Anda di halaman 1dari 24

REFLEKSI KASUS

“PSORIASIS VULGARIS”

Dokter Pembimbing :
Dr. Trijanto Agung N., M. Kes., Sp.KK

Disusun Oleh :
Benita Edgina (42180269)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WONOSARI
PERIODE 21 OKTOBER – 27 OKTOBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Psoriasis adalah penyakit umum yang sering terjadi, bersifat kronik, dan merupakan penyakit
kulit yang tak tersembuhkan. Psoriasis juga merupakan penyakit yang ada pada jangka waktu
lama dan bersifat hilang timbul. Berbeda dengan pergantian kulit pada manusia normal yang
biasanya berlangsung selama tiga sampai empat minggu, proses pergantian kulit pada penderita
psoriasis berlangsung secara cepat yaitu sekitar 2–4 hari, bahkan bisa terjadi lebih cepat yang
ditandai dengan pergantian sel kulit yang banyak dan menebal.

Di dunia, psoriasis diduga mengenai sekitar 2 sampai 3 persen penduduk. Data nasional
prevalensi psoriasis di Indonesia belum diketahui. Namun di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,
selama tahun 2000 sampai 2001, insiden psoriasis mencapai 2,3 persen. Penyakit ini tidak
mengenal usia, semua usia dapat terkena, yang dimana puncak insidensinya di usia 20 tahun
sampai 50 tahun dengan rata-rata onset muncul di usia 28 tahun. Selain itu, baik pria maupun
wanita memiliki peluang yang sama untuk terserang penyakit ini.

Pasien dengan psoriasis akan menghadapi kesulitan untuk menghilangkan penyakitnya


karena perjalanan psoriasis sendiri bersifat kronik dan residif. Keadaan tersebut akan
mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari, menurunkan kualitas hidup, serta menjadi sumber
stress karena mengganggu penampilan.

Seringkali psoriasis mempengaruhi kepercayaan diri seseorang karena mengganggu dalam


hal estetika. Rasa gatal dan perih yang dialami penderitanya juga dapat menghambat kegiatan
sehari-hari, sehingga bila tidak tertangani dengan baik dapat menurunkan kualitas hidup
seseorang. Selain itu psoriasis dapat menimbulkan perburukan dari gejala apabila dipicu oleh
stress ataupun faktor lingkungan yang mempengaruhi serta perjalanan penyakit yang lama dan
sulit untuk disembuhkan. Oleh karena itu dalam refleksi kasus ini akan dibahas lebih lanjut
mengenai psoriasis.

1.2. Rumusan Masalah


 Apa penyebab psoriasis?
 Bagaimana proses terjadinya dan gambaran klinis dari psoriasis?
 Bagaimana cara mendiagnosis dan melakukan tatalaksana pada psoriasis?

BAB II

DESKRIPSI KASUS

2.1.Identitas Pasien

Nama : Ny. R

Usia : 78 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Petani

Alamat : Singkil 005/006, Tepus, Gunung Kidul

Kunjungan ke klinik : 21 Oktober 2019

Sumber data : pasien sendiri

2.2.Anamnesis

a. Keluhan Utama

Pasien mengeluhkan rasa gatal disertai pengelupasan kulit pada batas rambut belakang kepala,
siku kanan dan kiri.

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluhkan rasa gatal disertai pengelupasan kulit pada batas rambut belakang kepala,
siku kanan dan kiri. Keluhan sudah dirasakan menahun dan kambuh-kambuhan. Selain itu pasien
mengeluhkan rasa panas juga. Gejala yang dirasakan hilang timbul, dimana saat sebelum mandi
pasien merasa gatal, dan saat setelah mandi pasien merasa perih.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Sebelumnya pasien sering mengalami keluhan serupa dan pasien memiliki riwayat hipertensi.
Riwayat DM, asma, jantung disangkal.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengatakan keluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa

Riwayat DM, hipertensi, jantung, dan asma di keluarga : disangkal

e. Riwayat Operasi

Tidak pernah

f. Riwayat Alergi

Tidak ada

g. Riwayat Pengobatan

Sebelum periksa ke RSUD Wonosari, pasien hanya membeli salep racikan di apotek untuk
mengobati penyakitnya.

h. Gaya Hidup

Aktivitas pasien sehari-hari hanya bertani dari pagi hingga siang. Pasien mengaku mandi 3 kali
sehari, keramas 3 kali dalam seminggu dengan shampoo. Pola makan pasien 3 kali dalam sehari.

2.3.Pemeriksaan Fisik

a. Kesadaran Umum : Baik

b. Kesadaran : Compos Mentis

c. Tekanan Darah : 150/100 mmHg

d. Status Generalis :

- Kepala : ditemukan lesi di batas rambut belakang kepala

- Leher : tidak ditemukan adanya lesi

- Thoraks : tidak ditemukan adanya lesi

- Punggung : tidak ditemukan adanya lesi

- Abdomen : tidak ditemukan adanya lesi

- Ekstremitas : ditemukan lesi pada daerah siku tangan kanan dan kiri
- Area genital : tidak diperiksa

e. Status Dermatovenereologi

Deskripsi : terdapat lesi berupa plak eritem diliputi skuama berwarna putih disertai titik-titik
perdarahan saat skuama dilepas, skuama berukuran < 1 cm, batas tegas, bentuk tidak beraturan,
jumlah soliter, ukuran > 1 cm, terdistribusi lokal pada batas rambut belakang kepala.
Deskripsi : terdapat lesi plak eritem dengan skuama, batas tegas, bentuk lonjong, jumlah soliter,
ukuran 5 cm, terdistribusi lokal pada siku kanan.

