Anda di halaman 1dari 26

1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................ii

DAFTAR ISI ................................................................ 1

BAB I PENDAHULUAN ........................................... 2

A. Latar Belakang ...................................................... 2


B. Rumusan Masalah ................................................. 4
C. Tujuan ................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ............................................ 6

A. Sumber Identitas Suku Bugis ................................. 6


B. Sistem Kekerabatan suku bugis ............................ 7
C. Perkawinan ........................................................... 11
D. Dunia Lelaki dan Perempuan Bugis ..................... 14
E. Status dalam Masyarakat Bugis ........................... 19
F. Pendekatan Terhadap Suku Bugis ....................... 22

BAB III PENUTUP................................................... 24

A. Kesimpulan .......................................................... 24
B. Saran ..................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA ................................................ 25


2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

"Budaya Yanomamo", "Budaya Jepang", "Evolusi Budaya",


"Alam Versus Budaya": Kita Para Ahli Antropologi Masih Terus
Menggunakan Kata Budaya Tersebut, Dan Kita Masih Mengira
Bahwa Kata Budaya Tersebut Punya Suatu Arti. Namun, Dengan
Memperhatikan Cara Kerabat Primate Kita, Seperti Chimpanzee,
Gorilla, Dan Orang Utan Mempelajari Tradisi -Tradisi Setempat,
Menggunakan Peralatan, Dan Menggunakan Simbol -Simbol
Dengan Cekatan, Kita Tidak Dapat Lagi Berkata Dengan
Seenaknya Bahwa "Budaya" Adalah Warisan Tingkah Laku
Simbolik Yang Membuat Makhluk Manusia Menjadi "Manusia".
Jadi Dengan Memperhatikan Gerak Perubahan Dan
Keanekaragaman Individualitas, Kita Tidak Dapat Lagi Dengan
Mudah Berkata Bahwa "Satu Budaya" Adalah Satu Warisan Yang
Dimiliki Bersama Oleh Sekelompok Manusia Dalam Suatu
Masyarakat Tertentu. Selanjutnya, Kita Makin Menyadari Bahwa
Pandangan Yang Holistik Terhadap Budaya Seperti Yang
Disimpulkan Oleh Kroeber Dan Kluckhohn Dalam Tahun 1950-An
Adalah Mencakup Terlampau Banyak Hal,. Dan Juga Kurang
Tajam, Untuk Digunakan Bagi Menelaah Pengalaman Manusia
Yang Begitu Rumit DanUntuk Menafsirkan Pola-Pola Kerumitan
Pengalaman Manusia Tersebut. Tantangan Masa Kini Adalah
Menemukan Cara Untuk Mempertajam Konsep "Budaya",
Sedemikian Rupa, Sehingga Konsep Itu Mempunyai Cakupan
[Terdiri Atas Bagian-Bagian] Yang Lebih Sedikit Tetapi
Mengungkapkan Hal Yang Lebih Banyak. Seperti Dikatakan Oleh
Geertz (30, Him. 4), "Pemotongan Konsep Budaya [Ke Dalam]
3

Satu Konsep Yang Tajam, Mengkhusus, Dan Secara Teoritis Lebih


Kuat Adalah Satu Tema Besar Dalam Perteorian Antropologi
Modern".2 Dalam Pandangan Ini, Secara Tersirat Tcrlihat Satu
Asumsi Yang Dimiliki Oleh Hampir Keseluruhan Dari Kita. Saya
Pikir Konsep Budaya (Culture) Tidak Punya Satu Arti Yang Benar,
Dikeramatkan Dan Tak Pernah Habis Kita Coba Temukan. Tetapi,
Seperti Halnya Simbol -Simbol Lain, Konsep Ini Mempunyai
Makna Saat Kita Memakainya; Dan Sebagaimana Konsepkonsep
Analitik Lainnya, Pemakai Konsep Ini Harus Membentuk—
Mencoba Sedikitnya Setuju Pada—Pengelompokan Gejala Alam,
(Di Mana) Konsep Ini Dapat Diberi Label Secara Sangat Strategis.

Indonesia Sebagai Negara Kepulauan Terkenal Akan


Keanekaragaman Suku, Bahasa, Agama, Dan Budaya. Kebudayaan
Setiap Daerah-Daerah Terhitung Menjadi Kesatuan Kebudayaan
Nasional Yang Tertuang Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
32. Kebudayaan Daerah Menjadi Salah Satu Unsur Yang Penting
Dalam Membangun Kehidupan Bangsa Indonesia, Yang Mana
Kebudayaan TersebutMerupakan Jati Diri Bangsa. Kebudayaan
Ialah Keseluruhan Dari Kelakuan Dan Hasil Kelakuan Manusia
Yang Teratur Oleh Tata-Kelakuan Yang Harus Didapatnya Dengan
Belajar Dan Yang Semuanya Tersusun Dalam Kehidupan
Bermasyarakat.1 Sulawesi Selatan Adalah Salah Satu Dari 34
Propinsi Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di Provinsi
Ini Terdapat Empat Suku Bangsa Utama Yaitu, Toraja, Makassar,
Bugis Dan Mandar.2 Suku Bugis Adalah Salah Satu Suku Yang
Terbesar Yang Mendiami Daerah Sulawesi Selatan. “Suku Bangsa
Bugis Terutama Mendiami Kabupatenkabupaten Bone, Wajo,
Soppeng, Sinjai, Bulukumba, Barru, Parepare, Sidrap, Pinrang Dan
Luwu. Sebahagian Penduduk Pangkajene Dan Maros, Sebagai
Daerah Perbatasan Antara Negeri-Negeri Orang Bugis – Makassar,
4

