BPH
(BENIGNA PROSTAT HYPERPLASI)
A. Definisi
Benigna Prostatic hyperplasia adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai
hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat. (Yuliana elin, 2012).
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat
mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang
paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2014)
Dapat disimpulkan bahwa BPH (Benigna Prostatic hyperplasia) merupakan
Pembesaran pada kelenjar prostat yang dapat menyumbat aliran urin yang sering terjadi
umumnya pada pria.
1. Anatomi Prostat
Menurut Wibowo dan Paryana (2012). Kelenjar prostat terletak dibawah kandung
kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya berhubungan dengan
buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma
urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Gambar letak prostat terlihat di
gambar 2.1
Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos Prostat
dibentuk oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat dibungkus oleh
capsula fibrosa dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal. Diantara fascia
prostatica dan capsula fibrosa terdapat bagian yang berisi anyaman vena yang disebut
plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal dari fascia pelvic yang melanjutkan diri ke
fascia superior diaphragmatic urogenital, dan melekat pada os pubis dengan diperkuat
oleh ligamentum puboprostaticum. Bagian posterior fascia prostatica membentuk lapisan
lebar dan tebal yang disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah dilepas dari fascia
rectalis dibelakangnya. Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat ( Purnomo, 2014).
Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30-50 kelenjar yang
terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus anterior, dan lobus medial.
Lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan dibawah duktus ejakulatorius, lobus
lateral yang terletak dikanan uretra, lobus anterior atau isthmus yang terletak di depan
uretra dan menghubungkan lobus dekstra dan lobus sinistra, bagian ini tidak mengandung
kelenjar dan hanya berisi otot polos, selanjutnya lobus medial yang terletak diantara
uretra dan duktus ejakulatorius, banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian
yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang menonjol kedalam vesica urinaria
bila lobus medial ini membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi bendungan aliran urin
pada waktu berkemih (Wibowo dan Paryana, 2012).
Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut atau buah kenari
besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 -
3 cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian prostat terdiri dari 50 – 70 % jaringan
kelenjar, 30 – 50 % adalah jaringan stroma (penyangga) dan kapsul/muskuler. Bagian
prostat terlihat di gambar 2.2.
Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus
prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari
C. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun
yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang
erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan. Ada beberapa factor kemungkinan
penyebab antara lain:
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen –testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma –epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yangmati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori selstem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit(Purnomo, 2014)
E. Patofisiologi
BPH terjadi pada umur yang semakin tua (45 tahun) dimana fungsi testis sudah
menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon
testosteron dan dehidrotesteosteron sehingga memacu pertumbuhan pembesaran prostat.
Makrokospik dapat mencapai 60-100 gram dan kadang-kadang lebih besar lagi hingga 200
gram atau lebih. Tonjolan biasanya terdapat lobus lateralis medius, tetapi tidak mengenai
bagian posterior dari pada lobus medialis, yaitu bagian yang dikenal sebagai lobus
posterior, yang sering merupakan tempat berkembangnya karsinoma (Moore).
Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai
celah, atau menekan dari bagian tengah. Kadang-kadang penonjolan itu merupakan suatu
polip yang sewaktu-waktu dapat menutup lumen uretra.
Pada penampang, tonjolan itu jelas dapat dibedakan dengan jaringan prostat yang
masih baik. Warnanya bermacam-macam tergantung kepada unsur yang bertambah.
Apabila yang bertambah terutama unsur kelenjar, maka wamanya kurang kemerahan,
berkonsistensi lunak dan terbatas tegas dengan jaringan prostat yang terdesak, yang
berwarna putih keabu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan maka akan keluar
cairan seperti susu.
Apabila unsur fibromuskuler yang bertambah, maka tonjolan berwarna abu-abu padat
dan tidak mengeluarkan cairan seperti halnya jaringan prostat yang terdesak sehingga
batasnya tidak jelas.
Gambaran mikroskopik juga bermacam-macam tergantung pada unsur yang
berproliferasi. Biasanya yang lebih banyak berproliferasi ialah unsur kelenjar sehingga
terjadi penambahan kelenjar dan terbentuk kista kista yang dilapisi oleh epitel torak atau
koboid selapis yang pada beberapa tempat membentuk papil papil ke dalam lumen.
Membran basalis masih utuh.
Kadang-kadang terjadi penambahan kelenjar yang kecil-kecil sehingga menyerupai
adenokarsinoma. Dalam kelenjar sering terdapat sekret granuler, epitel yang terlepas dan
corpora anylacea.
Apabila unsur fibrom yang bertambah, maka terjadi atas jaringan ikat atau jaringan
otot dengan kelenjar kelenjar yang letaknya saling berjauhan. Gambaran ini juga dinamai
hiperplasi fibrimatosa atau hiperflasi leiomymatosa. Pada jaringan ikat otot biasanya
terdapat serbukan limfosit.
Selain gambaran di atas sering terdapat perubahan lain berupa:
1. Metaplasia skwamosa epitel kelenjar dekat uretra.
2. Daerah infark yang biasanya kecil-kecil dan kadang-kadang terlihat di bawah
mikroskop.
Tanda dan gejala dari BPH adalah dihasilkan oleh adanya obstruksi jalan keluar urin
dari kandung kemih
Proses pembesaran prostate ini terjadi secara perlahan-lahan, sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat
aliran urine, keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan
tersebut. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli
berupa hipertrofi otot detrusor (menebal dan meregang) sehingga terbentuklah selula,
sekula dan divertikel buli-buli.
Fase penebalan detrusor ini disebut juga fase kompensasi. Dan apa bila berlanjut, maka
detrusor akan mengalami kelelahan dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi, sehingga terjadi retensio urine yang selanjutnya dapat
menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Turp merupakan pembedahan bph yang paling sering di lakukan dimana endoskopi
dimasukkan melalui penis (uretra). Cara ini cocok untuk hyperplasia yang kecil. Reseksi
Kelenjar prostate dilakukan ditrans-uretra yang dapat mengiritasi mukosa kandung kencing
sehingga dapat menyebabkan terjadinya perdarahan, untuk itu tindakan ini mempergunakan
cairan irigasi (pembilas) agar daerah yang direseksi tidak tertutup darah.
F. PATHWAY
BPH
TURP/INSISI
Disfungsi seksual
Peregangan Penggunaan alat invasif
Risiko infeksi
Spasmus otot VU
Nyeri akut
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari
fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA)
dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini
keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-
10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi
dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat,
demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darahlengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua
defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya
menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan
pernafasan harus dikaji. Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung
jenis leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin
H. Penatalaksanaan
1. Modalitas terapi BPH adalah :
a. Observasi yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan kemudian setiap
tahun tergantung keadaan klien.
b. Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan Keluhan ringan,
sedang, sedang dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari
phitoterapi (misalnya : Hipoxis rosperi, serenoa repens, dll), gelombang alfa
blocker dan golongan supresor androgen.
c. Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut (100 ml).
2) Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung kemih setelah
klien buang air kecil > 100 Ml.
3) Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan sistem perkemihan seperti
retensi urine atau oliguria.
4) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
2. Pembedahan dapat dilakukan dengan :
a. TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat).
1) Jaringan abnormal diangkat melalui rektroskop yang dimasukan melalui uretra.
2) Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.
3) Dibutuhkan kateter foley setelah operasi.
b. Prostatektomi Suprapubis
1) Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung kemih.
2) Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter suprapubis setelah
operasi.
c. Prostatektomi Neuropubis
1) Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah.
2) Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
3) Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase.
d. Prostatektomi Perineal
1) Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
2) Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.
3) Vasektomi biasanya dikakukan sebagai pencegahan epididimistis.
4) Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi (pembersihan perut, enema,
diet rendah sisa dan antibiotik).
5) Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase) diletakan
pada tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk.
Pada TURP, prostatektomi suprapubis dan retropubis, efek sampingnya dapat
meliputi:
1. Inkotenensi urinarius temporer.
2. Pengosongan urine yang keruh setelah hubungan intim dan kemandulan sementara
(jumlah sperma sedikit) disebabkan oleh ejakulasi dini kedalam kandung kemih.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Sebelum Operasi.
a. Data Subyektif
1) Klien mengatakan nyeri saat berkemih
2) Sulit kencing- Frekuensi berkemih meningkat
3) Sering terbangun pada malam hari untuk miksi
4) Keinginan untuk berkemih tidak dapat ditunda
5) Nyeri atau terasa panas pada saat berkemih
6) Pancaran urin melemah
7) Merasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
8) Kalau mau miksi harus menunggu lama
9) Jumlah urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
10) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
11) Urin terus menetes setelah berkemih
12) Merasa letih, tidak nafsu makan, mual dan muntah
13) Klien merasa cemas dengan pengobatan yang akan dilakukan
b. Data Obyektif
1) Ekspresi wajah tampak menhan nyeri
2) Terpasang kateter2. Sesudah Operasia. Data Subyektif
3) Klien mengatakan nyeri pada luka post operasi
4) Klien mengatakan tidak tahu tentang diet dan pengobatan
2. Setelah operasi
a. Data Obyektif
1) Ekspresi tampak menahan nyeri
2) Ada luka post operasi tertutup balutan
3) Tampak lemah
4) Terpasang selang irigasi, kateter, infus
3. Riwayat kesehatan : riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyak
itkeluarga, pengaruh BPH terhadap gaya hidup, apakah masalah urinari yang dialami
pasien.
4. Pengkajian fisik
a. Gangguan dalam berkemih seperti
1) Sering berkemih
2) Terbangun pada malam hari untuk berkemih
3) Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak
4) Nyeri pada saat miksi, pancaran urin melemah
5) Rasa tidak puas sehabis miksi
6) Jumlah air kencing menurun dan harus mengedan saat berkemih
7) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus, urin terus menetes setelah berkemih.
8) Nyeri saat berkemih
9) Ada darah dalam urin- Kandung kemih terasa penuh
10) Nyeri di pinggang, punggung, rasa tidak nyaman di perut.
11) Urin tertahan di kandung kencing, terjadi distensi kandung kemih
b. Gejala umum seperti keletihan, tidak nafsu makan, mual muntah, dan rasa tidak
nyaman pada epigastrik
c. Kaji status emosi : cemas, takut
d. Kaji urin : jumlah, warna, kejernihan, baue. Kaji tanda vital
5. Kaji pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan radiografi
b. Urinalisa
c. Lab seperti kimia darah, darah lengkap, urin
6. Kaji tingkat pemahaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang keadaan dan prose
s penyakit, pengobatan dan cara perawatan di rumah.
E. Evaluasi
Menurut Nursalam (2011) evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis yaitu:
1. Evaluasi formatif
Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi dilakukan sampai
dengan tujuan tercapai.
2. Evaluasi somatif
Merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini menggunakan SOAP.
DAFTAR PUSTAKA
Nanda. 2018. Panduan diagnosa keperawatan. Nanda 2018-2020. Editor Budi Santoso. Jakarta:
Prima Medika
Yuliana Elin, andradjati retnosari, dkk. ISO farmakoterapi. ISFI. Jakarta: 2012
Smeltzer, dkk. 2014. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC