Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Geologi sebagai ilmu sains terapan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
lapangan. Praktik lapangan merupakan salah satu media pembelajaran bagi
mahasiswa agar dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan dalam
ruang perkuliahan, praktikum laboratorium, dan literature-literatur yang
relevan.
Geologi Kelautan merupakan salah satu bidang ilmu geologi yang
memepelajari tentang aspek-aspek Geologi yang ada dilautan termasuk
morfologi, struktur geologi, litologi, stratigrafi serta proses pembentukannya.
Praktik Lapangan ini merupakan salah satu kompetensi agar mahasiswa
dapat mengimplementasikan ilmu yang telah didapatkan serta sebagai syarat
kelulusan mata kuliah Geologi kelautan.

1.2 Tujuan Penelitian


1 Mahasiswa mampu mengetahui cara pengukuran Batymetri
2 Mampu membuat peta batymetri
3 Dengan batymetri mahasiswa mampu mengetahui Morfologi bawah laut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Istilah batimetri berasal dari bahasa Yunani yaitu Bathy- yang berarti
kedalaman dan -metry yang berarti ilmu ukur, sehingga batimetri
didefinisikan sebagai pengukuran dan pemetaan dari topografi dasar laut
(Pipkin et.al., 1977). Batimetri merupakan ukuran tinggi rendahnya dasar
laut dimana peta batimetri memberikan infomasi mengenai dasar laut
(Nurjaya, 1991). Pemanfaatan peta batimetri dalam bidang kelautan misalnya
dalam penentuan alur pelayaran, perencanaan bangunan pantai, pembangunan
jaringan pipa bawah laut dsb (Fauzi,2009).Batimetri merupakan unsur
serapan yang secara sederhana dapat diartikan sebagai kedalaman laut. Dari
Kamus Hidrografi yang dikeluarkan oleh Organisasi Hidrografi Internasional
(International Hydrographic Organization, IHO) tahun 1994, Batimetri adalah
penentuan kedalaman laut dan hasil yang diperoleh dari analisis data
kedalaman merupakan konfigurasi dasar laut (Anonim, 2013).
Awalnya, batimetri mengacu kepada pengukuran kedalaman
samudra.Teknik-teknik awal batimetri menggunakan tali berat terukur atau
kabel yang diturunkan dari sisi kapal. Keterbatasan utama teknik ini adalah
hanya dapat melakukan satu pengukuran dalam satu waktu sehingga dianggap
tidak efisien. Teknik tersebut juga menjadi subjek terhadap pergerakan kapal
dan arus. Sekarang ini, peta batimetri ini dapat divisualisasikan dalam
tampilan 2 dimensi maupun 3 dimensi. Visualisasi tersebut dapat dilakukan
karena perkembangan teknologi yang semakin maju, sehingga penggunaan
komputer untuk melakukan kalkulasi dalam pemetaan mudah dilakukan. Data
batimetri dapat diperoleh dengan penggunaan teknik interpolasi untuk
pendugaan data kedalaman untuk daerah-daerah yang tidak terdeteksi
merupakan hal mutlak yang harus diperhatikan. Teknik interpolasi yang
sering digunakan adalah teori Universal Kriging dan teori IRFK (Wikipedia,
2013).
Sebuah peta batimetri umumnya menampilkan relief lantai atau dataran
dengan garis-garis kontor (contour lines) yang disebut kontor kedalaman
(depth contours atau isobath), dan dapat memiliki informasi tambahan berupa
informasi navigasi permukaan. Di daratan, garis kontur menghubungkan
tempat-tempat berketinggian sama, sedangkan kontur pada batimetri
menghubungkan tempat-tempat dengan kedalaman sama di bawah permukaan
air. Penggukuran kedalaman juga berpengaruh pada cahaya (kecerahan).
Cahaya matahari merupakan sumber energi bagi kehidupan jasad hidup
diperairan. Cahaya matahari dibutuhkan oleh tumbuhan air dimana untuk
proses fotosintesis. Cahaya yang jatuh dipermukaan air sebagian akan
dipantulkan dan sebagian lagi akan diserap. Cahaya yang diserap akan diubah
menjadi panas. Cahaya inilah yang nantinya akan menentukan kecerahan
suatu perairan (Anonim, 2013).
Kedalaman penetrasi cahaya dialam laut bergantung pada beberapa
faktor antara lain absorpsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya,
kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik dan
musim. Peta batimetri dalam aplikasinya memiliki banyak manfaat dalam
bidang teknik sipil dan kelautan antara lain penentuan jalur pelayaran yang
aman, perencanaan bangunan pinggir pantai dan lepas pantai, pendeteksian
adanya potensi bencana tsunami di suatu wilayah, dan pertambangan minyak
lepas pantai. Selain itu, peta batimetri diperlukan untuk mengetahui kondisi
morfologi suatu daerah perairan. Karena kondisi laut yang sangat dinamis,
peta batimetri harus selalu di-update dengan perubahan dan perkembangan
kondisi perairan tersebut (Fauzi,2009).
Pengukuran kedalaman perairan secara konvensional dilakukan dengan
menggunakan metode batu duga, namun metode ini memiliki kelemahan
terutama hasil yang kurang akurat. Kemajuan teknologi yang semakin pesat
membuat metode ini sudah muali ditinggalkan dan beralih ke metode
pengukuran kedalaman yang mnenggunaka prinsip perambatan gelombang
bunyi (Fauzi,2009).

