Anda di halaman 1dari 3

19 September 2019, 07:10 WIB Speed Money BUMN

Hendry Julian Noor Penulis Disertasi tentang BUMN dan Staf Pengajar Hukum Administrasi Negara
Fakultas Hukum UGM | OpiniDok.MI/Grafis Seno Dok.MI/Grafis Seno

Opini

ISU korupsi melalui suap untuk sekian kali menjadi permasalahan dalam praktik bisnis BUMN. Teraktual
ialah terjaringnya Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara III (PT PN III) Dolly Pulungan dan Direktur
Pemasaran PT PN III Kadek Kertha Laksana dalam operasi tangkap tangan (OTT) lembaga antirasuah, KPK,
pada 2 September 2019 dan 3 September 2019. Keduanya bahkan telah ditingkatkan statusnya menjadi
tersangka, bersama dengan Pieko Nyotosetiadi. Mereka dikonstruksikan sebagai penerima suap, yang
Dolly diduga meminta fee melalui Kadek kepada Pieko terkait dengan pengurusan kontrak kerja sama
dalam distribusi gula.

Fakta tersebut menambah panjang daftar 'pengurus' BUMN yang telah terdata berurusan secara hukum
dengan KPK, yang sebelumnya telah berjumlah 56 orang sepanjang 2004-2018, yakni suap menjadi
modus paling umum dilakukan (Kompas, 2/8). Padahal, dalam konteks perseroan terbatas, termasuk
Persero (BUMN berbentuk Perseroan Terbatas), Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (UU PT) telah dengan tegas dan jelas mengatur bahwa setiap direksi,
termasuk direksi BUMN, harus bekerja dengan berdasarkan pada iktikad baik dan perbuatan yang jujur
(prudence and good faith), accountable, responsible, without self-dealing or personal interest.

Bentuk perbuatan demikian ini (suap-menyuap) pada dasarnya merupakan salah satu modus kejahatan
korporasi dalam melakukan korupsi, yang dalam dunia bisnis biasanya menggunakan modus-modus
berupa suap-menyuap dan gratifikasi dengan tujuan memengaruhi kebijakan penyelenggara negara
ataupun pihak swasta yang akan atau sedang bekerja sama dengannya.

Braithwaite mengungkapkan bahwa bribery (suap) dan korupsi ialah suatu perbuatan yang biasa
dilakukan korporasi, yang ditujukan terhadap pemerintah agar mengikuti kepentingan korporasi untuk
mengambil kebijakan yang menguntungkan korporasi tersebut, meskipun harus bertentangan dengan
kepentingan publik (IS Susanto, 2011: 167-168).

Terkait dengan suap terhadap aparat pemerintah/pejabat pemerintah, Robert Klitgaard berpendapat
bahwa perbuatan korupsi dengan jenis ini sangat luas maknanya, mulai penyalahgunaan jabatan dengan
tujuan yang tidak semestinya (tujuan dari jabatan tersebut), penyuapan, pemerasan, memperdagangkan
pengaruh, nepotisme, penipuan, penggelapan, dan termasuk penggunaan uang pelicin, yang disebut
Robert Klitgaard dengan speed money, yaitu uang yang dibayarkan kepada pejabat pemerintah yang
memiliki yurisdiksi atas hal itu guna mempercepat urusan bisnis si pemberi speed money tersebut
(Robert Klitgaard, 1998:4). Bahkan, ada ungkapan, "jika korupsi dihentikan, gerak pembangunan pun
akan berhenti secara tiba-tiba", yang dalam pandangan ini, korupsi dianggap sebagai pelicin berjalannya
roda pembangunan (Saldi Isra, Kompas, 4/1/2017).
Hal ini bersesuaian dengan jangkauan kejahatan korporasi yang sangat luas, ditambah pula dengan
berbagai bentuk perbuatan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan korporasi sehingga masalah suap atau
pemberian 'uang pelicin' merupakan salah satu perbuatan yang sangat menonjol dalam kejahatan
korporasi, tapi dianggap sebagai suatu hal yang lumrah.

