Anda di halaman 1dari 40

4

BAB II

TINJAUAN UMUM

II.1 Definisi Apotek

Berikut adalah beberapa definisi apotek :


a. Menurut Peraturan Menteri No.1332/Menkes/SK/X/2002, yang

menyatakan bahwa apotek adalah salah satu tempat tertentu,

tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran

sediaan farmasi dan perbekalan farmasi kepada masyarakat (4).


b. Menurut PP no. 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 13 Apotek adalah

sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

kefarmasian oleh apoteker (2).


c. Menurut PP No. 26 tahun 1965 tentang apotek Pasal 1. Yang

dimaksud dengan apotik dalam Peraturan Pemerintah ini ialah

suatut empat tertentu, dimana dilakukan usaha-usaha dalam bidang

farmasi dan pekerjaan kefarmasian (5).


Praktek kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk

pengendalian mutu sediaaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan

pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan atas resep

dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat

tradisional. Sedangkan sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional

dan kosmetik.

Apotek dapat diusahakan oleh instansi pemerintah atau swasta dengan tugas

pelayanan kesehatan dipusat dan daerah, perusahaan milik Negara yang ditunjuk oleh

pemerintah dan apoteker yang telah mengucapkan sumpah dan memperoleh izin dari

Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten setempat. Sebagai salah satu sarana pelayanan

kesehatan, apotek harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan berkewajiban


5

menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik

dan keabsahannya terjamin sehingga pelayanan obat kepada masyarakat akan lebih

terjamin keamanannya baik kualitas maupun kuantitasnya.

II.2 Peraturan Perundang-undangan di Bidang Apotek

Peraturan perundang-undangan perapotekan di Indonesia telah beberapa

kali mengalami perubahan. Dimulai dengan berlakunya Peraturan Pemerintah

(PP) No.26 tahun 1965 tentang pengelolaan dan perizinan Apotek, kemudian

disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1980, beserta petunjuk

pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.26. tahun 1981 dan Surat

Keputusan Menteri Kesehatan No.178 tentang ketentuan dan tata cara pengelolaan

apotek. Peraturan yang terakhir berlaku sampai sekarang adalah Keputusan

Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002 yang memberikan beberapa

keleluasaan kepada apotek untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan yang

optimal.

Ketentuan-ketentuan umum yang berlaku tentang perapotekan sesuai

Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002 adalah sebagai

berikut:

a. Apoteker adalah sarjana Farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan

sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di

Indonesia sebagai Apoteker.


6

b. Surat Izin Apotek (SIA) adalah Surat Izin yang diberikan oleh menteri

kepada apoteker atau apoteker bekerja sama dengan Pemilik Sarana

Apotek (PSA) untuk menyelenggarakan apotek disuatu tempat tertentu.

c. Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah diberi Surat

Izin apoteker.

d. Apoteker pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek disamping

Apoteker Pengelola Apotek dan atau menggantikannya pada jam-jam

tertentu pada hari buka apotek.

e. Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan

Apoteker Pengelola Apotek selama Apoteker Pengelola Apotek tersebut

tidak berada ditempat lebih dari 3 bulan secara terus menerus, telah

memiliki Surat Izin Kerja dan tidak bertindak sebagai Apoteker Pengelola

Apotek lain (4).

Dan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku tentang perapotekan sesuai

Peraturan Pemerintah No 51 tahun 2009 adalah sebagai berikut:

a. Surat Izin Praktik Apoteker selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin

yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan Pekerjaan

Kefarmasian pada Apotek atau Instalasi Farmasi.

b. Surat Tanda Registrasi Apoteker selanjutnya disingkat STRA adalah bukti

tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah

diregistrasi.

Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan:

1) memiliki ijazah Apoteker;

2) memiliki sertifikat kompetensi profesi;


7

3) mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;

4) mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang

memiliki surat izin praktik; dan

5) membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika

profesi (2).

II.3 Tugas dan Fungsi Apotek

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1980, tugas dan fungsi

apotek adalah sebagai berikut (6):

1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah

jabatan.

2. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada

masyarakat.

3. Sarana farmasi yang telah melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,

pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat.

4. Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyalurkan obat yang

diperlukan masyarakat secara luas dan merata.

II.4 Persyaratan Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan

No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Pemberian Izin Apotek,

suatu apotek harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain (4):

1. Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerja sama

dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan
8

tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi yang

lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.


2. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan

komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.


3. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain di luar sediaan

farmasi.

II.4.1. Lokasi

Persyaratan jarak minimum antara apotek tidak lagi

dipermasalahkan dan lokasi apotek sebaiknya mempertimbangkan segi

penyebaran dan pemerataan pelayanan, jumlah penduduk, jumlah dokter,

sarana pelayanan kesehatan, lingkungan yang higienis, dan faktor–faktor

lainnya.

II.4.2. Bangunan

Persyaratan yang harus dipenuhi adalah bangunan apotek harus

dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek serta

dapat memelihara mutu perbekalan kesehatan di bidang farmasi. Pada

Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/SK/X/2002 tentang

Ketentuan dan Pemberian Izin Apotek. Persyaratan teknis bangunan apotek

adalah sebagai berikut :

a) Dinding harus kuat dan tahan air, permukaan dalam harus rata, tidak

mudah mengelupas dan mudah dibersihkan.

b) Langit–langit harus terbuat dari bahan yang tidak mudah rusak dan

permukaan sebelah dalam berwarna terang.

c) Atap tidak boleh bocor, terbuat dari genteng atau bahan lain yang

memadai.
9

d) Lantai tidak boleh lembab, terbuat dari ubin, semen atau bahan lain

yang memadai.

Bangunan apotek setidaknya memiliki :

1) Ruang tunggu pasien.


