Anda di halaman 1dari 11

Anemia gagal ginjal kronik

Anemia pada pasien dengan GGK utamanya disebabkan kurangnya produksi


eritropoetin (EPO) oleh karena penyakit ginjalnya. Faktor tambahn lainnya yang
mempermudah terjadinya anemia antara laindefisiensi zat besi, inflamasi akut maupun
kronik, inhibisi pada sumsum tulang dan pendeknya masa hidup eritrosit. Selain itu,
kondisi komorbid seperti hemoglobinopati dapat memperburuk anemia pada pasien
CGK. Anemia pada penyakit ginjal atau yang dikenal dengan anemia renal merupakan
komplikasi dari PGK (Penyakit Ginjal Kronis) yang penting karena memberikan
kontribusi yang bermakna terhadap gejala, progresivitas serta komplikasi
kardiovaskuler pasien PGK.1 Insiden anemia pada PGK meningkat seiring dengan
menurunnya LFG2. Anemia pada PGK mulai muncul pada stadium awal dari PGK dan
memberat seiring dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG). Penelitian
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) mendapatkan insiden
anemia pada PGK stadium 1 dan 2 adalah kurang dari 10%, pada stadium 3 adalah 50%
, pada stadium 4 mencapai 60% dan 70% pasien PGK stadium 5 mengalami anemia
sedangkan pada pasien yang menjalani hemodialysis didapatkan 100% pasien
mengalami anemia. Penyebab utama anemia pada PGK adalah defisiensi relatif
hormone eritropoietin. Penatalaksanaan anemia renal mengalami perkembangan yang
pesat, dengan makin berkembangnya riset mengenai anemia pada PGK. Penemuan
erythropoiesis-stimulating agents (ESA) telah mengubah penanganan anemia dalam 20
tahun terakhir. Penggunaan ESA telah menghilangkan anemia sebagai penyebab utama
morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup pasien PGK.
Penyebab Anemia pada PGK
Patogenesis anemia pada PGK bersifat multifaktorial. Faktor utama yang berperan
adalah insufisiensi produksi dari hormon eritropoietin (EPO) endogen. Kontribusi dari
defisiensi EPO makin besar seiring dengan makin menurunnya LFG.5Beberapa faktor
lain yang berkontribusi untuk terjadinya anemia renal termasuk defisiensi besi,
inflamasi akut dan kronis, severe hyperparathyroidism, aluminum toxicity, defisiensi
folat, menurunnya masa hidup SDM.

Etiologi :
Patofisiologi anemia gagal ginjal
Patofisiologi Anemia pada Gagal Ginjal Kronik
Pasien GGK biasanya mengalami anemia. Penyebab utamanya adalah defisiensi
produksi eritropoietin (EPO) yang dapat meningkatkan risiko kematian, uremia
penghambat eritropoiesis, pemendekan umur eritrosit, gangguan homeostasis zat besi.
Antagonis EPO yaitu sitokin proinflamasi bekerja dengan menghambat sel-sel
progenitor eritroid dan menghambat metabolisme besi. Resistensi EPO disebabkan
oleh peradangan maupun neocytolysis. Beberapamekanisme patofisiologi mendasari
kondisi ini, termasuk terbatasnya ketersediaan besi untuk eritropoiesis, gangguan
proliferasi sel prekursor eritroid, penurunan EPO dan reseptor EPO, dan terganggunya
sinyal transduksi EPO.15 Penyebab lain anemia pada pasien GGK adalah infeksi dan
defisiensi besi mutlak. Kehilangan darah adalah penyebab umum dari anemia pada
GGK. Hemolisis, kekurangan vitamin B12 atau asam folat, hiperparatiroidisme,
hemoglobinopati dan keganasan, terapi angiotensin-converting-enzyme (ACE)
inhibitor yang kompleks dapat menekan eritropoiesis. Pasien GGK mengalami
defisiensi zat besi yang ditunjukkan dengan ketidakseimbangan pelepasan zat besi dari
penyimpanannya sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk eritropoiesis yang
sering disebut juga reticuloendothelial cell iron blockade. Reticuloendothelial cell iron
blockade dan gangguan keseimbangan absorbsi zat besi dapat disebabkan oleh
kelebihan hepsidin.16 Hepsidin merupakan hormon utama untuk meningkatkan
homeostasis sistemik zat besi yang diproduksi di liver dan disekresi ke sirkulasi darah.
Hepsidin mengikat dan menyebabkan pembongkaran ferroportin pada enterosit
duodenum, retikuloendotelial makrofag, dan hepatosit untuk menghambat zat besi
yang masuk ke dalam plasma. Peningkatan kadar hepsidin pada pasien GGK dapat
menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia.

Therapy
Pemberian terapi EPO dilakukan apabila penyebab anemia adalah karena defisiensi
eritropoetin. Eritropoetin secara konsisten menjaga dan memperbaiki
kadar Hb dan Ht, penggunaan EPO juga dapat menurunkan kebutuhan transfusi pada
pasien GGK.4 Menurut rekomendasi KDIGO, terapi EPO diindikasikan apabila pada
beberapa kali pemeriksaan didapatkan Hb <10 g/dl dan Ht <30%, selain itu juga harus
sudah disingkirkan penyabab lain dari anemia. Terapi EPO pada pasien GGK dengan
anemia diberikan dengan syarat kadar ferritin serum > 100 mcg/L dan saturasi
transferin > 20 %, pasien juga disyaratkan tidak sedang mengalami infeksi berat. Terapi
EPO dibagi menjadi 2 fase yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Tujuan fase koresi
adalah untuk mengoreksi anemia renal hingga target Hb dan Ht tercapai. Rekomendasi
KDOQI menyebutkan bahwa target hemoglobin pada pasien GGK adalah 11 hingga
12 g/dL. Menurut beberapa penelitian klinik hemoglobin pada level tersebut terbukti
meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan morbiditas. Pada pasien ini mendapat
terapi EPO 3000 IU subkutan, dan diulang 2 kali seminggu. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa pada fase koreksi pemberian terapi EPO dimulai dengan 2000-4000 IU
subkutan, diulang 2-3 kali seminggu selama 4 minggu.Respon yang diharapkan dari
pasien adalah kenaikan Hb 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau kenaikan Ht 2-4 % dalam 2-
4 minggu. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan setiap 4 minggu. Apabila target
respon tercapai maka dosis EPO dipertahankan hingga target Hb tercapai (> 10 g/dL).
Namun bila masih belum mencapai target respon maka dosis EPO dinaikkan 50 %.
Apabila setelah kenaikan dosis tersebut Hb naik > 2,5 g/dL atau Ht naik > 8 % dalam
4 minggu maka sosis EPO diturunkan 25 %. Fase pemeliharaan dilakukan apabila Hb
sudah mencapai target > 10 g/dL.Fase pemeliharaan dimulai dengan dosis 1-2 kali 2000
IU/minggu.Pemantauan Hb dan Ht dilakukan setiap bulannya sedangkan status besi
diperiksa setiap 3 bulan. Apabila pada fase pemelharaan Hb mencapai >12 g/dL (dan
status besi cukup) maka dosis EPO fase pemeliharaan perlu diturunkan 25%.Apabila
pasien gagal mencapai taget Hb dan Ht setelah pemberian EPO selama 4 sampai 8
minggu, artinya respon pasien terhadap terapi EPO tidak adekuat. Gagalnya respon
terhadap terapi EPO seringkali disebabkan karena bersamaan dengan defisiensi besi,
hal ini dapat dikoreksi dengan pemberian zat besi per oral. Penambahan folat mungkin
juga diperlukan pada beberapa pasien. Pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan
status besi secara rutin, keterbatasan ini dikarenakan biaya pemeriksaan yang cukup
mahal sehingga tidak semua pasien dapat diperiksa status besi secara rutin. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa penyebab tersering gagalnya respon terhadap terapi
EPO adalah karena defisiensi besi. Namun diagnosi pasti anemia defisiensi besi pada
pasien ini belum dapat ditegakkan karena pemeriksaan penunjang yang menilai kadar
feritin serum belum dilakukan. Terapi penunjang lain terkadang diperlukan agar terapi
EPO optimal, seperti suplementasi asam folat, vitamin B6, vitamin B12, vitamin C,
vitamin D dan vitamin E. Pada pasien ini diberikan tablet asam folat 5 mg peroral
setiap hari. Pasien juga mendapat terapi penunjang lain berupa injeksi vitamin C 100
mg setiap kali menjalani hemodialisis. Pada pasien anemia defisiensi besi fungsional
yang mendapat terapi EPO dosis vitamin C yang dianjurkan pada pasien adalah 300
mg diberikan secara intravena. Pada pasien ini diberikan terapi iron sucrose 100 mg
parenteral. Manfaat suplementasi besi parenteral adalah untuk terapi pencegahan
