99 Asmaul Husna adalah nama-nama Allah yang baik, mulia dan agung
sesuai dengan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu
merupakan kebesaran dan kekuasaan Allah, sebagai pencipta dan
pemelihara alam semesta beserta segala isinya. Bagi umat muslim,
mengenal Allah adalah dengan mempelajari sifat-sifat Allah dan 99 nama
Allah. Rugi sekali yang belajar ilmu teknik mati-matian sampai sarjana
bahkan doktoral sekalipun, tapi tidak mau sekedar mengenal Allah
pencipta dirinya dan pemberi rezekinya.
Terima kasih
AL- ALIM
العليم
( MAHA MENGETAHUI)
“Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah; kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di
bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah
mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka kerjakan”
Bagi Allah, tidak ada yang tersembunyi. Serapat-rapat manusia menyimpan rahasia,
Allah pasti mengetahuinya. Sekelebat mata yang berkhianat, Allah mengetahuinya. Niat
hati yang tersimpan rapi, Allahpun mengenalinya. Lebih jauh dari itu, rahasia di balik
rahasiapun, diketahui-Nya. Sesuatu yang sudah mengendap lama atau yang telah
terlupakan oleh manusia, serta segala yang kini telah berada di bawah sadarnya, Allah
tetap mengetahuinya. Dia berfirman :
“Jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia (mengetahuinya serta)
mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi (dari rahasia).” (QS. Thaaha: 19)
Sungguh, Allah bahkan telah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, karena Dialah
yang membuat rencana, Dia pula eksekutornya.
“Tiada satu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami menciptakan-Nya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22)
Tidak hanya itu, bahkan Allah-lah sumber dari segala sumber ilmu. Dia tidak saja
sekadar tahu, tapi Dia adalah sumber pengetahuan. Perlu diketahui bahwa ilmu Allah
itu bukan hasil dari sesuatu, tapi segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini
merupakan hasil dari ilmu-Nya. Allah berfirman: “Allah mengetahui apa-apa yang di
hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari
ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 255)
Meskipun demikian, Allah tidak mau memonopoli ilmu-Nya sendiri. Dia mau berbagi
kepada makhluk-Nya, terutama kepada manusia. Khusus dalam hal ini, manusia
dibebaskan menyandang gelar aliim bagi mereka sampai pada kualifikasi tertentu.
Orang yang berpengetahuan boleh disebut aliim, sama dengan Asma yang disandang
Allah. Akan tetapi harus disadari bahwa ilmu manusia tetaplah tak sebanding dengan
ilmu Allah, bahkan tidak ada apa-apanya. “Tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit.” (QS. Al-Israa: 85)
Itulah sebabnya Rasulullah diperintahkan agar senantiasa berdo’a agar diberi tambahan
ilmu. “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaaha: 114)
Ilmu yang diharap tentu saja ilmu yang menimbulkan dampak positif dalam kehidupan,
yaitu ilmu yang melahirkan amal shalih yang sesuai dengan petunjuk Ilahi. Ilmu inilah
yang akan menimbulkan kesadaran tentang jatidiri manusia yang merasa dhaif di
hadapan Allah swt. Dalam pandangan islam, ilmu yang hakiki adalah ilmu yang
mengantarkan pemiliknya kepada iman, dan ketundukan kepada Allah swt.
Sebagaimana firman-Nya:
As-Sami’
السميع
( MAHA MENDENGAR)
Apr 25, 2012 | Asy Syariah Edisi 071 |
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)
“Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan
kami telah mengikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan
orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah).” (Ali Imran: 35)
dan firman-Nya melalui lisan Ibrahim q, kekasih-Nya:
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku)
Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Rabbku, benar-benar Maha Mendengar
(memperkenankan) doa.” (Ibrahim: 39)
Termasuk dalam hal ini ucapan seorang yang shalat, “Sami’allahu liman hamidah”
(yakni Allah l mendengar dan mengijabahi orang yang memuji-Nya). (Tafsir
Asma’llahul Husna karya as-Sa’di dan Syarah Nuniyyah karya al-Harras)
Al-Harras t menjelaskan bahwa makna as-Sami’ adalah yang mendengar seluruh
suara yang tersembunyi atau yang terang-terangan sehingga tidak ada yang
tersembunyi sedikit pun darinya. Bagaimanapun tersembunyinya seluruh suara,
bagi pendengaran-Nya jauh dekat sama saja. Pendengaran-Nya mendengar setiap
suara, tidak tersamar baginya dan tidak tercampur.