2) Ruang peracikan dan penyerahan obat.
3) Ruang administrasi.
4) Ruang tempat pencucian alat.
5) Kamar kecil (Toilet).

Selain itu bangunan apotek harus dilengkapi dengan :

a) Ventilasi dan sistem sanitasi yang baik serta memenuhi persyaratan

higiene lainnya.

b) Sumber air yang memenuhi persyaratan kesehatan.

c) Penerangan yang cukup sehingga dapat menjamin pelaksanaan

tugas dan fungsi apotek dengan baik.

d) Alat pemadam kebakaran sekurang–kurangnya dua buah dan masih

berfungsi dengan baik.

e) Papan nama apotek yang memuat nama apotek, nama APA, Surat

Izin Apotek (SIA), alamat apotek dan nomor telepon apotek (bila

ada). Persyaratan papan nama apotek yaitu : terbuat dari seng atau

bahan lainnya yang memadai dengan ukuran minimal panjang 60

cm, tebal 5 cm, dan lebar 55 cm, tulisan dipapan jelas dan bisa di

baca dari jarak ± 200 meter.

II.4.3. Perlengkapan Apotek

Apotek harus memiliki perlengkapan, antara lain :

a) Alat pembuatan, pengolahan dan peracikan seperti timbangan, mortir,

gelas ukur dan lain-lain.


10

b) Perlengkapan dan alat penyimpanan, dan perbekalan farmasi seperti

lemari obat dan lemari pendingin.


c) Wadah pengemas, pembungkus, dan etiket.
d) Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropika.
e) Buku standar Farmakope Indonesia, serta kumpulan peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan apotek.


f) Alat administrasi seperti blanko pesanan obat, faktur, kwitansi, salinan

resep, blanko nota penjualan, buku pembelian, buku penerimaan, buku

pencatatan narkotika dan psikotropika, alat-alat tulis dan kertas.

II.4.4. Tenaga kerja apotek

Tenaga kerja di apotek meliputi tenaga kesehatan dan tenaga non

kesehatan yaitu :

a) Tenaga kesehatan

Adapun tenaga kesehatannya terdiri dari :

1) Apoteker Pengelola Apotek (APA)

Apoteker yang telah memiliki SIPA (Surat Izin Praktek Apoteker)

dan STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker).

2) Apoteker Pendamping

Apoteker yang bekerja di apotek disamping Apoteker Pengelola

Apotek dan atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari

buka apotek.

3) Asisten Apoteker

Mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai Asisten

Apoteker.

b) Tenaga non kesehatan (tenaga yang bekerja di luar bidang kesehatan)


11

terdiri dari :

1) Juru resep

Petugas yang membantu pekerjaan asisten apoteker.

2) Kasir

Bertugas mencatat penerimaan dan pengeluaran uang yang

dilengkapi dengan kuitansi, nota penjualan dan sebagainya.

3) Pegawai Tata Usaha

Bertugas melaksanakan kegiatan administrasi yaitu membuat

laporan pembelian, penyimpanan, penjualan, keuangan apotek,

hutang, piutang, pajak, personalia, alat tagih dan lain-lain.

II.5 Perizinan Apotek

II.5.1. Tata cara perizinan apotek

Untuk melaksanakan kegiatan, Apoteker Pengelola Apotek harus

memiliki Surat Izin Apotek (SIA). SIA adalah surat izin yang diberikan

Menteri Kesehatan RI kepada apoteker atau apoteker yang bekerjasama

dengan pemilik sarana apotek disuatu tempat tertentu.

Dalam pelaksanaannya wewenang pemberian Surat Izin Apotek

dilimpahkan oleh Menteri kesehatan kepada Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota. Selanjutnya Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan

izin dan pencabutan izin Apotek setahun sekali kepada Menteri Kesehatan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


12

No.1332/MENKES/SK/X/2002, Tata Cara Pemberian Izin Apotek adalah

sebagai berikut (4) :

a) Permohonan izin Apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh Formulir Model APT1

(Lampiran 1).

b) Dengan menggunakan Formulir Model APT-2 (Lampiran 2), Kepala

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 hari kerja

setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada

Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap

kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan.

c) Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM

selambat-lambatnya 6 hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil

pemeriksaan setempat dengan menggunakan contoh Formulir Model

APT-3 (Lampiran 3).

d) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (b) dan

(c) tidak dilaksanakan, apoteker pemohon dapat membuat surat

pernyataan siap melakukan kegiatan kepada kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas

Propinsi dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-4

(Lampiran 4).

e) Dalam jangka waktu 12 hari kerja setelah diterima laporan hasil

pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (c) atau pernyataan ayat (d),

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan


13

Surat Izin Apotek dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-

5 (Lampiran 5).

f) Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

atau Kepala Balai POM dimaksud ayat (c) masih belum memenuhi

syarat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam

waktu 12 hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan dengan

menggunakan contoh Formulir Model APT-6 (Lampiran 6) .

g) Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud ayat (f), apoteker

diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi

selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal Surat

penundaan.

h) Dalam hal Apoteker menggunakan sarana pihak lain, maka

penggunaan sarana dimaksud wajib didasarkan atas perjanjian

kerjasama antara Apoteker dan pemilik sarana.

i) Pemilik sarana dimaksud ayat (h) harus memenuhi persyaratan tidak

pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan

dibidang obat sebagaimana dinyatakan dalam Surat Pernyataan yang

bersangkutan.

j) Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi

persyaratan atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan maka

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam jangka

waktu selambat-lambatnya 12 hari kerja wajib mengeluarkan Surat

Penolakan disertai alasan-alasannya dengan mempergunakan contoh

Formulir Model APT-7 (Lampiran 7).


