Disusun oleh:
AGUM GUMELAR
196020300111017
PENDAHULUAN
Kinerja perusahaan merupakan suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan
selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan
operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Kinerja merupakan
suatu istilah secara umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau
aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode dengan referensi pada jumlah standar
seperti biaya-biaya masa lalu atau yang diproyeksikan, dengan dasar efisiensi,
pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen dan semacamnya (Srimindarti, 2004).
Salah satu tujuan penting pendirian suatu perusahaan adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan pemiliknya atau pemegang saham, atau memaksimalkan kekayaan pemegang
saham melalui peningkatan kinerja perusahaan. Peningkatan kinerja perusahaan tersebut
dapat dicapai jika perusahaan mampu beroperasi dengan mencapai laba yang ditargetkan.
Melalui laba yang diperoleh tersebut perusahaan akan mampu memberikan dividen kepada
pemegang saham, meningkatkan pertumbuhan perusahaan dan mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Namun di lain pihak, manajer sebagai pengelola perusahaan
mempunyai tujuan yang berbeda terutama dalam hal peningkatan prestasi individu dan
kompensasi yang akan diterima. Jika manajer perusahaan melakukan tindakan-tindakan yang
mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan investor maka akan
menyebabkan jatuhnya harapan para investor tentang pengembalian (return) atas investasi
yang telah mereka tanamkan. Oleh karenanya dibutuhkan adanya suatu perlindungan
terhadap berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut (Almilia dan Sifa,
2006).
Ada beberapa hambatan yang dihadapi perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan
yang pada umumnya hanya berkisar pada hal-hal yang sifatnya fundamental yaitu: 1)
Perlunya kemampuan perusahaan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya secara
efisien dan efektif, yang bisa mencakup seluruh bidang aktivitas (sumber daya manusia,
akuntansi, manajemen, pemasaran dan produksi), 2) Adanya konsistensi terhadap system
pemisahan antara pemegang saham dan manajemen, sehingga secara praktis perusahaan
nanti mampu meminimalkan konflik kepentingan yang mungkin terjadi antara pemegang
saham dan manajemen dan 3) Diperlukan kemampuan perusahaan untuk membuat atau
menciptakan kepercayaan pada penyandang dana ekstern, bahwa dana ekstern tersebut
digunakan secara tepat dan seefisien mungkin serta memastikan bahwa manajemen itu
bertindak yang terbaik untuk kepentingan perusahaan (Darmawanti, 2005).
Cara mengatasi hambatan tersebut, yaitu perusahaan harus memiliki suatu system
pengelolaan yang bisa dihandalkan, yang dapat memberikan perlindungan yang efektif
kepada para pemegang saham dan pihak kreditur, sehingga mereka mampu meyakinkan
dirinya akan memperoleh keuntungan atas investasinya dengan wajar dan bernilai tinggi, dan
juga harus mampu menjamin terpenuhinya kepentingan karyawan serta perusahaan itu
sendiri (Tjager, 2003).
Krisis yang terjadi di Amerika Serikat menimbulkan efek bagi perekonomian dunia.
Indonesia yang terkena dampak krisis ekonomi global, isu mengenai sistem tata kelola
perusahaan (good corporate governance) telah menjadi bahasan yang sangat penting dalam
rangka mendukung pemulihan kegiatan dunia usaha dan pertumbuhan perekonomian setelah
masa-masa krisis. Hadirnya good corporate governance dalam pemulihan krisis di Indonesia
menjadi mutlak diperlukan, mengingat good corporate governance mensyaratkan suatu
pengelolaan yang baik dalam sebuah organisasi. Corporate governance lebih condong pada
serangkaian pola perilaku perusahaan yang diukur melalui kinerja, pertumbuhan, struktur
pembiayaan perlakuan terhadap para pemegang saham, dan stakeholders. Pentingnya hak
pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada
waktunya, serta kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara
akurat tepat waktu dan transparan mengenai semua hal yang berkaitan dengan kinerja
perusahaan kepemilikan dan pemegang kepentingan (stakeholder).
Kemudian pada Agustus tahun 2010 salah seorang dari pihak pemegang sahan PT
Katarina melaporkan bahwa telah terjadi tindalakan pelanggaran GCG. Dimana dan yang
harusnya digunakan untuk membeli peralatan, modal kerja, serta menambah kantorcabang,
tidak digunakan sebagaimana mestinya. Hingga saat ini manajemen perseroan belum
melakukan realisasi sebagaimana mestinya. Dari dana hasil IPO sebesar Rp 33,66 miliar,
yang direalisasikan oleh manajemen ke dalam rencana kerja perseroan hanya sebesar Rp 4,62
miliar, sehingga kemungkinan terbesar adalah terjadi penyelewengan dana publik sebesar Rp
29,04 miliar untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, Katarina diduga telah memanipulasi laporan keuangan audit tahun 2009
dengan memasukkan sejumlah piutang fiktif guna memperbesar nilai aset perseroan. Bahkan
Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah memutus aliran listrik ke kantor cabang RINA di
Medan, Sumatera Utara, karena tidak mampu membayar tunggakan listrik sebesar Rp 9 juta
untuk tagihan selama 3 bulan berjalan.
