Anda di halaman 1dari 30

PSYCHOSOMATIC MEDICINE

Psikosomatik berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata, yaitu psyche yang
artinya psikis dan soma yang artinya tubuh. Ilmu ini menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara faktor psikologi dengan fenomena fisiologi secara umum dan
patogenesis penyakit secara khusus. Oleh karena itu, faktor psikologis harus
dipertimbangkan dalam setiap penyakit.

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala


fisik (sebagai contoh: nyeri, mual, dan pusing) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik ini cukup serius untuk menyebabkan
penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan
pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan
somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu
penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform
tidak disebabkan oleh pura pura yang disadari atau gangguan buatan.

Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala fisik,
dimana tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Untuk hal tersebut terdapat
bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait dengan adanya faktor
psikologis atau konflik.

Menurut DSM V, gangguan psikosomatik terdiri dari, (1) gangguan gejala somatic
(Somatic Symptom Disorder), (2) gangguan kecemasan terhadap penyakit (Illness Anxiety
Disorder), (3) gangguan konversi (Conversion Disorder), (4) faktor psikologis yang
mempengaruhi kondisi medis lain (Psychological Factors Affecting Other Medical
Conditions), (5) gangguan buatan (Factitious Disorder) (6) gangguan nyeri (Pain Disorder).

SOMATIC SYMPTOM DISORDER

Definisi
Somatic symptom disorder/hypochondriasis ditandai dengan adanya ketakutan
atau gagasan tentang adanya suatu penyakit serius berdasarkan misiterpretasi dari gejala
tubuh selama lebih/sama dengan 6 bulan. Seseorang dengan gangguan ini akan
menambah dan memperkuat sensasi somatic yang mereka miliki. Gangguan ini akan
menyebabkan distress dan impairment terhadap hidup seseorang, tidak diperhitungkan
sebagai gangguan mental lain, dan individu yang mengalaminya akan memiliki
pengetahuan yang rendah terhadap keberadaan penyakit ini.

Epidemiologi

 Dalam populasi umum, dilaporkan prevalensi dalam 6 bulan untuk gangguan ini
mencapai 4-15%
 Prevalensi pada laki-laki dan perempuan sama
 Dapat terjadi di berbagai usia, namun paling sering muncul pada usia 20-30 tahun
 Gangguan ini terjadi pada 3% mahasiswa kedokteran, biasanya pada 2 tahun
pertama, tapi biasanya bersifat sementara

Etiologi

 Orang dengan ambang/toleransi rendah terhadap ketidaknyamanan fisik.


Contohnya, orang dengan SSD akan mempersepsikan tekanan pada perut sebagai
sakit perut. Mereka akan fokus dengan sensasi yang dirasakan tubuh, slah
menafsirkannya, dan menjadi khawatir karena skema kognitif yang salah.
 SSD juga dapat dimaknai dalam model pembelajaran sosial. Misalnya jika
seseorang yang berperan sebagai orang sakit/pura-pura sakit pada orang yang
memiliki masalah yang tampaknya tidak bisa diatasi dan tidak dapat dipecahkan.
Peran sakit ini dapat meloloskan seseorang untuk menghindari kewajiban yang
berbahaya, menunda tantangan yang tidak diinginkan, dan dapat membebaskan
seseorang dari tugas/kewajiban sehari-hari.
 SSD kadang-kadang merupakan bentuk varian dari penyakit mental lainnya,
misalnya bersamaan dengan penyakit depresi dan ansietas. Sebanyak 80% pasien
dengan gangguan ini mungkin juga mengalami depresi/ansietas.
 Keinginan agresif atau bermusuhan terhadap orang lain dapat ditransfer
menjadi keluhan fisik. Rasa marah pasien pada penyakit ini berasal dari
kekecewaan, penolakan, dan kehilangan di masa lalu, namun diekspresikan di
masa sekarang dengan mencari pertolongan dan perhatian dari orang lain, lalu
menolaknya karena dianggap tidak efektif.
 Gangguan ini juga dipandang sebagai pembelaan terhadap rasa bersalah, rasa
buruknya diri secara bawaan, rendahnya kepercayaan diri, dan tingginya
perhatian terhadap diri sendiri. Rasa sakit dan penderitaan somatic dianggap
menjadi penebusan dosa dan dapat dialami sebagai hukuman atas kesalahan di
masa lalu (baik yang nyata maupun khayalan) dan untuk rasa penuh dosa dan
kejahatan.

Diagnosis

Diagnosis dari SSD yaitu adanya kepercayaan yang salah bahwa seseorang
memiliki penyakit serius, berdasarkan dari misinterpretasi gejala/sensasi fisik.
Kepercayaan ini harus berlangsung selama minimal 6 bulan, meskipun tidak ditemukan
temuan patologis pada pemeriksaan medis dan neurologis. Kepercayaan ini juga tidak
termasuk delusi, dan tidak bisa dibatasi dengan distress/gangguan mengenai penampilan
(seperti pada body dysmorphic disorder). Gejala-gejala somatic yang dirasakan haruslah
cukup intens sehingga menyebabkan distress/impairment terhadap kemampuan pasien
dalam melakukan fungsinya dalam bidang-bidang yang penting dalam hidupnya. Pasien
juga tidak menyadari bahwa perhatiannya terhadap penyakitnya terlalu berlebihan (poor
insight).