Deskripsi : terdapat lesi plak eritem dengan skuama, batas tegas, bentuk lonjong, jumlah soliter,
ukuran 7 cm, terdistribusi lokal pada siku kiri.

2.4.Diagnosis Banding

 Psoriasis Vulgaris
 Dermatitis Seboroik
 Dermatitis Numularis

2.5.Pemeriksaan Penunjang

Pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

2.6.Diagnosis Kerja

Psoriasis Vulgaris

2.7.Tatalaksana

R/ Resorchinol 0,5%
Asam salisilat 3%

Gliseril 3%

LCD 4%

Inerson oint 15 gr

Oleum cocos ad 100 cc

mfla da in tube I

s 2 d d ue (kepala)

R/ Asam salisilat 5%

LCD 3%

Kloderma salycil 15 gr

Vaselin albumin 20

mfla da in tube I

s 2 d d ue (siku kanan dan kiri)

2.8.Edukasi

 Salep dioles 2 kali sehari setiap selesai mandi


 Bila terasa gatal, jangan digaruk agar tidak memperparah kondisi penyakitnya
 Penjelasan bahwa psoriasis merupakan penyakit yang bersifat kronik, residif, dan
pengobatan yang diberikan hanya meringankan keluhan, bukan menyembuhkan penyakit.
 Menghindari faktor pencetus (trauma, garukan, stress, hawa panas)

2.9.Prognosis

Dengan pengobatan dan perawatan yang baik, prognosis pada umumnya baik bila tanpa
ada penyulit. Namun, penyakit ini dapat terjadi rekurensi sehingga perlu diberitahukan kepada
pasien.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Definisi

Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik yang umum dijumpai, bersifat rekuren
dan melibatkan beberapa faktor misalnya; genetik, sistem imunitas, lingkungan serta hormonal.
Psoriasis ditandai dengan plak eritematosa yang berbatas tegas dengan skuama berlapis berwarna
keputihan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan
lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia.

3.2.Etiopatogenesis

Hanseler dan Christopher pada tahun 1985 membagi psoriasis menjadi tipe 1 bila onset
terjadi pada umur kurang dari 40 tahun dan tipe 2 bila onset terjadi pada umur lebih dari 40
tahun. Tipe 1 diketahui erat kaitannya dengan faktor genetik dan beraosiasi dengan HLA-CW6,
HLA-DR7, HLA-B13, dan HLA-BW57 dengan fenotip yang lebih parah dibandingkan dengan
psoriasis tipe 2 yang kaitan familialnya lebih rendah. Peranan genetik tercatat pada kembar
monozigot 65-72% sedangkan pada kembar dizigot 15-30%. Pada pasien psoriasis artritis yang
mengalami psoriasis tipe 1 mempunyai riwayat psoriasis pada keluarganya 60%, sedangkan pada
psoriasis tipe 2 hanya 30%. Sampai saat ini tidak ada pengertian mengenai pathogenesis
psoriasis, akan tetapi peranan autoimunitas dan genetik dapat merupakan akar yang dipakai
dalam prinsip terapi.

Mekanisme peradangan kulit psoriasis cukup kompleks, yang melibatkan berbagai sitokin,
kemokin, maupun faktor pertumbuhan yang mengakibatkan gangguan regulasi keratinosit, sel-
sel radang, dan pembuluh darah; sehingga lesi tampak menebal dan berskuama berlapis.

Aktivasi sel T dalam pembuluh darah limfe terjadi setelah sel makrofag penangkap antigen
(APC) melalui MHC mempresentasikan antigen tersangka dan diikat oleh sel T naif. Pengikatan
sel T terhadap antigen tersebut selain melalui respetor sel T harus dilakukan pula oleh ligan dan
reseptor tambahan yang dikenal dengan kostimulasi. Setelah sel T teraktivasi, sel ini
berproloferasi menjadi sel T efektor dan memori kemudian masuk dalam sirkulasi sistemik dan
bermigrasi ke kulit.
Pada lesi plak dan darah pasien psoriasis dijumpai sel Th1 CD4+, sel T sitotoksik 1, IFN-γ, TNF-
α, dan IL-12 adalah produk yang ditemukan pada kelompok penyakit yang diperantai oleh sel
TH-1. Pada tahun 2003 dikenal adanya IL-17 yang dihasilkan oleh Th-17. IL-23 adalah sitokin
dihasilkan sel dendrit bersifat heterodimer terdiri atas p40 dan p19. P40 juga merupakan bagian
dari IL-12. Sitokin IL-17A, IL-17F, IL-22, IL-21, dan TNF-α adalah mediator turunan Th-17.
Telah dibuktikan IL-17A mampu meningkatkan ekspresi keratin 17 yang merupakan
karakteristik psoriasis. Injeksi intradermal IL-23 dan IL-21 pada mencit memicu proliferasi
keratinosit dan menghasilkan gambaran hyperplasia epidermis yang merupakan ciri khas
psoriasis, IL-22 dan IL-17A seperti juga kemokin CCR6 dapat menstimulasi timbulnya reaksi
peradangan psoriasis.