Selain hal diatas masih terdapat bentuk pelanggaran lain diantaranya adalah ketidak-
sesuaian laporan dengan fakta di lapangan yang ditemukan oleh BPK. Penghitungan kerugian
atas dampak lingkungan dari pengoperasian tambang Freeport oleh tim pengawas dari
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Lingkungan Hidup dan
Perhutanan selama ini tak akurat. Sehingga, tim BPK mengkaji ulang laporan tersebut dan
menemukan beberapa kejanggalan seperti adanya kelebihan pencairan jaminan reklamasi
Freeport, kerugian negara yang sebenarnya dlsb.
Kasus selanjutnya yaitu Jamsostek merupakan satlah satu perusahaan yang bergerak
dibidang jasa dalam pemberian asuransi dan perlindungan tenaga kerja yang berbeda dengan
hukuman pelanggaran ham ringan . Siapa sangkan bahwa perusahaan sekelas ini ternyata
ditemukan banyak melakukan bentuk pelanggaran yang tidak sesuai dengan GCG. Adapun
bentuk bentuk pelanggaran tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Dengan melihat beberapa contoh kasus tersebut, sangat relevan bila ditarik suatu
pertanyaan tentang efektivitas penerapan Corporate Governance. Corporate Governanace
merupakan salah satu kunci dalam meningkatkan efesiensi ekonomis, yang meliputi
serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan komisaris, para pemegang
saham dan stakeholders lainnya (Ujiyanto, 2007).
Suatu pengukuran kinerja akan menghasilkan data, dan data yang telah dianalisis akan
memberikan informasi yang berguna bagi peningkatan pengetahuan para manajer dalam
mengambil keputusan atau tindakan manajemen untuk meningkatkan kinerja organisasi
(Vincent Gaspersz, 2005). Manfaat sistem pengukuran kinerja yang baik adalah:
1. Tahun yang diamati, pada penelitian ini mengambil tahun 2008-2012. Alasan peneliti
menggunakan tahun 2008 sampai dengan 2012, karena periode tersebut menunjukkan
kondisi yang paling aktual berkaitan dengan masalah yang ingin diteliti.
2. Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada satu industri saja yaitu industri
manufaktur dengan tujuan untuk menghindari adanya bias yang disebabkan oleh
perbedaan industri.
3. Pada penelitian ini, mekanisme Corporate Governance yang digunakan adalah proporsi
dewan komisaris independen, jumlah dewan direksi, kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial, dan kinerja keuangan yang diukur melalui Tobin’s Q rasio.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, menarik untuk diteliti sejauh mana tingkat
keberhasilan perusahaan dalam menerapkan good corporate governance serta pengaruhnya
terhadap kinerja perusahaan. Penulis merasa tertarik untuk menulis skripsi dengan judul:
“Analisis Penerapan Good Corporate Governance (GCG) terhadap Kinerja
Perusahaan (Studi Empiris Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun
2014 - 2018)”.
B. Perumusan Masalah
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah untuk mengetahui secara empiris
pengaruh good corporate governance terhadap kinerja keuangan perusahaan:
“Good Corporate Governance adalah suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ
perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam
jangka panjang bagi pemegang saham dengan tetap memperlihatkan kepentingan stakeholder
lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku”. (Komite
Nasional Kebijakan Corporate Governance, 2004).
GCG memacu terbentuknya pola manajemen yang professional, transparan, bersih dan
berkelanjutan. Pedoman Umum Good Corporate Governance di Indonesia tahun 2006 yang
disusun oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) menyebut lima asas GCG
yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kewajaran.
“Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan (Pemegang
Saham/Pemilik Modal, Komisaris?dewan Pengawas dan Direksi) untuk meningkatkan
keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang
saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder
lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika”.
Pasal 1 Surat KEPMEN BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tgl 31 Juli 2002 tentang
penerapan GCG pada BUMN yang dalam Effendi (2009), menyatakan:
“Corporate Governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ
BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna
mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan
dan nilai-nilai etika”.
Perlakuan yang sama terhadap pemegang saham, terutama kepada pemegang saham
minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan informasi yang penting serta
melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam.
a. menyiapkan laporan keuangan pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat.
b. Mengembangkan Komite Audit dan risiko untuk mendukung fungsi pengawasan
oleh Dewan Komisaris.
c. Mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi internal.
a. Anggota Dewan Direksi dan Komisaris harus bertindak didasari informasi yang
lengkap, dengan itikad baik sebesar-besarnya untuk kepentingan perusahaan dan
pemegang saham.
b. Bila keputusan Dewan Direksi dan Komisaris mempunyai pengaruh yang berbeda-
beda diantara pemegang saham, maka Dewan harus memuaskan keluhan pemegang
saham.
c. Dewan Direksi dan Komisaris harus menjamin ketaatan atas hukum yang diterapkan
dan perlindungan terhadap kepentingan pemegang saham.
d. Dewan Direksi dan Komisaris harus memenuhi beberapa fungsi, yaitu:
1) Malakukan review atas strategi perusahaan, pelaksanaan rencana utama,
kebijakan resiko, anggaran tahunan dan rencana bisnis, pemantauan kinerja
perusahaan dan mengawasi harta utama, pembelanjaan dan akuisisi.
2) Menyeleksi, memberikan penghargaan, memantau hingga bila dibutuhkan
mengawasi succession planning.
3) Malakukan review atas gaji eksekutif dan memastikan pencalonan atas anggota
Dewan terbuka.
4) Memantau dan mengelola konflik kepentingan dari manajemen, pemegang
saham termasuk penyalahgunaan harta penyalahgunaan hubungan transaksi dari
berbagai pihak.
5) Memastikan integritas dari sistem pelaporan akuntansi dan financial perusahaan,
melalui audit yang independen, dan sistem pengendalian yang tepat.
6) Mengawasi proses transparansi dan transaksi.
4. Responsibility (Responsibilitas)
Peran pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan
kerjasama yang aktif antara perusahaan serta pemegang kepentingan dalam menciptakan
kekayaan, lapangan kerja, dan perusahaan yang sehat dari aspek keuangan.
Ada lima manfaat yang dapat diperoleh perusahaan yang menerapkan Good Corporate
Governance menurut Hery (2010), yaitu :
1) GCG secara tidak langsung akan dapat mendorong pemanfaatan sumber daya
perusahaan ke arah yang lebih efektif dan efisien, yang pada gilirannya akan turut
membantu terciptanya pertumbuhan atau perkembangan ekonomi nasional.
2) GCG dapat membantu perusahaan dan perekonomian nasional, dalam hal ini
menarik modal investor dengan biaya yang lebih rendah melalui perbaikan
kepercayaan investor dan kreditur domestik maupun internasional.
3) Membantu pengelolaan perusahaan dalam memastikan/menjamin bahwa
perusahaan telah taat pada ketentuan, hukum, dan peraturan.
4) Membangun manajemen dan Corporate Board dalam pemantauan penggunaan asset
perusahaan.
5) Mengurangi korupsi.
Penerapan Good corporate Governance dilingkungan BUMN dan BUMD
mempunyai tujuan sesuai KEPMEN BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tanggal 1
Agustus 2001 pada pasal 4 yang dalam Hery (2010), yaitu :
a. Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan,
akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan
memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional;
b. Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan dan efisiensi, serta
memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ;
c. Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan
dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggungjawab sosial BUMN
terhadap stakeholders maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN;
d. Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional;
e. Meningkatkan iklim investasi nasional;
f. Mensukseskan program privatisasi.
c. Good Corporate Governance di Indonesia
Berbagai peristiwa dalam dasawarsa terakhir ini telah menjadikan Corporate
Governance menjadi isu penting di kalangan eksekutif, NonGovernment Organization
(NGO), Konsultan Korporasi, akademisi, dan pembuat kebijakan (pemerintah) di berbagai
belahan dunia. Isu yang terkait dengan Corporate Governance seperti isider trading,
transparansi, akuntabilitas, independensi, etika bisnis, tanggung jawab sosial, dan
perlindungan investor telah menjadi ungkapan lazim dibicarakan di kalangan pelaku usaha.
Corporate Governance juga telah menjadi salah satu isu penting bagi pelaku usaha di
Indonesia. Sentralisasi isu Corporate Governance dilatarbelakangi permasalahan yang terkait
dengan trend di industri pasar modal, korporasi, pasar audit, tuntutan akan transparansi dan
independensi, dan krisis financial Asia. Penerapan prinsip-prinsip GCG, yang didukung
dengan regulasi yang memadai, akan mencegah berbagai bentuk overstated, ketidakjujuran
dalam financial disclosure yang merugikan stakeholders (Daniri, 2005).