Adalah Orang Bugis Atau Orang Makassar.”3 ”Bugis Adalah


Suku Yang Tergolong Ke Dalam Suku-Suku Melayu Deutero.
Kata “Bugis” Berasal Dari Kata To Ugi, Yang Berarti Orang
Bugis”.4 Menarik Untuk Dipelajari Etnografi Kebudayaan Suku
Bugis Karena Memiliki Ciri Yang Khas. “Mereka Adalah Contoh
Yang Jarang Terdapat Di Wilayah Nusantara. Mereka Mampu
Mendirikan Kerajaankerajaan Yang Sama Sekali Tidak
Mengandung Pengaruh India, Dan Tanpa Mendirikan Kota Sebagai
Pusat Aktivitas Mereka.5 Perpindahan Besar-Besaran Orang
“Bugis” Ke Luar Kampungnya Di Sulawesi Selatan Di Mulai Pada
Paruh Baya Ke-17 Dan Ke-18.6 Hari Ini Orang Bugis Telah
Tersebar Di Segala Kawasan. Di Seluruh Wilayah Nusantara Dari
Semenanjung Melayu Dan Singapura Hingga Pesisir Barat Papua,
Dari Filipina Selatan Daan Kalimantan Utara Hingga Nusa
Tenggara Dapat Dijumpai Orang Bugis Yang Sibuk Dengan
Aktivitas Pelayaran, Perdagangan, Pertanian, Pembukaan Lahan
Perkebunan Di Hutan, Atau Pekerjaan Apa Saja Yang Sesuai.7
Meskipun Telah Tersebar Di Mana Saja, Identitas Suku Ini Tetap
Terlihat Di Mana Pun Mereka Tinggal. Orang Bugis Ternyata
Tetap Mampu Mempertahankan Identitas “Kebugisan” Mereka.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sumber identitas suku bugis ?
2. Bagaimanakah Sistem Kekerabatan masyarakat suku bugis ?
3. Apakah Perkawinan Masyarakat Suku Bugis Sama Dengan
Masyarakat Lain Misalanya Masyarakat Makassar ?
4. Bagaimana wilayah Aktivitas Lelaki Dan Perempuan Bugis ?
5. Apakah Status Dalam Masyarakat Bugis ?
6. Bagaimanakah Mental dan Watak Suku Bugis ?
7. Bagaimanakah pendekatan terhadap suku bugis ?
5

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana sumber identitas suku bugis
2. Untuk mengetahui system kekerabatan masyarakat suku bugis
3. Untuk mengetahui perkawinan masyarakat suku bugis
disbanding masyarakat lain misalnya masyarakat Makassar
4. Untuk mengetahui wilayah aktivitas lelaki dan perempuan
bugis
5. Untuk mengetahui status dalam masyarakat bugis
6. Untuk mengetahui mental dan watak suku bugis
7. Untuk mengetahui pendekatan terhadap suku bugis
6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sumber Identitas Suku Bugis


“Orang Bugis Sendiri Mengenal Masa Lampau Mereka
Melalui Dua Macam Manuskrip Anonim Yakni Mitos/Epos
Dan Teks Sejarah/Kronik.Jenis Pertama Berwujud Sebuah
Karya Sastra Besar Berisi Cerita Bersyair, Yang Dinamakan
Sure’ Galigo Oleh Orang Bugis.Jenis Kedua, Adalah Sejumlah
Besar Kronik Orang Bugis, Makassar Dan Mandar.”9 Sure’
Galigo Merupakan Bagian Yang Tidak Terpisahkan Dari
Identitas Kebudayaan Bugis.Naskah La Galigo Bercerita
Tentang Ratusan Keturunan Dewa Yang Hidup Pada Masa
Selama Enam Generasi Turun-Temurun Pada Berbagai
Kerajaan Di Sulawesi Selatan.10 A. Rahman Rahim
Menuliskan, “Sure’ Galigo Menceritakan Tentang Awal Mula
Dihuninya Negeri Bugis, Ketika Batara Guru Dari Botinglangi’
(Dunia Atas) Bertemu Di Tana Luwu Dengan We’Nyelli Timo
Dari Buri’liung (Dunia Bawah). Simpuru’siang Di Luwu,
Sengingridi Di Bone, Petta Sekkanyili Di Soppeng, Puteri
Temmalate Di Gowa, Semuanya Adalah Tomanurung Yang
Membentuk Masyarakat Bugis-Makassar.”
Naskah Yang Bersyair Tersebut Ditulis Dalam Bahasa
Bugis Kuno Dengan Bahasa Sastra Tinggi Dan Oleh
Masyarakat Bugis Dipercayai Sebagai Kitab Sakral.”12 Selain
Epos/Mitos, Kronik/Teks Sejarah Kebudayaan Bugis Dapat
Ditemukan Dalam Sejumlah Lontara. “Lontara Adalah Sesuai
Dengan Kata Lontar (Jawa/Melayu), Yang Merupakan
Transposisi Kata Rontal, Yang Merupakan Kombinasi Kata
7

Ron, Daun, Dan Tal. Tal Adalah Pohon Borassus


Flabelliformis Yang Daunnya Dapat Dipakai Untuk
Menulis.Lontara Pertama-Tama Berarti Daun Lontar, Dan
Dalam Arti Luas Berarti Setiap Karya Tulis.”13 Dalam Lontara
Memuat Begitu Macam Informasi Yang Penting.”Lontara
Berisi Catatan Rinci Mengenai Silsilah Keluarga Bangsawan,
Wilayah Kerajaan, Catatan Harian, Serta Berbagai Macam
Informasi Lain Seperti, Daftar Kerajaan-Kerajaan, Naskah
Perjanjian Dengan Kerajaan Lain Atau Persetujuan Yang Telah
Diadakan Intra-Kerajaan Sendiri Antara Penguasa Dan Rakyat.

B. Sistem Kekerabatan suku bugis

“Dalam kehidupan masyarakat yang masih sederhana atau


paling tidak kelompok yang memiliki jumlah anggota terbatas,
biasanya hubungan antara masing anggotanya saling mengenal
secara mendalam.Yang menjadi dasar kekuatan ikatan kelompok
semacam ini adalah sistem kekerabatan.”15 Lestari (2009) dalam
Ardhani menjelaskan sistem kekerabatan masyarakat Bugis disebut
dengan assiajingeng yang tergolong parental, yaitu sistem
kekerabatan yang mengikuti pergaulan hidup dari ayah maupun
dari pihak ibu atau garis keturunan berdasarkan kedua orang tua.16
Sistem kekerabatan merupakan aspek yang sangat penting dalam
masyarakat.

Pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan


sangat diperlukan guna memahami apa yang mendasari berbagai
aspek kehidupan masyarakat yang dianggap paling penting oleh
orang Bugis dan saling berkaitan dalam membentuk tatanan sosial
mereka.17 Pada dasarnya, sistem kekerabatan itu, berkembang dari
suatu kelompok keluarga batih (Bugis: sianangmaranak). Sebagai
keluarga batih, mereka terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak dari
8

ayah ibu tersebut yang hidup dalam sebuah rumah tangga.18


“Sebagaimana umumnya masyarakat Austronesia, khususnya
orang-orang Nusantara seperti Melayu, Jawa, Kalimantan, Filipina,
dan orang Bugis pun menganut sistem kekerabatan bilateral.
Kelompok kekerabatan bilateral seseorang ditelusuri melalui garis
keturunan dari pihak ayah maupun ibu.”19 Namun demikian dalam
keluarga Bugis, dalam sebuah rumah tangga tidak hanya terdiri dari
anak dari ayah dan ibu, tetapi juga terdapat anggota keluarga yang
lainnya, seperti sepupu, keponakan dari suami atau istri, nenek dan
kakek.

“Terminologi kekerabatan masyarakat Bugis cukup sederhana


dan tergolong sistem kekerabatan “angkatan”. Seluruh kerabat
yang berasal dari garis generasi yang sama, baik laki-laki maupun
perempuan, saudara laki-laki maupun perempuan, atau sepupu,
dimasukkan ke dalam kategori “saudara” (sumpung lolo, disebut
juga seajing ‘satu asal’).Sumpung berarti sambung (an), sedang
lolo berarti usus atau hati. Kelompok kerabat dekat disebut seajing
mareppe atau macawe’ dan kelompok kerabat jauh disebut seajing
mabela.

Christian Pelras menuliskan sapaan yang berlaku dalam


masyarakat Bugis sebagai berikut. “Yang paling penting adalah
apakah ia lebih tua (kaka’) atau lebih muda (anri’). Begitu pula
generasi di bawahnya, panggilan untuk mereka sama, yakni ana’
(anak), termasuk untuk anak kandung, kemenakan laki-laki dan
perempuan, anak dari sepupu kaki dan perempuan. Selanjutnya,
baik keturunan ana’ maupun keturunan anaure’ akan disapa sebagai
eppo (cucu).

Sementara itu, semua kerabat yang seangkatan dengan ayah


dan ibunya, akan disapa paman (ama-ure’ atau amure’) atau bibi
9

(ina ure’). Sedangkan orang tua dari bapak, ibu, paman dan bibi
akan disapa nene’ (yang berarti kakek atau pun nenek). Sementara
itu, biasanya akan sulit menentukan apakah orang yang disapa
dengan sapaan-sapaan tersebut di atas benar-benar memiliki
hubungan kekerabatan dengan mereka. Hal itu disebabkan adanya
kecenderungan untuk secara otomatis menyapa orang-orang dekat,
meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan, dengan sapaan
sesuai dengan generasi mereka masing-masing. Misalnya seorang
bapak akan otomatis menyapa putra sahabatnya dengan sapaan
ana’ bukan karena adanya hubungan darah dengannya, akan tetapi
karena dia berasal dari generasi satu tingkat dibawahnya (satu
generasi dengan ana’-nya). Tentu saja ada sapaan untuk
menentukan secara pasti hubungan kekerabatan satu sama lain,
yakni dengan menambah istilah khusus. Misalnya: silessureng ri
aleku ‘saudaranya sendiri’ atau anri’ ipa’ku ‘adik ipar saya’, atau,
dalam sastra kuno ina tengncajiangnga-a’, ‘ibu yang tidak
melahirkan saya’ sebagai pengganti inaure’ yaitu ‘bibi’.

Dalam masyarakat Bugis marga bukanlah yang terpenting


seperti yang berlaku bagi orang Batak dan Manado.Akan tetapi
yang dikenal adalah “percabangan” dari kedua sisi ayah dan
ibu.Hal tersebut dijelaskan dalam buku yang berjudul Manusia
Bugis. “Dengan kata lain, setiap orang memiliki dua garis nenek
moyang, yakni garis nenek moyang dari bapak dan ibu. Dari kedua
garis keturunan tersebut akan terbentuk jaringan sepupu dari kedua
belahpihak yang memiliki dua pasang kakek-nenek, yakni orang
tua bapak dan orang tua ibu mereka yang disebut nene’ wakkang
‘kakek nenek pangkuan’. Kemudian dua pasang kakek-nenek itu
memiliki pula orang tua yang berjumlah empat pasang.Seterusnya
delapan pasang orang tua dari orang tua kakek-nenek itu juga
memiliki orang tua yang jumlahnya enam belas pasang.Dua pasang
10

kakek-nenek menurunkan sepupu pertama.Empat pasang orang tua


dari kakek-nenek menurunkan sepupu kedua.Delapan pasang orang
tua dari orang tua kakek-nenek menurunkan sepupu ketiga.Dan,
akhirnya enam belas pasang orang tua dari orang tuanya orang tua
kakek nenek menurunkan sepupu empat kali.

Secara berturut-turut, sepupu pertama, kedua, ketiga, dan


keempat, dalam bahasa Bugis sappo siseng, sappo wekka dua,
sappo wekka tellu, dan sapo wekka eppa’. Setiap orang dikelilingi
oleh kerabat yang berasal dari dua cabang, garis bapak, dan ibu,
mulai dari yang paling dekat, misalnya dari cabang kedua orang tua
(saudara, kemenakan, cucu kemenakan), hingga kerabat jauh yang
berasal dari lima lapis nenek moyang yang menurunkan berbagai
lapis sepupu mereka. Jauh dekatnya hubungan kekerabatan
ditentukan oleh lapisan leluhur keberapa yang menghubungkan
mereka. Hubungan berdasarkan nenek moyang tersebut, baik dari
pihak bapak maupun ibu, menyatukan mereka dalam suatu sistem
kekerabatan dan memisahkan mereka dengan “orang lain”.
Masyarakat Bugis tidak memiliki suatu kelompok kekerabatan
bilateral yang mengutamakan salah satu pasangan nenek moyang
saja, sebagaimana dengan orang Toraja tetangga mereka yang
hanya memusatkan inti kelompok keluarga masing-masing pada
sebuah rumah tongkonan.Yang terpenting bagi masyarakat Bugis
adalah dicapainya derajat yang tinggi dalam sistem stratifikasi
sosial.