 Penentuan Batimetri
a. Metode Akustik
Metode akustik merupakan proses-proses pendeteksian target di
laut dengan mempertimbangkan proses-proses perambatan suara;
karakteristik suara (frekuensi, pulsa, intensitas); faktor lingkungan /
medium; kondisi target dan lainnya. Aplikasi metode ini dibagi menjadi 2,
yaitu sistem akustik pasif dan sistem akustik aktif. Salah satu aplikasi dari
sistem aplikasi aktif yaitu Sonar yang digunakan untuk penentuan
batimetri.Sonar (Sound Navigation And Ranging): Berupa sinyal akustik
yang diemisikan dan refleksi yang diterima dari objek dalam air (seperti
ikan atau kapal selam) atau dari dasar laut. Bila gelombang akustik
bergerak vertikal ke dasar laut dan kembali, waktu yang diperlukan
digunakan untuk mengukur kedalaman air, jika c juga diketahui (dari
pengukuran langsung atau dari data temperatur, salinitas dan tekanan).Ini
adalah prinsip echo-sounder yang sekarang umum digunakan oleh kapal-
kapal sebagai bantuan navigasi. Echo-sounder komersil mempunyai lebar
sinar 30-45o vertikal tetapi untuk aplikasi khusus (seperti pelacakan ikan
atau kapal selam atau studi lanjut dasar laut) lebar sinar yang digunakan
kurang 5o dan arahnya dapat divariasikan. Walaupun menunjukkan
pengaruh temperatur, salinitas dan tekanan pada laju bunyi dalam air laut
(1500 ms-1) relatif kecil dan sedikit perubahan pada c dapat menyebabkan
kesalahan pengukuran kedalaman dan kesalahan sudut akan menambah
keburukan resolusi (Supangat, 2003)
Teknik echo-sounding untuk menentukan kedalaman dan pemetaan
dasar laut bertambah maju dengan berkembangnya peralatan sonar seperti
SeaBeam dan Hydrosweep yang merupakan sistem echo-sounding multi-
beam yang menentukan kedalaman air di sepanjang swath lantai laut di
bawah kapal penarik, menghasilkan peta-peta batimetri yang sangat detail.
Sidescan imaging system, sperti GLORIA (Geological Long Range
Inclined Asdic), SeaMARC, dan TOBI (Towed Oceand Bottom
Instrument) menghasilkan fotografi aerial yang sama atau citra-citra radar,
menggunakan bunyi atau microwave. Echo-sounding banyak juga
digunakan oleh nelayan karena ikan menghasilkan echo, dan kawanan ikan
atau hewan lain dapat dikenali sebagai lapisan-lapisan sebaran dalam
kolom air (Supangat, 2003).

b. Satelit Altimetri
Altimetri adalah Radar (Radio Detection and Ranging) gelombang
mikro yang dapat digunakan untuk mengukur jarak vertikal antara
permukaan bumi dengan wahana antariksa (satelit atau pesawat terbang).
Pengukuran ini dapat menghasilkan topografi permukaan laut sehingga
dapat menduga geoid laut, arus permukaan dan ketinggian gelombang.
Inderaja altimetri untuk topografi permukaan laut pertama kali
dikembangkan sejak peluncuran SKYLAB dengan sensor atau radiometer
yang disebut S-193. Satelit altimetri yaitu : GEOS-3, SEASAT, ERS-1,
dan yang terakhir yang sangat terkenal adalah TOPEX/POSEIDON.
Satelit terakhir ini adalah satelit misi bersama antara Amerika Serikat
(NASA) dengan Perancis (Susilo, 2000).
Satelit altimetri memiliki prinsip penggambaran bentuk paras laut
dimana bentuk tersebut menyerupai bentuk dasar laut dengan
pertimbangan gravitasi yang mempengaruhi paras laut dan hubungan
antara gravitasi dan topografi dasar laut yang bervariasi sesuai dengan
wilayah. Satelit altimetri juga memberikan bentuk gambaran paras muka
laut. Satelit ini mengukur tinggi paras muka laut relatif terhadap pusat
massa bumi. Sistem satelit ini memiliki radar yang dapat mengukur
ketinggian satelit di atas permukaan laut dan sistem tracking untuk
menentukan tinggi satelit pada koordinat geosentris. Satelit Altimetri
diperlengkapi dengan pemancar pulsa radar (transmiter), penerima pulsa
radar yang sensitif (receiver), serta jam berakurasi tinggi (Hery Andreas
dalam Hasanuddin Z A).
Pada sistem ini, altimeter radar yang dibawa oleh satelit
memancarkan pulsa-pulsa gelombang elektromagnetik (radar)
kepermukaan laut. Pulsa-pulsa tersebut dipantulkan balik oleh permukaan
laut dan diterima kembali oleh satelit. Informasi utama yang ingin
ditentukan dengan satelit altimetri adalah topografi dari muka laut. Hal ini
dilakukan dengan mengukur ketinggian satelit di atas permukaan laut
dengan menggunakan waktu tempuh dari pulsa radar yang dikirimkan
kepermukaan laut, dan dipantulkan kembali ke satelit (Heri Andreas dalam
Hasanuddin Z A).
c. Kontur Batimetri
Bentuk kontur batimetri dari plot hasil sounding diamati sesuai
dengan aturan-aturan sederhana sederhana. Garis kontur tidak pernah
saling berpotongan/melewati/tumpang tindih satu sama lainnya.
Contoh,jika garis kontur 100 meter adalah gambaran garis lepas pantai ke
sambungangaris pantai,semua kedalaman 100 m harus pada garis tersebut
dan semua hasil sounding yang lebih dangkal dari 100 m harus di antara
garis kontur tersebut dan pantai. Jika hasil sounding lebih besar dari 100 m
yang ditemui di wilayah yang dilukiskan dengan kontur tersebut,letak
garis-garis harus disesuaikan.
Asas yang sama digunakan untuk letak dari garis ysng bertambah
kedalamannya. Wilayah garis antara 100-200 m tidak harus memuat titik-
titik kurang dari 100 m atau lebih dari 200 m. Jarak penutup antara kontur-
kontur menunjukkan suatu slope yang curam atau suatu kecuraman diubah
menjadi kedalaman. Akhirnya garis kontur menutup diatasnya. Kontur-
kontur yang sedikt menonjol dapat tertutup di dalam daerah peta,sehingga
ujungnya bergabung/menyatu,sedangkan kontur-kontur yang lebih besar
akan menonjol dan menutup turunan wilayah peta (Hutabarat,1986).
Kita dapat memperleh topografi dari peta kontur ataupun peta laut
dengan membentuk atau membangun suatu topografi sepanjang garis
pilihan atau lintasan.Profil adalah seperti suatu grafik kedalaman dasar laut
yang diplotkan secara vertical dan jaraknya diplotkan secara horizontal.
Berdasarkan hasil penggambaran tersebut akan diperoleh bentuk-bentuk
dasar laut (Hutabarat,1986).
Bentuk-bentuk dasar laut terdiri dari :
 Ridge dan Rise
Ini adalah suatu bentuk proses peninggian yang terdapat di atas laut (
sea floor) yang hampir serupa dengan adanya gunung-gunung di
daratan
 Trench
Bagian laut yang terdalam dengan bentuk seperti saluran seolah-olah
terpisah sangat dalam yang terdapat di perbatasan antara benua.
 Abyssal Plain
Daerah yang relatif tebagi rata dari permukaan bumi yang terdapat
dibagian sisi yang mengarah ke daratan.
 Continetal Island
Beberapa pulau yang menurut sifat geologisnya bagian dari massa
tanah daratan benua besar yang kemudian terpisah
 Island Arc (kumpulan pulau-pulau)
Kumpulan pulau-pulau seperti indonesia yang mempunyai perbatasan
dengan benua
 Mid-Oceanic Volcanic Island
Pulau-pulau vulkanik yang terdapat di tengah-tengah lautan. Terdiri
dari pulau-pulau kecil, khususnya terdapat di Lautan pasifik
 Atol-atol
Daerah yang terdiri dari kumpulan pulau-pulau yang sebagian besar
tenggelam di bawah permukaan laut dan berbentuk cincin.
 Seamout dan guyot
Gunung-gunung berapi yang mucul dari dasar lantai lautan tetapi tidak
mencapai permukaan laut ( Hutabarat,1986).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat


Lokasi tempat praktikum geologi laut di kelurahan Pantoloan
kecamatan Taweli, adapun praktek lapangan dilakukan pada :
Hari : Jumat - Minggu
Tanggal : 12 – 14 April 2019
Jam : 16.00 - selesai

3.2. Alat dan Bahan


3.2.1. Alat
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah sebagai
berikut :
a. Deep meter d. Pita Ukur
b. Perahu e. Palmeter
c. Global Positioning System f. Stopwatch
d. Roll Meter g. Sekop

3.2.2. Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sebagai
berikut :
a. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)

3.3. Cara Kerja


a. Siapkan Peta dan GPS yang telah diberi koordinat titik-titik
pengukuran
b. Dengan menggunakan perahu, pergilah menuju titik-titik tersebut
kemudian ukur kedalaman
BAB IV
HASIL ANALISA

4.1 HASIL PENGUKURAN

x y z 119.848 0.706975 -104 119.8468 0.7054 -96


119.8438 0.701481 -3.9 119.8483 0.706842 -402 119.8462 0.705644 -164
119.8433 0.701569 -28.7 119.8486 0.706667 -11.6 119.8461 0.705964 -251
119.8428 0.701572 -101 119.8488 0.706514 -5.9 119.8462 0.706111 -258
119.8423 0.701697 -157 119.8489 0.706392 -4.2 119.846 0.706667 -255
119.8422 0.701856 -167 119.8486 0.706139 -1.6 119.8469 0.707444 -231
119.8427 0.70175 -103 119.8483 0.705944 -1.7 119.8472 0.707361 -194
119.8434 0.701408 -24.2 119.848 0.705706 -2.3 119.8476 0.707156 -151
119.8443 0.701533 -4.4 119.8456 0.704311 -157 119.8485 0.706997 -104
119.8443 0.701536 2 119.8448 0.704417 -216 119.8482 0.706842 -40.2
119.8443 0.704558 -213 119.8486 0.706667 -11.6
119.8444 0.701653 5
119.8439 0.704444 -250 119.8488 0.706514 -5.9
119.8444 0.702189 -57
119.8489 0.706114 -4.2
119.8443 0.702292 -73 119.8434 0.704389 -261
119.847 0.705117 -47.2
119.8437 0.702489 -97 119.8425 0.704417 0
119.8465 0.705311 -98
119.8434 0.702697 -129 119.8432 0.705361 0
119.846 0.705878 -193
119.8439 0.702925 -145 119.8452 0.705194 -228
119.8458 0.706444 -238
119.8442 0.702839 -130 119.8455 0.705267 -201
119.8448 0.706106 -287
119.8446 0.702708 -84 119.846 0.705139 -146
119.8449 0.70535 -24.8
119.845 0.702522 -45.3 119.8462 0.7 -114
119.8482 0.702033 -100
119.8452 0.702442 -6.5 119.8489 0.704481 -39 119.8463 0.704828 -110
119.8451 0.703136 -106 119.8473 0.705897 -42.7 119.846 0.704433 -133
119.8429 0.70365 -210 119.8472 0.706503 -120 119.847 0.705183 -54.4
119.8428 0.703644 -254 119.8469 0.706689 -178 119.8473 0.705233 -40.4
119.842 0.703819 -272 119.8464 0.707064 -237 119.8463 0.703392 -114
119.8441 0.702942 -118 119.8468 0.7054 -96 119.8459 0.704844 -175
119.8456 0.703433 -87 119.8462 0.705619 -164 119.8449 0.704725 -230
119.8462 0.703336 -15.3 119.8445 0.705908 -215 119.8447 0.704122 -209
119.8546 0.706303 -258 119.8486 0.704528 -39 119.8414 0.703694 -129
119.8461 0.706667 -225 119.8473 0.705897 -42.7 119.8435 0.703614 -223
119.8469 0.707328 -231 119.8472 0.706503 -120 119.8433 0.703528 -208
119.8472 0.707306 -194 119.8469 0.706689 -178 119.8429 0.702894 -159
119.8476 0.707156 -151 119.8465 0.707064 -231 119.8471 0.704117 -5
4.2 PEMBAHASAN
Pengolahan data hasil survey batimetri bertujuan untuk mendapatkan data
kedalaman sebenarnya. Proses yang dilakukan yaitu dengan memberikan koreksi
terhadap data pengukuran kedalaman.

