trauma kepala
b. etiologi, klasifikasi, manifestasi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi akibat
benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu cedera yang
terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia,
hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi
akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan
otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.1
Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004, klasifikasi
berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi:2
1. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau
luka tembak.
Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:3,4
1. Fraktur Kranium
Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya, dibedakan
menjadi fraktur calvaria dan fraktur basis cranii. Berdasarkan keadaan
lukanya, dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu fraktur dengan luka tampak
telah menembus duramater, dan fraktur tertutup yaitu fraktur dengan fragmen
tengkorak yang masih intak.
2. Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Biasanya
terletak di area temporal atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya
arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak .
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural.
Robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri merupakan penyebab
dari perdarahan subdural.
4. Contusio dan perdarahan intraserebral
Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan
sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.
Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Contusio
cerebri sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga
terjadi pada setiap bagian dari otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam
waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang
membutuhkan tindakan operasi.
5. Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang
berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak disertai
kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin akan mengeluh nyeri kepala, vertigo,
mungkin muntah dan pucat.
6. Fraktur basis cranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan
fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan
kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang
dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrogade dan
amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya:
th
ed). Philadelphia: Lippincott william & Wilkins. 2003
f. pemeriksaan penunjang
1. Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami
gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda
fisik eksternal yang menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis,
atau tanda neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium pada regio
temporoparietal pada pasien yang tidak sadar menunjukkan kemungkinan
hematom ekstradural, yang disebabkan oleh robekan arteri meningea media.1
Sumber :
6. Kelly JP.Loss of Consciousness: Pathophysiology and Implications in Grading and
Safe Return to Play. Journal of athletic training. Chicago. 2001
7. Harsono.Koma dalam Buku Ajar Neurologi Klinis.GajahMada University Press.
Yogyakarta. 2008
g. tatalaksana
1. ABC
a. Airway dengan jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi kalau perlu dipasang oropharyngeal tube atau
nasopharyngeal tube.
b. Breathing dengan memberikan O2 dengan menggunakan alat bantu
pernafasan misalnya Nasal Kanul, Simple Mask/Rebreating Mask, Mask
Nonrebreating, Bag-Valve-Mask, dan Intubasi Endotrakea.
c. Circulation pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-
2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini
terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan
norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4
hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa
nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
2. Medikasi
No Nama Obat Dosis Keterangan
1 Diuretik osmotik Dosisnya 0,5-1 g/kgBB, Untuk mencegah
(manitol 20%) diberikan dalam 30 menit. rebound
Pemberian diulang setelah
6 jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit
2 Loop diuretic Dosisnya 40 mg/hari IV Pemberiannya bersama
(furosemid) manitol, karena
mempunyai efek sinergis
dan memperpanjang efek
osmotik serum mannitol
3 Diazepam Dosisnya 10 mg IV dan Diberikan bila ada kejang
bisa diulang sampai 3 kali
bila masih kejang
4. Analgetik Dosisnya 325 atau 500 mg Untuk mengurangi
(asetaminofen) setiap 3 atau 4 jam, 650 demam serta mengatasi
mg setiap 4-6 jam, 1000 nyeri ringan sampai
mg setiap 6 sedang akibat sakit
kepala
5. Analgetik 30-60 mg, tiap 4-6 jam Untuk mengobati nyeri
(kodein) sesuai kebutuh ringan atau cukup parah
6. Antikonvulsan Dosisnya 200 hingga 500 Untuk mencegah
(fenitoin) mg perhati serangan epilepsi
7. Profilaksis Biasanya digunakan Tindakan yang sangat
antibiotic setelah 24 jam pertama, penting sebagai usaha
lalu 2 jam pertama, dan 4 untuk mencegah
jam berikutnya terjadinya infeksi pasca
operasi
3. Pembedahan
Evakuasi hematoma atau kraniotomi untuk mengangkat atau mengambil
fragmen fraktur yang terdorong masuk ke dalam otak dan untuk mengambil
benda asing dan jaringan nekrotik sehingga risiko infeksi dan kerusakan otak
lebih lanjut akibat fraktur dapat dikurangi.
4. Imobilisasi
Pada pasien cedera kepela berat mobilisasi bisa dilakukan dengan pemasangan
servical colar. Servical colar sendiri adalah alat penyangga tubuh khusus untuk
leher. Alat ini digunakan untuk mencegah pergerakan tulang servical yang dapat
memperparah kerusakan tulang servical yang patah maupun pada cedera kepala.
Alat ini hanya membatasi pergerakan minimal pada rotasi, ekstensi, dan fleksi.
Sumber :
Kowalak, J. P. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2011