Hubungan kekerabatan dalam suku Bugis semakin terpelihara


dengan erat ketika mereka bersama-sama hadir dalam upacara-
upacara seperti sunatan, aqikah, dan pernikahan.Meskipun
kekerabatan masyarakat bugis adalah bilateral, namun dalam hak
dan kewajiban mereka lebih mengikuti prinsip bilineal, yang mana
memperhitungkan kekerabatan melalui pihak pria.Namun,
11

kekerabatan suku bugis tidak lagi dibatasi hanya dengan suku bugis
saja namun terjadi integrasi budaya dengan suku lainnya terutama
suku Makassar. Dalam tulisan “Integrasi Orang Bugis di
Kabupaten Gowa (Studi Sosiologi terhadap Orang Bugis Bone di
Bollangi),” diungkapkan bahwa “hubungan kekerabatan yang
terjadi akibat adanya perkawinan diantara masyarakat asli dan
pendatang yang berbeda suku bangsa,menyebabkan terjadinya
proses interaksi yang semakin meluas di antara kedua pasangan dan
pihak-pihak keluarganya.”24 Selain itu dalam bingkai
keberagaman suku maka masalah budaya terkait perasaan sebangsa
dan setanah air yang sangat kental dalam kehidupan bermasyarakat,
masalah kekerabatan terkait hubungan kekerabatan yang ada
diantara mereka, kepatuhan masyarakat pada pejabat pemerintahan
menjadi pengikat kesatuan dalam kekerabatan.

C. Perkawinan

Tujuan perkawinan pada masyarakat Bugis sama dengan


masyarakat lain seperti masyarakat Makassar. Kalau orang
Makassar mengatakan terhadap orang yang mau dikawinkan
lanipattukmi ulanna salangganna, maka orang Bugis mengatakan
elokni ri pakkalepu maksudnya akan diutuhkan, jadi orang yang
belum kawin dianggap belum utuh.26 “Bagi masyarakat Bugis,
perkawinan berarti siala ‘saling mengambil satu sama lain’. Jadi,
perkawinan adalah ikatan timbal-balik.Walaupun mereka berasal
dari status sosial berbeda, setelah menjadi suami istri mereka
merupakan mitra.”27 Dalam perkawinan masyarakat Bugis, laki-
laki dan perempuan bukan hanya merupakan suatu kesatuan,
namun mereka juga terikat menjadi satu kesatuan dengan keluarga
masing-masing, baik dari pihak laki-laki maupun
perempuan.Pernikahan menjadi sarana menyatukan antara dua
keluarga bagi masyarakat Bugis. “Upacara penyatuan dan
12

persekutuan dua keluarga dalam pernikahan biasanya telah


memiliki hubungan sebelumnya dari pihak ayah.Berikut ini
pernikahan yang ideal menurut masyarakat Bugis: “Pertama, siala
massapposiseng ialah kawin antara sepupu sekali, hubungan
perkawinan semacam ini yang paling ideal dahulu di kalangan
bangsawan tinggi (raja-raja) untuk menjaga derajat kemurnian
darah. Perjodohan tersebut disebut juga Assialang Marola
(perjodohan yang sesuai).Kedua, siang massappokadua ialah kawin
antara sepupu dua kali biasa pula disebut asialanna memeng
maksudnya perjodohan yang baik sangat serasi.Ketiga, siala
massappo katellu ialah kawin antara sepupu tiga kali, disebut
ripasilorongngengi maksudnya mendekatkan kembali kekerabatan
yang agak jauh.Biasa juga dalam bahasa Bugis disebut ripadeppe
mabelae. Hubungan perkawinan yang ideal selain dalam
lingkungan kerabat ialah hubungan yang berdasarkan karena
kedudukan assikapukeng maksudnya mempunyai hubungan sejajar
karena kedudukan sosial yang setaraf yang tujuannya antara lain
untuk memperkokohkan kedudukan dengan mempererat hubungan
kekerabatan.

Namun ada silang pendapat di kalangan masyarakat Bugis


tentang lapisan sepupu keberapa yang boleh, dan yang tidak boleh
dikawini.Christian Pelras menjelaskan tentang pernikahan yang
biasa dilakukan, dan yang tidak dilakukan dalam masyarakat Bugis
sebagai berikut: “Banyak yang menganggap bahwa perkawinan
dengan sepupu satu kali (perkawinan semacam ini disebut siala
marola) “terlalu panas”, sehingga hubungan seperti ini jarang
terjadi, kecuali di kalangan bangsawan tertinggi. “Darah putih”
yang mengalir dalam tubuh mereka dan harus dipelihara membuat
mereka melakukan hal itu, sebagaimana halnya tokoh-tokoh dalam
cerita LaGaligo.Sementara masyarakat biasa lebih menyukai
13

perkawinan dengan sepupu kedua (siala memeng), lalu sepupu


ketiga, dan keempat.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, jika seorang Bugis


akan melaksanakan pernikahan, baik dari kalangan rakyat biasa
maupun keturunan bangsawan seperti, hal penting lainnya adalah,
pasangan yang hendak menikah tidak boleh berasal dari generasi
atau angkatan yang berbeda. Pasangan yang hendak menikah
berasal dari generasi atau “angkatan” yang sama. Perkawinan
antara paman dan kemenakan perempuan, atau bibi dan kemanakan
laki-laki dilarang dan hubungan badan di antara mereka dianggap
sebagai hubungan sumbang.Sementara itu, pernikahan dengan anak
dari sepupu keberapa pun sebaiknya dihindari.