Wilayah penelitian terletak di pantai pantoloan. Setelah dilakukan


pengukuran kedalaman dan koreksi kedalaman kemudian dilanjutkan dengan
pengolahan data menggunakan software Arcgis sehingga diperolah kontur
batimetri. Berdasarkan kontur batimetri didapatkan bahwa wilayah penelitian
termasuk dalam morfologi continental shelf . Continental shelf merupakan suatu
daerah yang mempunyai lereng yang landai dan berbatasan langsung dengan
daerah daratan, memiliki kedalaman antara 100-200 meter.

Sedangkan berdasarkan peta gemorfologi peta ini terdiri dari 2 satuan


yaitu Dataran alluvial pantai (M11) merupakan Satuan morfologi dataran alluvial
pantai di daerah penelitian memiliki luas penyebaran ± 2,3 Ha dari keseluruhan
lokasi pemetaan. Aspek morfografi daerah pemetaan berdasarkan kenampakan
dilapangan termasuk kedalam morfografi pantai. Aspek morfogenesa, daerah ini
terbentuk Proses Fisika yaitu proses-proses fisik yang mempengaruhi
pembentukan pesisir seperti gelombang, rombakan arus (rip current), arus pasang
surut, pasang surut dan sebagainya. Gelombang, Erosi dan abrasi Sedimentasi
yang dibawa melalui sungai, arus sepanjang tepi pantai (longshore drift), dan arus
pasang surut. Batuan Sedimen yang terbentuk terdiri dari pasir, hingga kerikil.
litologi penyusun batuannya yaitu batuan Batulanau dan Batupasir. Pada daerah
ini tidak terdapat tata guna lahan dan yang kedua yaitu Dataran rendah alluvial
(F1) Satuan morfologi Dataran Rendah Aluvial yang terdapat daerah pemetaan
memiliki luas sekitar ± 21,5 Ha dari seluruh daerah yang dipetakan dan memiliki
ketinggian ± 2-35 mdpl. Dari kenampakan dilapangan dan ketinggiannya
berdasarkan klasifikasi daerah ini mempunyai unsur morfografi dataran rendah.
proses yang terjadi di daerah ini disebabkan aktivitas air permukaan, baik yang
merupakan air yang mengalir secara terpadu, maupun air yang tidak
terkonsentrasi. Dataran alluvial merupakan dataran yang terbentuk akibat proses-
proses yang lebih didominasi oleh tenaga eksogen antara lain iklim, curah hujan,
angin, jenis batuan, topografi, suhu, yang semuanya akan mempercepat proses
pelapukan dan erosi serta sedimentasi. Proses aluvial akan menghasilkan suatu
satuan yang khas sebagai akibat tingkah laku air yang mengalir dipermukaan atau
dari hasil pelapukan mekanik dari material tersebut.

Kedua satuan ini sangat jelas terlihat dengan kondisi geografi daerah
penelitian yaitu berada di daerah teluk palu.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengatan yang dilakukan di daerah pantoloan
menyatakan bahwa kawasan laut tersebut termasuk dalam kategori laut
kontinental shelf di mana lautnya memiliki lereng yang landai dan berbatasan
langsung dengan daratan.

5.2 Saran
Sebaiknya pada saat pengukuran batymetri, praktikan memperhatikan
dan lebih teliti dalam pengukuran sehingga data yang didapatkan lebih akurat
dan mempermudah dalam pengolahan datanya. Sehingga peta yang dihasilkan
maksimal dan dapat di jadikan acuan selanjutnya untuk pengembangan daerah
laut.

Anda mungkin juga menyukai