Menurut Chambliss, apa yang disebut sebagai uang pelicin tersebut terjadi di mana-mana di seluruh
dunia. Disimpulkan olehnya bahwa ada suatu kecenderungan yang melekat pada dunia usaha bahwa
penegak hukum dan dunia politik (termasuk pemerintah) untuk 'melakukan kejahatan' secara sistematis
karena dianggap kejahatan tersebut merupakan bisnis yang menguntungkan dan efisien (W J Chambliss,
1978: 178-181).

Pertanyaannya, bagaimana penegakan hukum terhadap hal tersebut dalam konteks Indonesia? Perlu
dipahami bahwa Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi United
Nations Conventions Against Corruption (UNCAC) 2003. Berdasarkan kesepakatan dan rumusan UNCAC,
dapat dikatakan ada beberapa perbuatan-perbuatan direksi, termasuk direksi BUMN, yang tidak lagi
berada pada grey area, tetapi telah secara tegas dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi
karena telah secara jelas dapat dilihat adanya moral hazard, termasuk suap di dalamnya. Apabila sudah
berkaitan dengan suap, sangat penting untuk menanamkan pemikiran mengenai begitu tercelanya sifat
kejahatan suap-menyuap, meskipun itu dilakukan dalam rangka menjalankan bisnis suatu roda bisnis
perusahaan. Hal tersebut diperkuat Erman Radjagukguk bahwa dalam hal terjadi suap, tanpa perlu
diperdebatkan dapat diterapkan ancaman pidana (Erman Radjagukguk, 2014: 20), termasuk dengan
menggunakan ketentuan tindak pidana korupsi.

Melukai rasa keadilan

Scott W Friestad (Associate Director dari Divisi Penindakan The Securities and Exchange Commission),
menyatakan bahwa suap tetaplah suap, baik itu berupa uang tunai maupun hanya berupa biaya
perjalanan. Artinya, suap tak hanya dapat berupa uang, termasuk pemberian dalam bentuk sekecil apa
pun nilainya. Apalagi, jika suap tersebut diberikan pada saat untuk memengaruhi pihak yang disuap agar
melakukan tindakan yang menguntungkan pemberi suap (Kompas, 28/10/2013). Korupsi dan turunan
perbuatannya seperti suap, mark up, kolusi, termasuk yang dilakukan BUMN dalam kebijakan bisnisnya
(termasuk sebagai kejahatan korporasi, baik oleh korporasi itu sendiri atau pengurus BUMN dengan
menggunakan BUMN yang dikelolanya) hampir pasti akan merugikan kesejahteraan umum, melukai rasa
keadilan dalam masyarakat, dan bahkan korupsi pada dasarnya merupakan bentuk pengkhianatan paling
kejam dan tercela terhadap bangsa karena sifatnya dengan jelas merupakan pengkhianatan terhadap
kejujuran dasar yang diperlukan semua orang pada saat hidup bersama (Suhendar, 2015: 4)

Kembali kepada kasus di atas, kedua direksi tersebut kini disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau
huruf b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tanpa bermaksud mendahului proses
hukum yang sedang dan akan berjalan, telah cukup banyaknya terungkap praktik kotor bisnis yang
dilakukan 'pengurus' BUMN, seharusnya menjadikan pembelajaran bahwa penting untuk melakukan
bisnis BUMN tersebut secara bersih dan mengutamakan nilai-nilai good corporate governance, tidak
hanya bagi BUMN Indonesia, tetapi juga dengan tujuan utama kesejahteraan rakyat Indonesia yang salah
satunya diupayakan melalui dividen yang diberikan BUMN.

https://m.mediaindonesia.com/read/detail/260343-speed-money-bumn

Anda mungkin juga menyukai