14

II.5.2. Perubahan surat izin apotek

Menurut Surat Keputusan Dirjen POM No. 02401/SK/X/1990,

perubahan Surat Izin Apotek (SIA) diperlukan apabila (7):

a) Terjadi penggantian nama apotek.


b) Terjadi perubahan nama jalan dan nomor bangunan pada alamat apotek

tanpa pemindahan lokasi apotek.


c) Surat Izin Apotek (SIA) rusak atau hilang.
d) Terjadi penggantian Apoteker Pengelola Apotek (APA).
e) Terjadi pemindahan lokasi apotek.
f) Apoteker Pengelola Apotek (APA) meninggal dunia.

II.5.3. Pencabutan surat izin apotek

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/SK/

IX/2002 Pasal 25 menyatakan, Kepala Dinas Kesehatan dapat mencabut

Surat Izin Apotek (SIA), apabila (4) :

a) Apoteker sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Apoteker Pengelola Apotek.
b) Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam pelayanan kefarmasian.
c) Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari

dua tahun secara terus menerus.


d) Terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang No.35 tahun 2009

tentang Narkotika, Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang

Psikotropika, dan Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan

atau ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.


e) Surat Izin Kerja (SIK) Apoteker Pengelola Apotek dicabut.
f) Pemilik sarana apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-

undangan dibidang obat.


g) Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai apotek.

Pelaksanaan pencabutan izin apotek dilakukan setelah dikeluarkan :

a) Peringatan secara tertulis kepada Apoteker Pengelola Apotek Peringatan

sebanyak tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing


15

dua bulan dengan menggunakan contoh formulir Model APT-12

(Lampiran 10) .
b) Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya enam bulan

sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan di apotek dengan

menggunakan Formulir Model APT-13 (Lampiran 11) .

II.5.4. Pelanggaran Apotek

Pelanggaran di apotek dapat dibedakan berdasarkan berat dan

ringannya pelanggaran yang terjadi :

a) Kegiatan yang termasuk pelanggaran berat apotek antara lain:


1) Pemilik Modal Apotek/Apoteker Pengelola Apotek (APA) melanggar

peraturan perundangan di bidang farmasi.


2) Menjual dan mendistribusikan obat palsu.
3) Pindah alamat dan tidak melapor.
4) Memproduksi perbekalan farmasi yang dilarang menurut undang-

undang (narkotik dan psikotropik) tanpa izin registrasi.


b) Kegiatan yang termasuk pelanggaran ringan apoteker diantaranya:
1) Bekerja sama dengan PBF menyalurkan obat daftar G kepada yang

tidak berhak.
2) Mengganti obat generik dan obat paten.
3) Administrasi pengelolaan obat, perbekalan farmasi dan alat

kesehatan tidak tertib (laporan tidak lengkap).


4) Menjual obat keras tidak memakai resep.
5) Menjual obat generik diatas harga yang telah ditetapkan.

Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat

dikenai sanksi baik secara administratif maupun sanksi pidana. Sanksi

administratif yang diberikan menurut PERMENKES RI No. 1332/

MENKES/SK/X/2002 adalah (4):

a) Peringatan secara tertulis kepada Apoteker Pengelola Apotek sebanyak

tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing dua

bulan.
16

b) Pembekuan izin apotik untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan

sejak dikeluarkannya.

Sedangkan sanksi pidana berupa pidana berupa denda maupun

hukuman penjara yang diberikan bila terdapat pelanggaran terhadap :

a) UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.


b) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
c) UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

II.6 Prosedur Pendirian Apotek

Terdapat serangkaian tahapan yang harus dilakukan apabila hendak

mendirikan sebuah apotek, yaitu :

1. Melakukan survei ke daerah tersebut dan menghubungi kelurahan untuk

mendapatkan informasi mengenai penduduk (jumlah, kepadatan, tingkat ekonomi).


2. Membuat studi kelayakan pendirian apotek.
3. Mempersiapkan sarana dan prasarana apotek.
4. Membuat Surat Permohonan Izin Apotek kepada Kantor Dinas Kesehatan

setempat.

Adapun lampiran yang harus disertakan bersama dengan surat permohonan

izin apotek menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1332/MENKES/SK/X/2002

tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek adalah (4) :

1. Salinan atau fotocopy Surat Izin Kerja Apoteker.

2. Salinan atau fotocopy Kartu Tanda Penduduk.

3. Salinan atau fotocopy denah bangunan.

4. Surat yang mengatakan status bangunan dalam bentuk akta hak milik atau

sewa atau kontrak.

5. Daftar Asisten Apoteker dengan mencantumkan nama, alamat, tanggal lulus

dan nomor surat izin kerja.

6. Asli dan salinan atau foto copy daftar terperinci alat perlengkapan Apotik.
17

7. Surat pernyatan dari Apoteker Pengelola Apotik bahwa tidak bekerja tetap

pada perusahaan farmasi lain dan tidak menjadi Apoteker Pengelola Apotek di

Apotek lain.

8. Asli dan salinan atau foto copy surat izin atasan bagi pemohon Pegawai

Negeri, Anggota ABRI, dan Pegawai Instansi Pemerintah lainnya.

9. Akte perjanjian kerja sama Apoteker Pengelola Apotik dengan Pemilik sarana

Apotik.

10. Surat Pernyataan Pemilik Sarana tidak terlibat pelanggaran peraturan

perundang-undangan di bidang obat.

II.7 Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek

Setiap tenaga Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di

Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi berupa STRA (Surat Tanda

Registrasi Apoteker) yang diberikan oleh Menteri. Selanjutnya untuk dapat

melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah

Sakit atau Puskesmas, apoteker juga diwajibkan memiliki SIPA (Surat Izin Praktik

Apoteker). Sedangkan apabila Apoteker tersebut melaksanakan pekerjaan

kefarmasian pada fasilitas produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran seperti

pabrik obat, maka diwajibkan untuk memiliki SIK (Surat Izin Kerja). Kedua surat

izin ini diberikan oleh Dinas Kesehatan sesuai tempat Apoteker tersebut bekerja.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/SK/

X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No.922/

MENKES/PER/X/1993 pasal 5 tentang Ketentuan dan Pemberian Izin Apotek,


18

maka untuk menjadi Apoteker Pengelola Apotek harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut (4):

1. Ijazah apoteker telah terdaftar pada Departemen Kesehatan.


2. Telah mengucapkan sumpah atau janji sebagai sebagai apoteker.
3. Memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dari Menteri Kesehatan.
4. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan

tugasnya sebagai seorang Apoteker.


5. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi secara penuh dan tidak menjadi APA

di Apotek lain.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun

2009 tentang pekerjaan kefarmasian Pasal 40 (2) :

1. Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan :


a) Memiliki ijazah Apoteker.

b) Memiliki sertifikat kompetensi profesi.

c) Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker.

d) Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang

memiliki surat izin praktik; dan

e) Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika

profesi.

2. STRA dikeluarkan oleh Menteri

STRA berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5

tahun apabila masih memenuhi syarat diatas.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/SK/X/2002

tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No.922/MENKES/PER/

X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek Pasal 19

menyatakan (4) :
19

a) Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada

jam buka apotek, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk Apoteker

Pendamping.
b) Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping karena hal-

hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola Apotek

menunjuk Apoteker Pengganti.


c) Penunjukkan dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus dilaporkan kepada

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas

Kesehatan Propinsi setempat dengan menggunakan formulir model

APT-9.
d) Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti wajib memenuhi persyaratan

dimaksud pada pasal 5.


e) Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih

dari dua tahun secara terus menerus, Surat Izin Apotek atas nama apoteker

yang bersangkutan dapat dicabut.

Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/SK/X/2002 juga

menyebutkan mengenai ketentuan pelimpahan tanggung jawab Apoteker Pengelola

Apotek Pasal 24 (4) :

1. Apabila APA meninggal dunia, dalam jangka waktu 2 X 24 jam, ahli waris APA

wajib melaporkan kejadian tersebut secara tertulis kepada Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota.

2. Apabila pada apotek tersebut tidak terdapat Apoteker Pendamping, pada

pelaporan dimaksud ayat (1) wajib disertai penyerahan resep, narkotika,

psikotropika, obat keras dan kunci tempat penyimpanan narkotika dan

psikotropika.
20

3. Pada penyerahan dimaksud ayat (2) dan (3), dibuat Berita Acara Serah Terima

dengan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan

formulir model APT-11 (Lampiran 9) dengan tembusan kepada Kepala Balai

POM setempat.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/SK/

X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No.922/

MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Pemberian Izin Apotek Pasal 20

meyebutkan Apoteker Pengelola Apotek turut bertanggung jawab atas pelaksanaan

kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker Pendamping maupun Apoteker Pengganti

dalam pengelolaan apotek.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/SK/

X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No.922/

MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek

Pasal 21 menyebutkan Apoteker Pendamping yang dimaksud dalam pasal 19 ayat

(1), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pelayanan kefarmasian selama yang

bersangkutan bertugas mengganti APA.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/

SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan

No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Pemberian Izin Apotek

Pasal 22 (4):

1. Dalam melaksanakan pengelolaan apotek, APA dapat dibantu oleh Asisten

Apoteker.

2. Asisten Apoteker yang bekerja melakukan kegiatan kefarmasian dibawah

pengawasan apoteker.
21

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Kesehatan No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Pemberian Izin

Apotek Pasal 23 (4):

1. Pada setiap pengalihan tanggung jawab kefarmasian yang disebabkan

karena penggantian APA oleh Apoteker Pengganti, wajib dilakukan serah

terima resep, narkotika, obat dan perbekalan farmasi lainnya, serta kunci-

kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika.

2. Serah terima dimaksud ayat (1), wajib dibuat berita acara serah terima

sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap empat yang di

tanda tangani oleh kedua belah pihak, yang telah melakukan serah terima

dengan menggunakan contoh formulir APT-10 (Lampiran 8) .

II.8 Pengelolaan Sumber Daya Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/

IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik, pengelolaan sumber

daya apotek meliputi (8):

1. Sumber Daya Manusia

Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh

seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, apoteker

senantiasa harus mengambil keputusan yang tepat, kemampuan komunikasi

antar profesi, apoteker dapat menempatkan diri sebagai pimpinan dalam

situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu


22

belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi

peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

2. Sumber Daya Sarana

Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh

masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas

tertulis kata apotek. Apotek harus dengan mudah diakses oleh anggota

masyarakat . Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang

terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini

berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta

mengurangi resiko kesalahan penyerahan.

Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker

untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus

dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat,

serangga/pest, apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk

lemari pendingin. Apotek harus memiliki :

a) Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.


b) Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan

brosur atau materi informasi.


c) Ruang tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan

meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien.
d) Ruang peracikan.
e) Keranjang sampah yang tersedia untuk sampah apotek dan sampah

pasien.
f) Perabotan apotek harus tetap rapi, lengkap dengan rak-rak

penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi,

terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta

diletakkan pada kondisi ruang dengan temperatur yang telah ditetapkan.


23

3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya.

Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekaan kesehatan lainnya

dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi :

perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan administrasi.

a) Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu

diperhatikan data rekapitulasi pola penyakit dan banyaknya obat yang

keluar pada bulan sebelumnya.


b) Pengadaan
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan

sediaan farmasi harus melalui jalur resmi. Adapun persyaratan Pabrik

Besar Farmasi (PBF) Yang perlu dipertimbangkan yaitu :


1) Potongan harga yang diberikan besar
2) Jarak waktu dari mulai dipesannya barang sampai barang datang

cepat
3) PBF resmi
4) Jangka waktu pembayaran
5) Kualitas barang baik

c) Penyimpanan
1) Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari

pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan

pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan

harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah

sekurang-kurangnya memuat nomer batch dan tanggal daluarsa.

2) Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai,

layak dan menjamin kestabilan bahan.

d) Administrasi
24

Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu

dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi :

1) Administrasi umum, yang meliputi pencatatan, pengarsipan,

pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.


2) Administrasi pelayanan, yang meliputi pengarsipan resep,

pengarsipan catatan pengobatan pasien, dan pengarsipan hasil

monitoring penggunaan.

II. 9 Pelayanan Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/

IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, pelayanan apotek

meliputi Pelayanan Resep, yang terdiri dari (8) :

1. Skrining resep

Apotek melakukan skrining resep yang meliputi :

a. Persyaratan administrasi
1) Nama, SIP dan alamat dokter.
2) Tanggal penulisan resep
3) Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
4) Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.
5) Nama obat, potensi, dosis dan jumlah yang diminta.
6) Cara pemakaian yang jelas.
7) Informasi yang jelas
b. Kesesuaian farmasetik:

Bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, incompabilitas, cara dan lama

pemberian.

c. Pertimbangan klinis :
25

Adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (durasi, dosis, jumlah

obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya

dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan

pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan

persetujuan setelah pemberitahuan.

2. Penyiapan Obat yang meliputi :


a. Peracikan

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur,

mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam

melaksanakan peracikan obat harus dibuat prosedur tetap dengan

memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket

yang benar.

b. Penyerahan Obat

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan

pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep.

Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian

informasi obat dan konseling kepada pasien.

c. Informasi Obat

Apoteker harus memberikan informasi obat yang benar, jelas,

mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini.

Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara

pemakaian obat, penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktifitas

serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

Pelaksanaan pelayanan informasi obat di Apotek bertujuan agar dapat

digunakan pasien secara rasional, yaitu tepat indikasi, tepat regimen,


26

tepat obat, serta waspada terhadap efek samping obat. Oleh karena itu

dibutuhkan peran aktif apoteker di apotek untuk memberikan informasi

obat kepada pasien, dokter serta tenaga medis lain yang terlibat di

apotek.

d. Konseling

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan

farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga

dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan

terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah

sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita

penyakit tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, TBC, asthma, dan

penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling

secara berkelanjutan.

e. Monitoring penggunan obat.

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus

melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien

penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes,

Tuberculosis, asma, dan penyakit kronis lainnya.

3. Promosi dan Edukasi

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi

secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu

diseminasi informasi, antara lain dengan penyerahan leaflet atau brosur,

poster, penyuluhan dan lain-lain.


27

II.10 Obat

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan, Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi

yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau

keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (9).

1. Penggolongan Obat

Penggolongan Obat menurut Informatorium Obat Nasional Indonesia

(IONI) Tahun 2008 obat dapat digolongkan menjadi (10) :

a) Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa

resep dokter. Tanda khusus untuk obat bebas adalah berupa lingkaran

berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam (Gambar 1).

Gambar 1 : Logo Obat Bebas

b) Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang dijual bebas dan dapat dibeli tanpa

dengan resep dokter,tapi disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus

untuk obat ini adalah lingkaran berwarna biru dengan garis tepi hitam

(Gambar 2).

Gambar 2: Logo Obat Bebas Terbatas


28

Khusus untuk obat bebas terbatas, selain terdapat tanda khusus lingkaran

biru, diberi pula tanda peringatan untuk aturan pakai obat, karena hanya

dengan takaran dan kemasan tertentu, obat ini aman dipergunakan untuk

pengobatan sendiri.

Tanda Peringatan berupa empat persegi panjang dengan huruf putih pada

dasar hitam yang terdiri dari 6 macam (Gambar 3), yaitu :

K P. No. 1 P. No. 2
Awas! Obat Keras Awas! Obat Keras
Baca Aturan Memakainya Hanya Untuk Kumur Jangan
Ditelan
mur, Jangan DitelanHanya Untuk Bagian Luar Bad
P. No. 3 P. No. 4
Awas! Obat Keras Awas! Obat Keras
Hanya Untuk Bagian Luar Hanya untuk di Bakar
Badan

P. No. 5 P. No. 6
Awas! Obat Keras Awas! Obat Keras
Tidak Boleh ditelan Obat Wasir, Jangan Ditelan

Gambar 3: Tanda Peringatan

Contoh obat P. No. 1 : Propifenazon , Piperasilin, Pirantel pamoat.

Contoh obat P. No. 2 : Bensidamin hidroklorida

Contoh obat P. No. 3 : Povidon iodide, Klorheksidin diglukonat

(desinfektan)

Contoh obat P. No. 4 : Povidon iodide

Contoh obat P.No. 5 :Flusinolon asetonida, Hidrokortison, neomisin

sufat, kloramfenikol (sediaan salep atau krim)

Contoh obat P. No. 6 :Natrium lauril sulfoasetat, Graphtophyllum Pictum

(obat wasir)
29

c) Obat Keras

Obat keras adalah obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter.

Ciri-cirinya adalah bertanda lingkaran bulat merah dengan garis tepi

berwarna hitam, dengan huruf K ditengah dengan menyentuh garis tepi

(Gambar 4). Obat ini hanya boleh dijual di Apotek dan harus dengan resep

dokter pada saat membelinya.