Penerapan GCG dapat meningkatkan kinerja perusahaan, dengan meningkatkan
kinerja keuangan, mengurangi risiko yang mungkin dilakukan oleh dewan dengan keputusan
yang menguntungkan diri sendiri, dan umumnya Corporate Governance dapat meningkatkan
kepercayaan investor. Corporate Governance yang buruk menurunkan tingkat kepercayaan
investor, lemahnya praktik GCG merupakan salah satu factor yang memperpanjang krisis
ekonomi di Negara Indonesia (Carningsih, 2009).
3. Kinerja Perusahaan
a. Pengertian Kinerja
Kinerja merupakan suatu istilah secara umum yang digunakan untuk sebagian atau
seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode dengan referensi
pada jumlah standar seperti biaya biaya masa lalu atau yang diproyeksikan, dengan dasar
efisiensi, pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen dan semacamnya (Ceacilia
Srimindarti, 2004).
Kinerja perusahaan adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan
selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh
kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya-sumber daya yang
dimiliki (Helfert, 1996 dalam Ceacilia Srimindarti, Fokus Ekonomi, 2004: 53).
Pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian
pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui
hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun suatu proses. Pengukuran
kinerja yang didefinisikan sebagai “performing measurement“ adalah kualifikasi dan
efisiensi perusahaan atau segmen atau keefektifan dalam pengoperasian bisnis selama
periode akuntansi (Darmawati, 2005).
b. Tujuan Pengukuran Kinerja
Menurut Vincent Gaspersz (2005: 68), tujuan dari pengukuran kinerja adalah untuk
menghasilkan data, yang kemudian apabila data tersebut dianalisis secara tepat akan
memberikan informasi yang akurat bagi pengguna data tersebut. Berdasarkan tujuan
pengukuran kinerja, maka suatu metode pengukuran kinerja harus dapat menyelaraskan
tujuan organisasi perusahaan secara keseluruhan tujuan organisasi secara keseluruhan
(goal congruence).
c. Manfaat Pengukuran Kinerja
Manfaat sistem pengukuran kinerja yang baik adalah:
1. Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga akan membawa
perusahaan lebih dekat pada pelanggannya dan membuat seluruh orang dalam
organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan.
2. Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata rantai
pelanggan dan pemasok internal.
3. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya
pengurangan terhadap pemborosan tersebut (reduction of waste).
4. Membuat suatu tujuan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih konkrit
sehingga mempercepat proses pembelajaran organisasi.
5. Membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan memberi reward
atas perilaku yang diharapkan itu.
d. Sistem Pengukuran Kinerja
Sistem pengukuran kinerja yang baik adalah sekumpulan ukuran kinerja yang
menyediakan informasi yang berguna bagi perusahaan, sehingga membantu mengelola,
mengontrol, merencanakan, dan melaksanakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh
perusahaan. Dengan adanya pengukuran kinerja maka perusahaan diharapkan mampu
bertahan dan mengikuti persaingan dan perkembangan yang ada. Sistem pengukuran
kinerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio tobin’s Q yang merupakan rasio
dari perbandingan antara equity market value dan equity book value (Herawaty, 2008).
Rasio Tobin’s Q adalah salah satu cara yang dapat digunakan dalam menilai kinerja
perusahaan. Rasio ini di kembangkan oleh Profesor James Tobin (1976). Rasio ini
merupakan konsep yang berharga karena menunjukkan estimasi pasar keuangan saat ini
tentang nilai hasil pengembalian dari setiap investasi. Jika rasio-q diatas satu, ini
menunjukkan bahwa estimasi dalam aktiva menghasilkan laba yang memberikan nilai
yang lebih tinggi daripada pengeluaran investasi, hal ini akan merangsang investasi baru.
Jika rasio-q dibawah satu maka investasi dalam aktiva tidaklah menarik (Herawaty, 2008).
4. Dewan Komisaris Independen
Menurut Bank Indonesia (2006) dewan komisaris adalah sebuah dewan yang
bertugas untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direktur
perusahaan. Dewan komisaris memegang peranan penting dalam perusahaan terutama
dalam pelaksanaan Good Corporate Governance. Namun demikian, dewan komisaris
tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional.
Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya,
Dewan Komisaris wajib membentuk paling kurang: Komite Audit; Komite Pemantau
Risiko; Komite Remunerasi dan Nominasi.
Kedudukan dewan komisaris termasuk komisaris utama adalah setara. Pada
umumnya dewan komisaris memiliki tugas dan wewenang antara lain:
a. Melakukan pengawasan atas jalannya usaha PT dan memberikan nasihat kepada
direktur.
b. Dalam melakukan tugas, dewan komisaris harus sesuai dengan kepentingan PT dan
maksud serta tujuan PT.
c. Kewenangan khusus dewan komisaris, bahwa dewan komisaris dapat diamanatkan
dalam anggaran dasar untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu direktur, apabila
direktur berhalangan atau dalam keadaan tertentu.
