Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pneumonia adalah penyakit umum di semua bagian dunia. Ini adalah penyebab utama
kematian di antara semua kelompok umur. Pada anak-anak, banyak dari kematian ini terjadi
pada masa neonatus. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa satu dari tiga
kematian bayi baru lahir disebabkan pneumonia. Lebih dari dua juta anak balita meninggal
setiap tahun di seluruh dunia. Diperkirakan pneumonia banyak terjadi pada bayi kurang dari 2
bulan, oleh karena itu pengobatan penderita pneumonia dapat menurunkan angka kematian
anak. Salah satu penyebab utama kematian bayi dan anak Balita adalah penyakit ISPA yang
di akibatkan oleh penyakit pneumonia. Strategi dalam penanggulangan pneumonia adalah
penemuan dini dan tatalaksana anak batuk dan tau kesukaran bernapas yang tepat. Sejak 1990
Departemen Kesehatan telah mengadaptasi, menggunakan dan menyebarluaskan pedoman
tata laksana pneumonia Balita yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian Balita
karena Pneumonia.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pneumonia

Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract (LRT)) akut,
biasanya disebabkan oleh infeksi (Jeremy, 2007). Sebenarnya pneumonia bukan penyakit
tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada sumber infeksi, dengan
sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel.
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, walaupun manifestasi klinik terparah muncul
pada anak, orang tua dan penderita penyakit kronis (Elin, 2008). Pneumonia yang merupakan
bentuk infeksi saluran napas bawah akut di parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-
20%. Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang jelas. Namun
pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih
penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh. Pneumonia semakin sering dijumpai
pada prang lanjut usia (lansia) dan sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
(Dahlan 2006).
Individu yang mengalami aspirasi isi lambung karena muntah atau air akibat
tenggelam dapat mengidap pneumonia aspirasi. Bagi individu tersebut, bahan yang teraspirasi
itu sendiri yang biasanya menyebabkan pneumonia, bukan mikroorganisme dengan
mencetuskan suatu reaksi peradangan. Resiko untuk mengidap pneumonia seperti dijelaskan
diatas lebih besar pada para bayi, orang berusia lanjut, atau mereka yang mengalami
gangguan kekebalan atau menderita penyakit atau kondisi kelemahan lain. Kerusakan
jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme di paru banyak disebabkan oleh reaksi
imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu. Selain itu, toksin-toksin yang dikeluarkan
oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel sistem
pernapasan bawah. Pneumonia bakterialis menimbulkan respons imun dan peradangan yang
paling mencolok, yang perjalanannya tergambar jelas pada pneumonia pneumokokus
(Elizabeth 2001).

2.2 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri,
virus, jamur, dan protozoa. Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Terdapatnya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan
berakibat timbulnya sakit.
Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat memlalui berbagai cara:
a. Inhalasi langsung dari udara
b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
d. Penyebaran secara hematogen (Supandi, 1992).
Menurut Reevers 2001, Etiologi pneumonia berdasarkan penyebabnya diantaranya adalah:

1. Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organisme gram posifif seperti :
Steptococcus pneumonia, S. aerous, dan streptococcus pyogenesis. Bakteri gram negatif
seperti Haemophilus influenza, klebsiella pneumonia dan P. Aeruginosa.

1. Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus
dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia virus.

1. Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan udara
yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos.

1. Protozoa
Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC). Biasanya menjangkiti
pasien yang mengalami immunosupresi.

Diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia yaitu:


a. Mekanisme pertahanan paru
Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang terhirup seperti partikel
debu dan bahan-bahan lainnya yang terkumpul di dalam paru. Beberapa bentuk mekanisme
ini antara lain bentuk anatomis saluran napas, reflex batuk, sistem mukosilier, juga sistem
fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan memakan partikel-partikel yag
mencapai permukaan alveoli. Bila fungsi ini berjalan baik, maka bahan infeksi yang bersifat
infeksius dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan, sehingga pada orang sehat tidak akan
terjadi infeksi serius.. Infeksi saluran napas berulang terjadi akibat berbagai komponen sistem
pertahanan paru yang tidak bekerja dengan baik.

2. Kolonisasi bakteri di saluran pernapasan


Di dalam saluran napas atau cukup banyak bakteri yang bersifat komnesal. Bila jumlah
mereka semakin meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang cukup, kuman ini kemudian
masuk ke saluran napas bawah dan paru, dan akibat kegagalan mekanisme pembersihan
saluran napas, keadaan ini bermanifestasi sebagai penyakit. Mikroorganisme yang tidak
menempel pada permukaan mukosa saluran anaps akan ikut dengan sekresi saluran napas dan
terbawa bersama mekanisme pembersihan, sehingga tidak terjadi kolonisasi.
3. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius
Saluran napas bawah dan paru berulangkali dimasuki oleh berbagai mikroorganisme dari
saluran napas atas, akan tetapi tidak menimbulkan sakit, ini menunjukkan adanya suatu
mekanisme pertahanan paru yang efisien sehingga dapat menyapu bersih mikroorganisme
sebelum mereka bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit. Pertahanan paru terhadap bahan-
bahan berbahaya dan infeksius berupa reflex batuk, penyempitan saluran napas, juga dibantu
oleh respon imunitas humoral (Supandi, 1992).

2.3 PATOFISIOLOGI
Suatu penyakit infeksi pernapasan dapat terjadi akibat adanya serangan agen infeksius yang
bertransmisi atau di tularkan melalui udara. Namun pada kenyataannya tidak semua penyakit
pernapasan di sebabkan oleh agen yang bertransmisi denagan cara yang sama. Pada dasarnya
agen infeksius memasuki saluran pernapasan melalui berbagai cara seperti inhalasi (melaui
udara), hematogen (melaui darah), ataupun dengan aspirasi langsung ke dalam saluran
tracheobronchial. Selain itu masuknya mikroorganisme ke dalam saluran pernapasan juga
dapat di akibatkan oleh adanya perluasan langsung dari tempat tempat lain di dalam tubuh.
Pada kasus pneumonia, mikroorganisme biasanya masuk melalui inhalasi dan aspirasi.
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini
disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru
merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat
berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit.
Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai
antimikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat
melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan
jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses
peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan
fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus
yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah
paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera
dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi
fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali
ke strukturnya semula.

Penyakit pneumonia sebenarnya merupakan manifestasi dari rendahnya daya tahan tubuh
seseorang akibat adanya peningkatan kuman patogen seperti bakteri yang menyerang saluran
pernapasan. Selain adanya infeksi kuman dan virus, menurunnya daya tahan tubuh dapat juga
di sebabkan karena adanya tindakan endotracheal dan tracheostomy serta konsumsi obat
obatan yang dapat menekan refleks batuk sebagai akibat dari upaya pertahanan saluran
pernapasan terhadap serangan kuman dan virus.

2.4 Tanda dan Gejala Tuberkulosis


Keluhan yang dirasakan pasien tuberculosis dapat bermacam-macam atau mungkin
banyak pasien ditemukan tuberculosis paru tanpa keluhan sam sekali dalam pemeriksaan
kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah sebagai berikut (Sudoyo et al 2006):
 Demam
Demam pada tanda dan gejalan ini menyerupai demam influenza. Panas badan mencapai 40-
410C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian kambuh kembali
dan begitu seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien ini tidak pernah
terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan
tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk (Sudoyo et al
2006).
 Batuk/batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk ini terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini
diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Hal ini dikarenakan keterlibatan
bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan
peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif), kemudian setelah
timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah
berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah (Sudoyo et al 2006)..
 Sesak nafas
Tanda dan gejala ini pada penyakit tuberculosis yang baru tumbuh belum dirasakan sesak
nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah
meliputi setngah bagian paru-paru (Sudoyo et al 2006)..
 Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke
pleura sehinngga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik/melepaskan nafasnya (Sudoyo et al 2006).
 Malaise
Penyakit tuberculosis berifat radang yang menahun. Gejala ini sering dtemukan beberapa
anoreksia, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat
malam dll. Gejala ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur
(Sudoyo et al 2006).

2.5 Cara Penularan Penyakit TBC


Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman keluar menjadi droplet nuclei di udara
sekitar ketika penderita batuk atau bersin. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di
dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya
tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah
bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh, seperti
paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain,
meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru (Wijaya 2008).
Mikobakterium tuberkulosa yang berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan
tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya, melalui serangkaian reaksi
imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di
sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat
jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant
(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel(benjolan
kecil) pada pemeriksaan foto rontgen. Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik,
bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya, sedangkan pada orang-orang dengan
sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan
sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di
dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak).
Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami
pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC (Wijaya 2008).
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan
beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya
fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak
mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan
tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang
peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC (Wijaya 2008).

2.6 Klasifikasi Pneumonia


a. Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired pneumonia, CAP):
pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar lingkungan rumah
sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit pada pasien yang
belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari (Jeremy, 2007).
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial): pneumonia yang terjadi selama
atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis ini didapat selama penderita dirawat
di rumah sakit (Farmacia, 2006). Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit
mendapatkan pneumonia selama dalam perawatannya. Demikian pula halnya dengan
penderita yang dirawat di ICU, lebih dari 60% akan menderita pneumonia (Supandi, 1992).
c. Pneumonia aspirasi/anaerob: infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain setelah
aspirasi orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien
dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan (Jeremy,
2007).
d. Pneumonia oportunistik: pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya steroid,
kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh virus, jamur, dan mikobakteri, selain
organisme bakteria lain (Jeremy, 2007).
e. Pneumonia rekuren: disebabkan organisme aerob dan aneorob yang terjadi pada fibrosis
kistik dan bronkietaksis (Jeremy, 2007).

Pemeriksaan Laboratorium TBC


Darah
Pemeriksaan serologis yang banyak dipakai adalah yaitu Peroksidase Anti Peroksida (PAP-
TB) yangdiakui peneliti mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifitasnya cukup tinggi (85%-
95%). Prinsip dasar uji PAP-TB adalah menentukan adanya antibody IgG yang spesifik
terhadap antigen M.tuberculosae. Hail uji PAP-TB dinyatakan patologis bila ada titer 1:1000
didapatkan hasil uji positif. Hasil uji seraologi lain terhadap tuberculosis adalah
uji Mycodot. Uji mycodot diapakai antigen Lipoarabimannan (LAM) yang dilekatkan pada
suatu alat berbentuk sisir plastic. Sisir ini dicelupkan ke dalam serum pasien. Antibodi
spesifik anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada sisir yang
intensitasnya sesuai dengan jumlah antibody (Sudoyo et al 2006).

Sputum
Pemeriksaan sputum penting karena ditemukannya kuman BTA, diagnosis
tuberculosis sudah dapat dipastikan. Pemeriksaan sputum memberikan evaluasi terhadap
pengobatan yang siudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat
dikerjakan di lapangan. Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan tiga batang kuman BTA, sehingga diperlukan 5000 kuman dalam 1 ml sputum.
Pemeriksaan sputum dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara mikroskopis, pemeriksaan
dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan langsung), pemeriksaan dengan biakan dan
pemeriksaan terhadap resistensi obat (Sudoyo et al 2006).

Tes Tuberkulin
Tes tuberkulin hanya menyatakan bahwa seseorang individu pernah mengalami
infeksi M.tuberculosae.Dasar tes tuberculin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Penularan
kuman patogen baik yang virulen ataupun tidak (Mycobacterium tuberculosa atau BCG)
tubuh manusia akan mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya antibody selular pada
permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibody hormonal yang dalam perannya
akan menekankan antoobodi selular. Bila pembentukan antibody selular cukup misalnya pada
penularan dengan kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat ebsar atau pada
keadaan dimana pembentukan antibody hormonal, maka akan terjadi penyakit setelah
penularan. Cara penularan TBC dilakukan dengan cara inhalasi dari seorang penderita dengan
cara dibatukkan atau dibersinkan. Kuman yang keluar dalam bentuk droplet nuclei lalu
nbesarang di udara sekitar (Sudoyo et al 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth J. Corwin R. 2001. Handbook of pathophysiology. Jakarta: EGC

Hartanto H. 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit:Edisi 6, volume


2. Jakarta:EGC

Reevers, Charlene J, et al. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medica.

Sudoyo et al. 2006. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta:Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dahlan, M. S. (2006), Besar Sampel Dalam Penelitian Kedokteran, Arkans, Jakarta: 19-70

Anda mungkin juga menyukai