Kriteria diagnosis berdasarkan DSM-V

A. Satu/lebih gejala somatic yang mengganggu kehidupan sehari-hari secara


signifikan
B. Pemikiran, perasaan, atau perilaku terkait gejala somatic/perhatian terhadap
kondisi kesehatan yang berlebihan, yang dimanifestasikan dengan minimal 1 hal
sbb:
1. Pemikiran terhadap keseriusan/keparahan suatu gejala yang persisten dan
tidak proporsional
2. Kecemasan yang tinggi dan berlebihan terhadap suatu gejala
3. Waktu dan energi yang dicurahkan secara berlebihan terhadap
gejala/masalah kesehatan tersebut
C. Persisten selama lebih dari 6 bulan

Spesifikasi jika:

 With predominant pain: jika gejala somatic didominasi oleh rasa nyeri
 Persistent: gejalanya parah, impairment yang ditimbulkan signifikan, dan
ruasinya panjang (lebih dari 6 bulan)

Spesifikasi sesuai tingkat keparahan:

 Mild: hanya 1 gejala yang ada di criterion B


 Moderate: ≥2 gejala yang ada di criterion B
 Severe: ≥2 gejala yang ada di criterion B, ditambah ada keluhan somatic yang
multiple atau satu gejala somatic yang sangat parah
Gejala Klinis

 Pasien percaya bahwa mereka memiliki penyakit serius yang belum terdeteksi
dan mereka tidak bisa dipersuasi/dibujuk sebaliknya (bahwa mereka tidak punya
penyakit itu)
 Kepercayaan tersebut, seiring dengan berjalannya waktu, dapat dialihkan ke
penyakit lainnya
 Kepercayaan mereka menetap sekalipun hasil lab menunjukkan hasil negative
 Kepercayaannya belum cukup bisa dikatakan sebagai delusi
 Sering disertai dengan gejala depresi dan ansietas, serta dapat berdampingan
dengan penyakit depresi dan ansietas
 Manifestasi secara sementara dapat terjadi setelah stres berat, misalnya setelah
kematian/penyakit serius yang dialami seseorang yang penting bagi pasien, atau
setelah penyakit serius/life-threatening yang telah membaik tapi pasien masih
terperangkap dalam kondisi tersebut

Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Hipochondriasis bersifat episodik dengan durasi bulanan hingga tahunan dan


disertai interval yang lama. Sepertiga hingga setengah dari pasien akan membaik secara
signifikan dengan sendirinya. Pada pasien anak-anak, hypochondriasis akan sembuh
dengan sendirinya di usia akhir remaja atau awal dewasa.

Prognosis yang baik dikaitkan dengan beberapa kondisi sebagai berikut:

 Status sosial ekonomi pasien baik.


 Sensitif terhadap terapi anxietas atau depresi.
 Onset yang tiba-tiba.
 Tidak adanya gangguan kepribadian.
 Tidak ditemukan adanya gangguan medis lain yang nonpsikiatrik.

Diagnosis Banding

 Gangguan Kondisi Medis Umum


Hypochondriasis harus didiagnosa banding dengan gangguan nonpsikiatrik lain,
terutama yang menunjukkan gejala yang sulit didiagnosa seperti AIDS,
Endokrinopaty, Myastenia Gravis, Multiple Sclerosis, Penyakit Degeneratif system
saraf, SLE, dan Neoplasia.
 Gangguan Kecemasan terhadap Penyakit (Illness Anxiety Disorder)
Pada pasien dengan Illness anxiety disorder lebih sering merasa takut memiliki
penyakit tertentu daripada fokus terhadap banyak gejala. Pasien dengan Illness
Anxiety Disorder memiliki gejala yang lebih sedikit dibanding pasien
hipokondriasis.
 Gangguan Psikosomatik Lain
Gangguan Konversi bersifat akut, umumnya sementara, dan hanya disertai gejala
yang ringan. Gangguan Nyeri, juga bersifat kronis tetapi keluhan hanya terbatas
pada rasa nyeri saja. Pada Gangguan Dysmorfik, pasien berharap dirinya normal,
namun pada hypochondriosis pasien justru mengungkapkan ketidaknormalannya
agar mendapatkan perhatian dari orang lain.
 Gangguan Mental Lainnya
Hipokondriasis dapat juga terjadi pada pasien dengan gangguan depresi atau
kecemasan. Pada Skizofrenia, waham hypochondrial bisa ditemukan dan disertai
oleh gejala psikotik lainnya.

Tata Laksana

Pasien umumnya menolak pengobatan psikiatri, kecuali difokuskan pada


pengurangan stres dan edukasi dalam menghadapi penyakit kronis. Psikoterapi yang
dilakukan seperti individual insight-oriented psychotherapy, terapi perilaku, terapi
kognitif, dan hipnotis umumnya cukup membantu. Sebaiknya terapi dilakukan terjadwal
dengan baik dan konsisten, agar pasien tidak merasa diacuhkan. Prosedur diagnostik
invasif dan prosedur terapeutik hanya dilakukan atas indikasi. Farmakoterapi dilakukan
jika ditemukan gangguan lain yang mendasari dan responsif terhadap obat (seperti
gangguan anxietas atau depresi).

ILLNESS ANXIETY DISORDER

Definisi

Illness anxiety disorder merupakan adanya rasa takut bahwa pasien memiliki
penyakit serius pada pasien yang memiliki penyakit secara medis maupun tidak, namun
kecemasannya melebihi proporsi dari diagnosis dan penderita mengasumsikan dirinya
mengalami kemungkinan outcome yang terburuk.

Epidemiologi

 Prevalensinya 4-15% pada populasi umum (berhubungan dengan hipokondriasis)


 Lebih banyak didiagnosis pada orang tua dibandingkan dengan orang yang lebih
muda

Etiologi

 Etiologi sebagian besar tidak diketahui


 Memiliki kesamaan etiologi secara model pembelajaran sosial (pura-pura sakit),
pemikiran psikodinamik (kemarahan yang diaplikasikan ke dalam keluhan fisik
atau ketakutan akan sakit fisik), pembelaan terhadap rasa bersalah, dan hukuman
atas dosa di masa lalu
 Hubungan pasien dengan seseorang yang berarti dalam masa lalunya juga dapat
berpengaruh terhadap timbulnya gangguan ini. Orangtua yang meninggal karena
suatu penyakit spesifik, dapat menjadi stimulus untuk rasa takut memiliki
penyakit yang sama. Jenis ketakutannya juga bisa bersifat simbolis terhadap
konflik asadar yang direfleksikan ke dalam jenis penyakit yang ditakuti oleh pasien
atau sistem organ tertentu (misalnya: jantung, ginjal).