defisiensi besi pada pasien hemodialisis. Suplementasi besi juga efektif mengisi
cadangan besi sumsum tulang.9Ada beberapa keadaan yang merupakan Indikasi
pemberian preparat besi parenteral. Pertama, apabila penderita akan mendapat terapi
EPO namun kadar feritin serum awal < 100 ng/ml. Kedua, pada keadaan defisiensi besi
fungsional, ketika pemberian EPO tidak memberikan respon optimal atau tidak
berespon sama sekali. Ketiga, pada keadaan defisiensi besi tapi preparat besi oral tidak
ditoleransi. Pada pasien ini dilakukan injeksi iron sucrose 100 mg intravena bersamaan
dengan terapi EPO setiap kali hemodialisis, injeksi iron sucrose juga diharapkan
memberikan respon terapi EPO yang optimal.Menentukan bentuk suplementasi zat
besi yang akan diberikan pada pasien yang menjalani hemodialisis diperlukan banyak
pertimbangan. Pemberian peroral banyak dipilih karena murah dan mudah, namun
beberapa penelitian menerangkan bahwa terapi besi peroral tidak dapat memperbaiki
cadangan besi sumsum tulang. Selain itu, efek samping dari pemberian peroral juga
sering menimbulkan keluhan tidak nyaman pada gastrointestinal seperti gastritis,
kejang perut, dan diare. Oleh karena itu, pada pasien ini dilakukan pemberian besi
parenteral untuk mengurangi efek samping yang merugikan.
Berikut algoritma penatalaksanaan anemia khususnya pemberian ESA pada PGK.
Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012merekomendasikan pada
pasien anemia yang tidak dalam terapi ESA, pemeriksaan Hb dilakukan bila ada
indikasi klinik atau minimal setiap 3 bulan padapasien dengan PGK stadium 3-5-non
dialisis (PGK3-5-ND) dan minimal setiapbulan pada PGK stadium 5 yang menjalani
hemodialisis (PGK 5-HD)
Manajemen Besi
Sebelum terapi ESA harus dilakukan pemeriksaan status besi terlebih dahulu. Agar
respon eritropoiesis optimal, maka status besi harus cukup. Status besi yang diperiksa
meliputi Serum Iron (SI), total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin (ST)
dan feritin serum (FS).2 Terapi besi dilakukan bila anemia defisiensi besi absolut,
anemia defisiensi besi fungsional dan tahap pemeliharaan status besi. Terapi besi tidak
diberikan pada kondisi : hipersensitifitas terhadap besi, gangguan fungsi hati berat,
kandungan besi tubuh berlebih (iron overload). Status besi dikatakan cukup sebagai
syarat memulai terapi ESA bila saturasi transferin (ST)> 20 % dan feritin serum > 100
ug/L (pasien pre-dialisis) dan > 200 ug/L (pasien dialisis). Bila ditemukan defisiensi
besi maka defisiensi besi haruslah dikoreksi terlebih dahulu.8,10,11 Terapi besi oral
diindikasikan pada pasien PGK-nonD dan PGK-PD dengan anemia defisiensi besi. Jika
setelah tiga bulan ST tidak dapat dipertahankan _20% dan/atau FS _100 ng/ml, maka
dianjurkan untuk pemberian terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral terutama
diindikasikan pada pasien PGK-HD. Terapi besi ada dalam 2 fase yaitu fase koreksi
dan fase pemeliharaan. Terapi besi fase koreksi bertujuan untuk koreksi anemia
defisiensi besi absolut, sampai status besi cukup yaitu ST _20% dan FS mencapai _100
ng/ml (PGK-nonD & PGKPD), _200 ng/ml (PGK-HD). Dosis uji coba (test dose)
dilakukan sebelum mulai terapi besi intravena pertama kali untuk mengetahui adanya
hipersensitivitas terhadap besi. Dosis terapi besi fase koreksi 100 mg 2x per minggu,
saat HD, dengan perkiraan keperluan dosis total 1000 mg (10x pemberian). Terapi besi
fase pemeliharaan bertujuan untuk menjaga kecukupan kebutuhan besi untuk
eritropoiesis selama pemberian terapi ESA dengan target terapi ST : 20-50%, FS: 100-
500 ng/ml (PGK-nonD dan PGK-PD) 200-500 ng/ml (PGK-HD). Status besi diperiksa
setiap 1-3 bulan dan dosis terapi besi disesuaikan dengan kadar ST dan FS. Bila ST
>50%, tunda terapi besi, terapi ESA tetap dilanjutkan ST 20-50%.