Mengingat seringnya para bangsawan, begitu pula anak-anak


mereka, kawin dengan perempuan yang berusia jauh lebih muda
dari mereka, menyebabkan bangsa putra bangsawan yang sebaya
usianya dengan kemenakan mereka. Namun, tidak ada paman/bibi
yang kawin dengan kemenakan mereka walaupun usia mereka
sebaya. Bagi kaum bangsawan, faktor lain yang harus diperhatikan
yang paling penting adalah kesesuaian derajat antara pihak laki-laki
dan perempuan. Berbeda dengan bangsawan laki-laki yang
diperbolehkan kawin dengan pasangan berstatus lebih rendah,
bangsawan perempuan sama sekali tidak diperbolehkan menikah
dengan orang yang lebih rendah derajatnya. Semakin tinggi status
kebangsawan seseorang, semakin ketat pula aturan yang
diberlakukan.Hal ini masih tetap berlaku hingga kini.Namun, di
kalangan bangsawan rendah, kompromi kian hari kian cenderung
terjadi. Istri utama pria bangsawan tinggi biasanya memiliki derajat
kebangsawan yang sama dengan suaminya. Sementara istri-istri
lainnya bisa berasal dari kalangan lebih rendah, atau bahkan orang
biasa. Dalam proses perkawinan, pihak laki-laki harus
14

memberikan mas kawin kepada perempuan. Mas kawin terdiri atas


dua bagian. Pertama, sompa (secara harafiah berarti
“persembahan” dan sebetulnya berbeda dengan mahar dalam
Islam) yang sekarang disimbolkan dengan sejumlah uang rella’
(yakni rial, mata uang Portugis yang sebelumnya berlaku antara
lain di Malaka). Rella’ ditetapkan sesuai status perempuan untuk
digunakan melaksanakan pesta perkawinan.Besarnya dui’ menre’
ditentukan oleh keluarga perempuan. Kedua, ditambahkan pula
lise’ kawing (hadiah perkawinan), dalam Islam disebut mahr atau
hadiah kepada mempelai perempuan: biasanya dalam bentuk uang.
Akhir-akhir ini mahar kadang-kadang diganti dengan mushaf
Alquran.Sebelum masa penjajahan Belanda, laki-laki dari luar
wilayah tempat tinggal perempuan harus membayar pajak pa’lawa
tana (secara harafiah ‘penghalang tanah’) kepada penguasa
setempat yang besarnya sesuai sompa. Dalam konteks kekinian dan
milenial proses perjodohan dan pernikanan telah mengalami
transformasi, namun tidak menghapuskanbudaya pernikahan dalam
suku Bugis itu sendiri. H. M. Dahlan menyimpulkan bahwa
“pandangan pernikahan yang ideal ini, pada saatnya nanti, akan
terpangkas oleh batas-batas yang ditetapkan, baik oleh keluarga
dan masyarakat maupun oleh ajaran agama dan hukum negara,
sehingga niat tulus menjalin ikatan hati dan membangun kedirian
masing-masing dalam ruang bersama menjadi sesuatu yang tidak
bisa dihindari, atau seringkali terkalahkan.

D. Dunia Lelaki dan Perempuan Bugis

Dalam masyarakat Bugis, sebagaimana lazimnya masyarakat


lain di dunia, lelaki dan perempuan memiliki wilayah aktivitas
masing-masing. Namun, pada hakekatnya orang Bugis tidak
menganggap laki-laki maupun perempuan lebih dominan satu sama
lain. Kriteria pembedaan peran gender lebih berdasarkan
15

kecenderungan sosial dalam perilaku individu.Laki-laki dan


perempuan dalam pandangan masyarakat Bugis memiliki
kedudukan yang setara dalam keluarga. Orang Bugis menerapkan
prinsip kesetaraan gender dalam sistem kekerabatan bilateral
mereka, di mana pihak ibu dan bapak memiliki peran setara guna
menentukan garis kekerabatan, sehingga mereka menganggap laki-
laki dan perempuan mempunyai peran sejajar (walaupun berbeda)
dalam kehidupan sosial.

Masuknya agama di dalam sebuah masyarakat seringkali


membawa suatu pengaruh yang signifikan.Namun tidak demikian
dengan masyarakat Bugis. Meskipun masuknya Islam telah
memperkenalkan dan mendorong perilaku yang seolah-olah
menempatkan laki-laki lebih menonjol daripada perempuan, tetapi
tingkah laku tersebut tidak menggambarkan dominasi kaum pria
atau marjinalisasi kaum perempuan.37 Baik orang Bugis maupun
orang Makassar setelah menikah cenderung menganut pola bilokal,
dimana individu mempunyai kebebasan memilih tempat tinggal.
Namun ada kecenderungan yang nampak, jika perkawinan telah
dilangsungkan, maka suami akan menetap sementara waktu di
rumah mertua atau ayah ibu sang isteri.38 Hal ini cenderung
membatasi suami untukmendominasi istrinya lebih banyak.
Selanjutnya, dalam ruang gerak dalam rumah, masyarakat Bugis
membaginya wilayah rumah berdasarkan gender. Penjelasan ini
dituliskan dalam buku yang berjudul “Orang Bugis” sebagai
berikut: “Bagian depan menjadi wilayah kaum pria, sedang ruang
belakang milik kaum perempuan. Setiap bagian ada pintu depan,
maka laki-laki sangat jarang masuk rumah lewat pintu belakang,
apalagi pria asing. Perempuan pun sering menghabiskan waktu di
bagian depan rumah, kecuali jika ada tamu laki-laki bukan kerabat.
Sebaliknya, meskipun dapur di bagian belakang adalah wilayah
16

perempuan, tetapi lelaki pun kadang kala masuk, khususnya waktu


makan bila tidak ada tamu lelaki selain keluarga atau teman dekat.
Daerah kekuasaan kaum perempuan yang lain adalah loteng,
tempat penyimpanan padi, yang pada zaman dahulu digunakan
sebagai ruang tidur anak gadis yang belum menikah, terutama jika
ada tamu pria yang bermalam. Pembagian ruang berdasarkan
gender paling tampak jika ada jamuan makan resmi atau saat laki-
laki yang bukan kerabat datang berkunjung. Biasanya jamuan yang
hanya diikuti laki-laki dilangsungkan di bagian depan, dan
perempuan hanya muncul membawa makanan atau panganan.
Pemisahan ini tidak bersifat ketat dan permanen, tetapi
pengaturannya agak fleksibel.Tujuannya menjaga perempuan dari
gangguan pria asing.Secara umum boleh dikatakan bahwa rumah
sebenarnya adalah bagian perempuan, bukan bagian laki-laki, dan
biasanya diwariskan kepada anak perempuan bungsu.Menurut
pepatah Bugis, wilayah perempuan adalah sekitar rumah,
sedangkan ruang gerak kaum pria “menjulang hingga ke langit”.