3.3.Manifestasi Klinis

Keadaan umum tidak dipengaruhi, kecuali pada psoriasis yang menjadi eritroderma.
Sebagian pasien mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi pada scalp, perbatasan scalp dengan
wajah, ektremitas terutama bagian ekstensor di bagian siku dan lutut serta daerah lumbo sacral.

Gambar 2. Letak Predileksi Psoriasis


Sumber: http://www.psoriasis.or.id/psoriasis_pustular.php

Kelainan kulit terdiri dari bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya.

Eritema sirkumskripta dan merata, tetapi pada masa penyembuhan seringkali eritema di tengah
menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih
seperti mika serta transparan. Besar kelainan bervariasi, bisa lentikular, nummular, plakat dan
dapat berkonfluensi. Jika seluruhnya atau sebagian besar berbentuk lentikular disebut psoriasis
gutata, biasanya pada anak-anak, dewasa muda dan terjadi setelah infeksi oleh Streptococcus.

` Lesi primer pada pasien psoriasis dengan kulit yang cerah adalah merah, papul dan
berkembang menjadi kemerahan, plak yang berbatas tegas. Lokasi plak pada umumnya terdapat
pada siku, lutut, skalp, umbilikus, dan intergluteal. Pada pasien psoriasis dengan kulit gelap,
distribusi hampir sama, namun papul dan plak berwarna keunguan denan sisik abu-abu. Pada
telapak tangan dan telapak kaki, berbatas tegas dan mengandung pustule steril dan menebal pada
waktu yang bersamaan.

Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner (isomorfik). Kedua
fenomena yaitu tetesan lilin dan Auspitz dianggap khas, sedangkan Kobner dianggap tidak khas,
hanya kira-kira 47% dari yang positif dan didapat pula pada penyakit lain., misalnya Liken
Planus dan Veruka plana juvenilis. Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang berubah warnanya
menjadi putih pada goresan seperti lilin yang digores, disebabkan oleh perubahan indeks bias.
Cara menggoresnya bisa dengan pinggir gelas alas. Pada fenomena Auspitz tampak serum atau
darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis. Cara mengerjakannya adalah dengan
cara skuama yang berlapis-lapis itu dikerok dengan ujung gelas alas. Setelah skuama habis maka
pengerokan harus dilakukan dengan pelan-pelan karena jika terlalu dalam tidak tampak
perdarahan yang berupa bintik-bintik melainkan perdarahan yang merata. Trauma pada kulit
penderita psoriasis misalnya trauma akibat garukan dapat menyebabkan kelainan kulit yang sama
dengan psoriasis dan disebut dengan fenomena Kobner yang timbul kira-kira setelah 3 minggu.

Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku yakni sebanyak kira-kira 50% yang
agak khas yaitu yang disebut dengan pitting nail atau nail pit yang berupa lekukan-lekukan
miliar. Kelainan yang tidak khas yaitu kuku yang keruh, tebal, bagian distalnya terangkat karena
terdapat lapisan tanduk dibawahnya (hyperkeratosis subungual) dan onikolisis. Disamping
menimbulkan kelainan pada kulit dan kuku, penyakit ini dapat pula menimbulkan kelainan pada
sendi. Umumnya bersifat poliartikular, tempat predileksinya pada sendi interfalangs distal dan
terbanyak terdapat pada usia 30-50 tahun. Sendi membesar kemudian terjadi ankilosis dan lesi
kistik subkorteks. Kelainan pada mukosa jarang ditemukan.
Gambar 3. Psoriasis pada sendi
Sumber: http://www.psoriasis.or.id/psoriasis_pustular.php
Bentuk Klinis
1. Psoriasis Vulgaris
Bentuk ini adalah yang lazim terdapat karena itu disebut psoriasis vulgaris. Dinamakan
juga tipe plak karena lesi-lesinya pada umumnya berbentuk plak. Tempat predileksinya
yaitu pada scalp, perbatasan scalp dengan wajah, ekstremitas terutama bagian ekstensor
yaitu lutut, siku dan daerah lumbosakral.

Gambar 4. Psoriasis vulgaris


Sumber: Atlas of Dermatology in Internal Medicine
2. Psoriasis Gutata
Diameter kelainan biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbulnya mendadak dan diseminata,
umumya setelah infeksi Streptococcus di saluran napas bagian atas sehabis influenza atau
morbili terutama pada anak dan dewasa muda. Selain itu juga dapat timbul setelah infeksi
yang lain baik bacterial maupun viral.
Gambar 5. Psoriasis Gutata
Sumber: Atlas of Dermatology in Internal Medicine
3. Psoriasis Inversa ( Psoriasis Fleksural)
Psoriasis ini mempunyai tempat predileksi di daerah fleksor sesuai dengan namanya.