Gambar 4: Logo Obat Keras

2. Obat Wajib Apotek

Obat Wajib Apotek adalah beberapa obat keras yang dapat diserahkan

tanpa resep dokter, namun harus diserahkan oleh apoteker di apotek.

Pemilihan dan penggunaan obat DOWA harus dengan bimbingan apoteker.

Daftar obat wajib apotek yang dikeluarkan berdasarkan keputusan

Menteri Kesehatan. Sampai saat ini sudah ada 3 daftar obat yang

diperbolehkan diserahkan tanpa resep dokter. Peraturan mengenai

Daftar Obat Wajib Apotek tercantum dalam :

a. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang

Obat Wajib Apotek berisi Daftar Obat Wajib Apotek No.1.

b. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 924 /Menkes/Per/X/ 1993 tentang

Daftar Obat Wajib Apotek No.2.

c. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang

Daftar Obat Wajib Apotek No.3.


30

d. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 919 tahun 1993 pasal 2,

kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep adalah sebagai berikut (11) :

1) Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di

bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

2) Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberi resiko pada

kelanjutan penyakit.

3) Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus

dilakukan oleh tenaga kesehatan.

4) Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di

Indonesia.

5) Obat dimaksud memiliki ratio khasiat keamanan yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

e. Apoteker di apotek dalam melayani pasien yang memerlukan Obat Wajib

Apotek diwajibkan :

1) Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang

disebutkan dalam Obat Wajib Apotek yang bersangkutan.

2) Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.

3) Memberinya informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek

samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

Obat Wajib Apotek terdiri dari kelas terapi oral kontrasepsi, obat

saluran cerna, obat mulut untuk tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang

mempengaruhi sistem neuromuskular, anti parasit dan obat kulit topikal.

3. Obat Narkotika dan Psikotropika


31

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan

kedalam golongan-golongan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang

Narkotika (12).

Psikotoprika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan

narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf

pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

a. Pengelolaan Narkotika

Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi smpai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (12).

Berdasarkan Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika

dibedakan ke dalam 3 golongan yaitu (12):

1) Narkotika golongan I adalah narkotika yang dapat digunakan untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam

terapi, serta mempunyai potensi yang sangat tinggi dalam

mengakibatkan ketergantungan. mempunyai potensi yang sangat tinggi

untuk menimbulkan ketergantungan contoh: Kokain, Opium, Heroin,

Desomorfina.
32

2) Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk

pengobatan dan banyak digunakan sebagai pilihan terakhir dalam terapi

dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi tinggi untuk menimbulkan ketergantungan. Contoh:

Alfasetilmetadol, Betametadol, Diampromida.

3) Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat untuk

pengobatan, banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan untuk

menimbulkan ketergantungan Contoh: Codeina, Asetil dihidrokodeina,

Polkadina, Propiram.

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan

Makanan No:PO.03.08.35.0429 Tentang Izin khusus bagi pedagang besar

farmasi pt. Kimia farma Sebagai penyalur narkotika. Pedagang Besar

Farmasi (PBF) Kimia Farma Depot Sentral dengan alamat kantor dan

alamat gudang penyimpanan di Jalan Rawa Gelam V Kawasan Industri Pulo

Gadung Jakarta Timur adalah sebagai importir tunggal di Indonesia untuk

kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan dengan penanggung jawab

yang ditetapkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Sentralisasi ini

dimaksudkan untuk memudahkan pengendalian dan pengawasan narkotika

oleh pemerintah (13).

Secara garis besar pengelolaan narkotika meliputi pemesanan,

penyimpanan, pelayanan pelaporan, dan pemusnahan.

Pengelolaan narkotika meliputi kegiatan-kegiatan:

1) Pemesanan Narkotika
33

a) Apotek memesan narkotika ke PBF PT. Kimia Farma (Persero)

Tbk dengan menggunakan surat pesanan yang ditandatangani oleh

APA, dilengkapi dengan nomor SIA dan SIK serta stempel apotek.

Satu SP terdiri dari rangkap 4 dan tiap SP hanya untuk satu jenis

obat narkotik.

b) Surat pemesanan yang berwarna putih, kuning, biru untuk PBF,

satu lembar yang berwarna merah sebagai arsip.

2) Penyimpanan Narkotika

Tata cara penyimpanan narkotika diatur dalam Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.28/MENKES/PER/II/

1978 pasal 5 yaitu apotek harus memiliki tempat khusus untuk


(14)
menyimpan narkotika . Tempat khusus tersebut harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut :

a) Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan yang lain yang

kuat.

b) Harus mempunyai kunci yang kuat.

c) Dibagi 2 masing-masing dengan kunci yang berlainan, bagian

pertama dipergunakan untuk menyimpan narkotika, petidin dan

garam-garamnya serta persediaan narkotik, bagian kedua

dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai

sehari-hari.

d) Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran

kurang dari 40x80x100 cm, maka lemari tersebut harus dibaut

pada tembok atau lantai.


34

Selain itu pada pasal 6 peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No. 28/MENKES/PER/II/1978 dinyatakan bahwa (14):

a) Apotek harus menyimpan narkotika dalam tempat khusus sebagaimana

dimaksud dalam pasal 5 dan harus dikunci dengan baik.

b) Lemari khusus tidak boleh dipergunakan untuk menyimpan barang lain

selain narkotika, kecuali ditentukan lain oleh Menteri.

c) Anak kunci lemari khusus harus dikuasai oleh penanggung jawab atau

pegawai lain yang dikuasakan.

d) Lemari khusus harus ditaruh di tempat yang aman dan tidak terlihat

oleh umum.