Dalam hadits Abu Hurairah z, ia mengatakan bahwa Nabi n membaca ayat ini:
“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam serta
menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang
ditentukan. Yang (berbuat) demikian Allah Rabbmu, kepunyaan-Nya lah kerajaan. Dan
orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun
setipis kulit ari biji kurma. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar
seruanmu. Kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan
permintaanmu. Di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada
yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang
Maha Mengetahui.” (Fathir: 13—14)
Sia-sialah mereka yang berdoa kepada selain Allah l dan takkan sia-sia orang yang
berdoa kepada Allah l. Ia Maha Mendengar terhadap doa yang kita mohonkan,
pengaduan yang kita panjatkan, dan ucapan yang kita bisikkan.
Dengan iman ini pula, seharusnya membuat kita berhati-hati dalam bertutur kata dan
menjauhi segala ucapan yang tidak Allah l ridhai, karena Allah l senantiasa
mendengarnya.
Wallahu a’lam.
AL-KHABIR
الكبير
(MAHATELITI)
Definisi “Al-Khabir”
Secara bahasa, Al-Khabir diambil dari mashdar al-khibru, al-khubru, al-khibrah, al-
khubroh, al-makhbarah, dan al-mukhbarah, yang semuanya berarti pengetahuan
terhadap sesuatu. Sedangkan al-khabir adalah yang mengetahui sesuatu itu.1
Sedangkan definisi yang disebutkan oleh para ulama adalah Dzat yang mengetahui hal-
hal yang mendetail pada segala sesuatu, Dzat yang ilmu-Nya sampai pada tingkatan
meliputi perkara-perkara batin dan yang tersembunyi, sebagaimana ilmu-Nya juga
meliputi perkara-perkara yang tampak. Allah Ta’ala berfirman,
“Sejatinya yang menciptakan itu sangat mengetahui. Dan Dia adalah yang Maha Lembut
dan Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14)
Al-Khabir Yang mengetahui mata-mata yang khianat dan juga perkara-perkara yang
disembunyikan dalam dada. Dan Dia Maha Mengetahui terhadap jiwa yang memiliki
dada.2
Ketika menafsirkan nama Allah Al-Khabir pada surah Al-An’am ayat 18, Syekh
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Ia adalah yang menyingkap pengetahuan
terhadap hal-hal yang bersifat rahasia, apa-apa yang ada dalam hati, dan perkara-
perkara yang tersembunyi.”3
Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata dalam kitab tafsir beliau, “Al-Khabir adalah Yang
Mengetahui maslahat dan mafsadat segala sesuatu, tidak tersembunyi darinya akibat
dari segala urusan.”4
Dalam menetapkan suatu nama sebagai nama Allah Ta’ala, para ulama mensyaratkan
adanya penyebutan nama tersebut dalam Al-Qur’an atau hadis-hadis yang sahih. Karena
perkara-perkara yang berkaitan dengan Allah Ta’ala seperti ini bersifat tauqifiyyah atau
baku dari pembuat syariat, dan akal manusia sama sekali tidak memiliki peran untuk
berijtihad.5
“Dan Dia Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 18)
“Sesungguhnya Rabb mereka pada hari itu benar-benar mengetahui tentang diri mereka.”
(QS. Al-‘Adiyat: 11)
ْال َخبِيرا اللَّ ِطيفا لَي ْخبِ َرنِي أَ ْاو لَت ْخبِ ِرينِي
“Engkau harus memberitahukanku atau Allah Yang Mahalembut dan Maha Mengetahui
yang akan memberitahukanku.” (HR. Muslim, no. 1625)
Al-‘Alim dan Al-Khabir sama-sama berarti yang mengetahui. Akan tetapi dari sisi objek,
keduanya memiliki perbedaan. Al-‘Alim berasal dari kata al-‘ilmu, sedangkan Al-Khabir
berasal dari kata al-khibrah.
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan al-‘ilmu itu zhahir (bagian luar dari pengetahuan),
sedangkan al-khibrah merupakan batin (bagian dalam yang tersembunyi). Dan
merupakan kesempurnaan ilmu adalah ketika mampu menyingkap al-khibrah tersebut.
Dengan begitu al-khibrah merupakan bagian dalam dari ilmu serta kesempurnaannya.”6
Dan diantara kesempurnaan Allah ‘Azza wa Jalla adalah memiliki dua nama ini
sekaligus, Al-‘Alim dan Al-Khabir.
Para ulama telah membuat kaidah bahwa pada setiap nama Allah yang menunjukkan
sifat muta’addi (membutuhkan objek) atau yang berkaitan dengan sesuatu yang ada
atau berwujud, memiliki tiga kandungan.7Dan nama Allah “Al-Khabir” termasuk nama
yang menunjukkan sifat muta’addi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal
yang terkandung di dalamnya.
Pertama, penetapan “Al-Khabir” sebagai salah satu asmaul husna atau nama-nama
Allah yang maha indah.
Kedua, penetapan al-khibrah sebagai sifat bagi Allah, yaitu mengetahui perkara-
perkara yang tersembunyi.
Ketiga, konsekuensi dari nama Allah “Al-Khabir” ini adalah Allah mengetahui segala
sesuatu, baik itu yang tampak maupun yang tersembunyi. Allah mengetahui segala
perbuatan makhluk dan segala yang tebersit dalam lubuk hati mereka. Dan tidak ada
sesuatupun baik di langit ataupun bumi yang tersembunyi serta luput dari pengetahuan
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Telah disebutkan diatas, bahwa “Al-Khabir” merupakan salah satu nama Allah Ta’ala.
Dan Allah Ta’ala telah menegaskan bahwa nama-nama yang dimiliki-Nya adalah nama-
nama yang memiliki keindahan. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Allah itu memiliki nama-nama yang maha indah. Maka berdoalah kalian dengan
nama-nama itu.” (QS. Al-A’raf: 180)
Sedangkan diantara letak keindahan pada nama Allah “Al-Khabir” adalah pada dua segi,
kandungan dan lafal.
Secara lafal, Allah Ta’ala tidak memilih Al-‘Arif sebagai nama-Nya walaupun artinya
sama, yaitu mengetahui. Namun, Dia memilih Al-Khabir dan Al-‘Alim sebagai nama-Nya
karena lebih mudah diucapkan dan lebih nyaman didengar.
Letak keindahan lain dari Al-Khabir adalah dari segi kandungannya. Padanya
terkandung sifat pengetahuan yang sangat sempurna. Dan kesempurnaan sifat tersebut
bersifat mutlak dari berbagai sisi. Pengetahuan-Nya tidak didahului dengan kebodohan,
tidak ternodai dengan kelupaan, dan tidak pernah berkurang ataupun hilang.
Pada nama Al-Khabir, terdapat kelaziman penetapan sifat-sifat lain (selain al-khibrah)
bagi Allah. Diantaranya adalah:
1. Al-‘ilmu (mengetahui)
2. Al-hayah (hidup)
3. As-sam’u (mendengar)
4. Al-bashar (melihat)
2. Menumbuhkan pada jiwa seorang hamba keinginan untuk menyucikan hati dari
berbagai penyakit hati berupa hasad/iri, riya’ (ingin amalannya dilihat orang
lain), kemunafikan, dan yang lainnya.9
3. Menumbuhkan rasa takut kepada Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala melihat dan
mengetahui segala sesuatu yang ada pada batinnya, sehingga ia menjaga lisannya
dari berbuat bohong, ghibah, adu domba, dan yang lainnya. Dan ia juga akan
menjaga anggota tubuhnya dari berbuat jahat kepada orang lain.10
Demikianlah ulasan singkat tentang makna nama Allah “Al-Khabir”. Semoga dengan
memahami nama Allah ini dapat membawa dampak positif bagi ibadah dan keseharian
kita.
Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka:
Syarhun Mujaz li Asma-illah Al-Husna. Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A
An-Nahj Al-Asma. Muhammad Al-Hamud An-Najdi.
Al-Qawaid al-Mutsla. Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Darul Aqidah.
Taisir Karim ar-Rahman. Abdurrahman As-Sa’di. Maktabah Syamilah.
Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Ibnu Jarir ath-Thabari. Maktabah Syamilah.
Badai’ al-Fawaid. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Maktabah Syamilah.
Catatan Kaki
2Syarhun Mujaz li Asmaillah al-Husna, Dr. Ali Musri Semjan Putra, 22. Asalnya dari
Ta’liq Syaikh ‘Ali Nashir al-Faqihi ‘ala Kitab At-tauhid li Ibni Mandah, 2/117.
4 Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, Ibnu Jarir ath-Thabari, 11/288, Maktabah Syamilah
5 Al-Qawaid al-Mutsla, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 12
9 Ibid
10 Ibid
Al-Bashir
البصير
( MAHA MELIHAT)
Sumber Bacaan:
q Shifatullah Al-Waridah fil Kitabi Was Sunnah
q Tafsir As-Sa’di
q Syarh Nuniyyah, dll.
OLEH :
OLEH :
OLEH :
OLEH :
OLEH :