Diagnosis

A. Adanya preokupasi bahwa pasien memiliki penyakit serius


B. Gejala somatic tidak ada, ataupun jika ada, intensitasnya ringan. Jika terdapat
kondisi medis atau pasien berisiko tinggi (misalnya ada riwayat keluarga),
preokupasinya berlebihan atau tidak proporsional
C. Kecemasan tingkat tinggi mengenai kesehatan, dan pasien mudah khawatir
dengan status kesehatannya
D. Pasien melakukan perilaku terkait kesehatan/health-related behavior (misalnya:
berkali-kali mengecek tanda-tanda sakit di tubuhnya) atau melakukan
penghindaran yang maladaptive (misal: menghindari pertemuan dengan dokter
atau ke rumah sakit)
E. Berlangsung selama minimal 6 bulan, namun penyakit spesifik yang dialami dapat
mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu
F. Gangguan ini tidak bisa dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan mental
lainnya, seperti somatic symptom disorder, panic disoeder, generalized disorder,
body dysmorphic disorder, obsessive-compulsive disorder atau delusional
disorder tipe somatic

Spesifikasi:

 Care-seeking type: berulang kali mengunjungi dokter atau melakukan


pemeriksaan/prosedur medis
 Care-avoidant type: jarang memanfaatkan perawatan medis

Gejala klinis

 Kepercayaan bahwa seseorang mengalami penyakit serius yang belum


terdiagnosis, dan tidak dapat dibujuk sebaliknya
 Kepercayaan tersebut, seiring dengan berjalannya waktu, dapat dialihkan ke
penyakit lainnya
 Kepercayaan mereka menetap sekalipun hasil lab menunjukkan hasil negative
 Preokupasi terhadap penyakit tersebut mengganggu interaksinya dengan
keluarga, teman, dan rekan kerja
 Seringkali kecanduan dengan pencarian internet terhadap penyakit yang mereka
takuti, membuat kesimpulan dari informasi terburuk yang mereka temukan di
internet (misinformasi)

Diagnosis Banding

 Somatic Symptom Disorder


Somatic symptom disorder didiagnosis bila terdapat gejala somatic,
sedangkan dalam illness anxiety disorder, terdapat sedikit atau tidak terdapat
gejala somatic dan orang tersebut terutama berkaitan dengan ide bahwa mereka
sakit. Somatic Symptom disorder sering terjadi sebelum usia 30 tahun, sedangkan
Illness Anxiety Disorder memiliki usia awitan yang tidak spesifik.
 Gangguan Konversi
Pada gangguan konversi, lebih sering bersifat akut, pada umumnya
sementara, dan lebih sering melibatkan gejala-gejala dibandingkan suatu
penyakit tertentu
 Gangguan Nyeri
Gangguan nyeri biasanya bersifat kronis seperti pada hipokondriasis,
namun gejalanya hanya terbatas pada nyeri
 Gangguan Mental lainnya
Ketakutan akan suatu penyakit biasanya terjadi pada pasien dengan
gengguan kecemasan dan depresi. Pasien dengan gangguan panic pada awalnya
dapat datang dengan keluhan utama bahwa mereka memiliki suatu penyakit,
namun dengan anamnesis yang lebih teliti maka dapat ditemukan gejala serangan
panic lainnya
Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Prognosis yang baik dikaitkan dengan beberapa kondisi sebagai berikut:

 Status sosial ekonomi pasien baik.


 Sensitif terhadap terapi anxietas atau depresi.
 Onset yang tiba-tiba.
 Tidak adanya gangguan kepribadian.
 Tidak ditemukan adanya gangguan medis lain yang nonpsikiatrik.

Penatalaksanaan

Pasien pada umumnya menolak pengobatan psikiatri, kecuali difokuskan pada


pengurangan stres dan edukasi dalam menghadapi penyakit kronis. Kelompok psikoterapi
dapat membantu, terutama jika kelompok tersebut berisi pasien yang memiliki gangguan
yang sama.

Psikoterapi yang dilakukan seperti individual insight-oriented psychotherapy,


terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnotis umumnya cukup membantu. Sebaiknya terapi
dilakukan terjadwal dengan baik dan konsisten, agar pasien tidak merasa diacuhkan.
Prosedur diagnostik invasif dan prosedur terapeutik hanya dilakukan atas indikasi.

Farmakoterapi dapat membantu menurunkan kecemasan yang muncul akibat


ketakutan pasien terhadap suatu penyakit, terutama jika suatu penyakit yang mengancam
jiwa, tetapi terapi farmakologi hanya bersifat memperbaiki dan tidak bertahan lama.

FUNCTIONAL NEUROLOGICAL SYMPTOM DISORDER (CONVERSION DISORDER)

Definisi

Suatu penyakit/gejala yang memengaruhi fungsi motorik sadar atau sensorik,


yang menandakan adanya kondisi medis lainnya, yang dianggap disebabkan oleh faktor
psikologis karena penyakit tersebut didahului oleh konflik/stressor lainnya. Gejala tidak
disebabkan secara sengaja, akibat penggunaan suatu substansi, dan tidak terbatas pada
rasa nyeri/geja;a seksual.

Epidemiologi

 Rasio wanita : laki-laki antara 2:1 hingga 10:1


 Pada anak-anak, prevalensi lebih tinggi pada perempuan
 Pada wanita, gejala paling sering terjadi di tubuh sebelah kiri
 Wanita dengan conversion symptoms lebih rentan mengalami penyakit
somatisasi
 Pada laki-laki, sering ditemukan pada kecelakaan kerja/militer
 Onset biasanya dari late childhood hingga early adulthood, jarang sebelum 10
tahun dan jarang setelah 35 tahun
 Paling sering terjadi pada populasi pedesaan, orang dengan pendidikan rendah,
IQ rendah, sosioekonomik rendah, serta anggota militer yang terpapar dengan
situasi perang
 Berhubungan dengan comorbid: major depressive disorder, anxiety, skizofren
 Frekuensinya meningkat pada pasien dengan riwayat keluarga conversion
disorder