3) Penyerahan Resep Narkotika

Menurut Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika

disebutkan bahwa (12) :

a) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah

sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan; dan dokter.

b) Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada rumah sakit,

pusat kesehatan masyarakat, apotek, balai pengobatan, dokter; dan

pasien.

c) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai

pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien

berdasarkan resep dokter.

4) Pelaporan Narkotika

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan

bahwa industri farmasi, Pedagang Besar Farmasi, sarana penyimpanan


35

sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan

masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan wajib

membuat, menyampaikan dan menyimpan laporan berkala mengenai

pemasukan dan atau pengeluaran narkotika yang ada dalam penguasaannya


(12)
.

Apoteker berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan bulanan

yang ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek. Laporan narkotika

dikirim kepada Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota setempat setiap

bulan dengan ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek, dan harus

dikirim selambat-lambatnya tanggal 10 pada bulan berikutnya dengan

tembusan kepada Balai Besar POM Provinsi Jawa Barat dan satu rangkap

sebagai arsip apotek.

Sejak tahun 2006 Depkes telah mengembangkan Software Pelaporan

Narkotika dan Psikotropika yang di singkat SIPNAP dan

diimplementasikan di seluruh Indonesia. Tujuan dilakukan pelaporan

secara online SIPNAP adalah sebagai berikut:

a) Terbentuknya Sistem Pelaporan Penggunaan Sediaan Jadi

Narkotika dan Psikotropika Nasional yang terintegrasi, mulai dari

Unit Pelayanan, Dinkes Kabupaten/Kota, Dinkes Propinsi dan

Pusat.
b) Tersedianya pelaporan narkotika dan psikotropika nasional sesuai

target.
c) Pemanfaatan hasil pelaporan yang mudah di akses dan di

distribusikan.

5) Pemusnahan Narkotika
36

Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika,

disebutkan bahwa pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal (12) :

a) Diproduksi tanpa memenuhi standard dan persyaratan yang

berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi;

b) Kadaluwarsa;

c) Tidak memenuhi syarat lagi untuk digunakan pada pelayanan

kesehatan dan atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan;

d) Berkaitan dengan tindak pidana.

Pelaksanaan pemusnahan narkotika yang telah rusak harus

disaksikan oleh :

1) Petugas Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan untuk

importer, pabrik farmasi dan unit pergudangan pusat.

2) Petugas Kantor Wilayah Departemen Kesehatan untuk Pedagang

Besar Farmasi, penyalur narkotika, lembaga dan unit perdagangan

propinsi.

3) Petugas Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II untuk apotek, rumah

sakit, puskesmas dan dokter.

Pemegang izin khusus atau Apoteker Pimpinan Apotek atau dokter

yang memusnahkan narkotika harus membuat berita acara pemusnahan

paling sedikit 3 rangkap. Berita acara pemusnahan tersebut memuat :

a) Hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan;

b) Nama pemegang izin khusus atau Apoteker Pimpinan Apotek atau

dokter pemilik narkotika;

c) Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari
37

perusahaan/badan tersebut;

d) Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan;

e) Cara pemusnahan;

f) Tanda tangan penanggung jawab apotek/ pemegang izin khusus,

dokter pemilik narkotika dan saksi-saksi.

a. Pelanggaran terhadap ketentuan pengelolaan narkotika

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika,

disebutkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan

dan/atau ketentuan mengenai pelaporan narkotika dapat dikenai sanksi

administratif oleh Menteri Kesehatan, berupa : teguran, peringatan, denda

administratif, penghentian sementara kegiatan atau pencabutan izin (12).

b. Pengelolaan Psikotropika

Psikotropika menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1997

merupakan zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,

yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf

pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

perilaku (15). Kegiatan-kegiatan pengelolaan psikotropika meliputi :

1) Pemesanan Psikotropika

Tata cara pemesanan obat-obat psikotropika sama dengan

pemesanan obat lainnya yakni dengan surat pemesanan yang sudah

ditandatangani oleh APA yang dikirim ke pedagang besar farmasi (PBF).

Pemesanan psikotropika memerlukan surat pemesanan khusus dan dapat

dipesan apotek dari PBF. Satu lembar surat pesanan psikotropika terdiri
38

dari 3 rangkap dan dapat digunakan untuk memesan lebih dari satu jenis

obat psikotropika.

2) Penyimpanan Psikotropika

Sampai saat ini penyimpanan untuk obat-obatan golongan

psikotropika belum diatur oleh suatu perundang-undangan. Namun karena

obat-obatan psikotropika ini cenderung untuk disalahgunakan, maka

disarankan agar menyimpan obat-obatan psikotropika tersebut dalam suatu

rak atau lemari khusus dan membuat kartu stok psikotropika.

3) Penyerahan Psikotropika

Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dilakukan kepada

apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan

kepada pasien berdasarkan resep dokter.

4) Pelaporan Psikotropika

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1997 pasal 33 yakni pabrik obat,

PBF, sarana penyimpanan sediaan farmasi, apotek, rumah sakit,

puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga

pendidikan wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan

masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika dan wajib

melaporkan setiap bulan kepada Kadinkes Kab/Kota setempat dengan

tembusan kepada Balai Besar POM setempat (15).

5) Pemusnahan Psikotropika
39

Pemusnahan psikotropika wajib dibuat berita acara dan disaksikan

oleh pejabat yang ditunjuk dalam waktu 7 hari setelah mendapat kepastian.

Berita acara pemusnahan tersebut memuat :

a) Hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan;

b) Nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek;

c) Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari

apotek tersebut;

d) Nama dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan;

e) Cara pemusnahan;

f) Tandatangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi.

