Dilaporkan oleh:
dr. Nuraini Syahputri
Pembimbing:
dr. Syafridawati
I. LATAR BELAKANG
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit utama penyebab
kematian dan kesakitan yang juga mempengaruhi aspek ekonomi dan sosial
masyarakat di dunia, dimana kedua aspek tersebut merupakan aspek penting dalam
masyarakat.1 Di Indonesia, PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang dipengaruhi berbagai faktor resiko,
seperti semakin banyaknya jumlah perokok pada usia muda, serta pencemaran udara
di dalam ruangan maupun diluar ruangan dan di tempat kerja.2
Menurut GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease), PPOK
merupakan penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang
bersifat persisten dan progresif, serta berhubungan dengan respon inflamasi kronis
pada saluran nafas dan paru akibat pajanan partikel dan gas yang beracun. Tingkat
keparahan pada setiap pasien ditentukan oleh eksaserbasi dan penyakit komorbid
yang menyertainya.3
Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok tertinggi mempunyai prevalensi
lebih besar. Data riset kesehatan tahun 2013 menunjukkan prevalensi PPOK
mencapai 3,7%. Di Indonesia, PPOK menempati urutan ke lima sebagai penyakit
penyebab kematian, dan diperkirakan akan menduduki peringkat ke tiga pada tahun
2020 mendatang.9
Survey penyakit tidak menular dan penyehatan lingkungan (PTM dan PL) yang
dikutip dari perhimpunan dokter paru Indonesia (PDPI) menyebutkan bahwa lima
rumah sakit provinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung,
dan Sumatera Selatan) menunjukkan PPOK sebagai urutan pertama penyumbang
angka kesakitan (35%) diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%), dan lainnya
(2%).8
Berdasarkan data dari rekam medis RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau
didapatkan peningkatan jumlah kunjungan dari tahun 2010 hingga 2012. Jumlah
kunjungan tahun 2010, 2011, dan 2012 didapatkan 849, 994, dan 1184 kunjungan.
Kasus baru PPOK tahun 2010, 2011, dan 2012 didapatkan 108, 143, dan 154 kasus
1
baru. Pada tahun 2012 PPOK menduduki peringkat ke 15 dari penyakit paru di
Poliklinik Paru RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.11
III. MANFAAT
Laporan kasus ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca dalam
upaya pengembangan ilmu kedokteran berkelanjutan terutama mengenai manajemen
kasus klinis PPOK.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. K
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 71 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Cerai Mati
Tanggal Masuk IGD : 16 Maret 2019
3
4. Riwayat pengobatan
Disangkal
5. Riwayat alergi
Disangkal
D. Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit
serupa, darah tinggi ataupun kencing manis.
E. Riwayat Kebiasaan
Pasien menggunakan obat nyamuk bakar setiap malam dirumah.
4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin, Kimia Darah, Elektrolit 16-03-2019
Komponen Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12,4 12-15 g/dl
Hematokrit 35.7 37-54%
Leukosit 11.490 4.000-11.000/ul
Trombosit 357.000 150.000-400.000/ul
Gula Darah Sewaktu 99 <200 mg/dl
Ureum 19 10-50 mg/dl
Creatinine 0.9 0.5-0.9 mg/dl
Na 139,9 135-148 mmol/L
K 3,15 3.5-5.3 mmol/L
Cl 109,3 98-108 mmol/L
Interpretasi:
Jantung bentuk dan ukuran biasa. Corakan bronkovaskuler pada kedua
lapangan paru meningkat. Sinus costoprenicus kanan dan kiri lancip. Tulang-
tulang dan jaringan lunak dinding dada baik.
Kesan: pneumonia
5
V. RESUME
Ny. K, 71 tahun, datang dengan keluhan sesak nafas selama kurang lebih 2
bulan ini. Sesak dirasakan hilang timbul, meningkat saat beraktivitas dan
berkurang saat pasien duduk. Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 1 minggu
ini, batuk berdahak berwarna putih. Demam dijumpai 1 minggu ini, demam
naik turun, menggigil disangkal. Pasien menggunakan obat nyamuk bakar
setiap malam. Pada pemeriksaan fisik dijumpai ekspirasi memanjang,
wheezing (+/+), rhonki (+/+). Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai
leukositosis.
VI. DIAGNOSIS
PPOK eksaserbasi akut + Pneumonia
VII. TATALAKSANA
a. Nonmedikamentosa
Tirah baring
b. Medikamentosa
-O2 nasal canul 3 Lpm
-Nebul combivent 1 kali
Wheezing (+) menurun
c. Observasi IGD
Konsul dr. Romaito Sp.P.
- Acc rawat inap
- IVFD RL + 1 amp aminopilin 12 jam /kolf
- Nebul combivent /6 jam
- Inj. Methylprednisolon 125 mg /12 jam
- Inj. Ceftriaxone 2gr /24 jam
- Inj. Ranitidine / 12 jam
- Inj. Fluimocil /12 jam
- Inj. Lasix /12 jam
- curcuma tab 3x1
6
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit atau gangguan paru
yang memberikan kelainan ventilasi berupa obstruksi saluran pernapasan yang
bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial.1
PPOK meliputi bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik yaitu suatu kelainan saluran pernapasan yang ditandai oleh batuk
berdahak yang kronik selama minimal 3 bulan selama setahun, minimal dua tahun
berturut-turut dan gejala tersebut bukan disebabkan oleh penyakit lain. Sedangkan
emfisema adalah keadaan anatomis paru yang mengalami kelainan, ditandai dengan
pelebaran jalan udara bagian distal dari bronkiolus terminal dan disertai dengan
kerusakan pada dinding alveoli. Penyebab utama PPOK adalah respon infalamasi
berlebihan pada organ paru yang berlangsung kronis dan progresif. Respon inflamasi
ini bisa disebabkan oleh polusi udara, terutama asap rokok.7
8
3.3. ETIOLOGI
Kebiasaan merokok merupakan faktor resiko utama kasus PPOK, yaitu sekitar
90% kasus PPOK disebabkan oleh kebiasaan merokok. Asap rokok hasil dari
pembakaran tembakau dapat mengiritasi bronkiolus dan memicu perubahan
permanen pada kelenjar yang memproduksi mukus sehingga dapat menyebabkan
hiperekskresi mukus. Merokok juga menyebabkan inflamasi pada dinding organ
saluran napas dan dapat merusak dinding alveolar, serta memperparah kondisi
emfisema pada pasien yang rentan.8
3.4.PATOFISIOLOGI
Mekanisme patofisiologi yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang
khas, misalnya penurunan VEP₁ yang disebabkan peradangan dan penyempitan
saluran napas perifer, sementara transfer gas yang menurun terjadi akibat kerusakan
parenkim paru.4,6
1. Keterbatasan aliran udara dan air trapping
Tingkat peradangan, fibrosis dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil
berkolerasi dengan penurunan VEP₁ dan rasio VEP/KVP. Penurunan VEP₁
merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer
menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi.
Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas
residual fungsional, khususnya selama latihan, yang terlihat sebagai sesak
napas dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada
awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya sesak napas pada
aktivitas.
2. Mekanisme pertukaran gas
Ketidak seimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia dan
hiperkapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum
pertukaran gas memburuk selama penyakit berlangsung.
3. Hipersekresi
Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus melalui
aktivasi reseptor faktor EGFR
4. Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan peningkatan lebih lanjut respons inflamasi dalam
saluran napas pasien PPOK. Keadaan ini dipicu oleh infeksi bakteri atau
virus atau polusi lingkungan. Pada eksaserbasi ringan dan sedang terdapat
peningkatan neutrofil, beberapa studi juga menemukan eosinofil dalam
9
sputum dan dinding saluran napas. Pada eksaserbasi berat, salah satu
penelitian menunjukkan peningkatan neutrofil pada dinding saluran napas.
10
Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), PPOK
diklasifikasikan ke dalam (GOLD 2010).3,7
Derajat Klinis Faal paru
Gejala klinis (batuk, produksi Normal
sputum)
Derajat I: PPOK Gejala: batuk kronik dan VEP₁/KVP <70%
ringan produksi sputum (+) tetapi tidak VEP₁ ≥80% prediksi
sering. Pada derajat ini pasien
sering tidak menyadari bahwa
faal paru mulai menurun.
Derajat II: PPOK Gejala sesak mulai dirasakan saat VEP₁/KVP < 70%
sedang aktivitas dan kadang ditemukan 50% < VEP₁ < 80%
gejala batuk dan produksi Prediksi
sputum. Pada derajat ini biasanya
pasien mulai memeriksa
kesehatan nya
Derajat III: PPOK Gejala sesak lebih berat, VEP₁/KVP < 70%
berat penurunan aktivitas, rasa lelah 30% < VEP₁ <50%
dan serangan eksaserbasi Prediksi
semakin sering dan berdampak
pada kualitas hidup pasien
Derajat IV: PPOK Gejala diatas ditambah tanda- VEP₁/KVP < 70%
sangat berat tanda gagal napas atau gagal VEP₁ < 30% prediksi
jantung kanan dan atau VEP₁ < 50%
ketergantungan oksigen. Pada prediksi disertai gagal
derajat ini kualitas hidup pasien napas kronik
memburuk dan jika eksaserbasi
dapat mengancam jiwa
3.6. DIAGNOSIS
Umunya didasarkan pada anamnesa, pemeriksan fisik, pemeriksaan sinar X,
pemeriksaan faal paru, dan pemeriksaan labratorium patologi klinik. Menurut
“American Thoracicsociety” ATS adalah:5
Anamnesa
Umumnya penderita adalah usia pertengahan ke atas. Sesak nafas yang
menjadi keluhan utama, sering disertai batuk, mengi, dahak, serta infeksi
saluran nafas berulang. Rokok serta polusi ditempat kerja patut ditanyakan.
11
- Inspeksi
a. Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
b. Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding)
c. Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater
- Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, dan sela iga melebar
- Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
- Auskultasi
a. suara napas vesikuler normal, atau melemah
b. terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
c. ekspirasi memanjang
Pemeriksaan Penunjang
- Faal paru
a. Spirometri
b. VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
Darah rutin
Timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik.
Mikrobiologi sputum
12
Radiologi
Foto thorax pada bronchitis kronis memperlihatkan tubular shadow
berupa bayangan garis-garis yang parallel keluar dari hilus menuju apex paru
dan corakan paru yang bertambah.
Pada emfisema paru thorax menunjukan adanya overventilasi dengan
gambaran diafragma yang rendah dan datar,peningkatan retrosternal air
space dan bayangan penyempitan jantung yang panjang, penciutan pembuluh
darah pulmonal dan penampakan ke distal.
Pada ct-scan lebih sensitif daripada foto thorax biasa karena pada
High-resolution CT (HRCT) scan memiliki sensivitas tinggi untuk
menggambarkan emfisema, tapi tidak dianjurkan untuk pemeriksaan rutin.
13
Tuberkulosis 1. Onset semua usia
2. Gambaran thoraks : infiltrasi paru
3. Konfirmasi mikrobiologi (BTA +)
4. Lokasi prevalensi TB tinggi
Panbronkiolitis 1. Dominan pada keturunan etnis asia
difuse 2. Umumnya laki-laki, riwayat sinusitis kronis
Penyakit lain yang bisa menjadi diagnosis banding PPOK antara lain :
1. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberkulosis) adalah penyakit obstruksi
saluran nafas yang ditemukan pada pasien pasca tuberkulosis dengan lesi
paru minimal.
2. Pneumothoraks di mana keadaan cembung ditempat kelainan, perkusi
hipersonor, auskultasi saluran nafas melemah.
3. Penyakit paru dengan obstruksi saluran nafas lain misalnya destroyed lung.
3.8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan PPOK secara umum, meliputi: edukasi, berhenti merokok,
obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis, nutrisi.7,8
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari
edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari
edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK:
Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
Melaksanakan pengobatan yang maksimal
Mencapai aktiviti optimal
Meningkatkan kualitas hidup
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah:
Pengetahuan dasar tentang PPOK
14
Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
Cara pencegahan perburukan penyakit
Menghindari pencetus (berhenti merokok)
Penyesuaian aktivitas
2. Obat – obatan
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser
tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting).
Macam - macam bronkodilator:
a. Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping
sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal
4 kali perhari).
b. Golongan agonis -2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet
yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.
15
d. Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk
tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas),
bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
Anti inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi,
dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk
inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 ml.
Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
Lini I : amoksisilin, makrolid
Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin,
kuinolon, makrolid baru.
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N- asetilsistein.
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous.
Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.
Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. GOLD Inc. 2015. Global strategy for the diagnosis, management and
treatment.
2. Departemen Kesehatan. 2008. Pedoman pengendalian penyakit paru
obstruksi kronik. Keputusan Menteri kesehatan Nomor:
1022/MENKES/SK/2008.
3. GOLD Inc. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevantion.
Di unduh dari URL:
http://www.goldcopd.com/guidelineitem.asp?11=2&12=1&intd=989
4. Riyanto, Bambang Sigit. 2010. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut dalam
buku Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Internal Publishing.
5. Antariksa, Budi. 2011. PPOK (Penyakit Paru Obtruktif Kronik) Diagnosis
dan Penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
6. Wilson, Lorraine M. 2002. Pola Obtruktif Pada Penyakit Pernapasan:
Penyakit Paru Obtruktif Kronik dalam buku Patofisiologi Konsep Klinis
Prose-proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.
7. Perhimpunan dokter paru indonesia (PDPI). Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan PPOK di Indonesia, 2011.
8. Mangunnegoro H. dkk. 2003. PPOK, pedoman diagnosis dan penatalaksaan
di indonesia. Pehimpunan dokter paru indonesia, hal 1-56.
9. World health organitation., COPD.geneva: 2008
10. Rani AZ, Soegondo S, Nasir AUZ. Panduan pelayanan medik. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000; 105-7.
11. Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau. Data Rekam
Medis Poliklinik Paru. 2010-2012.
17