Gambar 6. Psoriasis Inversa


Sumber: UBC Dermatology. Diunduh dari: http://www.derm.ubc.ca/
4. Psoriasis Eksudativa
Bentuk ini sangat jarang. Biasanya kelainan pada psoriasis itu dalam bentuk kering, tetapi
pada jenis ini kelaianannya bersifat eksudatif seperti pada dermatitis akut.
5. Psoriasis Seboroik
Gambaran klinis psoriasis seboroik merupakan gabungan antara psoriasis dan dermatitis
seboroik, skuama yang biasanya kering menjadi agak berminyak dan agak lunak. Selain
berlokasi pada tempat yang lazim, juga terdapat pada tempat seboroik.
6. Psoriasis Pustulosa
Ada 2 pendapat mengenai psoriasis pustulosa, pertama dianggap sebagai penyakit
tersendiri, kedua dianggap sebagai varian psoriasis. Terdapat 2 bentuk psoriasis pustulosa
yaitu:
 Psoriasis Pustulosa Palmoplantar (Barber)
Psoriasis pustulosa palmoplantar bersifat kronik dan residif, mengenai telapak
tangan atau telapak kaki atau keduanya. Kelainan kulit berupa kelompok-
kelompok pustule kecil steril dan dalam, di atas kulit yang eritematosa, disertai
rasa gatal.

Gambar 7. Psoriasis Pustulosa Palmoplantar (Barber)


Sumber: http://www.wikimedia.org//
 Psoriasis Pustulosa Generalisata Akut (Von Zumbusch)
Psoriasis pustulata generalisata akut (von Zumbusch) dapat ditimbulkan
oleh berbagai faktor provokatif, misalnya obat yang tersering karena penghentian
kortikosteroid sistemik. Obat lain contohnya, penisilin dan derivatnya, serta
antibiotik betalaktam yang lain, hidroklorokuin, kalium iodide, morfin,
sulfapiridin, sulfonamide, kodein, fenilbutason, dan salisilat. Faktor lain selain
obat ialah hipokalsemia, sinar matahari, alkohol, stres emosional, serta infeksi
bakterial dan virus. Penyakit ini dapat timbul pada penderita yang sedang atau
telah mendapat psoriasis. Dapat pula muncul pada penderita yang belum pernah
menderita psoriasis. Gejala awalnya ialah kulit nyeri, hiperalgesia disertia gejala
umum berupa demam,malese, nausea, anoreksia. Plak psoriasis yang telah ada
makin eritematosa. Setelah beberapa jam timbul banyak plak edematosa dan
eritematosa pada kulit yang normal. Dalam beberapa jam timbul banyak pustul
miliar pada plak-plak tersebut. Dalam sehari pustul-pustul berkonfluensi
membentuk lake of pus berukuran beberapa cm.1 Pustul besar spongioform terjadi
akibat migrasi neutrofil ke atas stratum malphigi, di mana neutrofil ini beragregasi
di antara keratinosit yang menipis dan berdegenerasi.3 Kelainan-kelainan
semacam itu akan terus menerus dan dapat menjadi eritroderma. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan leukositosis, kultur pus dari pustul steril.

Gambar 8. Psoriasis pustulata generalisata akut (von Zumbusch)


Sumber: UBC Dermatology. Diunduh dari: http://www.derm.ubc.ca/
7. Eritroderma psoriatic
Psoriasis eritroderma dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang terlalu kuat atau
karena penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang khas untuk psoriasis tidak
tampak lagi karena terdapat eritema dan skuama tebal universal. Adakalanya lesi
psoriasis masih tampak samar-samar yakni lebih eritematosa dan kulitnya lebih
meninggi.
Gambar 9. Psoriasis eritroderma
Sumber: UBC Dermatology. Diunduh dari: http://www.derm.ubc.ca/

3.4.Diagnosis

Diagnosis psoriasis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis lesi
kulit. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
laboratorium darah dan biopsi histopatologi.

Pemeriksaan penunjang yang paling umum dilakukan untuk mengkonfirmasi suatu


psoriasis ialah biopsi kulit dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin. Pada umumnya
akan tampak penebalan epidermis atau akantosis serta elongasi rete ridges. Terjadi diferensiasi
keratinosit yang ditandai dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum korneum juga
mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel pada lapisan ini yang disebut dengan
parakeratosis. Tampak neutrofil dan limfosit yang bermigrasi dari dermis. Sekumpulan neutrofil
dapat membentuk mikroabses Munro. Pada dermis akan tampak tanda-tanda inflamasi seperti
hipervaskularitas dan dilatasi serta edema papila dermis. Infiltrat dermis terdiri dari neutrofil,
makrofag, limfosit dan sel mast.

Selain biopsi kulit, abnormalitas laboratorium pada penderita psoriasis biasanya bersifat
tidak spesifik dan mungkin tidak ditemukan pada semua pasien. Pada psoriasis vulgaris yang
luas, psoriasis pustular generalisata, dan eritroderma tampak penurunan serum albumin yang
merupakan indikator keseimbangan nitrogen negatif dengan inflamasi kronis dan hilangnya
protein pada kulit. Peningkatan marker inflamasi sistemik seperti C-reactive protein, α-2
makroglobulin, dan erythrocyte sedimentation rate dapat terlihat pada kasus-kasus yang berat.
Pada penderita dengan psoriasis yang luas dapat ditemukan peningkatan kadar asam urat serum.
Selain daripada itu penderita psoriasis juga menunjukkan gangguan profil lipid (peningkatan
high density lipoprotein, rasio kolesterol-trigliserida serta plasma apolipoprotein-A1).

