan sekaligus memberikan dugaan bahwasanya
regulasi pemerintah hari ini mengenai perlindungan alam dan perseroan terbatas
sebagai pengelola sumber daya alam di Indonesia baik bagi perusahaan asing
maupun Badan Usaha Milik Negara masih patut untuk diperbincangkan bersama
mengenai kelangsungan alam Indonesia yang berada pada titik kritisnya. Hal
tersebut dikarenakan kian hari pengrusakan alam di negeri ini tidak menemui
perbaikan sama sekali, bahkan dirasa semakin bertambah parah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian
ini adalah: Bagaimanakah peran Corporate Social Responsibility dalam
penanggulangan kerusakan alam Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menilai sampai sejauh mana Corporate Social
Responsibility berperan dalam penanggulangan kerusakan alam hari ini.
D. Motivasi Penelitian
Berdasarkan isu penelitian ini, yaitu mengkaji mengenai peran Corporate
Social Responsibility, peneliti memberikan justifikasi atau motivasi mengapa isu
tersebut penting karena:
1. Isu global mengenai dampak kerusakan alam Indonesia hingga hari ini
sangatlah parah dan tidak dapat dibendung lagi.
2. Banyaknya perusahaan nakal yang tidak mementingkan dampak lingkungan
dari proses usahanya.
3. Kerusakan alam yang terjadi dapat menggambarkan kurang tegasnya
pemerintah terhadap perusahaan perusahaan yang merusak alam.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat memberikan sumbangan
acuan bagi para pemerintah yang terlibat atau para penyusun kebijakan yang
memiliki andil dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Jika
berdasarkan teori dalam penelitian ini maka diharapkan keputusan yang

8
9

mementingkan keberlanjutan pembangunan alam agar dapat bermanfaat bagi


masyarakat dan generasi kedepannya. Dan juga diharapkan dapat menguak inti
dari permasalahan yang terjadi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi suatu pertimbangan bagi
Pemerintah dan pihak-pihak yang terlibat dalam permasalahan ini agar lebih
menyadari akan pentingnya menjaga kestabilan alam negeri ini. Sehingga akan
tercipta suatu kestabilan ekosistem yang harmonis untuk diwariskan ke
generasi di masa yang akan datang.

9
10

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Stakeholder Theory
Stakeholders theory mennyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang
hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri namun harus memberikan manfaat
serta kontribusi untuk para stakeholder-nya (pemegang saham, kreditor, konsumen,
karyawan, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lainya). Gray (2006)
mengatakan bahwa kelangsungan hidup dari suatu perusahaan akan tergantung
pada stakeholder-nya, selain itu dukungan tersebut harus didapat sehingga aktivitas
perusahaan adalah untuk mencari dukungan dari stakeholder tersebut. Semakin
Powerfull stakeholder maka semakin besar peluang perusahaan untuk beradaptasi.
Pengungkapan sosial dianggap salah satu cara untuk komunikasi perusahaan
dengan stakeholdernya (Carroll & Shabana, 2010).
Definisi Stakeholder telah berubah secara susbtansial selama empat dekade
terakhir. Pada awalnya stakeholders hanya ada pada sudut pandang investor saja,
Pandangan ini didasarkan pada argument dari friedman. Menurut Benn dan Bolton
(2011) mengatakan bahwa tujuan utama perusahaan adalah untuk memaksimalkan
kemakmuran pemilik perusahaan. Namun demikian Freeman, et al., (2010) tidak
setuju dengan pandangan ini dan memperluas definisi stakeholders dengan
memasukan konstituen yang lebih banyak. Termasuk kelompok yang tidak
menguntukan seperti pihak-pihak tertentu dan regulator yaitu pemerintah.
(Windolph, et al, 2014).
Perusahaan akan mampu tumbuh dan berkembang dengan baik kemudian
menjadi big corporate dibutuhkan dukungan dari stakeholder-nya. Informasi atas
Aktivitas perusahaan seperti CSR sangat dibutuhkan oleh para stakeholder dalam
pengambilan keputusan. Oleh karena itu, perusahaan berusaha untuk memberikan
informasi demi menarik dukungan stakeholder-nya (Park & Brorson, 2005).
Warsono et al. (2009 : 36) mengungkapkan bahwa terdapat tiga argumen
yang mendukung pengelolaan perusahaan berdasarkan prespektif teori stakeholder,
yakni argumen deskriptif, argumen instrumental, dan argumen normatif.

10
11

1. Argumen deskriptif menyatakan bahwa pandangan pemangku


kepentingan secara sederhana merupakan deskripsi yang realistis
mengenai bagaimana perusahaan sebenarnya beroperasi atau bekerja.
Manajer harus memberikan perhatian penuh pada kinerja keuangan
perusahaan, akan tetapi tugas manajemen lebih penting dari itu. Untuk
dapat memperoleh hasil yang konsisten, manajer harus memberikan
perhatian pada produksi produk-produk berkualitas tinggi dan inovatif
bagi para pelanggan mereka, menarik dan mempertahankan karyawan-
karyawan yang berkualitas tinggi, serta mentaati semua regulasi
pemerintah yang cukup kompleks. Secara praktis, manajer
mengarahkan energi mereka terhadap seluruh pemangku kepentingan,
tidak hanya terhadap pemilik saja.
2. Argumen instrumental menyatakan bahwa manajemen terhadap
pemangku kepentingan dinilai sebagai suatu strategi perusahaan.
Perusahaan-perusahaan yang mempertimbangkan hak dan memberi
perhatian pada berbagai kelompok pemangku kepentingannya akan
menghasilkan kinerja yang lebih baik.
3. Argumen normatif menyatakan bahwa manajemen terhadap pemangku
kepentingan merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Perusahaan
mempunyai penguasaan dan kendali yang cukup besar terhadap banyak
sumber daya, dan hak istimewa ini menyebabkan adanya kewajiban
perusahaan terhadap semua pihak yang mendapat efek dari tindakan-
tindakan perusahaan.
B. Legitimacy Theory
Menurut Pellegrino dan Lhodia (2012) dalam Jannah dan Muid (2014), teori
legitimasi telah secara ekstensif digunakan untuk menjelaskan motivasi
pengungkapan lingkungan secara sukarela oleh organisasi. Teori legitimasi
menegaskan bahwa perusahaan terus berupaya untuk memastikan mereka
beroperasi dalam bingkai dan norma yang ada dalam masyarakat atau lingkungan
dimana perusahaan berada, dimana mereka berusaha untuk memastikan bahwa
aktivitas mereka (perusahaan) diterima oleh pihak luar sebagai suatu yang sah. Oleh
karena itu perusahaan melalui manajemennya berusaha memperoleh kesesuaian