Etiologi

 Faktor psikoanalitik
Conversion disorder disebabkan oleh pengekangan dari konflik intrafisik asadar
dan konversi kecemasan menjadi gejala fisik. Konflik tersebut berupa impuls
yang bersifat insting (agresi, seksualitas) dan pelarangan terhadap
pengekspresian impuls tersebut. Gejala tersebut menyebabkan pengekspresian
‘keinginan terlarang’ tersebut secara parsial, namun secara tersamar, sehingga
pasien bisa menghindari konfrontasi dari impuls-impuls ‘terlarang’ tersebut.
Contohnya, vaginismus (kekejangan abnormal pada otot vagina ketika penetrasi
seksual) melindungi pasien dari mengekspresikan keinginan seksual yang tidak
dapat diterima. Conversion disorder juga dapat menjadi sarana komunikasi
bahwa pasien membutuhkan perhatian dan perawatan khusus yang nantinya bisa
mengendalikan dan memanipulasi orang lain.
 Teori pembelajaran
Conversion disorder dapat dianggap sebagai coping mechanism terhadap situasi
yang mustahil.
 Faktor biologis
Gejala dapat disebabkan cortical arousal yang berlebihan sehingga memberikan
negative feedback antara cortex cerebri dengan brainstem reticular formation.
Output yang berlebihan akan menghambat kesadaran pasien terhadap sensasi
yang dirasakan tubuh, sehingga terjadi deficit sensori pada beberapa pasien.

Diagnosis

Diagnosis terbatas pada gejala neurologis yang tidak dapat dijelaskan secara
neurologis. Pada diagnosis, harus ada asosiasi yang kuat antara penyebab dari gejala
neurologis dan faktor psikologis. Diagnosis harus menyingkirkan gejala nyeri dan difungsi
seksual.

Gejala Klinis

 Sensorik
Biasanya terjadi anesthesia dan paresthesia pada ekstremitas. Selain itu, dapat
juga mengenai panca indera, sehingga menyebabkan ketulian, kebutaan, dan
tunnel vision.
 Motorik
Gejala motoric berupa gerakan abnormal, gangguan cara berjalan, kelemahan
otot, dan paralisis. Gerakan biasanya menjadi lebih parah ketika pasien sedang
diperhatikan.
 Kejang
Pseudoseizure merupakan gejala lain dari conversion disorder yang dapat disertai
gejala menggigit lidah, inkontinensi urinaria, dan cedera setelah terjatuh.

Gambaran lain yang berhubungan

Beberapa gejala psikologikal lain juga berhubungan dengan gangguan konversi

 Primary Gain : Pasien mendapat gangguan konversi utamanya dari konflik


internal diluar alam sadar mereka. Gejala biasanya memiliki nilai simbolik, yang
mewakili konflik psikologikal bawah sadar.
 Secondary Gain : Pasien mendapat keuntungan tambahan yang nyata dan
manfaat sebagai akibat dari sakit; misalnya, dimaklumi dari kewajiban dan situasi
kehidupan yang sulit, menerima dukungan dan bantuan, dan mengendalikan
perilaku orang lain.
 La Belle Indiference : La belle indifference adalah sikap pengabaian pasien yang
tidak tepat terhadap gejala yang serius; yaitu, pasien tidak peduli terhadap hal
yang tampaknya menjadi gangguan besar. La belle indifference sering terlihat
pada beberapa pasien sakit berat yang mengembangkan sikap tabah
 Identification : Pasien dengan gangguan konversi dapat secara tidak sadar
mencontoh gejala mereka dari seseorang yang mereka anggap penting.

Diagnosis Banding

 Gangguan Kondisi Medis Umum


Gangguan kondisi medis umum yang didiagnosis banding, terutama
merupakan gangguan neurologis. Seperti gejala kelemahan otot ditemukan pula
pada Myastenia Gravis, Poliomyositis, Multiple Sclerosis, dan Myopati. Lalu gejala
kebutaan terjadi pula pada Neuritis Opticus. Gejala paralysis didiagnosis banding
dengan pada penyakit sindroma Guillain Baree, penyakit Creutzfeldt-Jakob dan
AIDS.
Apabila gejala-gejala tersebut dapat diatasi dengan sugesti, hipnotis,
serta obat-obatan seperti Amobarbital (Amytal) dan Lorazepam (Ativan)
kemungkinan penyakit tersebut adalah gangguan Konversi.

 Gangguan Mental
Gejala gangguan Konversi dapat timbul pada Skizofrenia, Depresi dan Anxietas.
Namun gangguan-gangguan mental ini memiliki gejala tersendiri yang khas.
 Gangguan Somatoform Lain
Gejala berupa gangguan sensori-motoris juga ditemukan pada Gangguan
somatisasi. Namun gangguan Somatisasi lebih bersifat kronis, terjadi di usia yang
lebih muda, dan adanya gejala yang bersifat multiple organ. Hypochondriosis
memiliki karakteristik pasien yang tidak mengalami gangguan atau kehilangan
fungsi. Ditemukan gangguan somatis yang bersifat kronis. Gangguan tidak
terbatas pada gejala-gejala neurologis dan adanya kekhasan perilaku serta
kepercayaan hypochondrial. Gangguan Nyeri didiagnosa jika hanya terbatas pada
timbulnya gejala nyeri. Pasien yang hanya mengeluhkan gangguan fungsi seksual
sebaiknya diklasifikasikan sebagai gangguan disfungsi seksual, daripada sebagai
gangguan Konversi.

Perjalanan Penyakit dan Prognosis

 Prognosis baik jika onsetnya akut, stressor dapat diidentifikasi secara jelas, jarak
antara onset dan pengobatan pendek, dan tingkat intelegensia pasien di atas rata-
rata
 Jika gejala muncul dengen durasi yang singkat, 95% dapat membaik dengan
spontan
 Jika gejala muncul selama 6 bulan atau lebih, kemungkinan resolusi gejala kurang
dari 50% dan berkurang dalam durasi yang lebih lama

Tata laksana

 Gangguan Konversi biasanya hilang secara spontan, terutama jika didukung oleh
insight-oriented supportive yang baik dan terapi perilaku. Yang paling penting
adalah caring dan hubungan yang baik pasien dengan dokter dan terapis lainnya.
 Psikodinamik approach dilakukan untuk menganalisa dan menggali konflik psikis
serta simbolisasi dari gejala gangguan konversinya. Psikoterapi yang dianjurkan
adalah terapi yang bersifat singkat dan dilakukan dalam jangka yang pendek.
Proses psikoterapi difokuskan untuk mengurangi faktor stres. Yakinkan pasien
bahwa gejala-gejala yang timbul akan semakin memperberat penyakitnya.
 Terapi Hipnotis, obat-obatan anxiolytic, serta pelatihan relaksasi tingkah laku
cukup efektif. Obat-obatan parenteral seperti Amobarbital atau Lorazepam juga
efektif terutama jika pasien memilik kejadian yang membuat trauma.
PSYCHOLOGICAL FACTORS AFFECTING OTHER MEDICAL CONDITIONS

Penyakit fisik dapat disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor emosional


dan psikologis.