Agar pelaksanaan tugas dewan komisaris dapat berjalan secara efektif, menurut pedoman
umum Good Corporate Governance Indonesia (KNKG, 2006; 13).
Ukuran dewan Komisaris adalah menghitung presentase jumlah total dari anggota
dewan komisaris, baik yang berasal dari internal maupun eksternal perusahaan sampel.
(Ujiyanto, 2007).
Board governance yang terdiri dari komisaris independen, komite audit, dan
sekertaris perusahaan bahwa untuk mencapai good corporate governance, jumlah
komisaris independen yang harus terdapat dalam perusahaan sekurang-kurangnya 30%
dari seluruh anggota dewan komisaris. Komisaris independen adalah anggota dewan
komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan
pemegang saham pengendali, bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang
dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-
mata sesuai kepentingan perusahaan (Wardhani, 2008).
5. Kepemilikan Institusional
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki
peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara
manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi
mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal
ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak
mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba.
Kepemilikan institusional adalah besarnya jumlah saham yang dimiliki institusi dari
total saham yang beredar. Adanya kepemilikan institusional dapat memantau secara
profesional perkembangan investasinya sehingga tingkat pengendalian terhadap manajemen
sangat tinggi yang pada akhirnya dapat menekan potensi kecurangan. Pemegang saham
institusional seperti perusahaan asuransi, dana pensiun, dan reksadana. Semakin besar
kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan
diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegah terhadap pemborosan yang dilakukan oleh
manajemen (Faizal, 2004).
Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan
yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku
opportunistic manajer. Menurut Barnae dan Rubin (2005) bahwa institutional shareholders,
dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan
keputusan perusahaan. Begitu pula penelitian Wening (2009) semakin besar kepemilikan
oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk
mengoptimalkan nilai perusahaan. Kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain:
1) Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat menguji
keandalan informasi.
2) Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas aktivitas
yang terjadi di dalam perusahaan.
6. Dewan Direksi
Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar. Direksi menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas merupakan
suatu organ yang di dalamnya terdiri dari satu atau lebih anggota yang dikenal dengan
sebutan direktur (Murwaningsari, 2007).
Direksi dalam menjalankan perseroan memiliki, tugas-tugas, yaitu :
a. Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas
pengurusan Perseroan dengan tetap memperhatikan keseimbangan kepentingan
seluruh pihak yang berkepentingan dengan aktivitas Perseroan.
b. Direksi wajib tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
Anggaran Dasar dan keputusan RUPS dan memastikan seluruh aktivitas Perseroan
telah sesuai dengan ketentuan peraturan-peraturan perundang-undangan yang
berlaku, Anggaran Dasar, keputusan RUPS serta peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh Perseroan.
c. Direksi dalam memimpin dan mengurus Perseroan semata-mata hanya untuk
kepentingan dan tujuan Perseroan dan senantiasa berusaha meningkatkan efisiensi
dan efektivitas Perseroan yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja
perusahaan.
d. Direksi senantiasa memelihara dan mengurus kekayaan Perseroan secara amanah
dan transparan. Untuk itu Direksi mengembangkan system pengendalian internal
dan system manajemen resiko secara terstruktural dan komprehensif.
e. Direksi akan menghindari kondisi dimana tugas dan kepentingan Perseroan
berbenturan dengan kepentingan pribadi.
Direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolegial
dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota Direksi dapat melaksanakan tugas dan
mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya. Namun,
pelaksanaan tugas oleh masing-masing anggota Direksi tetap merupakan tanggung jawab
bersama. Kedudukan masing-masing anggota Direksi termasuk Direktur Utama adalah
setara. Tugas Direktur Utama sebagai primus inter pares adalah mengkoordinasikan kegiatan
Direksi. Agar pelaksanaan tugas Direksi dapat berjalan secara efektif.
Penelitian yang dilakukan oleh Suranta dan Machfoedz (2003) merupakan penelitian
yang menguji pengaruh ukuran dewan direksi terhadap kinerja perusahaan, dimana pada
penelitian ini disimpullkan bahwa ukuran dewan direksi menunjukkan pengaruh positif
terhadap kinerja perusahaan.
B. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran ini merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting
(Abdul Hamid, 2010).
Adapun masalah - masalah yang dianggap penting dalam penelitian ini adalah Good
Corporate Governance dan kinerja perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, gambaran
menyeluruh penelitian ini yang mengangkat penelitian tentang dampak Good Corporate
Governance terhadap kinerja perusahaan.
