Anda di halaman 1dari 6

TUGAS HUKUM ACARA PIDANA

By:

LIANA WINNIE

NIM: 1621023

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ATMAJAYA MAKASSAR

2019
1. Perkara Koneksitas (Pasal 89 – 94 KUHAP)
Pengertian koneksitas yang ditegaskan dalam KUHAP pasal 89 adalah tindak
pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan
umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan di adili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan
Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan di adili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Koneksitas adalah mekanisme hukum acara untuk mengadili tindak pidana yang
perkaranya dicakup oleh kewenangan dua peradilan yakni Peradilan Militer dan Peradilan
Umum, khususnya tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang secara
paralel diatur dalam hukum pidana militer dan umum.
Akan tetapi, ada pengecualian lagi disini yang mengakibatkan Peradilan Militer
bisa untuk memeriksa dan mengadili perkara koneksitas ini, yakni bila dalam kondisi:
a. Jika ada keputusan Menteri Pertahanan yang mengharuskan perkara koneksitas ini
diperiksa dan diadili oleh lingkungan Peradilan Militer.
b. Keputusan Menteri Pertahanan tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa perkara koneksitas itu diperiksa dan
diadili oleh oleh lingkungan Peradilan Militer.
Kapan sebuah perkara koneksitas itu diperiksan dan diadili oleh lingkungan
Peradilan Militer itu diatur dalam ketentuan pasal 90 KUHAP yang menjelaskan :
a. untuk menentukan apakah lingkungan peradilan militer yang berwenang memeriksa
dan mengadili suatu perkara koneksitas, diukur dari segi “kerugian” yang
ditimbulkan oleh tindak pidana itu,
b. apabila kerugian yang ditimbulkan oleh sebuah tindak pidana tersebut lebih
memberikan kerugian terhadap “kepentingan militer”, sekalipun pelaku tindak
pidananya lebih banyak dari kalangan masyarakat sipil, pemeriksaan perkara
koneksitas akan dilakukan oleh lingkungan peradilan militer.
Selama kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang terjadi tidak merugikan
kepentingan militer, sekalipun pelakunya lebih banyak anggota TNI/Polri, maka perkara
koneksitas diperiksa dan diadili oleh lembaga peradilan umum.
Pasal 89 (2) KUHAP telah menentukan cara dan aparat yang berwenang dalam
melakukan penyidikan terhadap perkara koneksitas. Aparat penyidik perkara koneksitas
terdiri dari suatu “tim tetap”, yang terdiri dari unsur :
a. Unsur Penyidik Polri;
b. Polisi Militer;
c. Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi
Cara bekerja tim disesuaikan dengan kewenangan yang ada pada masing-masing
unsur tim. Bila dilihat dari segi wewenang masing-masing unsur tim, maka :
a. tersangka pelaku sipil diperiksa oleh unsur penyidik Polri.
b. Sedangkan tersangka pelaku anggota TNI/Polri diperiksa oleh penyidik dari Polisi
Militer dan Oditur Militer.
Susunan Majelis Hukum peradilan perkara koneksitas disesuaikan dengan
lingkungan peradilan yang mengadili perkara tersebut.
Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum,
maka susunan Majelis Hakimnya adalah :
 Sekurang-kurangnya Majelis Hakim terdiri dari tiga orang
 Hakim Ketua diambil dari Hakim Peradilan Umum (Pengadilan Negeri).
 Hakim Anggota ditentukan secara berimbang antara lingkungan peradilan umum
dengan lingkungan peradilan militer.
Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan Peradilan Militer,
maka susunan Majelis Hakimnya adalah :
 Hakim Ketua dari lingkungan Peradilan Militer.
 Hakim Anggota diambil secara berimbang dari hakim Peradilan Umum dan
Peradilan Militer.
 Hakim Anggota yang berasal dari lingkungan Peradilan Umum diberi pangkat
militer “tituler”.
 Yang mengusulkan Hakim Anggota adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
bersama dengan Menteri Pertahanan.
Susunan ini juga berlaku pada susunan Majelis Hakim pada tingkat Banding
2. Gugatan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
 Ganti Kerugian (Pasal 95 – 96 KUHAP)
Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena
ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan. Hal ini tidak diajukan pada pengadilan negeri, melainkan melalui
sidang pra – peradilan. Diajukan pada pengadilan yang berwenang mendili perkara
yang bersangkutan. Untuk memutus dan mengadili tuntutan ganti kerugian, ketua
pengadilan menunjuk hakim yang sama yang terlah mengadili perkara pidana yang
bersangkutan.
Putusan pemberian ganti kerugian berupa penetapan yang memuat lengkap semua hal
yang dipertimbangkan sebagai alasan pemberian ganti kerugian.
 Rehabilitasi (Pasal 97 KUHAP)
Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas
atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Rehabbilitasi ini dicantumkan Bersama – sama dalam putusan
pengadilan. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau
hukum yang diterapkan, perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh
hakim praperadilan.
3. Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian (pasal 98 – 101 KUHAP)
Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan
perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim
ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara
gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu; hanya dapat diajukan selambat-
lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut
umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan
putusan.
Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya, maka
pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut,
tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut. Kecuali dalam hal pengadilan negeri
menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan atau gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya
yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Putusan mengenai ganti kerugian
dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat
kekuatan hukum tetap.
Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka
penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.
Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka
permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.
Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian
sepanjang dalam undangundang ini tidak diatur lain.
4. Contempt of Court
Contempt of Court adalah sikap-sikap yang dapat dikategorikan dan
dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap lembaga peradilan.
Perbuatan yang termasuk penghinaan terhadap lembaga peradilan yaitu:
a. Berperilaku tercela dan tidak pantas di Pengadilan (Misbehaving in Court)
b. Tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders)
c. Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (Scandalising the Court)
d. Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice)
e. Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara
pemberitahuan/publikasi (Sub-Judice Rule)
Dalam KUHPidana ada beberapa ketentuan yang mengatur Contempt of Court dengan
menggunakan istilah Rechtpleging yaitu kejahatan terhadap pengadilan dan instansi
pemerintah antara lain :
a. Pasal 209 KUHP: memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan
maksud untuk menggerakkan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
b. Pasal 210 KUHP: memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang hakim,
penasehat hukum atau adviseur.
c. Pasal 214 KUHP: memaksa seseorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau
untuk melakukan perbuatan jabatan yang sah.
d. Pasal 212 KUHP: melawan pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah.
e. Pasal 217 KUHP: menimbulkan kegaduhan dalam ruang sidang
f. Pasal 216 KUHP: tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut
undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu
g. Pasal 220 KUHP: pengaduan palsu
h. Pasal 221 KUHP: Menyembunyikan orang yang melakukan orang yang melakukan
tindak pidana.
i. Pasal 222 KUHP: mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pemeriksaan
mayat untuk kepentingan pengadilan.
j. Pasal 223 KUHP: melepaskan atau memberi pertolongan ketika meloloskan diri kepada
orang yang ditahan atas perintah penguasa umum, atas keputusan atau ketetapan hakim.
k. Pasal 224 KUHP: sebagai saksi ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan
sengaja tidak memenuhi kewajiban.
l. Pasal 223 KUHP: merusak atau menghilangkan barang bukti
m. Pasal 242 KUHP: keterangan palsu
n. Pasal 420 KUHP: seorang hakim yang menerima hadiah atau janji.
o. Pasal 422 KUHP: seseorang pejabat yang dalam sesuatu perkara pidana, menggunakan
sarana paksaan baik untuk memeras pengakuan maupun untuk mendapatkan
keterangan.
p. Pasal 522 KUHP: Saksi, ahli atau juru bahasa tidak datang secara melawan hukum.

Selain KUHPidana, ketentuan dalam KUHAP lebih berorientasi pada pengaturan tata tertib
yang harus dipatuhi dalam persidangan yakni Pasal 217 KUHAP - Pasal 219
Pasal 217
(1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan.
(2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata
tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat.
Pasal 218
(1) Dalam ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.
(2) Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan
dan tidak mentaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas
perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang.
(3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu
tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap
pelakunya.
Pasal 219
(1) Siapa pun dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau alat
maupun benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang
membawanya wajib menitipkan di tempat yang khusus disediakan untuk itu.
(2) Tanpa surat perintah, petugas keamanan pengadilan karena tugas jabatannya dapat
mengadakan penggeledahan badan untuk menjamin bahwa kehadiran seorang di ruang
sidang tidak membawa senjata, bahan atau alat maupun benda sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan apabila terdapat maka petugas mempersilahkan yang bersangkutan
untuk menitipkannya.
(3) Apabila yang bersangkutan bermaksud meninggalkan ruang sidang maka petugas
wajib menyerahkan kembali benda titipannya.
(4) Ketetentuan ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi kemungkinan untuk dilaukan
penuntutan bila ternyata bahwa penguasaan atas benda tersebut bersifat suatu tindak
pidana

Anda mungkin juga menyukai