Klasifikasi

Kriteria diagnostik untuk faktor psikologis yang mempengaruhi masalah medis,


harus menyingkirkan:

1. Gangguan mental yang memiliki gejala fisik sebagai bagian dari gangguan
tersebut (misalnya pada conversion disorder, dimana gejala fisik dihasilkan oleh
konflik psikologis)
2. Gangguan somatisasi, dimana gejala fisik bukan disebabkan oleh patologis
organik
3. Hipokondriasis, dimana pasien memiliki perhatian berlebihan terhadap
kesehatannya
4. Keluhan fisik yang berhubungan dengan gangguan mental (dysthymic disorder
yang memiliki gejala somatik seperti lemah otot, lemah, rasa lelah, asthenia)
5. Keluhan fisik yang berhubungan dengan substance-related disorder (misalnya
batuk yang berhubungan dengan ketergantungan nikotin)

Stress Theory

Stres merupakan semua keadaan yang mengganggu fungsi fisiologis maupun


psikologis normal seseorang. Walter Cannon (1875-1945) memperkenalkan studi
sistematis mengenai hubungan antara stres dengan suatu penyakit. Stres yang
menstimulasi sistem saraf otonomik, terutama saraf simpatis, menimbulkan reaksi fight
or flight. Ketika tubuh tidak dapat memilih di antara keduanya, terjadilah gangguan
psikosomatik.

Harold Wolf (1898-1962) menjelaskan hubungan antara kondisi emosi spesifik


dengan fisiologi pada saluran gastrointestinal. Hostilitas berhubungan dengan
hiperfungsi, sedangkan kesedihan berkaitan dengan hipofungsi.
Hans Seyle (1907-1982) mengembangkan model stres yang disebut sebagai
general adaptation syndrome yang terdiri dari 3 fase, yaitu fase reaksi alarm, fase
pertahanan (proses adaptasi), dan fase kelelahan. Stres yang dimaksud dapat berupa
kondisi yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Diperlukan proses adaptasi
untuk dapat menerima kedua tipe stres tersebut.

George Engel menyatakan bahwa dalam keadaan stres, seluruh mekanisme


neuroregulasi mengalami perubahan fungsi yang menekan mekanisme homeostatik
tubuh sehingga tubuh menjadi rentan terhadap infeksi dan penyakit lain. Jalur
neurofisiologi yang dianggap memediasi reaksi stres meliputi korteks serebral, sistem
limbik, hipotalamus, medula adrenal, dan saraf simpatis serta parasimpatis.
Neuromessenger yang berperan adalah hormon kortisol dan tiroksin.

Respons fungsional terhadap stres meliputi sistem neurotransmiter, sistem


endokrin, dan sistem imun.

Etiologi

Stress berat dan kronis mempunyai peran dalam menimbulkan penyakit-penyakit


psikosomatik. Stress yang paling sering terlibat adalah:

1. Kematian pasangan hidup 11. Perubahan besar pada kesehatan


2. Perceraian atau perilaku anggota keluarga
3. Pemisahan selama pernikahan 12. Kehamilan
4. Penahanan di penjara 13. Kesulitan seksual
5. Kematian anggota keluarga yang 14. Hadirnya anggota keluarga baru
dekat (kelahiran, adopsi, serumah dengan
6. Luka atau penyakit berat orang tua, dll)
7. Pernikahan 15. Keadaan bisnis
8. Dipecat dari pekerjaan
9. Rujuk selama pernikahan
10. Pensiun dari pekerjaan
Diagnosis

Kriteria diagnosis DSM-V untuk faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis adalah:

A. Didapatkan adanya kondisi medis umum


B. Faktor psikologis mempengaruhi kondisi medis dengan salah satu cara:
(1) Faktor psikologis mempengaruhi perjalanan penyakit, ditunjukkan dengan adanya
hubungan sementara antara faktor psikologis dan munculnya penyakit, eksaserbasi
penyakit, atau penyembuhan yang lambat dari suatu penyakit.
(2) Faktor psikologis mempengaruhi pengobatan suatu penyakit.
(3) Faktor psikologis menimbulkan tambahan risiko terjadinya suatu penyakit pada
suatu individu.
(4) Respons fisiologis akibat stress mencetuskan atau mengeksaserbasi gejala suatu
penyakit.

C. Faktor psikologis dan perilaku pada kriteria B tidak dapat dijelaskan secara lebih baik dengan
gangguan mental lain (contoh : gangguan panik, gangguan depresi mayor, gangguan stress
pasca trauma)
Gangguan Spesifik

Gangguan spesifik yang dapat terjadi pada gangguan psikosomatik sangat bervariasi, di antaranya
adalah:

Penyakit Keterangan
Gangguan Kardiovaskular
Hipertensi Stres akut menyebabkan pelepasan katekolamin yang meningkatkan tekanan sistolik.
Stres kronik berhubungan dengan hipertensi esensial. Perubahan pola hidup
diperlukan.
Angina, aritmia, Kepribadian tipe A (agresif, iritabel, mudah frustrasi) rentan terhadap PJK. Aritmia
penyakit jantung sering terjadi pada gangguan cemas. Perubahan pola hidup diperlukan untuk
koroner menurunkan risiko. Propranolol dapat diberikan pada pasien fobia sosial yang
mengalami takikardia untuk menurunkan risiko penyakit jantung.
Gangguan Pernafasan
Asma Serangan dicetuskan oleh stress, ISPA, dan alergi. Pemeriksaan dinamika keluarga
diperlukan, terutama ketika pasien masih anak-anak. Mungkin didapatkan orangtua
yang overprotektif. Propranolol dan β-bloker dikontraindikasikan pada pasien asma
dengan gangguan cemas. Mengi pada asma merupakan jeritan tersembunyi pasien
untuk mendapatkan kasih sayang dan perlindungan.
Sindrom Menyertai gangguan panik, gangguan cemas menyeluruh. Pasien berespons terhadap
hiperventilasi MAO, antidepresan trisiklik, atau agen serotonergik.
Gangguan Muskuloskeletal
SLE dan RA Penyakit dapat dicetuskan oleh stres kehidupan mayor, terutama kematian orang yang
dicintai. Penyakit memburuk dengan stres kronik, kemarahan, atau depresi. Penting
untuk meminta pasien terus aktif untuk mengurangi deformitas sendi. Obati depresi
dengan antidepresan atau psikostimulan, dan obati spasme otot dengan
benzodiazepin.
Osteoartritis Perubahan pola hidup meliputi penurunan berat badan, olahraga isometrik untuk
menguatkan sendi, aktivitas fisik, dan kontrol nyeri.
Gangguan Gastrointestinal
IBD: penyakit Crohn, Berkaitan dengan depresi. Stres mencetuskan gejala. Teori psikologis: kepribadian
IBS, kolitis ulserativa pasif, intimidasi masa kanak-kanak, obsesif, ketakutan akan hukuman, hostilitas
yang tertutup.
Ulkus peptikum Peningkatan asam lambung terjadi karena rasa cemas, stres, kopi, alkohol. Teori
psikologis: ketergantungan yang besar pada orang lain, tidak dapat mengeluarkan
kemarahan.
Gangguan Kulit
Neurodermatitis Terjadi karena stresor psikososial: kematian orang yang dicintai, konflik seksual,
kemarahan yang terpendam. Sebagian berespons terhadap hipnosis dalam
mengatasi gejala.
Lain-lain
Nyeri kepala Tension-type headache (TTH) terjadi akibat kontraksi otot-otot di leher yang
menyebabkan konstriksi aliran darah. TTH berhubungan dengan cemas dan stres
situasional. Terapi relaksasi dan anti-cemas dapat berguna.
Nyeri kepala migrain dapat dicetuskan oleh stres, olahraga, dan makanan tinggi
tiramin. Penatalaksanaan adalah dengan pemberian ergotamin. Profilaksis dengan
propranolol dapat menyebabkan depresi. Sumatriptan dapat digunakan pada
serangan migrain nonhemiplegik dan nonbasilar.
Obesitas Hiperfagia mengurangi rasa cemas. Behavioral therapy, grup support, konseling
nutrisi, dan psikoterapi suportif dapat membantu.

Penatalaksanaan

1. Pendekatan kolaboratif.
Kolaborasi dengan ilmu penyakit dalam dan ilmu bedah diperlukan untuk mengatasi gangguan fisik
pasien. Pada saat yang bersamaan, psikiater mengatasi aspek psikiatrik.
2. Psikoterapi
a. Psikoterapi suportif.
b. Dynamic insight-oriented psychotherapy. Eksplorasi konflik di bawah alam sadar mengenai
seks dan agresi. Kecemasan yang disebabkan stresor kehidupan diatasi dengan
mematangkan defense mechanism.
c. Terapi grup. Terapi grup dapat digunakan bila terdapat beberapa pasien yang memiliki
kondisi fisik yang sama. Pasien dapat saling berbagi pengalaman dan belajar dari satu sama
lain.
d. Terapi keluarga. Eksplorasi hubungan keluarga dengan menekankan bagaimana penyakit
pasien dapat mempengaruhi anggota keluarga lain.
e. Cognitive-behavioral therapy.
i. Cognitive. Pasien belajar bagaimana stres dan konflik dapat menyebabkan penyakit
somatik. Pikiran negatif mengenai penyakit diatasi dan diubah.
ii. Behavioral. Relaksasi dan teknik biofeedback mempengaruhi sistem saraf otonom
secara positif. Teknik ini dapat digunakan pada pasien asma, alergi, hipertensi, dan
nyeri kepala.
f. Hipnosis. Hipnosis berguna untuk menghentikan kebiasaan rokok dan mengubah kebiasaan
makan (diet).
g. Biofeedback. Melatih untuk mengontrol sistem saraf otonom. Digunakan untuk nyeri kepala
tension, migrain, dan hipertensi.
h. Akupresur dan akupuntur. Terapi alternatif memiliki hasil yang bervariasi pada seluruh
gangguan psikosomatik.
3. Farmakoterapi
a. Anggap serius gejala nonpsikiatrik dan berikan pengobatan yang tepat (misal: laksatif untuk
konstipasi). Konsultasikan dengan dokter yang merujuk ke bagian kedokteran jiwa.
b. Gunakan obat antipsikotik bila terdapat gejala psikosis. Perhatikan efek samping dan
imbasnya pada gangguan psikosomatik.
c. Obat anti-cemas dapat mengurangi rasa cemas pada periode stres akut, namun batasi
penggunaan untuk mencegah terjadinya ketergantungan.
d. Antidepresan dapat diberikan bila terdapat depresi akibat kondisi medis. Selective serotonin
reuptake inhibitor (SSRI) dapat membantu bila pasien mengalami obsesi terhadap
penyakitnya.

FACTITIOUS DISORDER

Definisi
Pasien dengan factitious disorder akan menstimulasi, menginduksi, atau memperberat penyakitnya
untuk mendapatkan perhatian medis, dalam keadaan benar-benar sakit atau tidak. Motivasi utamanya
adalah untuk menghindari tugas, mendapatkan keuntungan finansial, atau alasan lain yang nyata.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan perawatan medis dan mengambil bagian dari sistem medis.