Dari pengembangan hipotesis diatas, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai
berikut:
C. Hipotesis
Hipotesis yang akan digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan ada tidaknya
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Rancangan hipotesis penelitian ini untuk
membuktikan apakah penerapan Good Corporate Governance memiliki hubungan dengan
kinerja perusahaan, maka dilakukan pengujian dengan hipotesis statistik sebagai berikut:
1. Dewan komisaris independen terhadap kinerja perusahaan
Proporsi dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan atau komisaris independen
juga mempengaruhi kinerja perusahaan yang bertindak sebagai penengah dalam perselisihan
yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta
memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik
untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate
governance. Semakin tinggi perwakilan dari outsider director (komisaris independen), maka
semakin tinggi independensi dan efektivitas corporate board sehingga dapat meningkatkan
kinerja perusahaan (Cahyani, 2009).
Komisaris Independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan
manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta dari
hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk
bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (KNKG,
2004). Sedangkan Kinerja Perusahaan adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas
perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi
oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya sumber daya yang
dimiliki (Husein Umar, 2002). Dimana dengan proporsi Komisaris Independen yang
memadai pada suatu perusahaan maka akan membentuk Kinerja Perusahaan semakin baik.
Hubungan antara komisaris independen dan kinerja perusahaan juga didukung oleh
perspektif bahwa dengan adanya komisaris independent diharapkan dapat memberikan
fungsi pengawasan terhadap perusahaan secara objektif dan independen, menjamin
pengelolaan yang bersih dan sehatnya operasi perusahaan sehingga dapat mendukung kinerja
perusahaan (Darmawati, 2005). Berdasarkan uraian tersebut diatas serta mengacu pada
penelitian sebelumnya maka dapat dirumuskan:
H1 : Dewan Komisaris Independen berpengaruh positif terhadap Kinerja Perusahaan.
2. Kepemilikan Institusional terhadap kinerja perusahaan
Menurut Jensen dan Meckling (1976) kepemilikan manajerial dan kepemilikan
institusional adalah dua mekanisme corporate governance utama yang membantu
mengendalikan masalah keagenan (agency conflict). Crutchley dan Hansen 1999
menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional yang tinggi dapat digunakan mengurangi
masalah keagenan. Semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin kuat kontrol
eksternal terhadap perusahaan dan mengurangi agency cost, sehingga perusahaan akan
menggunakan dividen yang rendah (Wahyudi dan Pawestri, 2005).
Adanya peningkatan kepemilikan institusional menyebabkan kinerja manajerial
diawasi secara optimal dan terhindar dari perilaku opportunistik. Adanya kepemilikan oleh
investor institusional seperti perusahaan efek, perbankan, perusahaan asuransi, dana pensiun
dan kepemilikan institusi lain akan mendorong pengawasan yang lebih optimal terhadap
kinerja manajemen sehingga kinerja perusahaan juga akan meningkat. Semakin besar
kepemilikan oleh institusi maka akan semakin besar kekuatan suara dan dorongan institusi
untuk mengawasi manajemen dan akibatnya akan memberikan dorongan yang lebih besar
untuk mengoptimalkan nilai perusahaan sehingga kinerja perusahaan juga akan meningkat.
Menurut Faisal (2005) menemukan hubungan yang berlawanan antara kinerja saham
dengan kepemilikan saham institusional. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang
besar (lebih dari 5 persen) mengindikasikan kemampuannya dalam memonitor manajemen.
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen
melalui proses monitoring secara efektif sehingga mengurangi tindakan manajemen yang
dapat merugikan perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Rafriny Amyulianthy (2012)
menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas serta mengacu pada penelitian sebelumnya maka dapat
dirumuskan:
H2 : Kepemilikan Institusional berpengaruh positif terhadap Kinerja Perusahaan.
3. Dewan Direksi
Board size atau ukuran dewan direksi adalah jumlah dewan direksi dalam perusahaan,
semakin banyak dewan dalam perusahaan akan memberikan suatu bentuk pengawasan
terhadap kinerja perusahaan yang semakin lebih baik, dengan kinerja perusahaan yang baik
dan terkontrol, maka akan menghasilkan profitabilitas yang baik dan nantinya akan dapat
meningkatkan harga saham perusahaan dan kinerja perusahaan pun juga akan ikut
meningkat. (Kusumawati, 2005).
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance dalam Pedoman Umum good
corporate governance (2006; 17) dewan direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan
bertanggung jawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota
direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas
dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya.
