Anda di halaman 1dari 11

4.

trauma kepala
b. etiologi, klasifikasi, manifestasi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi akibat
benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu cedera yang
terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia,
hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi
akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan
otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.1
Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004, klasifikasi
berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi:2
1. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau
luka tembak.
Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:3,4
1. Fraktur Kranium
Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya, dibedakan
menjadi fraktur calvaria dan fraktur basis cranii. Berdasarkan keadaan
lukanya, dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu fraktur dengan luka tampak
telah menembus duramater, dan fraktur tertutup yaitu fraktur dengan fragmen
tengkorak yang masih intak.
2. Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Biasanya
terletak di area temporal atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya
arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak .
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural.
Robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri merupakan penyebab
dari perdarahan subdural.
4. Contusio dan perdarahan intraserebral
Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan
sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.
Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Contusio
cerebri sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga
terjadi pada setiap bagian dari otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam
waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang
membutuhkan tindakan operasi.
5. Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang
berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak disertai
kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin akan mengeluh nyeri kepala, vertigo,
mungkin muntah dan pucat.
6. Fraktur basis cranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan
fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan
kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang
dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrogade dan
amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya:

Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:5


1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat
di rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT
scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di
rumah sakit setidaknya 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score
GCS < 9 (George, 2009)

Tabel Glasgow Coma Scale


Eye opening score
4. Mata terbuka spontan 4 Mata membuka terhadap bicara 3 Mata membuka
sedikit setelah dirangsang 2
5. nyeri
Tidak membuka mata 1
6. Motor Response
7. Score
8. Menurut perintah 6 Dapat melokalisir nyeri 5 Reaksi menghindar 4 Gerakan
fleksi abnormal 3 Gerakan ekstensi abnormal 2 Tidak ada gerakan 1
9. Verbal Response
10. Score
11. Berorientasi 5
12. 10
13. Biacara kacau / disorientasi 4 Mengeluarkan kata-kata yang tidak tepat/ 3
14. tidak membentuk kalimat
Mengeluarkan suara tidak ada artinya 2
15. Tidak ada jawaban
Gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu mendiagnosis adalah battle sign
(warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid), hemotipanum
(perdarahan di daerah membran timpani telinga), periorbital ekhimosis (mata
warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari
hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga).6
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah pasien
tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh,
sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dan atau muntah, gangguan
tidur dan nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri, letargik.
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat adalah perubahan
ukuran pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi,
depresi pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat
pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas. 6
Sumber :
1. Hickey, V.J.The clinical practice of neurological and neurosurgical nursing. (5

th
ed). Philadelphia: Lippincott william & Wilkins. 2003

2. Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors.Edisi 7. Jakarta : IKABI.


2004
3. Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC. 2010
4. Ngoerah I Gst.Ng.Gd. Dasar Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya. Airlangga
University Press. 1991
5. George. Panduan Praktis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC. 2009
6. Reisner A., 2009. Understanding Traumatic Brain Injuries. Medical Director
of Neuro Trauma Program. Available: http://www.choa.org/Menus/
Documents/Our Services/Traumaticbrainiinjury2009.pdf. [Accessed 6 Oktober
2019]. 2009

f. pemeriksaan penunjang
1. Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami
gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda
fisik eksternal yang menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis,
atau tanda neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium pada regio
temporoparietal pada pasien yang tidak sadar menunjukkan kemungkinan
hematom ekstradural, yang disebabkan oleh robekan arteri meningea media.1

2. CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran


atau jika terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau
tanda neurologis fokal.1 CT scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi, dan
kemungkinan komplikasi jangka pendek seperti hematom epidural dan
hematom subdural.2
Sumber :
1. Ginsberg, Lionel. Lecture Notes: Neurology. Jakarta: Erlangga. 2007
2. Grace, Pierce A. dan Neil R. Borley. At a Glance Ilmu Bedah . Alih Bahasa dr.
Vidia. Umami. Editor Amalia S. Edisi 3. Jakarta: Erlangga, 2014

7. patofisiologi pada kasus


c. penurunan kesadaran
Penurunan kesadaran merupakan bentuk disfungsi otak yang melibatkan
hemisfer kiri ataupun kanan atau struktur - struktur lain dari dalam otak atau
6
keduanya. Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara
menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh
gangguan ARAS dibatang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus,
hipotalamus maupun mesensefalon7. Mekanisme fisiologis kesadaran dan koma mulai
memperoleh titik terang sejak penelitian yang dilakukan oleh Berger (1928) dan
kemudian Brcmcr (1937). Mereka menyimpulkan bahwa salah satu pusat kesadaran
berlokasi di daerah forebrain mengingat bahwa koma merupakan akibat yang terjadi
secara pasif bilamana rangsang sensorik spesifik pada forebrain dihentikan atau
diputus. Pada masa berikutnya Morrison dan Dempsey (1942) menemukan adanya
talamokortikal difus yang tak terpengaruh segala sistem sensorik primer yang
spesifik, atau dengan kata lain ternyata di samping hal di atas ada mekanisme
nonspesifik lain yang dapat mempengaruhi kesadaran. Hal ini diperjelas oleh
penemuan Moruni dan Mogoun pada tahun 1949 tentang suatu daerah tambahan pada
formasio rektikulatis yang terletak di bagian netral batang otak, yang bila dirangsang
akan menimbulkan aktivasi umum yang nonspesifik pada korteks serebri, yang
disebut sebagai Sistem Aktivasi Rektikuler Asendens (ARAS - Ascendence Retricular
Activating System). Sistem ini mencakup daerah-daerah di tengah batang otak, meluas
mulai dari otak tengah sampai hipotalamus dan ralamus, dan menjabarkan bahwa
struktur-struktur tersebut mengirimkan transmisi efek-efek fisiologis difus ke korteks
baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam peranannya terhadap arousal
kesadaran. Bilamana ARAS binatang yang sedang tidur dirangsang secara langsung
dengan elektrode maka akan menampilkan desinkronlsasi gelombang EEG dan
binatang ini segera akan menjadi bangun. Sebaliknya bila ARAS digelombang EEG
akan melambat dan terjadi koma (balikan walaupun diberikan rangsangan yang kuat).
Secara anatomik, letak lesi yang menyebabkan penurunan kesadaran dapat dibagi
menjadi dua, yaitu : supratentorial (15%), infratentorial (15%)., dan difus (70%)
misalnya pada intoksikasi obat dan gangguan metabolik7.
1. Koma diensefelik7
Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formasio retikularis di
daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran) disebut
koma diensefalik. Secara anatomik, koma diensefalik dibagi menjadi dua
bagian utama, ialah koma akibat lesi supratentorial dan lesi infratentorial.
a. Lesi supratentorial pada umumnya berbentuk proses desak ruang atau
space occupying process, misalnya gangguan peredaran darah otak
(GPDO atau stroke) dalam bentuk perdarahan, neoplasma, abses,
edema otak, dan hidrosefalus obstruktif. Proses desak ruang tadi
menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dan kemudian menekan
formasio retikularis di mesensefalon dan diensefalon (herniasi otak).
b. Lesi infratentorial meliputi dua macam proses patologik dalam ruang
infratentorial (fossa kranii posterior).pertama, proses diluar batang otak
atau serebelum yang mendesak sistem retikularis, dan yang kedua
merupakan proses di dalam batang otak yang secara langsung
mendesak dan merusak sistem retikularis batang otak. Proses yang
timbul berupa:
c. penekanan langsung terhadap tegmentum mesensefalon (formasio
retikularis)
d. herniasi serebelum dan batang otak ke rostral melewati tentorium
serebeli yang kemudian menekan formasio retikularis di mesensefalon,
dan
e. herniasi tonsilo-serebelum ke bawah melalui foramen magnum dan
sekaligus menekan medula oblongata.
2. Koma kortikal-bihemisferik7
Fungsi dan metabolisme otak sangat bergantung pada terkecukupinya
penyediaan oksigen. Pada individu sehat dengan konsumsi oksigen otak
kurang lebih 3,5ml/100gr otak/menit maka aliran darah otak kurang lebih
50ml/100gr otak/menit. Bila aliran darah otak menurun menjadi 25-50ml/gr
menit/otak, mungkin akan terjadi kompensasi dengan menaikkan ekstraksi
oksigen dari aliran darah. Apabila aliran darah turun lebih rendah lagi maka
akan terjadi penurunan konsumsi oksigen secara proporsional.
Glukosa merupakan satu-satunya substrat yang digunakan otak dan teroksidasi
menjadi karbondioksida dan air. Untuk memelihara integritas neuronal,
diperlukan penyediaan ATP yang konstan untuk mengeluarkan ion natrium
dari dalam sel dan mempertahankan ion kalium di dalam sel. Apabila tidak
ada oksigen maka terjadilah glikolisis anaerob untuk memproduksi ATP.
Glukosa dapat berubah menjadi laktat dan ATP, tetapi energi yang
ditimbulkannya kecil.
a. Dasar mekanisme terjadinya gangguan kesadaran pada hipoventilasi
belum diketahui secara jelas. Hipoksia merupakan faktor potensial
untuk terjadinya ensefalopati, tetapi bukan faktor tunggal karena gagal
jantung kongestif masih mempunyai toleransi terhadap hipoksemia dan
pada kenyataannya tidak menimbulkan ensefalopati. Retensi CO2
malahan berhubungan erat dengan gejala neurologik. Sementara itu,
munculnya gejala neurologik bergantung pula pada lamanya kondisi
hipoventilasi. Sebagai contoh, penderita dengan hiperkapnia kronis
tidak menunjukkan gejala neurologik kronis dan penderita yang
mengalami hiperkapnia akut akan segera mengalami gangguan
kesadaran sampai koma.
b. Anoksia iskemik adalah suatu keadaan dimana darah masih cukup atau
dapat pula kurang cukup membwa oksigen tetapi aliran darah otak tak
cukup untuk memberi darah ke otak. Penyakit yang mendasari
biasanya menurunkan curah jantung, misalnya: infark jantung, aritmia,
renjatan dan refleks vasofagal, atau penyakit yang meningkatkan
resistensi vaskular serebral misalnya oklusi arterial atau spasme.
Iskemia pada umumnya lebih berbahaya daripada hipoksia karena
asam laktat tidak dapat dikeluarkan.
c. Anoksia anoksik merupakan gambaran tidak cukupnya oksigen masuk
kedalam darah. Dengan demikian baik isi maupun tekanan oksigen
dalam darah menurun. Keadaan demikian ini terdapat pada tekanan
oksigen lingkungan yang rendah (tempat yang tinggi atau adanya gas
nitrogen) atau oleh ketidakmampuan oksigen untuk mencapai dan
menembus membran kapiler alveoli.
d. Anoksia anemik disebabkan oleh jumlah hemoglobin yang mengikat
dan membawa oksigen dalam darah menurrun. Sementara oksigen
yang m,asuk ke dalam darah cukup. Keadaan ini terdapat pada anemia
maupun keracunan karbonmonoksida.
e. Hipoksi atau iskemia difus akut disebabkan oleh dua keadaan, ialah
kadar oksigen dalam darah menurun cepat sekali atau aliran darah otak
menurun secara mendadak. Penyebab utamanya antara lain: obstruksi
jalan napas, obstruksi serebral secara masif, dan keadaan yang
menyebabkan menurunnya curah jantung secara mendadak. Trombosis
atau emboli termasuk purpura trombositopeni trombotika, koagulasi
intravaskularis diseminata, endokarditis bakterial akut, malaria
falsiparum, dan emboli lemak, semuanya mampu menimbulkan
iskemia multifokal yang luas dan secara klinis akan memberi
gambaran iskemia serebral difus akut.
f. Gangguan metabolisme karbohidrat meliputi hiperglikemia,
hipoglikemia dan asidosis laktat. Diabetes melitus tidak mengganggu
otak secara langsung.
g. Gangguan keseimbangan asam basa meliputi asidosis metabolik dan
respoiratorik serta alkalosis respiratorik dan metabolik. Dari 4 jenis
gangguan asam basa tadi, hanya asidosis respiratorik yang bertindak
sebagai penyebab langsung timbulnya stupor dan koma. Asidosis
metabolik lebih sering menimbulkan delirium dan obtundasi. Alkalosis
respiratorik hanya menimbulkan bingung dan perasaan tidak enak di
kepala. Satu alasan mengapa gangguan keseimbangan asam basa
sistemik sering tidak mengganggu otak, ialah karena adanya
mekanisme fisiologik dan biokimiawi yang melindungi keseimbangan
asam-basa di otak terhadap perubahan pH serum yang cukup besar.
h. Uremia sering kali mengganggu kesadaran penderita. Namun
demikian, walaupun telah dilakukan penelitian yang cukup luas,
penyebab pasti disfungsi otak pada uremia belum diketahui. Urea itu
sendiri bukan bahan toksik untuk otak, karena infus dengan urea tidak
menimbulkan gejala-gejala uremia; sementara itu hemodialisis mampu
memperbaiki gejala klinik uremia justru kedalam cairan dialisis
ditembahkan urea.
i. Koma hepatik sering dijumpai di klinik. Defisiensi atau bahan-bahan
toksik diperkirakan sebagai penyebab potensial koma hepatik, tetapi
tidak satupun yang memberi kejelasan tentang patofisiologinya.
Meningkatnya kadar amonia dalam darah di otak dianggap sebagai
faktor utama terjadinya koma hepatik. Amonia, dalam kadara yang
tinggi dapat bersifat toksik langsung terhadap otak.
j. Defisiensi vit. B sering kali mengakibatkan delirium, demensia dan
mungkin pula stupor. Defisiensi tiamin dianggap yang paling serius
dalam diagnosis banding koma. Defisiensi tiamin menimbulkan
penyakit Wernicke, suatu kompleks gejala yang disebabkan oleh
kerusakan neuron dan vaskular di substanta grisea, daerah sekitar
ventrikulus, dan akuaduktus.

Sumber :
6. Kelly JP.Loss of Consciousness: Pathophysiology and Implications in Grading and
Safe Return to Play. Journal of athletic training. Chicago. 2001
7. Harsono.Koma dalam Buku Ajar Neurologi Klinis.GajahMada University Press.
Yogyakarta. 2008

8. fraktur basis cranii


b. etiologi
Etiologi fraktur basis cranii dapat meliputi :
1. Kecelakaan kendaraan atau transportasi.
2. Kecelakaan terjatuh.
3. Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga.
4. Kejahatan dan tindak kekerasan
Sumber :
Kowalak, J. P. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2011

g. tatalaksana
1. ABC
a. Airway dengan jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi kalau perlu dipasang oropharyngeal tube atau
nasopharyngeal tube.
b. Breathing dengan memberikan O2 dengan menggunakan alat bantu
pernafasan misalnya Nasal Kanul, Simple Mask/Rebreating Mask, Mask
Nonrebreating, Bag-Valve-Mask, dan Intubasi Endotrakea.
c. Circulation pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-
2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini
terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan
norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4
hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa
nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
2. Medikasi
No Nama Obat Dosis Keterangan
1 Diuretik osmotik Dosisnya 0,5-1 g/kgBB, Untuk mencegah
(manitol 20%) diberikan dalam 30 menit. rebound
Pemberian diulang setelah
6 jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit
2 Loop diuretic Dosisnya 40 mg/hari IV Pemberiannya bersama
(furosemid) manitol, karena
mempunyai efek sinergis
dan memperpanjang efek
osmotik serum mannitol
3 Diazepam Dosisnya 10 mg IV dan Diberikan bila ada kejang
bisa diulang sampai 3 kali
bila masih kejang
4. Analgetik Dosisnya 325 atau 500 mg Untuk mengurangi
(asetaminofen) setiap 3 atau 4 jam, 650 demam serta mengatasi
mg setiap 4-6 jam, 1000 nyeri ringan sampai
mg setiap 6 sedang akibat sakit
kepala
5. Analgetik 30-60 mg, tiap 4-6 jam Untuk mengobati nyeri
(kodein) sesuai kebutuh ringan atau cukup parah
6. Antikonvulsan Dosisnya 200 hingga 500 Untuk mencegah
(fenitoin) mg perhati serangan epilepsi
7. Profilaksis Biasanya digunakan Tindakan yang sangat
antibiotic setelah 24 jam pertama, penting sebagai usaha
lalu 2 jam pertama, dan 4 untuk mencegah
jam berikutnya terjadinya infeksi pasca
operasi

3. Pembedahan
Evakuasi hematoma atau kraniotomi untuk mengangkat atau mengambil
fragmen fraktur yang terdorong masuk ke dalam otak dan untuk mengambil
benda asing dan jaringan nekrotik sehingga risiko infeksi dan kerusakan otak
lebih lanjut akibat fraktur dapat dikurangi.
4. Imobilisasi
Pada pasien cedera kepela berat mobilisasi bisa dilakukan dengan pemasangan
servical colar. Servical colar sendiri adalah alat penyangga tubuh khusus untuk
leher. Alat ini digunakan untuk mencegah pergerakan tulang servical yang dapat
memperparah kerusakan tulang servical yang patah maupun pada cedera kepala.
Alat ini hanya membatasi pergerakan minimal pada rotasi, ekstensi, dan fleksi.
Sumber :
Kowalak, J. P. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2011

Anda mungkin juga menyukai