Epidemiologi

 Sekitar 0.8-10% pasien dengan gangguan ini merupakan pasien yang biasa konsultasi ke psikiater
 Sekitar 2/3 pasien Munchausen syndrome (orang yang secara berulang mengesankan kalau ia
sakit, padahal nyatanya, gejalanya dibuat olehnya sendiri) adalah laki-laki. Mereka cenderung
berkulit putih, usia pertengahan, tidak bekerja, tidak menikah, dan tidak memiliki attachment
sosial atau keluarga
 Pasien yang didiagnosis factitious disorder yang terbukti memiliki tanda dan gejala fisik biasanya
wanita, dengan perbandingan 3:1, berusia 20-40 tahun, memiliki riwayar bekerja/belajar di suatu
institusi kesehatan

Komorbid

Kebanyakan pasien yang didiagnosis factitious disorder memiliki komorbid penyakit psikiatri, seperti
mood disorder, personality disorder, substance-related disorder

Etiologi

 Faktor psikososial
 Pasien dengan riwayat child abuse yang menyebabkannya harus sering dirawat di rumah
sakit, membuat perawatan RS dianggap sebagai pelarian dari situasi rumah yang traumatik.
Di sana, pasien juga menemukan orang-orang yang mengurusinya dengan penuh kasih saying
(dokter, perawat, pekerja RS). Sedangkan, orangtuanya bersifat ‘rejecting’ sehingga sulit
untuk membentuk kedekatan dengan orangtuanya. Maka, si anak akan membuat ikatan
orangtua-anak yang baru dengan orang-orang yang mengurusinya di RS.
 Pasien yang menginginkan prosedur yang menyakitkan (misalnya operasi, tes diagnostic yang
invasif) dapat memiliki kepribadian masokistik dan menganggap rasa sakit sebagai hukuman
bagi dosa di masa lalu.
 Banyak pasien yang memiliki pembentukan identitas yang lemah atau self-image yang
terganggu (pada borderline personality disorder). Pada pasien yang merupakan pekerja
medis, akan kesulitan membedakan dirinya dan pasien yang sering kontak dengannya.
 Faktor biologis
Disfungsi otak dapat menjadi faktor risiko dalam factitious disorder, yaitu hipotesis bahwa
pemrosesan informasi yang terganggu dapat mendukung pseudoalgia fantastica dan perilaku
menyimpang.

Diagnosis dan Manifestasi Klinis

Terdapat petunjuk yang menimbulkan kecurigaan adanya factitious disorder:

 Gejala yang tidak biasa, dramatis


 Gejala tidak respon terhadap pengobatan yang biasa
 Ketika gejala lain berkurang, muncul gejala baru yang tidak biasa
 Keinginan kuat untuk mendapatkan prosedur medis untuk menunjukkan gejalanya
 Menolak memberikan akses terhadap sumber informasi lainnya (misalnya ke keluarga atau
teman)
 Memiliki riwayat medis yang banyak atau adanya bukti operasi yang banyak
 Multialergi obat
 Tenaga medis
 Kemampuan memprediksi progresi gejala atau respon terhadap pengobatan yang tidak biasa

Berdasarkan jenis gejalanya, factitious disorder dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tanda & gejala
psikologis serta tanda & gejala fisik.

 Factitious disorder dengan tanda dan gejala psikologis


Pasien dengan gejala psikiatri seperti depresi, halusinasi, gangguan disosiasi dan konversi, dan
kebiasaan aneh yang tidak ada perbaikan setelah pemberian terapi rutin. Hal ini dapat
menyebabkan pasien menerima dosis psikotik yang tinggi. Gejala psikologis factitious ini
menyerupai fenomena pseudomalingering.

Adanya gejala psikosis sebagai salah satu gangguan, dapat mengindikasikan prognosis yang buruk
pada factitious disorder. Pasien dengan psikotik dan diketahui memiliki gejala factitious disorder
dengan tanda & gejala psikologis, memiliki prognosis yang buruk dibandingkan dengan gangguan
bipolar atau skizoafektif. Beberapa pasien secara sengaja mengkonsumsi zat psikoaktif agar gejala
seperti insomnia, susah tidur, halusinasi dapat muncul. Kombinasi penggunaan zat psikoaktif
dapat memberikan gambaran klinis yang tidak khas.

 Factitious disorder dengan tanda dan gejala fisik


Factitious disorder dengan tanda dan gejala fisik dikenal juga dengan Munchausen syndrome atau
addiksi terhadap rumah sakit, atau addiksi terhadap multioperasi. Gambaran penting yang
muncul pada pasien ini adalah adanya keluhan fisik yang cukup berat, yang membutuhkan
perawatan dan pengobatan di rumah sakit, gejalanya dapat melibatkan beberapa organ.
Manifestasi klinisnya dapat berupa hematoma, hemoptysis, nyeri perut, demam, hipoglikemi,
gejala seperti lupus, mual, muntah, kejang.

Diagnosis Banding

Gangguan dengan tanda dan gejala fisik yang menonjol perlu mempertimbangkan kemungkinan
penyakit lain yang dapat mempengaruhi fisik. Riwayat banyaknya operasi pada pasien gangguan buatan
dapat menjadi predisposisi adanya komplikasi atau penyakit yang mengharuskan operasi lanjutan.
Factitious disorder merupakan rangkaian kesatuan antara somatoform disorder dan malingering,
tujuannya untuk menganggap dirinya sakit.

a. Conversion Disorders
Pada factitious disorder gejala muncul dengan disengaja, rela melakukan prosedur-prosedur yang
membahayakan tubuhnya sendiri, berulangkali dirawat di rumah sakit. Pasien dengan conversion disorder
biasanya tidak berulangkali dirawat di rumah sakit, dan gejalanya memiliki hubungan langsung dengan
temporal atau symbolic reference to specific emotional conflicts.