II.11 Pengendalian Persediaan Barang di Apotek

Pengelolaan persediaan (Managing Drug Supply) dikelompokkan menjadi

tiga fungsi dasar, yaitu seleksi penyediaan, distribusi dan pemakaian. Hal ini

sebenarnya sederhana tetapi tanpa sistem manajemen persediaan yang baik, sistem

distribusi atau penyaluran obat tidak akan dapat berjalan dengan baik. Pengaturan

persediaan obat dilakukan melalui pemesanan, penerimaan dan penyimpanan (16).

Pengelolaan dan pengendalian persediaan obat di apotek berfungsi untuk :

1. Memastikan pasien memperoleh obat yang dibutuhkan.

2. Menyiapkan bahan baku/obat yang berhubungan dengan penyakit musiman

dan mewabah.

3. Mencegah resiko kualitas barang yang dipesan tidak baik sehingga harus

dikembalikan.
40

4. Mendapatkan keuntungan dari pembelian dengan memilih distributor obat yang

memberi harga obat bersaing, pengiriman cepat dan kualitas obat yang baik.

Pengendalian dan pengawasan barang dapat dilakukan dengan cara:

1. Membandingkan jumlah pembelian dengan penjualan tiap bulan


2. Menggunakan kartu gudang untuk mencatat mutasi obat. Tiap obat

mempunyai kartu tersendiri untuk mencatat setiap penambahan atas

pengurangan stok dan diletakkan di gudang.


Pengelolaan persediaan di apotek yang memiliki banyak item obat

memerlukan teknik pengelolaan yang tidak mudah. Untuk itu diperlukan siasat

terhadap item obat yang banyak dengan variasi harga dan tingkat keperluan serta

pemakaian dalam pengelolaan perbekalan yang efektif dan efisien.


Metode pengendalian persediaan dapat dilakukan dengan cara menyusun

prioritas berdasarkan analisis VEN dan PARETO (16):

1. Analisis VEN

Umumnya disusun dengan memperhatikan kepentingan dan vitalitas

persediaan farmasi yang harus selalu tersedia untuk melayani permintaan

untuk pengobatan.

V (Vital) : Persediaan yang harus selalu tersedia untuk melayani

permintaan guna pengobatan atau penyelamatan hidup

manusia, atau untuk pengobatan karena penyakit yang

menyebabkan kematian.

E (Essensial) : Perbekalan yang banyak diminta untuk digunakan

dalam tindakan atau pengobatan penyakit yang ada dalam

suatu daerah atau rumah sakit.

N(Non Essensial): Perbekalan pelengkap agar tindakan atau

pengobatan menjadi lebih baik.


41

Sistem VEN ini memprioritaskan suatu pembelian ketika tidak

cukup dana untuk semua jenis yang dikehendaki. Sistem ini juga

menentukan jenis obat yang akan dipertahankan dalam sediaan dan jenis

obat yang hanya akan dipesan ketika dibutuhkan.

2. Analisis PARETO (ABC)

Analisis ini disusun berdasarkan atas penggolongan persediaan yang

mempunyai nilai harga yang paling banyak. Analisis ini memerlukan

perhitungan matematika sederhana dan penyusunan urutan berdasarkan

persentase harga atau biaya yang harus dibayar satu item yang dibeli atau

dipakai dengan urutan nilai tersebut dapat diperoleh kontribusi tertentu

terhadap total anggaran atau harga perbekalan.

a. Kelas A : Persediaan yang memiliki nilai volume rupiah yang tinggi.

Kelas ini mewakili sekitar 75%-80% dari total nilai

persediaan, meskipun jumlahnya hanya sekitar 20% dari

seluruh item. Mewakili dampak biaya yang tinggi.

b. Kelas B : Persediaan yang memiliki nilai volume rupiah yang

menengah. Kelas ini mewakili sekitar 15%-20% dari total

nilai persediaan dan jumlahnya sekitar 30% dari seluruh

item.

c. Kelas C : Persediaan yang memiliki nilai volume rupiah yang

rendah. Kelas ini mewakili sekitar 5%-10% dari total nilai

persediaan dan jumlahnya sekitar 50 % dari seluruh item.

3. Analisis VEN ABC


42

Analisis ABC mengkategorikan item berdasarkan volume dan nilai

penggunaanya selama periode waktu tertentu, biasanya satu tahun. Analisis

VEN ABC menggabungkan analisis PARETO dan VEN dalam suatu

matrik sehingga menjadi lebih tajam.

Matrik dapat dibuat sebagai berikut:

V E N
A VA EA NA
B VB EB NB
C VC EC NC
Matrik di atas dapat dijadikan dasar dalam menetapkan

prioritas dalam rangka penyesuaian anggaran tahunan perhatian

dalam pengelolaan persediaan. Jenis barang yang bersifat vital (VA,

VB, VC) merupakan pilihan utama untuk dibeli atau memerlukan

perhatian khusus. Sebaliknya barang yang non essensial tetapi

menyerap banyak anggaran (NA) dijadikan prioritas untuk


(16)
dikeluarkan dari daftar belanja .

II.12 Strategi Pemasaran Apotek

Dalam proses rencana strategi pemasaran inilah akan dihasilkan

alternatif strategi yang baru dan memerlukan analisa situasi total sebagai

prasyarat mutlak. Dalam analisa situasi total harus dianalisa 3 hal secara

komprehensif, yaitu :

1. Keadaan perusahaan, terutama analisa produk.

2. Keadaan pasar (Total Market Analyze).

3. Keadaan lingkungan.
43

II.13 Evaluasi Mutu Pelayanan

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/

IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Indikator yang

digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah (8) :

1. Tingkat kepuasan konsumen, yang dilakukan dengan survei berupa

angket atau wawancara langsung.

2. Dimensi waktu, yaitu lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah

ditetapkan).

3. Prosedur tetap, untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang

telah ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai