Anda di halaman 1dari 10

TUTORIAL KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

“SINDROM NEFROTIK"

Dosen Pembimbing:

Letnan Kolonel (Kes) dr. R. Triyono Edhi Sulistiyanto, Sp. PD

Disusun Oleh:

Benita Edgina (42180269)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN UDARA S. HARDJOLUKITO

PERIODE 20 JULI 2020 – 01 AGUSTUS 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2020
Definisi

Sindrom nefrotik merupakan tanda patognomonik dari penyakit glomerular. Sindrom nefrotik
adalah suatu sindrom klinis yang terdiri dari proteinuria (dewasa ≥3,5 g/hari ; anak-anak
≥40mg/h per m2), hipoalbuminemia <3,5 g/dl, edema, hiperkolesterolemia, dan lipiduria.

Etiologi

Menurut Arif Mansjoer sebab pasti belum diketahui. Sindrom nefrotik umumnya dibagi
menjadi :

1. Sindrom nefrotik bawaan


Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh parasit malaria, penyakit kolagen, glomerulonefritis akut,
glomerulonefrits kronik, trombosis vena renalis, bahan kimia (trimetadion, paradion,
penisilamin, garam emas, raksa), amiloidosis, dan lain-lain.
3. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)

Patofisiologi

Proteinuria dan Hipoalbuminemia

Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada


hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan dari proteinuria
menyebabkan hipoalbuminemia yang dimana hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria
masif. Hipoalbuminemia mengakibatkan tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan
intravaskuler berpindah ke dalam interstitial. Hal ini menyebabkan edema. Adapun edema
pada sindrom nefrotik diterangkan dengan teori underfill dan teori overfill.

Edema

Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci


terjadinya edema pada sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitial dan terjadi
edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi
hypovolemia dan aliran darah menuju ke ginjal menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan
ginjal melakukan kompensasi dengan merangsang sistem renin-angiotensin sehingga terjadi
retensi natrium dan air di tubulus ginjal. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga
edema menjadi semakin berlanjut. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium
adalah defek utama pada ginjal. Terjadi defek primer pada kemampuan nefron distal untuk
mengekskresikan natrium. Hal ini disebabkan oleh aktivasi kanal natrium epitel (eNaC) oleh
enzim proteolitik yang memasuki lumen tubulus pada keadaan proteinuria masif. Akibatnya
terjadi peningkatan volume darah, penekanan enzim renin-angiotensisn dan vasopressin,
dan kecenderungan untuk terjadinya hipertensi daripada hipotensi, ginjal juga resisten
terhadap efek natriuretic peptide. Yang dimana natriuretic peptide berperan untuk
mengembalikan volume darah dan tekanan darah menjadi normal kembali. Sehingga pada
akhirnya terjadi peningkatan volume darah akibat tekanan onkotik yang rendah, memicu
transudasi cairan ke ruang ekstraselular dan edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat
kerusakan ginjal menambah reensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan
secara bersamaan pada pasien sindrom nefrotik.

Hiperlipidemia dan Lipiduria

Hiperlipidemia pada sindrom nefrotik dapat disebut hiperkolesterolemia apabila kadar


kolesterol >250 mg/dl. Akhir-akhir ini disebut hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol
saja yang meningkat melainkan ada beberapa konsistensi lemak yang meninggi seperti LDL
(low density lipoprotein), VLDL (very low density lipoprotein), dan trigliserida. Peningkatan
kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama
pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL
(very low density lipoprotein). Hiperlipidemia terjadi sebagai akibat dari kelainan pada
homeostasis lipoprotein yang terjadi sebagai akibat dari peningkatan sintesis lipid di hepar
dan penurunan katabolisme di perifer. Hal ini terjadi akibat dari hipoalbuminemia, sehingga
sel-sel di hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan
sintesis albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal, VLDL
diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase. Tetapi pada sindrom nefrotik, aktivitas enzim ini
terhambat oleh adanya hypoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping
itu menurunnya aktivitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar
apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin. Apabila kadar serum
albumin Kembali normal, baik secara spontan ataupun pemberian terapi infus albumin, maka
umumnya kadar lipid Kembali normal. Pada sindrom nefrotik ini, hamper semua kadar lemak
(kolesterol, trigliserid), dan lipoprotein serum meningkat.
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini
berasal dari filrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeable.

Hiperkoagulabilitas

Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada sindrom nefrotik akibat


peningkatan koagulasi intravaskular. Kadang berbagai protein yang terlibat dalam kaskade
koagulasi terganggu pada sindrom nefrotik, serta agregasi platelet turut meningkat Keadaan
ini disebabkan oleh hilangnya antithrombin (AT) III, protein S, C, dan plasminogen
activating factor dalam urin dan meningkatnya factor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,
peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel, serta menurunnya faktor
zimogen (faktor IX, XI). Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan oleh peningkatan
sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urin.

Kerentanan terhadap Infeksi

Menurunya respon imun karena penurunan kadar IgG dan IgA karena kehilangan
protein lewat ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme seperti :
hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defisiensi seng, menyebabkan peningkatan kerentanan
terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella,
Haemophillus. Pada sindrom nefrotik juga terjadi gangguan imunitas yang diperantai oleh sel
T, sehingga sering terjadi bronkopneumonia dan peritonitis.
Manifestasi Klinis

Penegakan Diagnosis

Tabel 1. Patofisiologi Sindrom Nefrotik


Manifestasi Klinis

1. Retensi cairan dan edema yang menambah berat badan, edema periorbital, edema
dependen, pembengkakan genitelia eksterna, edema fasial, asites dan distensi
abdomen.
2. Anorexia
3. Penambahan berat badan
4. Oligouria
5. Kulit pucat
6. Malese
7. Keletihan

Penegakan Diagnosis

Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah tanda-tanda retensi cairan seperti : bengkak di kedua
kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh, peningkatan berat badan, dan rasa
penuh di perut hingga dapat menyebabkan sesak Tanyakan juga mengenai Riwayat buang
air kecil, dalam 24 jam sudah berapa ml yang keluar, adakah oligouria. . Keluhan lain juga
dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan : edema palpebra, extremitas
(pitting edema), skrotum/labia, atau adanya asites dan efusi pleura. Kadang-kadang
ditemukan hipertensi, atau tanda komplikasi seperti syok hipovolemik, peritonitis, atau
sepsis.

Pemeriksaan Penunjang

Adapun pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:

1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin; pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+
sampai 4+), dapat disertai, glikosuria, sel-sel granular, sel hialin, dan sel lemak.
Biasanya sedimen urin normal namun dapat ditemukan hematuria mikroskopik (>20
eritrosit/LPB) bisa dicurigai adanya lesi glomerular (misal : sklerosis glomerulus
fokal). Dari makroskopis, urin tampak berbuih.
2. Protein urin kuantitatif / Urin Esbach dapat berupa urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, dan LED) dan kimia darah; dapat ditemukan hipoalbuminemia (<3 g/dl),
rasio albumin / globulin terbalik, hiperkolesterolemia, leukositosis dan LED yang
meningkat
4. Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin; didapatkan peningkatan ureum
keratinin, dimana jumlah kreatinin lebih dari 2.
5. Kadar komplemen C3; bila dicurigai SLE pemeriksaan ditambah dengan komplemen
C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA.

Terapi

 Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan kepada
penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria,
mengontrol edema, dan mengobati komplikasi.
 Diuretik disertai diet rendah garam (sekitar 2 gram natrium per hari) dan tirah baring
dapat membantu mengontrol edema.
 Restriksi cairan dianjurkan selama edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic
seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironalokton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian
diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah
(kalium dan natrium).
 Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter), biasanya
disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin <1 g/dl),
dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1g/kgBB selama 4 jam untuk
menarik cairan dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid
intravena 1-2 mg/kBB.
 Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20
ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung dan bila diperlukan, albumin atau plasma dapat
diberikan selang sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan
mencegah overload cairan.
 Bila asites berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites
berulang. Adapun pungsi asites berupa tindakan memasukkan suatu kanula ke dalam
rongga peritoneum untuk mengeluarkan asites. Pungsi asites dilakukan untuk alasan
diagnostik dan bila asites menyebabkan kesulitan bernapas yang berat akibat volume
cairan yang besar. Pungsi asites dapat dilakukan 5 - 10 liter/jam dengan catatan harus
diberikan infus Albumin 6 – 8 gram/liter dari cairan asites yang harus dikeluarkan.
Efek dari pungsi asites adalah hipovolemia, hipokalemia, hiponatrium, ensefalopati
hepatica, dan gagal ginjal. Cairan asites mengandung 10 – 30 gram protein/liter
sehingga albumin serum mengalami deplesi, mencetuskan hipotensi, dan kembalinya
cairan asites.
 Kortikosteroid merupakan pengobatan SN idiopatik pilihan utama, kecuali bila ada
kontraindikasi. Dapat diberikan prednison atau prednisolone. Sesuai dengan anjuran
ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children) pengobatan sindrom
nefrotik dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh 60 mg/hari atau 2
mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dibagi 3 dosis untuk menginduksi remisi. Bila
terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4
minggu kedua dengan dosis 40 mg/hari atau 2/3 dosis awal secara alternating (selang
sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid
dosis penuh tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
 Pada sindrom nefrotik yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid, dapat
diberikan diuretik (bila ada edema), dikombinasikan dengan ACE inhibitor untuk
mengurangi proteinuria. Jenis obat yang biasa dipakai adalah Captopril 0,3
mg/kgBB, 3 kali sehari, atau Enalapril 0,5 mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis. Obat ini
merupakan terapi imunosupresif untuk mengurangi proteinuria.
 Selain itu diperlukan juga pengobatan untuk dislipidemia pada sindrom nefrotik untuk
membantu dalam menurunkan lemak. Adapun obat yang dibutuhkan berupa golongan
statin seperti simvastatin, atorvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat membantu
menurunkan kolesterol LDL, trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.

Komplikasi

1. Syok akibat sepsis, emboli atau hipovolemia


2. Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas
3. Infeksi
4. Hambatan pertumbuhan
5. Gagal ginjal akut atau kronik
6. Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan
emosi dan perilaku.

Prognosis

Prognosis umumnya baik apabila didiagnosis segera mungkin. Pengobatan segera dapat
mengurangi kerusakan glomerulus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun
proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap
kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.

Selain itu pada pasien yang menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun
atau di atas 6 tahun yang :

1. Disertai hipertensi.
2. Disertai hematuria.
3. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
4. Terdapat kelainan pada glomerulus ginjal.
DAFTAR PUSTAKA :

Siti Setiati,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam JIlid II Edisi VI. Jakarta : 2014

Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. In : Sudoyo AW d, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2007.

Salme U. Sindrom Nefrotik. Journal. November 2010. Date : Available from


www.scribd.com

Anda mungkin juga menyukai