11
12

antara tindakan organisasi dan nilai di dalam masyarakat. Yang melandasi teori
legitimasi adalah “kontrak sosial” yang terjadi antara perusahaan dengan
masyarakat dimana perusahaan beroperasi dan menggunakan sumber ekonomi
(Ghozali dan Chariri, 2007 : 412).
Ghozali dan Chariri (2007 : 412) memberikan penjelasan tentang konsep
kontrak sosial, bahwa semua organisasi memiliki kontrak sosial, baik yang eksplisit
maupun implisit, dimana kelangsungan hidup dan pertumbuhan organisasi
tergantung pada apa yang dapat dikontribusikan oleh organisasi kepada masyarakat
luas. Teori legitimasi mendorong perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas
dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Laporan aktivitas lingkungan
perusahaan yang dituangkan dalam sustainability report dapat digunakan oleh
perusahaan untuk membuktikan bahwa perusahaan telah menjalankan tanggung
jawab lingkungan.
C. Corporate Social Responsibility
Menurut The World Business Council for Suistainable Development
(WBCSD), Corporate Social Responsibility merupakan bentuk komitmen bisnis
untuk memberikan kontribusi dari pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui
kerjasama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga, komunitas
setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan
dengan cara yang bermanfaat bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan.
Ketenaran istilah CSR semakin menjadi ketika buku Cannibals With Forks:
The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) terbit di pasaran. Buku ini
adalah karangan John Elkington. Dalam Brundtland Report (1987), Elkington
mengemas CSR dan disingkat menjadi 3P yaitu profit, planet dan people. Di dalam
bukunya, ia menjelaskan bahwa Perusahaan yang baik tidak hanya memburu
keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap
kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). Menurut
Elkington, sebuah perusahaan tidak akan pernah menjadi besar jika lingkungan dan
masyarakat tidak mendukung.
Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) di Indonesia diatur
dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain: UU Nomor 25 tahun
2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang

12
13

Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), UU Nomor 22 Tahun 2001


tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara dan UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT).
Khusus di Indonesia, Menurut Saidi dan Abidin (2004) sedikitnya ada empat
model atau pola CSR yang umumnya diterapkan:
1. Keterlibatan langsung
Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan
menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan
ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah
perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya seperti
corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari
tugas pejabat public relation.
2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan
Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau
grupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan
oleh perusahaan di Negara maju. Biasanya, perusahaan menyediakan
dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara
teratur bagi kegiatan yayasan.
3. Bermitra dengan pihak lain
Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga
sosial atau organisasi non-pemerintahan, instansi pemerintahan,
universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam
melaksanakan kegiatan sosialnya.
4. Mendukung atau bergabung dalam konsorsium
Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu
lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan
dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah
perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”.
D. Pengungkapan CSR
Agar praktik CSR yang dilakukan dapat diketahui oleh para stakeholdernya,
perusahaan harus melakukan pengungkapan atas praktik CSR-nya. Pengungkapan praktik-
praktik CSR yang dilakukan oleh perusahaan menyebabkan perlunya memasukkan unsur
sosial dalam pertanggungjawaban perusahaan ke dalam akuntansi. Hal ini mendorong

13
14

lahirnya suatu konsep yang disebut sebagai Social Accounting, Socio Economic Accounting
atau pun Social Responsibility Accounting (Indira dan Apriyanti, 2005).
Pertimbangan aspek sosial ke dalam akuntansi telah dilakukan oleh Trueblood
Committee. Trueblood Committee dalam Zeff (1999) menyatakan bahwa tujuan sosial
perusahaan tidak kalah penting daripada tujuan ekonomi. Trueblood Committee Report
menyatakan
An objective of financial statements is to report on those activities of the enterprise
affecting society which can be determined and described or measured and which are
important to the role of the enterprise in its social environment.
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa tanggung jawab sosial perusahaan
(CSR) adalah bagian dari tujuan laporan keuangan. Gray et al. (1994) mendefinisikan
Social and environmental accounting sebagai:
…the process of communicating the social and environmental effects of
organizations’ economic actions to particular interest groups within society and to
society at large…
Dari definisi diatas akuntansi pertanggung jawaban sosial merupakan suatu proses
pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi
terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan masyarakat secara keseluruhan.
Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai isi dari pengungkapan
CSR itu sendiri (Ghozali dan Chariri, 2007). Dalam survei yang dilakukan oleh Ernst dan
Ernst,1998 (Ghozali dan Chariri, 2007) menemukan bahwa pengungkapan dikatakan
berkaitan dengan isu sosial (dan lingkungan) jika pengungkapan tersebut berisi informasi
yang dapat dikatagorikan ke dalam kelompok berikut ini :
1. Lingkungan
2. Energi
3. Praktik bisnis yang wajar (fair)
4. Sumber daya manusia
5. Keterlibatan masyarakat
6. Produk yang dihasilkan
7. Pengungkapan lainnya
E. Pengungkapan Emisi Karbon
Emisi karbon adalah pelepasan karbon ke atmosfer, terkait gas rumah kaca
yang khususnya CO2 (gas terbesar yang dihasilkan oleh aktivitas manusia), yang
terkait dengan proses produksi maupun penyediaan barang dan jasa (Linggarsari,
2015). Salah satu penyumbang emisi karbon terbesar adalah aktivitas operasional

14
15

dari perusahaan, yang dimana perusahaan saat ini masih banyak menggunakan
bahan bakar fosil sebagai sumber energinya (Shadiq dan Kartikasari, 2009).
Perusahaan dalam menghadapi perubahan iklim diharapkan mengungkapkan
aktivitasnya yang berperan terhadap perubahan iklim salah satunya pengungkapan
emisi karbon (carbon emission disclosure). Hal tersebut juga diiukti dengan
berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah serta tuntutan dari berbagai
stakeholder perusahaan.
Perusahaan dituntut untuk lebih terbuka terhadap informasi terkait segala
aktivitas yang dilakukan perusahaan dan bentuk pertanggungjawabannya (Pratiwi,
2013). Oleh karena itu pengungkapan dituntut lebih dari sekedar pelaporan
keuangan, tetapi meliputi pula penyampaian informasi kualitatif dan kuantitatif
seperti pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Clarkson et al.,
(2011) menyatakan bahwa pengungkapan lingkungan mencakup intensitas Green
House Gas (GHG) emission atau gas rumah kaca dan penggunaan energi, corporate
governance, dan strategi dalam kaitannya dengan perubahan iklim, kinerja terhadap
target pengurangan emisi gas rumah kaca, resiko dan peluang terkait dampak
perubahan iklim. Carbon Emission Disclosure merupakan salah satu dari
pengungkapan lingkungan yang merupakan bagian dari laporan tambahan yang
telah dinyatakan dalam PSAK No. 1 (revisi 2009) paragraf dua belas yaitu:
“Entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan
mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement),
khususnya bagi industri dimana faktor lingkungan hidup memegang peranan
penting dan bagi industri yang menganggap karyawan sebagai kelompok pengguna
laporan yang memegang peranan penting. Laporan tambahan tersebut di luar
lingkup Standar Akuntansi Keuangan.”
F. Tekanan Stakeholder
Stakeholders adalah suatu kelompok atau individu yang memiliki
kepentingan dan dapat memengaruhi jalannya operasional perusahaan atau yang
menyangkut masalah kelangsungan hidup (going concern) perusahaan (Abdullah et
al., 2015). Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh
dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut. Kasali
dalam Wibisono (2007 : 90) membagi stakeholder sebagai berikut:

15
16

1. Stakeholder internal dan stakeholder eksternal


Stakeholder internal adalah stakeholder yang berada di dalam
lingkungan organisasi. Misalnya karyawan, manajer dan pemegang
saham (shareholder). Sedangkan stakeholder eksternal adalah
stakeholder yang berada di luar lingkungan organisasi, seperti penyalur
atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah, pers,
kelompok sosial, responsible investor, licensing partner dan lain-lain.
2. Stakeholder primer, sekunder, dan marjinal
Tidak semua elemen dalam stakeholder perlu diperhatikan.
Perusahaan perlu menyusun skala prioritas. Stakeholder yang paling
penting disebut stakeholder primer, stakeholder yang kurang penting
disebut stakeholder sekunder dan yang biasa diabaikan disebut
stakeholder marjinal. Urutan prioritas ini berbeda bagi setiap perusahaan
meskipun produk atau jasanya sama. Urutan ini juga bisa berubah dari
waktu ke waktu.
3. Stakeholder tradisional dan stakeholder masa depan
Karyawan dan konsumen dapat disebut sebagai stakeholder
tradisional, karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi.
Sedangkan stakeholder masa depan adalah stakeholder pada masa yang
akan datang diperkirakan akan memberikan pengaruhnya pada organisasi
seperti mahasiswa, peneliti, dan konsumen potensial.
4. Proponents, opponents, dan uncommitted
Diantara stakeholder ada kelompok yang memihak organisasi
(proponents), menentang organisasi (opponents) dan ada yang tidak
peduli atau abai (uncommitted). Organisasi perlu mengenal stakeholder
yang berbeda-beda ini agar dapat melihat permasalahan, menyusun
rencana dan strategi untuk melakukan tindakan yang proposional.
5. Silent majority dan vocal minority
Dilihat dari aktivitas stakeholder dalam melakukan complain atau
mendukung perusahaan, tentu ada yang menyatakan pertentangan atau
dukungannya secara vocal (aktif) namun ada pula yang menyatakan
secara silent (pasif).

3gggg
16
17

Terdapat beberapa alasan yang mendorong perusahaan perlu memerhatikan


kepentingan stakeholder (Iryanie, 2009), yaitu:
1. Isu lingkungan melibatkan kepentingan berbagai kelompok dalam
masyarakat yang dapat mengganggu kualitas hidup mereka.
2. Dalam era globalisasi telah mendorong produk-produk yang
diperdagangkan harus bersahabat dengan lingkungan.
3. Para investor dalam menanamkan modalnya cenderung untuk memilih
perusahaan yang memiliki dan mengembangkan kebijakan dan program
lingkungan.
4. LSM dan pecinta lingkungan makin vokal dalam mengkritik perusahaan-
perusahaan yang kurang peduli terhadap lingkungan.
G. Deforestasi Hutan Indonesia
Indonesia memiliki peranan penting di dunia, karena merupakan salah satu
negara dengan hutan terluas di dunia. Hutan hujan tropis Indonesia menempati
peringkat ketiga (sesudah Brazil dan Zaire) dalam kekayaan keanekaragaman
hayati, sekaligus merupakan hutan hujan terluas di Asia. Hutan Indonesia
diandalkan sebagai paru-paru dunia, serta diharapkan mampu menyumbang pada
pengurangan emisi gas rumah kaca.
Pada tingkat nasional, hutan berperan penting sebagai modal pembangunan
nasional dan memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa
Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi secara seimbang
dan dinamis. Hutan mendukung siklus hidrologi yang menentukan daya dukung
dan daya tampung daerah aliran sungai, karena secara tidak langsung menahan
bencana banjir dan tanah longsor. Sebagai ekosistem yang kaya akan
keanekaragaman hayati berupa beragam jenis hewan dan tumbuhan, hutan berperan
dalam penyediaan jasa lingkungan dan tempat bergantung masyarakat yang hidup
di sekitarnya.
Peran hutan bagi Indonesia semakin penting karena separuh wilayah
Indonesia ditutupi hutan. Menurut data luas tutupan lahan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2015) lahan berhutan di Indonesia seluas 95 juta
hektar, atau sekitar 50,6 persen dari wilayah Indonesia.

17
18

Masing-masing kawasan hutan mempunyai fungsi dalam mendukung


ekosistem maupun ekonomi. Produksi hasil hutan penting bagi pemenuhan
konsumsi masyarakat, industri dan pemenuhan ekspor. Dalam mendukung fungsi
ekonomi hutan, eksploitasi dapat dilakukan sesuai daya dukung hutan dengan
mempertimbangkan kelestarian kawasan hutan. Pemerintah khususnya KLHK
mengeluarkan berbagai izin yang terkait fungsi hutan dalam mendukung
perekonomian, di antaranya izin usaha pemanfaatan kayu, izin industri primer hasil
hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan untuk usaha pertambangan, sampai izin
pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan dan pertanian tanaman pangan.
Luas hutan Indonesia mencapai 95 juta hektar atau sekitar 50,6 persen luas
wilayah Indonesia (Purba et al., 2017). Masing-masing kawasan memiliki fungsi
dalam mendukung ekosistem dan ekonomi. Fungsi ekonomi hutan sebagai bahan
baku industri, perdagangan luar negeri, dan konsumsi penduduk untuk makanan,
bahan, dan energi telah memberi tekanan besar pada hutan. Total deforestasi di
Indonesia pada 2014-2015 mencapai 1,09 juta hektar (KLHK, 2017). Deforestasi
menurut KLHK (2015) merupakan perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan
menjadi bukan hutan (termasuk perubahan untuk perkebunan, permukiman,
kawasan industry, dan lain-lain). Deforestasi menurut KLHK (2017) terluas terjadi
di Pulau Sumatera, yaitu 519,0 ribu hektar atau 47,5 persen dari total deforestasi,
kemudian pulau Kalimantan sebesar 34,3 persen. Salah satu penyebab tingginya
deforestasi di 2015 karena kebakaran hutan seluas 250,9 ribu hektar. Hampir 75
persen area deforestasi dibiarkan menjadi lahan terbuka, lalu 9,5 persen menjadi
semak belukar. Area deforestasi berasal dari hutan tanaman seluas 441,9 ribu hektar
(36,1 persen) dan hutan rawa sekunder seluas 267,9 ribu hektar (21,9 persen).
Menurut laporan Greenpeace (2018) sektor perkebunan kelapa sawit dan
bubur kertas merupakan pemicu tunggal terbesar penggundulan hutan di Indonesia
dan Malaysia. Menurut angka-angka yang dikeluarkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2017) Republik Indonesia, sekitar 24
juta hektar (ha) hutan hujan negara ini dihancurkan antara tahun 1990 dan 2015,
sebuah wilayah yang hampir seluas negara Inggris, dengan kehilangan 1,6 juta ha
lebih antara tahun 2015 dan 2017. Sekitar seperlima (19%) dari deforestasi
Indonesia antara tahun 2015–2017 terjadi di konsesi kelapa sawit.

18
19

Pengembangan perkebunan merupakan akar penyebab kebakaran hutan dan


lahan gambut di Indonesia, di mana banyak kebakaran merupakan kegiatan
disengaja untuk membersihkan lahan sebelum penanaman. Pada bulan Juli 2015,
kebakaran hutan dan lahan gambut yang menghancurkan, meluas di banyak
wilayah Sumatra, Kalimantan dan Papua menghentikan operasi penerbangan serta
memaksa penutupan sekolah dan kantor di seluruh wilayah tersebut. Selama bulan
September dan Oktober 2015, emisi gas rumah kaca (GRK) harian dari kebakaran
hutan di Indonesia menyumbang sebanyak 1,62 miliar metrik ton karbon dioksida
ke langit (Harris et al., 2015 dalam Greenpeace, 2018). Kebakaran-kebakaran ini
juga menghasilkan kabut asap yang merugikan jutaan orang di Asia Tenggara, para
peneliti di Universitas Harvard dan Columbia memperkirakan, bahwa 100.000
orang mengalami kematian dini akibat penyakit pernapasan yang terkait dengan
kabut asap tahun 2015 dan bank dunia menghitung biaya kerugian akibat bencana
ini mencapai US$ 16 miliar (Koplizt et al., 2016).
Deforestasi untuk perkebunan bubur kertas dan kelapa sawit telah
menghancurkan hutan-hutan dataran rendah di Sumatra dan Kalimantan,
menghancurkan habitat penting untuk harimau, gajah, badak, orangutan dan spesies
terancam punah lainnya. Para ilmuwan memperkirakan bahwa hanya tersisa dua
populasi kembang biak yang layak dari harimau Sumatra di alam liar (Luskin et al.,
2017). Jumlah orangutan Borneo mengalami penurunan lebih dari 50% antara tahun
1999 dan 2015, dengan tidak lebih dari 70.000–100.000 ekor yang tersisa (Voight
et al., 2018). Pada tahun 2015–2017, lebih dari seperempat (28%) dari hilangnya
habitat orangutan Borneo di hutan Indonesia terjadi di konsesi kelapa sawit. Lebih
dari 69% habitat potensial untuk gajah Sumatra telah dihancurkan hanya dalam satu
generasi. Badak Sumatera dikatakan dalam kondisi kritis, dengan kurang dari 100
ekor yang tersisa di alam liar (Greenpeace, 2018). Krisis di Indonesia berisiko
kembali terjadi karena industri kelapa sawit meluas ke negara-negara dan wilayah-
wilayah baru: menurut Lembaga konservasi dunia, International Union for
Conservation of Nature (IUCN), kawasan yang belum dikembangkan dan cocok
untuk produksi minyak sawit merupakan tempat tinggal bagi setengah dari mamalia
terancam di dunia, dan hampir dua pertiga dari semua burung yang terancam
(Meijaard et al., 2018).