Dalam penelitian Amyulianthy (2012), didapatkan hasil bahwa ukuran dewan direksi
berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Peningkatan ukuran dewan direksi dapat
meningkatkan network dengan pihak luar perusahaan dan menjamin ketersediaan
sumberdaya. Berdasarkan uraian tersebut diatas serta mengacu pada penelitian sebelumnya
maka dapat dirumuskan:
H3 : Ukuran Dewan Direksi berpengaruh positif terhadap Kinerja Perusahaan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kausal karena bertujuan meneliti hubungan sebab
akibat antara dua variabel yaitu variable independen dan variabel dependen. Objek penelitian
ini adalah mekanisme Good Corporate Governance dalam hal Dewan Komisaris
Independen, Ukuran Dewan Direksi, Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Manajerial dan
Kinerja Perusahaan yang diukur dengan Tobin’s Q. Penelitian ini dilakukan untuk
menghitung pengaruh Good Corporate Governance terhadap kinerja perusahaan.
B. Metode Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
tahun 2014-2018. Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive
sampling, Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan
tertentu. Purposive sampling dalam hal ini lebih khusus menggunakan metode judgment
sampling. Judgment sampling merupakan tipe pemilihan sampel secara tidak acak yang
informasinya diperoleh dengan menggunakan pertimbangan tertentu yang umumnya
disesuaikan dengan tujuan atau masalah penelitian (Nur Indriantoro dan Bambang Supomo,
2002).
Adapun kriteria pemilihan sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang
menerbitkan laporan keuangannya secara terusmenerus pada tahun 2014-2018
b. Laporan keuangan harus mempunyai tahun buku yang berakhir pada 31 desember, hal
ini untuk menghindari adanya pengaruh waktu parsial dalam menghitung Tobin’s Q
c. Perusahaan mempunyai struktur Dewan Komisaris, Kepemilikan Saham Institusional
dan Dewan Direksi.
C. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan
sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung dan umumnya berupa
bukti, catatan/ laporan historis yang telah tersusun dalam arsip/ data dokumenter. Data
sekunder dapat diperoleh dari Bursa Efek Indonesia, Indonesian capital market directory,
dan internet dengan kriteria perusahaan adalah sebagai berikut :
1. Laporan keuangan per 31 desember pada tahun 2014-2018
2. Data persentase saham kepemilikan institusional yang diambil dari catatan atas laporan
keuangan konsolidasian perusahaan
3. Jumlah ukuran dewan direksi dan dewan komisaris independent yang diambil dari
catatan atas laporan keuangan konsolidasian perusahaan
D. Metode Analisis Data
Tujuan penelitian ini untuk menguji pengaruh dari ukuran dewan komisaris
independen, ukuran dewan direksi, kepemilikan institusional dan kepemilikan manajerial
yang merupakan variabel independen dalam penelitian ini dengan variabel dependennya
yaitu kinerja perusahaan. Pengujian variable-variabel ini menggunakan uji asumsi klasik dan
uji hipotesis dengan bantuan perangkat lunak SPSS 20.
1. Statistik Deskriptif
Penelitian ini menggunakan Statistik Deskriptif untuk mengetahui gambaran mengenai
standar deviasi, rata-rata, minimum, maksimum dan variable-variabel yang diteliti. Statsitik
deskriptif mendeskripsikan data menjadi sebuah informasi yang lebih jelas dan mudah
dipahami. Statistik deskriptif digunakan untuk mengembangkan profil perusahaan yang
menjadi sampel statsitik deskriptif berhubungan dengan pengumpulan dan peningkatan data,
serta penyajian hasil peningkatan tersebut (Ghozali, 2012).
2. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Autokorelasi
Pengujian ini dilakukan untuk menguji dalam suatu model regresi linier terdapat
korelasi antara kesalahan pengguna periode satu dengan kesalahan pada periode t-1 (tahun
sebelumnya) (Ghozali, 2012). Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari auto
korelasi. Pengujian ada tidaknya autokorelasi dapat diketahui dari uji Durbin-Watson (DW),
dan hasil pengujian ditentukan berdasarkan nilai Durbin-Watson (DW).
Berikut adalah keterangan untuk interpretasi statistik Durbin-Watson :
1) Terdapat autokorelasi : d < DwI atau d > 4 – DwI
2) Tidak dapat disimpulkan : 4 - Dwu < d < 4 – DwI
3) Tidak terdapat autokorelasi : Dwu < d < 4 – Dwu
b. Uji Multikolineritas
Pengujian multikolineritas dilakukan untuk menguji pada model regresi ditemukan
adanya korelasi antara variabel independen. Jika terdapat Korelasi maka terdapat problem
multikolinearitas. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas di dalam regresi dapat
dilihat dari tolerance value dan nilai variance inflation factor (VIF). Model regresi yang bebas
multikolinieritas adalah yang mempunyai nilai tolerance di atas 0,1 atau VIF di bawah 10.
Apabila tolerance variance di bawah 0,1 atau VIF di atas 10, maka terjadi multikolinieritas,
(Ghozali, 2012).
c. Uji Heterokedastitas
Pengujian ini digunakan untuk menguji suatu model regresi terjadi ketidaksamaan
varians dari residual dari suatu pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah yang
tidak terjadi heterokedastisitas. Untuk mengetahuinya digunakan grafik scatter plot, yaitu
dengan melihat pola-pola tertentu pada grafik (Ghozali, 2012). Salah satu cara untuk
mendeteksi ada atau tidaknya heterokedastitas adalah dengan menggunakan grafik
Scatterplot antara nilai prediksi variable terikat (dependen) yaitu ZPRED dengan residualnya
SRESID. Apabila nilai probabilitas signifikansinya di atas tingkat kepercayaan lima persen
dan grafik scatterplot, titik-titik menyebar di atas maupun dibawah angka nol pada sumbu Y,
maka dapat disimpulkan model regresi tidak mengandung adanya heterokedastisitas
(Ghozali, 2012).
d. Uji Normalitas
Penelitian ini menggunakan uji normalitas untuk mengetahui data terdistribusi
normal atau tidak serta menguji normalitas data yang digunakan pada grafik histogram yang
membandingkan distribusi komulatif dari distribusi normal. Seperti diketahui bahwa uji t dan
f mengamsumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Bila asumsi ini
dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil. Untuk menguji
normalitas data, penelitian ini mengguanakan analisis grafik. Pengujian normalitas melalui
analisis grafik adalah dengan cara menganalisis grafik normal probability plot yang
membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan
membentuk satu garis lurus diagonal, dan potongan data residual akan dibandingkan dengan
garis diagonal. Data dikatakan normal jika data atau titik-titik terbesar di sekitar garis
diagonal dan penyebarannya mengikuti diagonal, (Ghozali, 2012).
3. Pengujian Hipotesis
Uji hipotesis menggunakan alat regresi berganda. Pemilihan regresi berganda untuk
mengetahui besarnya pengaruh dari setiap variable independen terhadap variable dependen.
Persamaan regresi berganda sebagai berikut :
Y = α + β 1 X1 + β 2 X2 + β 3 X3 + β 4 X4
Keterangan :
Y = Tobin’s Q
α = Konstanta
β = Koefisien regresi
X3=Kepemilikan institusional
X4=Kepemilikan manajerial
Tobin’s Q = (EMV+D)
(EBV+D)
Keterangan :
EMV :Nilai pasar equitas (Equity Market Value), diperoleh dari hasil perkalian
harga saham penutupan (Closing Price) akhir tahun dengan jumlah saham
yang beredar pada akhir tahun.
Perhitungan secara sederhananya yaitu Market Value Equity (MVE) diperoleh dari
hasil perkalian harga saham penutupan (closing price) akhir tahun dengan jumlah saham
tanggal beredar pada akhir tahun, sementara Equity Book Value (EBV) diperoleh dari selisih
total asset perusahaan dengan total kewajibannya (Herawaty, 2008).
Beberapa penelitian terdahulu menggunakan Tobin’s Q model yang diberi symbol “Q”
untuh mengukur kinerja perusahaan. Perusahaan yang menunjukkan Tobin’s Q lebih besar
berarti perusahaan tersebut memenfaatkan sumber daya yang dimilikinya dengan baik
(Murwaningsari, 2007).
2. Variabel Independen
Variabel independen (variabel bebas) merupakan variabel yang menjelaskan atau
mempengaruhi variabel lain. Sebagai variabel bebas (independent variable) pada penelitian
ini adalah indikator dari good corporate governance yaitu :
a. Dewan Komisaris Independen
Dewan komisaris independen adalah angota dewan komisaris yang tidak terafiliasi
dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta
bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi
kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan
perusahaan (Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, 2004).
Proporsi dewan komisaris independen diukur dengan menggunakan indikator
persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh ukuran
anggota dewan komisaris perusahaan (Ujiyantho dan Bambang, 2007).
b. Kepemilikan Institusional
Kepemilikan saham institusional (institusional Ownership) merupakan proporsi saham
yang dimiliki institusional pada akhir tahun yang diukur dalam persen. Variabel ini akan
menggambarkan tingakt kepemilikan saham oleh institusional dalam perusahaan. Tingkat
kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar
oleh pihak investor institusional, sehingga dapat menghalangi perilaku opportunis manajer
(Ujiyantho dan Bambang, 2007).
c. Ukuran Dewan Direksi
Board of Management (dewan direksi) adalah anggota dewan yang bertanggung jawab
terhadap kinerja perusahaan dan menjalankan manajemen perusahaan. Menggambarkan
jumlah anggota dewan direksi, diukur dengan mengetahui berapa banyak jumlah anggota
dewan direksi dalam suatu perusahaan (Murwaningsari, 2007).
DAFTAR PUSTAKA