Dalam kehidupan rumah tangga, suami dan istri memegang


peranannya masing-masing agar kehidupan keluarga dapat berjalan
dengan baik.Seperti dalam kehidupan keluarga pada umumnya,
seorang suami dari suku Bugis merupakan tulang punggung
keluarga untuk menafkahi seluruh anggota keluargamya.Sedangkan
wanita sebagai seorang istri dan sekaligus sebagai ibu berperan
sebagai seorang ibu rumah tangga.“Kewajibannya menjaga anak,
menumbuk padi, memasak, mencuci, menyediahkan lauk pauk dan
berbelanja “pengurus yang bijaksana”.”40 Namun seringkali tak
bisa dipungkiri ada juga wanita-wanita yang harus ikut mencari
nafkah bagi kehidupan keluarganya. Hal ini terjadi karena
seringkali sang suami harus melaut berbulan-bulan dan
meninggalkan keluarganya.41 Oleh karena itu, selama suami tidak
17

ada berada bersama-sama, maka istri mengambil tanggung jawab


yang seharusnya dilakukan oleh suami terhadap keluarganya. Nanti
barulah setelah pulang dari melaut, mereka membawa hasil untuk
keluarganya.Biasanya tidak dalam bentuk uang tunai, lebih sering
dalam bentuk pakaian, perhiasan, perabot rumah tangga, atau
barang-barang mewah.

Keadaan wilayah yang subur membawa masyarakat Bugis


kepada kehidupan pertanian.Bukan hanya laki-laki yang saja yang
berperan dalam bidang kehidupan ini.Perempuan juga ikut terlibat
di dalamnya.Mereka ikut berperan ketika pekerjaan di ladang
membutuhkan pekerja yang lebih banyak.Jika perempuan
menyiangi, para lelaki harus mengolah lahan untuk menabur
benih.Laki-laki dan perempuan saling membantu agar pekerjaan
yang mereka laksanakan dapat berhasil.Namun tak bisa dipungkiri
ada pekerjaan yang hanya bisa dilakukan laki atau sebaliknya,
seperti membangun rumah, mengolah besi, emas dan perak,
membuat perahu, berburu, dan mengolah lahan. Tugas yang
dibebankan kepada perempuan antara lain menumbuk padi,
menenun dan sejenisnya serta membuat tembikar.Perbedaan tugas
laki-laki dan perempuan pada akhirnya saling melengkapi satu
dengan lainnya.

Perbedaan gender memang berlaku pula dalam hal cara


berpakaian, sikap dan gerak-gerik fisik, serta tingkah laku, walau
batasannya kerap tumpah tindih dan sangat fleksibel. Jika di
wilayah bagian lain dari kawasan Nusantara ini, penggunaan
sarung lebih cenderung identik untuk digunakan bagi para pria,
ternyata tidak demikian dengan orang Bugis. Pakaian sehari-
harinya orang Bugis, laki-laki maupun perempuan, adalah sarung;
yang berbeda hanya cara ikatnya.Cara penggunaan sarung dalam
masyarakat Bugis diuraikan sebagai berikut ini: ”Dalam acara
18

resmi, perempuan Bugis berpakaian adat tidak mengikat sarung


mereka, tetapi menyelempangkannya sebagian di atas lengan
mereka, sehingga tampak elegan tetapi tidak begitu praktis untuk
bergerak. Umumnya, kaum lelaki mengikatkan sarungnya di
pinggang meski tidak memakai keperluan keluarga.Pekerjaan
utamanya dalam rumah dan sekitarnya serta mengatur dan
membelanjakan pendapatan suami selakubaju. Sedangkan, sejak
masuknya Islam, perempuan biasanya mengikat sarung mereka di
ketiak atau kadang-kadang pada salah satu bahu (meskipun hingga
tahun 1960-an beberapa perempuan di kampong, tua maupun
muda, masih bertelanjang dada jika berada di rumah) apabila
mereka tidak berbaju. Mereka juga kadang-kadang memakai
sarung kedua sebagai penutup kepala jika keluar rumah. Kebiasaan
ini terlihat di daerah-daerah pengaruh Islam cukup kuat, tetapi
tampaknya hal itu bukan hanya karena pengaruh Islam cukup kuat,
karena kebiasaan seperti itu sudah disebut-sebut dalam La Galigo.

Dalam posisi duduk antara perempuan dan laki-laki juga


memiliki perbedaan.Hal ini terlihat dari gerak-gerik mereka ketika
duduk dan mengangkat beban.“Di atas lantai atau tikar, laki-laki
duduk bersila sementara perempuan biasanya duduk dengan kedua
kaki ditekuk ke dalam dan satunya dengan lutut berdiri. Laki-laki
umumnya mengangkat beban dengan cara memikul di bahu,
sementara perempuan menjunjungnya di atas kepalanya.Laki-laki
Bugis terkenal sebagai seorang yang berperilaku agresif ketika
mereka merasa tidak senang dengan sikap seseorang terhadap
dirinya, tak jarang mereka menyelesaikan dengan cara yang kasar.
Sebagian besar laki-laki menyelipkan badik, yang disebut kawali,
di balik pakaian, sehingga pertengkaran mulut kerap berakhir
dengan pertumpahan darah.Perempuan juga sering membawa
kawali dalam perjalanan tetapi hanya untuk menjaga diri.
19

Peranan perempuan bukan hanya ditemukan dalam ruang


lingkup di dalam rumah saja.Dalam sejarah Indonesia, banyak
perempuan telah menjadi tokoh penjuang bagi bangsa
ini.Perempuan Bugis adalah satu dari sekian banyak perempuan
yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa untuk melawan
penjajahan. Mereka juga menjadi penguasa kerajaan seperti yang
dikutip Christian dalam bukunya Crawfurd yang berjudul History,
sebagai berikut: “Perempuan… dimintai pendapat oleh kaum lelaki
dalam semua urusan pemerintahan, dan kerap kali diangkat
menjadi raja, padahal pengangkatan raja dilakukan lewat proses
pemilihan… Pada acara-acara kerajaan, perempuan juga hadir di
tengah kaum pria; duduk dalam siding yang membahas masalah-
masalah kenegaraan, bahkan berhak memberi pertimbangan.Saat
ini, Kerajaan Luwu’ di Sulawesi Selatan dipimpin istri raja
Soppeng, tetapi raja Soppeng tidak berhakmencampuri dalam
negeri kerajaan Luwu’, yang diperintah oleh istrinya, ratu Soppeng.