Mengukur derajat keparahan atau perbaikan klinis pada psoriasis tampaknya merupakan
hal yang mudah, tetapi pada kenyataannya hal ini menimbulkan banyak kesulitan. Diperlukan
pengukuran objektif yang terpercaya, valid, dan konsisten. Untungnya lesi pada psoriasis
biasanya cukup jelas secara klinis dan oleh sebab itu relatif mudah untuk melakukan kuantifikasi
tetapi sayangnya kuantifikasi sederhana pada lesi bukan merupakan suatu penilaian yang lengkap
pada derajat keparahan, sebab dampak lesi psoriasis berbeda pada penderita yang satu dengan
lainnya. Konsensus oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa setiap
penentuan keparahan psoriasis membutuhkan perhatian khusus pada pengaruhnya terhadap
kualitas hidup penderita. Salah satu tehnik yang digunakan untuk mengukur derajat keparahan
psoriasis yaitu dengan menggunakan Psoriasis Area and Severity Index (PASI).

PASI merupakan kriteria pengukuran derajat keparahan yang paling sering digunakan.
Berupa suatu rumus kompleks yang diperkenalkan pertama kali dalam studi penggunaan retinoid
pada tahun 1978. PASI menggabungkan elemen pada presentasi klinis yang tampak pada kulit
berupa eritema, indurasi dan skuama. Setiap elemen tersebut dinilai secara terpisah
menggunakan skala 0 - 4 untuk setiap bagian tubuh: kepala dan leher, batang tubuh, ekstremitas
atas dan ekstremitas bawah. Penilaian dari masing-masing tiga elemen kemudian dijumlahkan,
selanjutnya hasil penjumlahan masing-masing area tubuh dikalikan dengan skor yang didapat
dari skala 1 - 6 yang merepresentasikan luasnya area permukaan yang terlibat pada bagian tubuh
tersebut. Skor ini kemudian dikalikan dengan faktor koreksi yang terdapat pada tiap area tubuh
(0.1 untuk kepala dan leher, 0.2 untuk ekstremitas atas, 0.3 untuk batang tubuh, dan 0.4 untuk
ekstremitas bawah). Akhirnya skor dari keempat area tubuh ditambahkan sehingga menghasilkan
skor PASI. Kemungkinan nilai tertinggi PASI adalah 72 tetapi nilai ini secara umum dianggap
hampir tidak mungkin untuk dicapai. Berdasarkan nilai skor PASI, psoriasis dapat dibagi
menjadi psoriasis ringan (skor PASI <11), sedang (skor PASI 12-16), dan berat (skor PASI >16).

Oleh karena kompleksitas skor PASI tersebut, maka bukan merupakan suatu hal yang
mengejutkan jika skor ini jarang digunakan pada praktek klinis. Skor PASI merupakan suatu
sistem penilaian yang digunakan untuk tujuan penelitian. Pada uji klinis, persentase perubahan
pada PASI dapat digunakan sebagai titik akhir penilaian terapi psoriasis. The United States Food
and DrugAdministration (FDA) menggunakan 75% perbaikan pada skor PASI sebagai penilaian
respon terapi pada pasien psoriasis.

Beberapa kesulitan dalam penggunaan skor PASI diantaranya; kesulitan dalam


menentukan skor serta kurangnya korelasi dengan hasil akhir yang dilaporkan oleh pasien
sendiri. Pengukuran luas permukaan tubuh bersifat tidak konsisten diantara para peneliti,
sehingga menyebabkan variabilitas inter observer yang signifikan. Hal terpenting lainnya, skor
PASI tidak secara jelas memperkirakan dampak dari penyakit terhadap pasien. Beberapa
penelitian yang menilai korelasi antara PASI dengan kualitas hidup penderita telah menunjukkan
konsistensi yang rendah.

Beberapa variasi dari PASI telah dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan ini serta
untuk mengurangi waktu dan usaha yang diperlukan dalam melakukan penilaian. Salah satu
variasi yang menarik adalah meminta pasien melakukan PASI modifikasi terhadap dirinya
sendiri. Penilaian ini disebut Self Administered PASI (SAPASI). SAPASI memiliki korelasi yang
baik dengan PASI serta responsif terhadap terapi. SAPASI khususnya memberikan manfaat pada
studi epidemiologi berskala besar dimana penilaian oleh dokter terhadap semua pasien dianggap
tidak praktis.

3.5.Diagnosis Banding

- Dermatitis Numularis : peradangan berupa lesi berbentuk mata uang (koin) atau agak lonjong,
berbatas tegas, dengan efloresensi atau lesi awal berupa papul disertai vesikel (papulovesikel),
biasanya mudah pecah sehingga basah dan biasanya menyerang ekstremitas.

- Dermatitis Seboroik : gangguan kulit yang menyebabkan kulit bersisik, berketombe, dan
berwarna kemerahan. Peradangan ini biasanya terjadi di kulit kepala.

3.6.Tatalaksana

Secara garis besar, pengobatan pada psoriasis terdiri dari pengobatan secara sistemik,
pengobatan secara topical, terapi penyinaran dengan PUVA dan pengobatan dengan cara
Goeckman.

1. Pengobatan Sistemik
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat mengontrol psoriasis dengan dosis ekuivalen prednisone
30mg per hari. Setelah membaik dosis diturunkan perlahan-lahan lalu
diberikan dosis pemeliharaan. Penghentian obat secara mendadak akan
menyebabkan kekambuhan dan dapat terjadi psoriasis pustulosa generalisata.
b. Obat Sitostatik
Obat sitostatik yang biasa digunakan adalah metotrexate. Obat ini bekerja
dengan cara menghambat enzim dihidrofolat reduktase, sehingga
menghambat sintesis timidilat dan purin. Obat ini menunjukkan hambatan
replikasi dan fungsi sel T dan mungkin juga sel B karena adanya efek
hambatan sintesis.
Indikasinya ialah untuk psoriasis, psoriasis pustulosa, psoriasis arthritis
dengan lesi kulit dan eritroderma karena psoriasis yang sukar terkontrol
dengan obat standar. Kontraindikasinya ialah bila terdapat kelainan hepar,
ginjal, system hematopoetik, kehamilan, penyakit infeksi aktif (misalnya TBC,
Ulkus peptikum, colitis ulserosa dan psikosis). Pada awalnya metotrexate
diberikan dengan dosis inisial 5 mg per orang dengan psoriasis untuk melihat
apakah ada gejala sensitivitas atau gejala toksik. Jika tidak terjadi efek yang
tidak diinginkan maka MTX diberikan dengan dosis 3 x 2.5mg dengan
interval 12 jam selama 1 minggu dengan dosis total 7.5mg. Jika tidak ada
perbaikan maka dosis dinaikkan 2,5 - 5 mg per minggu dan biasanya dengan
dosis 3 x 5 mg akan tampak ada perbaikan.
Cara lain adalah dengan pemberian MTX I.M dosis tunggal sebesr 7,5 – 25
mg. Tetapi dengan cara ini lebih banyak menimbulkan reaksi sensitivitas dan
reaksi toksik. Jika penyakit telah terkontrol maka dosis perlahan diturunkan
dan diganti ke pengobatan secara topical.
Setiap 2 minggu dilakukan pemeriksaan hematologic, urin lengkap, fungsi
ginjal dan fungsi hati. Bila jumlah leukosit < 3500/uL maka pemberian MTX
dihentikan. Bila fungsi hepar baik maka dilakukan biopsy hepar setiap kali
dosis mencapai dosis total 1,5 gram, tetapi bila fungsi hepar abnormal maka
dilakukan biopsy hepar bila dosis total mencapai 1 gram.
Efek samping dari penggunaan MTX adalah nyeri kepala, alopecia, saluran
cerna, sumsul tulang, hepar dan lien. Pada saluran cerna berupa nausea, nyeri
lambung, stomatitis ulcerosa dan diare. Pada reaksi yang hebat dapat terjadi
enteritis hemoragik dan perforasi intestinal. Depresi sumsum tulang
menyebabkan timbulnya leucopenia, trombositopenia dan kadang-kadang
anemia. Pada hepar dapat terjadi fibrosis dan sirosis.
c. Levodopa
Levodopa sebenarnya dipakai untuk penyakit Parkinson. Pada beberapa pasien
Parkinson yang juga menderita psoriasis dan diterapi dengan levodopa
menunjukkan perbaikan. Berdasarkan penelitian, Levodopa menyembuhkan
sekitar 40% pasien dengan psoriasis. Dosisnya adalah 2 x 250 mg – 3 x 250
mg. Efek samping levodopa adalah mual, muntah, anoreksia, hipotensi,
gangguan psikis dan gangguan pada jantung.
d. Diaminodifenilsulfon
Diaminodifenilsulfon (DDS) digunakan pada pengobatan psoriasis pustulosa
tipe Barber dengan dosis 2 x 100 mg sehari. Efek sampingnya adalah anemia
hemolitik, methemoglobinuria dan agranulositosis.
e. Etretinat & Asitretin
Etretinat merupakan retinoid aromatik, derivat vitamin A digunakan bagi
psoriasis yang sukar disembuhkan dengan obat-obat lain mengingat efek
sampingnya. Etretinat efektif untuk psoriasis pustular dan dapat pula
digunakan untuk psoriasis eritroderma. Pada psoriasis obat tersebut
mengurangi proliferasi sel epidermal pada lesi psoriasis dan kulit normal.
Dosisnya bervariasi : pada bulan pertama diberikan 1mg/kgbb/hari, jika belum
terjadi perbaikan dosis dapat dinaikkan menjadi 1½ mg/kgbb/hari. Efek
sampingnya berupa kulit menipis dan kering, selaput lendir pada mulut, mata,
dan hidung kering, kerontokan rambut, cheilitis, pruritus, nyeri tulang dan
persendian, peninggian lipid darah, gangguan fungsi hepar, hiperostosis, dan
teratogenik. Kehamilan hendaknya tidak terjadi sebelum 2 tahun setelah obat
dihentikan. Asitretin (neotigason) merupakan metabolit aktif etretinat yang
utama. Efek sampingnya dan manfaatnya serupa dengan etretinat.
Kelebihannya, waktu paruh eliminasinya hanya 2 hari, dibandingkan dengan
etretinat yang lebih dari 100 hari.
f. Siklosporin
Siklosporin berikatan dengan siklofilin selanjutnya menghambat kalsineurin.
Kalsineurin adalah enzim fosfatase dependent kalsium dan memgang peranan
kunci dalam defosforilasi protein regulator di sitosol, yaitu NFATc (Nuclear
Factor of Activated T Cell). Setelah mengalami defosforilasi, NFATc ini
mengalami translokasi ke dalam nukleus untuk mengaktifkan gen yang
bertanggung jawab dalam sintesis sitokin, terutama IL-2. Siklosporin juga
mengurangi produksi IL-2 dengan cara meningkatkan ekspresi TGF-ß yang
merupakan penghambat kuat aktivasi limfosit T oleh IL-2. Meningkatnya
ekspresi TGF-ß diduga memegang peranan penting pada efek imunosupresan
siklosporin.
Efeknya ialah imunosupresif. Dosisnya 1-4 mg/kgbb/hari. Bersifat nefrotoksik
dan hepatotoksik. Hasil pengobatan untuk psoriasis baik, hanya setelah obat
dihentikan dapat terjadi kekambuhan.
g. Terapi biologic
Obat biologic merupakan obat yang baru dengan efeknya memblok langkah
molecular spesifik yang penting paa pathogenesis psoriasis. Contoh obatnya
adalah alefaseb, efalizumab dan TNF-α-antagonist.
2. Pengobatan Topikal
a. Preparat Ter
Obat topikal yang biasa digunakan adalah preparat ter, yang efeknya adalah
anti radang. Menurut asalnya preparat ter dibagi menjadi 3, yakni yang berasal
dari:
 Fosil, misalnya iktiol.
 Kayu, misalnya oleum kadini dan oleum ruski.
 Batubara, misalnya liantral dan likuor karbonis detergens
Preparat ter yang berasal dari fosil biasanya kurang efektif untuk psoriasis,
yang cukup efektif ialah yang berasal dari batubara dan kayu. Ter dari
batubara lebih efektif daripada ter berasal dari kayu, sebaliknya kemungkinan
memberikan iritasi juga besar. Pada psoriasis yang telah menahun lebih baik
digunakan ter yang berasal dari batubara, karena ter tesbut lebih efektif
daripada ter yang berasal dari kayu dan pada psoriasis yang menahun
kemungkinan timbulnya iritasi kecil. Sebaliknya pada psoriasis akut dipilih
ter dari kayu, karena jika dipakai ter dari batu bara dikuatirkan akan terjadi
iritasi dan menjadi eritroderma.
Ter yang berasal dari kayu kurang nyaman bagi penderita karena berbau
kurang sedap dan berwarna coklat kehitaman. Sedangkan likuor karbonis
detergens tidak demikian. Konsentrasi yang biasa digunakan 2 – 5%, dimulai
dengan konsentrasi rendah, jika tidak ada perbaikan konsentrasi dinaikkan.
Supaya lebih efektif, maka daya penetrasi harus dipertinggi dengan cara
menambahkan asam salisilat dengan konsentrasi 3 – 5 %. Sebagai vehikulum
harus digunakan salap karena salap mempunyai daya penetrasi terbaik.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal memberi hasil yang baik. Potensi dan vehikulum
bergantung pada lokasinya. Pada skalp, muka dan daerah lipatan digunakan
krim, di tempat lain digunakan salap. Pada daerah muka, lipatan dan genitalia
eksterna dipilih potensi sedang, bila digunakan potensi kuat pada muka dapat
memberik efek samping di antaranya teleangiektasis, sedangkan di lipatan
berupa strie atrofikans. Pada batang tubuh dan ekstremitas digunakan salap
dengan potensi kuat atau sangat kuat bergantung pada lama penyakit. Jika
telah terjadi perbaikan potensinya dan frekuensinya dikurangi.
c. Ditranol (Atralin)
Obat ini dikatakan efektif. Kekurangannya adalah mewarnai kulit dan pakaian.
Konsentrasi yang digunakan biasanya 0,2-0,8 persen dalam pasta, salep, atau
krim. Lama pemakaian hanya ¼ – ½ jam sehari sekali untuk mencegah iritasi.
Penyembuhan dalam 3 minggu.
d. Pengobatan dengan Penyinaran
Seperti diketahui sinar ultraviolet mempunyai efek menghambat mitosis,
sehingga dapat digunakan untuk pengobatan psoriasis. Cara yang terbaik ialah
penyinaran secara alamiah, tetapi sayang tidak dapat diukur dan jika
berlebihan akan memperberat psoriasis. Karena itu digunakan sinar ultraviolet
artifisial, diantaranya sinar A yang dikenal dengan UVA. Sinar tersebut dapat
digunakan secara tersendiri atau berkombinasi dengan psoralen (8-
metoksipsoralen, metoksalen) dan disebut PUVA, atau bersama-sama dengan
preparat ter yang dikenal sebagai pengobatan cara Goeckerman.
Dapat juga digunakan UVB untuk pengobatan psoriasis tipe plak, gutata,
pustular, dan eritroderma. Pada yang tipe plak dan gutata dikombinasikan
dengan salep likuor karbonis detergens 5 -7% yang dioleskan sehari dua kali.
Sebelum disinar dicuci dahulu. Dosis UVB pertama 12 -23 m J menurut tipe
kulit, kemudian dinaikkan berangsur-angsur. Setiap kali dinaikkan sebagai
15% dari dosis sebelumnya. Diberikan seminggu tiga kali. Target pengobatan
ialah pengurangan 75% skor PASI (Psoriasis Area and Severity Index). Hasil
baik dicapai pada 73,3% kasus terutama tipe plak.
e. Calcipotriol
Calcipotriol ialah sintetik vitamin D. Preparatnya berupa salep atau krim 50
mg/g. Perbaikan setelah satu minggu. Efektivitas salep ini sedikit lebih baik
daripada salap betametason 17-valerat. Efek sampingnya pada 4 – 20% berupa
iritasi, yakni rasa terbakar dan tersengat, dapat pula telihat eritema dan
skuamasi. Rasa tersebut akan hilang setelah beberapa hari obat dihentikan.
f. Tazaroten
Merupakan molekul retinoid asetilinik topikal, efeknya menghambat
proliferasi dan normalisasi petanda differensiasi keratinosit dan menghambat
petanda proinflamasi pada sel radang yang menginfiltrasi kulit. Tersedia
dalam bentuk gel, dan krim dengan konsentrasi 0,05 % dan 0,1 %. Bila
dikombinasikan dengan steroid topikal potensi sedang dan kuat akan
mempercepat penyembuhan dan mengurangi iritasi. Efek sampingnya ialah
iritasi berupa gatal, rasa terbakar dan eritema pada 30 % kasus, juga bersifat
fotosensitif.

g. Emolien
Efek emolien ialah melembutkan permukaan kulit. Pada batang tubuh (selain
lipatan), ekstremitas atas dan bawah biasanya digunakan salep dengan bahan
dasar vaselin 1-2 kali/hari, fungsinya juga sebagai emolien dengan akibat
meninggikan daya penetrasi bahan aktif. Jadi emolien sendiri tidak
mempunyai efek antipsoriasis.
3. PUVA
Karena psoralen bersifat fotoaktif, maka dengan UVA akan terjadi efek yang
sinergik. Mula-mula 10 – 20 mg psoralen diberikan per os, 2 jam kemudian dilakukan
penyinaran. Terdapat bermacam-macam bagan, di antaranya 4 x seminggu. Penyembuhan
mencapai 93% setelah pengobatan 3 – 4 minggu, setelah itu dilakukan terapi
pemeliharaan seminggu sekali atau dijarangkan untuk mencegah rekuren. PUVA juga
dapat digunakan untuk eritroderma psoriatik dan psoriasis pustulosa. Beberapa penyelidik
mengatakan pada pemakaan yang lama kemungkinan akan terjadi kanker kulit.
4. Pengobatan Cara Goeckerman
Pada tahun 1925 Goeckerman menggunakan pengobatan kombinasi ter berasal
dari batubara dan sinar ultraviolet. Kemudian terdapat banyak modifikasi mengenai ter
dan sinar tersebut. Yang pertama digunakan ialah crude coal ter yang bersifat fotosensitif.
Lama pengobatan 4 – 6 minggu, penyembuhan terjadi setelah 3 minggu. Ternyata bahwa
UVB lebih efektif daripada UVA.
3.7.Prognsosis
Psoriasis tidak menyebabkan kematian tetapi menggangu kosmetik karena
perjalanan penyakitnya bersifat kronis dan residif. Psoriasis gutata akut timbul cepat.
Terkadang tipe ini menghilang secara spontan dalam beberapa minggu tanpa terapi.
Seringkali, psoriasis tipe ini berkembang menjadi psoriasis plak kronis. Penyakit ini
bersifat stabil, dan dapat remisi setelah beberapa bulan atau tahun, dan dapat saja
rekurens sewaktu-waktu seumur hidup. Pada psoriasis tipe pustular, dapat bertahan
beberapa tahun dan ditandai dengan remisi dan eksaserbasi yang tidak dapat dijelaskan.
Psoriasis vulgaris juga dapat berkembang menjadi psoriasis tipe ini. Pasien denan
psoriasis pustulosa generalisata sering dibawa ke dalam ruang gawat darurat dan harus
dianggap sebagai bakteremia sebelum terbukti kultur darah menunjukkan negatif. Relaps
dan remisi dapat terjadi dalam periode bertahun-tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 7th
Ed. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2017.
2. Geng A., McBean J., Zeikus P.S., et al. Psoriasis. Dalam Kelly A.P., Taylor S.C.,
Editors. Dermatology for skin of color. New York:Mc Graw Hill;2009.h.139-146.
3. Wolff K., Johnson R.A. Psoriasis. Dalam Wolff K., Johnson R.A.Fitzpatrick’s color
atlas and synopsis of clinical dermatology. Edisi keenam. New York:Mc Graw
Hill;2009.h.53-71.
4. Goldenstein B., Goldenstein A. Psoriasis. Dalam Goldenstein B.,Goldenstein A.,
Melfiawaty., Pendit B.U., Editors. Dermatologi
Praktis.Jakarta:Hipokrates;2001.h.187.
5. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 8th ed. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: 2012.p.148-50.

Anda mungkin juga menyukai