Terapi Erythropoietin Stimulating Agent (ESA).


Terapi ESA dimulai setelah identifikasi dan koreksi faktor lain yang memperberat
anemia, dan pastikan bahwa status besi cukup. Dalam pemberian ESA hendaknya
dipertimbangkan antara potensi manfaat pemberian ESA untuk mengurangi kebutuhan
transfusi dan memperbaiki simtom anemia dengan potensi risiko seperti stroke,
trombosis akses vaskuler dan hipertensi. Indikasi Terapi ESA Bila Hb <10 g/dl dan
penyebab lain anemia sudah disingkirkan dengan syarat pemberian tidak ada anemia
defisiensi besi absolut dan juga tidak ada infeksi yang berat. Kontraindikasi terapi ESA
bila hipersensitivitas terhadap ESA. Perlu diperhatikan pada terapi ESA adalah tekanan
darah tinggi dan hiperkoagulasi. Beberapa preparat ESA yang ada di Indonesia saat ini
antara lain Eritropoietin alfa, Eritropietin beta, dan CERA suatu ESA dengan masa
paruh yang panjang. Dosis untuk Eritropoietin 80-120U/Kg/minggu subkutan (SK)
atau 120- l80U/Kg/minggu intravena (IV). Pemberian SK lebih dianjurkan karena masa
paruh lebih panjang dan dosis yang dibutuhkan lebih kecil. 7KDIGO 2012
menganjurkan dosis ESA alfa atau beta dimulai dengan 20-50 IU/KgBB 3x/minggu.
Frekuensi pemberian 3x/minggu karena disesuaikan dengan frekuensi HD di luar
negeri yang berlangsung 3 kali seminggu. Dosis CERA dimulai 0,6 ug/KgBB SK atau
IV setiap 2 minggu pada fase koreksi dilanjutkan setiap satu bulan pada fase
pemeliharaan, atau bila memulai dengan frekuensi satu kali sebulan dapat dimulai
dengan l,2 ug/KgBB.3 Target kenaikan Hb 1 1.5 g/dL perbulan (PERNEFRI),
sementara KDIGO 2012 merekomendasikan 1-2 g/dL/ bulan pada koreksi anemia fase
inisiasi/awal, dengan menghindari kenaikan Hb yang cepat > 2g/dL.2,4,5 Selama terapi
ESA dianjurkan untuk diberikan suplementasi besi dengan dosis pemeliharaan sesuai
kebutuhan. Pemeriksaan status besi untuk monitoring diulang secara rutin setiap tiga
bulan.

Anda mungkin juga menyukai