E. Status dalam Masyarakat Bugis

Sejak dahulu kala, satu-satunya aturan paling ketat dalam soal


perkawinan adalah laki-laki bisa kawin dengan perempuan mana
pun yang memiliki status setara ataupun lebih rendah dari dirinya,
namun tidak boleh menikah dengan perempuan berstatus tinggi.
Dalam sistem kekerabatan bilateral, pertanyaan kemudian timbul:
jika lelaki “berdarah putih” kawin dengan perempuan “berdarah
merah”, lalu bagaimana status keturunan mereka kelak? Adat
istiadat Bugis menjawabnya dengan membangun sistem status
berdasarkan pencampuran darah, yang dianalogikan seperti
pencampuran logam mulia dengan konsep logam biasa.Apa yang
akan dipaparkan berikut ini merupakan suatu hal yang sudah umum
disepakati oleh para ahli silsilah. Status tertinggi disebut ana’
ma’tola, yakni anak (ana’) yang berhak mewarisi (ma’tola) tahta
20

orang tua sebagai penguasa tertinggi kerajaan.Tingkatan itu terbagi


lagi menjadi dua sub-bagian, yakni ana’ sengngeng dan ana’
rajeng.

Lapisan kedua terpecah pula menjadi dua gelar. Status derajat


seseorang anak, hasil perkawinan lelaki berderajat tinggi seperti di
atas dengan perempuan biasa, anaknya akan menjadi ana’cera
siseng (anak berdarah lapisan pertama). Pernikahan cera’siseng
dengan perempuan biasa melahirkan cera’ dua (berdarah lapisan
kedua); percampuran keturunan mereka dengan perempuan biasa
menjadi menjadi cera’ tellu (cera’ lapisan ketiga).Ketiga lapisan
ana’ cera mengisi bangsawan menengah. Selanjutnya perkawinan
dari keturunan bangsawan lapisan ketiga ini dengan perempuan
biasa akan membuahkan bangsawan terendah: ampo cinaga,
anakarung ma’dara, dan anang. Di bawah mereka terdapat orang
biasa (tau sama’) atau orang bebas (tau maradeka)-bahkan di
kalangan mereka sekalipun pun masih dibedakan antara leluhurnya
masih terhitung bangsawan, betapa rendahpun lapisan dan betapa
jauh pun pertautan dan yang benar-benar turunan orang biasa.

Pola piramid dalam sistem seperti itu mengingatkan kepada


pola piramid dalam sistem kekerabatan; tingkatan sepupu
diperhitungkan berdasarkan dekat tidaknya pertautan mereka
dengan seorang nenek moyang yang sama dan kepada pola relasi
antara kerajaan atasan dan bawahan. Jelas pula bahwa sistem
hubungan kekerabatan dua sisi tersebut ikut menentukan status
hirarki kebangsawanan seseorang. Bangsawan yang beristri
beberapa perempuan berstatus yang berbedabeda akan memperoleh
anak-anak yang berbeda-beda pula statusnya. Sementara itu, selain
memiliki istri dari bangsawan sederajat, yangketurunan kelak dapat
menggantikan posisinya para penguasa Bugis pun sering
mengawini lebih rendah. Keturunan yang lebih rendah kelak
21

menduduki jabatan senior kerajaan meskipun tidak akan sampai


menjadi ahli waris tahta. Bangsawan kelas atas, yang paling
mengagungkan status, hanya mementingkan cera’ tellu ke atas.

Di sisi lain, bangsawan rendah dan anggota masyarakat kebanyakan


menggunakan sistem klasifikasi berdasarkan gelar yang jauh lebih
sederhana. Di tingkat kampung, semua orang berpengaruh, baik
bangsawan rendah, orang biasa punya sedikit pertalian darah
bangsawan, maupun orang biasa yang memiliki kekayaan,
pengaruh, atau pengetahuan, disebut tau deceng (orang baik-
baik).Sejak 1920 digunakan gelar baru di kalangan bangsawan
Bugis atau Makassar untuk lapisan di atas cera’ tellu, yakni gelar
Andi’ dan Andi’ Bau’ (hanya bangsawan berderajat tinggi yang
digelari Andi’ Bau’ bahkan sebagian dari mereka “harus puas”
dengan gelar Andi’ saja). Adapun lapisan di bawahnya
menggunakan “nama bangsawan” mereka dengan di dahului
sebutan Daeng (apa yang disebut sebagai “nama bangsawan”
mereka adalah sebuah nama tambahan yang diberikan kepada
seorang bangsawan waktu dia kawin pertama kali atau waku ia
memperoleh anak yang pertama. Biasanya arti nama tersebut
berkaitan dengan arti nama pertama).

Singkatnya, stratifikasi masyarakat Bugis tidak menganut


sistem yang kaku.Emigrasi juga bisa menjadi jalan meningkatkan
status. Bangsawan rendah, yang memimpin sekelompok kecil
pengikutnya pindah ke wilayah lain-di mana tidak akan terjadi
pemeriksaan silang leluhur, kadang-kadang cenderung mengaku
memiliki silsilah lebih tinggi dari sebenarnya. Keberhasilan di
bidang ekonomi, juga bisa mendongkrak derajat
seseorang.Pentingnya hirarki dalam masyarakat tradisional Bugis
terlihat jelas dengan adanya sejumlah tanda-tanda dan simbol-
22

simbol tertentu yang menunjukkan status mereka.Tanda ini


mencakup pernak-pernik pakaian dan arsitektur rumah mereka.