19
20

H. Paradigma Kritis
Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang
meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya
(Irwanto, 2013). Fakta menyatakan bahwa paradigm kritis yang diinspirasikan dari
teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam seluruh filosofi
pengetahuannya. Pengaruh ide Marxisme-Neo Marxisme dan teori kritis
mempengaruhi filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Paradigma ini berasumsi
realitas suatu hal yang tidak netral namun terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi,
politik dan sosial. Sebab itu, paradigma kritis mengedepankan pembebasan nilai
dominasi dari kelompok yang ditindas. Paradigma ini lebih dipahami sebagai
proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan (Rozi,
2014). Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut
perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau
manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan.
Menurut Tilling dan Carol (2013) tindakan kritis merupakan sebuah
perpecahan yang telah melahirkan suatu konsep yang bertujuan untuk melestarikan
budaya manusia dan nilai-nilai transedental tertentu, untuk menghidupkan kembali
moralitas manusia dan digunakan dalam mengembangkan, mengeksplorasi dan
mendukung berbagai perspektif dalam literature akuntansi. Asumsi dasar dalam
paradigma kritis berkaitan dengan keyakinan bahwa ada kekuatan laten dalam
masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini
berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi
masyarakat
Paradigma kritikal melihat bahwa pengkonstruksian suatu realitas itu
dipegaruhi oleh faktor kesejarahan dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi,
politik, dan media yang bersangkutan. Hal-hal kritis hadir untuk memecahkan suatu
masalah atau situasi yang menimbulkan tanda tanya dan memerlukan upaya untuk
mencari jawabannya serta penetapan fokus atau masalah dalam suatu riset yang
bersifat kualitatif yang akan dipastikan sewaktu peneliti berada pada fenomena
akuntansi yang diriset (Sukoharsono, 2014).
Paradigma kritis berangkat dari cara melihat realitas dengan mengasumsikan
bahwa selalu saja ada struktur sosial yang tidak adil. Paradigma kritis (critical

20
21

paradigm) mempunyai maksud dan implikasi praktis dan berpengaruh terhadap


perubahan social. Paradigma ini tidak sekedar melakukan kritik terhadap
ketidakadilan sistem yang dominan yaitu sistem sosial kapitalisme, melainkan suatu
paradigma untuk mengubah sistem dan struktur tersebut menjadi lebih adil (Yasir,
2012).
Dalam penelitian paradigma kritis tujuannya ialah melihat bahwa objek atau
realitas sosial yang diamati merupakan penampakan realitas semu (virtual reality)
atau sekedar ekspresi kesadaran palsu (false consciousness) yang dimiliki manusia,
bukan merpakan suatu realitas objektif, atau realitas yang sesuai dengan esensi
sebenarnya yang diyakini seharusnya dimiliki manusia dan dunianya (Hidayat,
2002). Tujuannya antara lain untuk memperoleh temuan yang memiliki signifikansi
sosial.
I. Kerangka Pikir
Rerangka pikir pada penelitian ini disusun berdasarkan bagaimana alur
analisis mengenai permasalahan yang inngin dikaji. Fokus penelitian ini yakni pada
bagaimana mengungkap makna dibalik kerusakan alam yang disebabkan oleh
proses produksi perusahaan yang “nakal”. Secara lengkap rerangka pikir penelitian
ini disajikan sebagai berikut:

21
22

Pihak Penyusun
Pihak Perusahaan
Regulasi

Regulasi CSR

Paradigma Kritis Studi Hermeneutika

Pengelolaan CSR

Laporan Dampak Analisis Makna


Kerusakan Alam Dibalik Kejadian

Inti Permasalahan
Kerusakan Alam

Saran
Penanggulangan
Permasalahan yang
Terjadi

22
23

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam kelompok penelitian kualitatif. Miles dan
Huberman dalam Amaliah (2014), menjelaskan bahwa penelitian kualitatif
berusaha mengungkapkan berbagai keunikan yang terdapat pada individu,
kelompok, masyarakat atau organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara
menyeluruh, rinci, dalam dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kemudian Ia menyimpulkan bahwa penelitian kualitatif merupakan suatu aktivitas
yang menempatkan peneliti di dunia yang memiliki banyak interpretasi sehingga
membuat dunia semakin terbuka untuk memberikan pengertian tentang apa yang
sebenarnya terjadi. Penelitian kualitatif didasarkan pada dua alasan, pertama
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini membutuhkan sejumlah data
lapangan yang sifatnya aktual dan kontekstual. Kedua, pemilihan pendekatan ini
didasarkan pada keterkaitan masalah yang dikaji dan tidak dapat dipisahkan oleh
fakta alamiahnya. Penelitian kualitatif menghasilkan analisis tentang kegiatan,
proses atau peristiwa-peristiwa penting (Sudjana, 2009)
Penelitian kualitatif disebut interpretative inquiry karena banyak melibatkan
faktor subjektif, baik dari informan, subjek penelitian maupun peneliti itu sendiri
(Irawan, 2006). Strauss dan Corbin (2003) menyatakan, bahwa istilah penelitian
kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui
prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Dia bisa saja menggunakan data
yang dapat dihitung, misalnya data sensus, namun analisisnya bersifat kualitatif.
B. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini didasarkan oleh paradigma kritis dengan pendekatan
hermeneutika kritis oleh Jurgen Hambermas. Istilah teori kritis (critical
theory) pertama kali dikenalkan oleh Max Horkheimer dan pada mulanya hanya
merujuk secara khusus kepada tradisi Mazhab Frankfurt yang di antara tokohnya
adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor W. Adorno (1903-1969), Herbert
Marcuse (1898-1979), dan Jurgen Habermas (1929-). Seiring dengan
perkembangan ilmu sosial, istilah tersebut mempunyai konotasi yang lebih

23
24

luas, termasuk di dalam tradisi teori post-modernisme dan feminism, yang


bermazhab tradisi filsafat Prancis (Agger, 1992).
Hermeneutika ini lebih mengedepankan refleksi kritis penafsir dan menolak
kehadiran prasangka dan tradisi. Karena itu, untuk memahami suatu teks, seorang
penafsir harus mampu mengambil jarak atau lemalngkah keluar dari tradisi dan
prasangka. Hanya dengan cara demikian hermeneutika mampu mengemban tugas
untuk mengembangkan masyarakat komunikatif yang universal (Attamimi,
2012).
Secara metodologis, hermeneutika kritis Habermas dibangun di atas klaim
bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias-bias dan unsur-unsur
kepentingan politik, ekonomi, sosial, termasuk bias stata kelas, suku dan gender.
Dengan menggunakan metode ini, konsekuensinya kita harus curiga dan
waspada, atau dengan kata lain kritis, terhadap bentuk tafsir atau pengetahuan
atau jargon-jargon yang dipakai dalam sains dan agama (Zarkasy, 2004).
Penggunaan hermeneutika dalam penelitian ini untuk memahami dan
menginterpretasikan makna di balik laporan keuangan perusahaan yang syarat akan
makna kejadian dan kepentingan tertentu. Hemeneutika kritis dalam penelitian ini
ditinjau berdasarkan data data terkait kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
perusahaan perusahaan Indonesia terkhususnya mengenai kerusakan hutan di
Kalimantan dan Sumatera. Data data juga berasal dari berbagai sumber pemberitaan
media massa dari sumber media massa yang terpercaya mengenai kerusakan
lingkungan yang diakibatkan oleh perusahaan perusahaan tersebut.
C. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini ialah berupa data sekuder. Data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari sumber yang telah ada atau dengan kata
lain data diperoleh secara tidak langsung melainkan melalui media perantara
(diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder dalam penelitian ini
yaitu berupa jurnal-jurnal atau peraturan pemerintah dan berita mengenai
permasalahan yang menjadi panduan dalam memahami data-data penelitian
dan dokumen dokumen yang didapatkan.
D. Metode Pengumpulan Data

24
25

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini digunakan dua metode yaitu
metode sekunder dan metode primer. Adapun pengumpulan datanya adalah :
1. Penelitian Kepustakaan, kegiatan yang dilakukan dalam penelitian
kepustakaan ini adalah melakukan kajian pada sumber bacaan dan
berbagai penelitian terdahulu untuk mengetahui kaitan antara penelitian
yang penulis lakukan dengan penelitian sebelumnya.
2. Studi Dokumentasi, merupakan pengumpulan data berupa data-data
sekunder yang berupa dokumen-dokumen, foto, tabel dan grafik yang
memuat penjelasan mengenai perusahaan,
3. Internet Searching, dilakukan dengan mengumpulkan berbagai tambahan
referensi yang bersumber dari internet guna melengkapi referensi penulis
serta digunakan untuk menemukan fakta atau teori berkaitan masalah
yang diteliti.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah laptop untuk mencari
artikel ataupun literatur yang yang terkit dengan penelitian. Namun, dalam
penelitian kualitatif instrument terpenting adalah diri peneliti itu sendiri.
F. Metode Analisis Data
1. Reduksi Data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan
membuang yang tidak perlu (Sugiyono, 2009). Reduksi data bisa
dilakukan dengan jalan melakukan abstrakasi. Abstraksi merupakan usaha
membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang
perlu dijaga sehingga tetap berada dalam data penelitian (Moleong, 2001).
Dengan kata lain proses reduksi data ini dilakukan oleh peneliti secara
terus menerus saat melakukan penelitian untuk menghasilkan catatan-
catatan inti dari data yang diperoleh dari hasil penggalian data.
2. Penyajian data
Menurut Idrus (2009) bahwa penyajian data adalah sekumpulan
informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan. Langkah ini dilakukan dengan menyajikan sekumpulan

25
26

informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan


kesimpulan. hal ini dilakukan dengan alasan data-data yang diperoleh
selama proses penelitian kualitatif biasanya berbentuk naratif, sehingga
memerlukan penyederhanaan tanpa mengurangi isinya.
3. Kesimpulan atau verifikasi
Kesimpulan atau verifikasi adalah tahap akhir dalam proses analisa
data. Pada bagian ini peneliti mengutarakan kesimpulan dari data-data
yang telah diperoleh. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mencari makna data
yang dikumpulkan dengan mencari hubungan, persamaan, atau perbedaan.
Penarikan kesimpulan bisa dilakukan dengan jalan membandingkan
kesesuaian pernyataan dari subyek penelitian dengan makna yang
terkandung dengan konsep-konsep dasar dalam penelitian tersebut.
G. Uji Keabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif, pengujian keabsahan data untuk mendapatkan
nilai kebenaran terhadap penelitian disebut juga dengan uji kredibilitas (credibility).
Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif dapat
dilakukan antara lain dengan cara perpanjangan pengamatan, peningkatan
ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis
kasus negatif, dan membercheck. Namun karena penelitian ini menggunakan
berbagai sumber data dan teori dalam menghasilkan data dan informasi yang
akurat, maka cara yang tepat digunakan adalah dengan menggunakan metode
triangulasi. Terkait dengan pemeriksaan data, triangulasi berarti suatu teknik
pemeriksaan keabsahan data yang dilakukan dengan cara memanfaatkan hal-hal
(data) lain untuk pengecekan atau perbandingan data (Moleong, 2001). Triangulasi
meliputi empat hal yaitu triangulasi metode, triangulasi antar peneliti, triangulasi
sumber dan triangulasi teori. Namun peneliti hanya menggunakan dua dari empat
jenis triangulasi untuk menyelaraskan dengan penelitian ini, yaitu :
1. Triangulasi sumber data
Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informasi
tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data.
Misalnya,selain melalui wawancara dengan informan, peneliti bisa
menggunakan sumber data pendukung lainnya seperti dokumen tertulis,

26
27

arsip, dokumen sejarah, catatan resmi, catatan atau tulisan pribadi dan
gambar atau foto. Tentu masing-masing cara itu akan menghasilkan
bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan memberikan
pandangan (insights) yang berbeda pula mengenai fenomena yang
diteliti. Berbagai pandangan itu akan melahirkan keluasan pengetahuan
untuk memperoleh kebenaran handal.
2. Triangulasi Teori
Triangulasi teori adalah hasil akhir penelitian kualitatif berupa
sebuah rumusan informasi atau thesis statement. Informasi tersebut
selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang relevan untuk
menghindari bias individual peneliti atas temuan atau kesimpulan yang
dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman
pemahaman asalkan peneliti mampu menggali pengetahuan teoretik
secara mendalam atas hasil analisis data yang telah diperoleh.

27
28

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M Wahyuddin., Saiful Muchlis dan Sri Nirmala Sari. 2015. Pengaruh
Tekanan Stakeholders dan Tanggung Jawab Sosial terhadap Penerapan
Akuntansi Lingkungan di Kawasan Industri Makassar. Assets. 5(1): 1-10.

Agger, Ben. 1992. Postmodernism: Ideology or Critical Theory, dalam The Discourse
of Domination: From Frankfurt School to Postmodernism. Illinois:
Northwestern University Press.

Attamimi, Faisal. 2012. Hermeneutika Gadamer dalam Studi Teologi Politik. Hunafa:
Jurnal Studia Islamika. 9 (2), 275-297.

Benn, S. & Bolton, D. 2011. Key Concepts in Corporate Social Responsibility. 1 ed.
Los Angeles: Sage.

Carroll, A. B. & Shabana, K. M. 2010. The Business Case for Corporate Social
Responsibility: A Review of Concepts, Research and Practice. International
Journal of Management Reviews, 12(1), pp. 85-105.

Clarkson, M. 1995. A Stakeholder Framework for Analyzing and Evaluating Corporate


Social Performance. Academy of Management Review. 20(1), 92-117.

Clarkson, Peter M., Michael B. Overell dan Larelle Chapple. 2011. Environmental
Reporting and its Relation to Corporate Environmental Performance. Abacus
Journal. 47(1): 27-60.

Fatmawatie, Naning. 2015. Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)


dalam Akuntansi Sosial Ekonomi Ditinjau dari Syariah. Jurnal Ekonomi
Syariah. 3 (2), 221- 237.

Freeman, E. R. et al. 2010. Stakeholder Theory - The State of the Art. United Kingdom:
Cambridge University Press.

Ghozali, Imam dan Anis Chariri. 2007. Teori Akuntansi. Semarang: BP UNDIP.

Gray, Rob. 2006. Social, environmental and sustainability reporting and organisational
value creation?. Accounting, Auditing & Accountability Journal. 19 (6), 793 –
819.

Gray, R., R. Kouhy, dan S. Lavers. 1995. Corporate Social and Environmental
Reporting. A Review of the Literature and a Longitudinal Study of UK
Disclosure. Accounting, Auditing and Accountability Journal. 8(2)pp. 47-77.

Greenpeace. 2018. Hitung Mundur Terakhir. Belanda: Greanpeace International.

Haque, Shamima & Muhammad Azizul Islam. 2012. Stakeholder Pressures and Climate
Change Disclosure: Australian Evidence. Open Confrence Proceeding
AFAANZ Melbourne.

28
29

Hidayat, Dedy. 2002. Metodologi Penelitian Dalam Sebuah “Multi-Paradigm Science”.


Mediator. 3(2): 197-220.

Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.151.

Indira, J. dan D. Apriyanti. 2005. Pengaruh Tanggung Jawab Sosial Perusahaan


Terhadap Kinaerja Keuangan. Jurnal Maksi. 5(2). 227-243.

Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 2013. Metodologi Penelitian Bisnis.


Yogyakarta: Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.

Irawan, P. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta:
Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UI.

Iryanie, Emy.2009.Komitmen Stakeholder Perusahaan Terhadap Kinerja Sosial dan


Kinerja Keuangan. Semarang: Universitas Diponegoro.

Irwanto. 2013. Media Massa Dalam Tinjauan Kritis. Jurnal Komunikasi. 4(1): 30-35.

Jannah, Richatul dan Dul Muid. 2014. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Carbon Emission Disclosura pada Perusahaan di Indonesia (Studi Empiris pada
Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2012).
Diponegoro Journal of Accounting. 3(2): 2337-3806.

Jensen, M.C. & Meckling W. H. 1994. The Nature of Man. Journal of Applied
Corporate Finance. 7, 4-19.

KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). 2015. Deforestasi Indonesia


Tahun 2013-2014. Jakarta.

KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). 2017. Deforestasi Indonesia


Tahun 2014-2015. Jakarta.

Kotler, P dan N Lee. 2005. Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for
Your Company and Your Cause. New Jersey: John Wiley and Sons.

Koplitz, Shannon N., Loretta J Mickley, Miriam E Marlier & Jonathan J Buonocore.
2016. Public health impacts of the severe haze in Equatorial Asia in
September–October 2015: demonstration of a new framework for informing
fire management strategies to reduce downwind smoke exposure. Environment
Research Letters. 11 (2016) 094023.

Lindawati, Ang Swat Lin & Marsella Eka Puspita. 2015. Corporate Social
Responsibility: Implikasi Stakeholder dan Legitimacy GAP dalam Peningkatan
Kinerja Perusahaan. Jurnal Akuntansi Multiparadigma. 6 (1), 157-174.

Linggasari, Elsa. 2015. Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Carbon Emission


Disclosure (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia Periode 2011-2013). Diponegoro Journal of Accounting. 1-18.

29
30

Luskin, M.S., Wido Rizki Albert & Mathias W. Tobler. 2017. Sumatran Tiger Survival
Threatened by Deforestation Despite Increasing Densities in Parks. Nature
Communication. 8 (1).

Meijaard, E., Garcia-Ulloa, J., Sheil, D., Wich, S.A., Carlson, K.M., Juffe-Bignoli, D.,
and Brooks, T.M. 2018. Oil palm and biodiversity. A situation analysis by the
IUCN Oil Palm Task Force. Switzerland: IUCN Oil Palm Task Force.

Muallidin, Isnaini & Leli Joko Suryono. 2015. Model Kebijakan Pemerintah Daerah
dalam Pengelolaan Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Berbasis
Regulasi Daerah. Jurnal Media Hukum. 22 (1), 128-139.

Moleong, J.L. 2001. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Munawaroh, Aisyatul. 2014. Pengaruh Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan Dengan


Corporate Social Responsibilty Sebagai Variabel Moderating. Jurnal Ilmu &
Riset Akuntansi. 3 (4).

Saidi, Zaim dan Hmid, Abidin. 2004. Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktek
Kedermawanan Sosial di Indonesia. Piramida: Jakarta

Setiowati, Ardhy Pratiwi. 2010. Analisis Hubungan Kinerja Lingkungan dan Kinerja
Keuangan Perusahaan Pertambangan. Economic Review Journal Universitas
Indonesia. 1-27.

Shodiq, M. Ja’far & Lisa Kartikasari. 2009. Carbonaccounting: Implikasi Strategis


Perekayasaan Akuntansi Manajemen. Simposium Nasional Akuntansi XII,
Palembang.

Shodiq, M. Ja’far & Yogi Trisita Febri. 2015. Sistem Akuntansi dan Pelaporan Emisi
Karbon: Dasar Pengembangan Standar Akuntansi Karbon (Studi ekplorasi pada
perusahaan manufaktur di BEI). Simposium Nasional Akuntansi XVII Medan.

Sigmund, K. 2010. The Calculus of Selfishness. Princeton: Princeton University Press.

Strauss, A. dan J. Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif Tata langkah dam
Teknik-teknik Teoritisi Data. (Muhammad Shodiq dan Iman Muttaqien
Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudaryati, Dwi dan Nafi’ Inayati
Zahro, Auditing Forensik Dan Value For Money Audit, ISSN : 1979-6889.

Sukoharsono, Eko Ganis. 2014. Refleksi Ethnografi Kritis: Pilihan Lain Teknik Riset
Akuntansi. Accounting Research Training Series 5-Kritis PDIA-PMA JAFEB
Universitas Brawijaya. Hal: 1-16.

Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif R & D. Bandung:


Alfabeta. 338.

30
31

Tilling, Mr. Matthew end Carol Tilt. 2013. Alas Poor Critical Accounting, We Knew
Him, Karl. School of Commerce. Research Paper Series: 02-3. ISSN: 1441-
3906. Hal: 1-10.

Thaler, R. H. 2000. From Homo Economicus to Homo Sapiens. The Journal of


Economic Perspectives. 14, 133-141.

Triyuwono, Iwan. 2015. Awakening The Conscience Inside: The Spirituality of Code of
Ethics for Professional Accountants. Procedia-Social and Behavioral Sciences.
172, 254 – 261.

United Nations. 2017. Goal 13 : Take Urgent Action to Combat Climate Change and Its
Impacts. http://www.un.org/sustainabledevelopment/climatechange-2/. Diakses
pada tanggal 15 Des 2018.

Park, J. & Brorson, T. 2005. Experiences of and Views on Third-party Assurance of


Corporate Environmental and Sustainability Reports. Journal of Cleaner
Production.13(10/11), pp. 1095-1106.

Pratiwi, KP dan Anis Chariri. 2013. Environmental Incident, Pemberitaan Media dan
Praktik Pengungkapan Lingkungan (Environmental Disclosure): Studi pada
Sustainability Report Asia Pulp and Paper Co., Ltd. Diponegoro Journal of
Accounting. 2(1): 1-32.

Purba, Winda Sartika, Pramudya Ajeng Safitri dan Riski Andianti. 2017. Statistik
Lingkungan Hidup Indonesia 2017. Jakarta: Badan Pusat Statistik
Indonesia/BPS.

Rozi, Achmad Bahrur. 2014. Pendidikan Dalam Perspektif Kritis (Ke Arah
Kontekstualisasi Pendidikan Yang Membebaskan). Jurnal Pelopor Pendidikan.
5(1): 31-38.

Voight, Maria, Serge A. Wich, Marc Ancrenaz, et al. 2018. Global Demand for Natural
Resources Eliminated More Than 100,000 Bornean Orangutans. Current
Biology. 28(5): 761-769.

Warsono, dkk. 2009. Corporate Governance; Concept and Model. Yogyakarta: BPFE,
UGM.

Wibisono, Y. 2007. Membedsah Konsep & Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing.

Windolph, S. E., Harms, D. & Schaltegger, S. 2014. Motivations for Corporate


Sustainability Management: Contrasting Survey Results and Implementation.
Corporate Social Responsibility and Environmental Management, Volume 21,
pp. 272-286.

Xin, Z. & Liu, G. 2013. Homo Economicus Belief Inhibits Trust. PLoS ONE. 8 (10).

Yasir. 2012. Paradigma Komunikasi Kritis: Suatu Alternatif Bagi Ilmu Komunikasi.
Jurnal Ilmu Komunikasi. 1(1): 8-17.

31
32

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2004. Menguak Nilai di balik Hermeneutika. ISLAMIA. 1 (1).

Zeff, S. A. 1999. The Evolution of The Conceptual Framework for Business


Enterprises in The United States. Accounting Historians Journal. 26(2). pp. 89-
131

32

Anda mungkin juga menyukai