F. Pendekatan Terhadap Suku Bugis

Menurut Niebuhr nisbah antara (Injil) Kristus dan kebudayaan


merupakan masalah yang tidak habis-habisnya.61 Namun demikian
Injil adalah kekuatan Allah yang harus disampaikan kepada mereka
yang belum percaya di setiap budaya termasuk di dalamnya kepada
suku Bugis.Semua perilaku manusia terjadi dalam
kebudayaankebudayaan tertentu, dalam konteks-konteks yang
ditentukan secara sosial.62 Oleh karena itu, pastinya kebudayaan di
setiap suku memiliki perbedaan dengan suku lainnya.Oleh karena
itu, adalah penting untuk memiliki pandangan alkitabiah bukan
hanya tentang Kristus tetapi juga tentang kultur.63 Adapun
pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan terhadap kutur suku
Bugis sebagai berikut.

Pertama, menjadi contoh dalam bertingkah laku yang baik.Dari


sejumlah lontara dan semua petuah-petuah sebenarnya menuntun
orang Bugis untuk bertingkah laku yang baik kepada sesamanya.
Beberapa hal yang baik yang diajarkan dalam petuah-petuah
seperti, “Empat kebaikan yang paling baik: mengasihi orang yang
tidak pernah mengasihinya, tidak diminta dia memberi tanpa
menanti balasan, menolong kesulitan orang dengan pertolongan
sebesarbesarnya (serta menasehati sampai di lubuk hatinya)”.64
Dari petuahpetuah ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai kebaikan
merupakan hal yang penting dalam kebudayaan suku bugis. Oleh
karena itu, ketika mendekati orang Bugis seharusnya menunjukkan
kepribadian (tingkah laku) yang sesuai dengan nilai yang mereka
miliki, dalam hal ini mengenai nilai kebaikan. Tingkah laku
23

pekabar injil harus menunjukkan nilai-nilai kebaikan sehingga


menjadi cerminan bagi orang yang akan diinjili.

Kedua, menghargai siri’ orang Bugis.Bagi orang Bugis siri’ sangat


penting dalam kehidupan mereka.“Melalui pola tingkah laku siri’
mereka menjelmakan dirinya sebagai seorang manusia.Tanpasiri’
tidak ada artinya sebagai manusia. Dengan kata lain, seorang Bugis
akan merasa dirinya sebagai manusia, apabila nilai siri’
(martabat/harga diri) itu dihargai. Ada begitu banyak yang
dilakukan orang Bugis untuk tetap menegakkan siri’, baik dengan
cara yang positif bahkan dengan negatif. Penegakkan siri’ secara
positif dapat dilihat dengan upaya orang Bugis untuk mendapatkan
keberhasilan hidup dengan usaha merantau di negeri orang
sedangkan secara negatif nampak dari tindakan kekerasan terhadap
orang yang telah mempermalukan dirinya.

Ketiga, menunjukkan rasa saling pesse.Rasa saling pesse merupakan


pengikat bagi kehidupan orang Bugis. Hal ini melambangkan
solidaritas, tak hanya kepada seseorang yang telah dipermalukan,
namun juga bagi siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang
dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah,
atau menderita sakit keras.66 Perassan pesse yang ditunjukkan
dalam keadaan yang sulit akan menjadi kekuatan yang
mempersatukan.
24

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kebudayaan Bugis terbentuk dari berbagai unsur yang pada hakikat


unsur-unsur tersebut menjadikan patokan masyarakat untuk
bertindak.Unsur-unsur kebudayaan Bugis banyak bersumber dari
lontara.Tingkah laku pun dijelaskan di dalam lontara.Oleh karena
itu, memang perlu untuk memahami lontara-lontara yang kini telah
diterjemahkan oleh beberapa ahli.Salah satu hal yang banyak
dijelaskan di dalam lontara adalah mengenai siri’ dan pesse yang
merupakan hal yang penting bagi masyarakat Bugis sendiri.Kedua
hal tersebut tidak dapat terpisahkan dari tingkah laku orang
Bugis.Menjunjung nilai siri’ dan pesse merupakan pendekatan
yang efektif bagi orang Bugis, karena melalui kedua hal tersebut
niai mereka sebagai manusia benar-benar dihargai.

B. Saran
Penulis sadar akan banyaknya kekurangan pada makalah ini.oleh
karena itu penulis berharap akan kritikan,saran maupun masukan para
pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
25

Daftar Pustaka

Abdulsyani.Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara,


2002.
Abidin, Andi Zainal.Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung
Pandang: Hasanuddin University Press, 1999.
Ardhani, Fitriah. “Perbedaan Kepuasan Perkawinan Pada Wanita Suku
Bugis, Jawa, Dan Banjar Di Kecamatan Balikpapan Selatan Kota
Balikpapan.” eJournal Psikologi 3, Nomor 1 (2015): 358-368.
Badollahi, Muhammad Zainuddin “Struktur Kekerabatan dan Stratifikasi
Sosial ‘Bugis’.”Diakses25April2018.
https://www.kompasiana.com/muhammadzainuddinbadollahi/5
4f9479ca33311d33b8b5087/struktur-kekerabatan-danstratifikasi-sosial-
bugis
Bakti, Andi Faisal Bakti. Diaspora Bugis. Makassar: Ininnawa, 2010.
Dahlan, H. M. “Prosesi Pemilihan Jodoh dalam Perkawinan: Perspektif
Ajaran Islam dan Budaya Lokal di Kabupaten Sinjai.”
SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan 9,
no. 1 (Mei 2016): 131-142.
Hesselgrave, David J. Communicating Christ Cross-Culturally. Malang:
Literatur SAAT, 2013.
Kobong, Th. Iman dan Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977.
Lestari, Puji. Antropologi 2: Untuk SMA dan MA Kelas XII. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2009.
Lingenfelter, Sherwood G. dan Marvin K. Mayers.Menggeluti Misi Lintas
Budaya. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2008.
Maruki, H. M. Laica. Siri’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat
BugisMakassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum). Ujung Pandang:
Hasanuddin University Press, 1995.
Moein MG, A. Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Siri’ & Pacce.
Ujung Pandang: SKU Makassar Press, 1977.
26

Pelras, Christian. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar, 2006.


Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.Geografi Budaya
Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Balai Pustaka, 1977.

Anda mungkin juga menyukai