Hypochondriasis atau illness anxiety disorder berbeda dengan factitious disorder. Pada pasien
hipokondriasis gejala muncul tidak disengaja, dan khas pada usia lanjut.
b. Personality Disorders
Karena kurangnya hubungan dekat dengan orang lain, bermusuhan, dan riwayat penggunaan zat
& riwayat kriminal, pasien dengan factitious disorder sering diklasifikasikan sebagai gangguan
kepribadian antisosial. Orang yang antisosial, biasanya tidak secara sengaja melakukan prosedur invasif
supaya mendapat perawatan di rumah sakit.

c. Skizofren
Diagnosis skizofren seringkali ditegakkan berdasarkan gaya hidup yang aneh, tapi pasien factitious
disorder biasanya tidak memenuhi kriteria diagnosis skizofren, kecuali jika terdapat delusi yang
membuatnya benar-benar sakit dan karena itu dia mengunjungi rumah sakit. Beberapa pasien factitious
disorder menunjukkan adanya gangguan pikiran yang parah atau delusi aneh.

d. Malingering
Factitious disorders harus dibedakan dengan malingering. Malingerers have an obvious,
recognizable environmental goal in producing signs and symptoms. Pasien malingering mencari
perawatan rumah sakit untuk mendapatkan kompensasi finasial, menghindari pekerjaan, atau hanya ingin
mendapat makan dan tidur gratis. Pasien malingering biasanya berhenti mengeluhkan gejalanya ketika
dianggap sudah tidak menguntungkan lagi, atau ketika resikonya menjadi tinggi.

e. Substance Abuse
Meskipun pasien factitious disorders memiliki riwayat komplikasi dengan penggunaan zat, mereka
tidak dianggap sebagai pengguna, melainkan memiliki 2 diagnosis bersamaan.

Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Factitious disorders biasanya muncul pada dewasa muda, meskipun bisa muncul pada anak atau
remaja. Pada awalnya, pasien dirawat di rumah sakit karena sakit dengan gejala yang jelas pada saat kecil
atau remaja. Setelah itu, pasien menjadi lebih tau tentang pengobatan dan rumah sakit, dan akhirnya
muncul perlahan keinginan untuk dirawat di rumah sakit. Prognosis pada kebanyakan kasus factititious
disorder adalah buruk, beberapa pasien berakhir di penjara. Beberapa kemungkinan yang mempengaruhi
prognosis pada kasus ini seperti:

 Kepribadian masokis,
 Tidak sepenuhnya psikotik, ada saat-saat dia berfungsi dengan baik
 Gangguan kepribadian antisosial dengan gejala minimal

Pengobatan

Tidak ada pengobatan psikiatri yang spesifik pada pasien factitious disorder. Pengobatan yang
paling baik berfokus pada manajemen non-farmakologi, bukan farmakologi. 3 tujuan utama dalam
pengobatan gangguan ini adalah:

 Mengurangi resiko morbiditas dan mortalitas


 Mengatasi kebutuhan emosionalnya, atau penyebab perilaku factitious disorder
 Berhati-hati dengan persoalan hukum dan etik
Hubungan yang baik antara pasien dengan dokter atau petugas kesehatan lain dengan pasien
akan sangat membantu, untuk menghindari timbulnya perasaan pengkhianatan, permusuhan,
kebingungan, sia-sia, bahkan penghinaan. Dokter dan petugas kesehatan harus menahan rasa benci ketika
pasien menghina pelayanannya.

PAIN DISORDER

Pain disorder ditandai dengan ada dan berfokus pada nyeri, baik pada satu atau lebih bagian tubuh
dan cukup berat untuk menjadi perhatian klinis. Faktor psikologis berpengaruh pada perjalanan penyakit,
tingkat keparahan, atau perawatan nyeri.

Epidemiologi

 Prevalensi nyeri sampai saat ini sekitar 12%. 10-15% orang dewasa di Amerika disabilitas karena nyeri
pada bagian belakang.
 Pain disorder dapat muncul pada usia berapapun, berhubungan dengan gangguan psikiatri terutama
gangguan afek dan cemas.
 Pasien dengan depresi berat atau penyakit yang mematikan meingkatkan resiko bunuh diri.

Etiologi
Faktor psikodinamika, nyeri timbul sebagai dampak adanya konflik dalam pikirannya, yang
dimanifestasikan lewat adanya nyeri fisik. Nyeri ini dapat berfungsi juga sebagai cara untuk mendapat
kasih sayang, hukuman akibat perbuatan yang salah, cara untuk menebus perilaku buruknya.

Faktor perilaku, nyeri akan semakin kuat ketika dihargai dan akan dihambat ketika diabaikan.

Faktor interpersonal, nyeri dapat timbul untuk mendapatkan keuntungan dalam hubungan interpersonal.

Faktor biologis, adanya kekurangan endorfin dapat berhubungan dengan stimulus sensori yang berlebih.
Beberapa pasien dapat mengalami gangguan nyeri daripada gangguan mental lainnya, hal ini diakibatkan
karena adanya keadaan kelainan pada sensori, struktur limbik, dan gangguan kimiawi.

Diagnosis dan Manifestasi Klinis

Pasien dapat mengalami nyeri di beberapa bagian tubuh, seperti nyeri pinggang, nyeri kepala,
nyeri pada wajah, nyeri pelvis kronis, dan nyeri lainnya. Nyeri dapat berupa posttraumatic, neurophatic,
neurological, iatrogenic, atau musculoskeletal. Untuk mendiagnosis pain disorder, harus ditemukan
adanya faktor psikologis yang berpengaruh pada munculnya gejala nyeri.

Pasien seringkali memiliki riwayat pengobatan yang lama dan operasi, banyak mengunjungi
dokter untuk meminta berbagai pengobatan, dan bisa bersikeras menginginkan operasi. Terdapat
preokupasi terhadap nyeri dan menganggap nyeri adalah sumber penderitaannya. Manifestasi klinisnya
dapat diperparah akibat penggunaan zat.

Suatu penelitian menunjukkan adanya hubungan antara gejala nyeri dengan tingkat keparahan
dari gangguan gejala somatik, gangguan depresi, dan gangguan cemas. Sekitar 25-50% pasien dengan
gangguan nyeri, memiliki major depressive disorder. Pada dysthymic disorder or depressive disorder
symptoms terdapat pada 60-100% pasien dengan gangguan nyeri.

Diagnosis Banding

 Physical pain: intensitasnya fluktuatif, sangat sensitif terhadap pengaruh emosi, kognitif, atensi, dan
situasi. Nyeri pada psikogenik tidak menghilang oleh distraksi atau analgesik.
 Hipokondriasis: adanya preokupasi terhadap nyeri, tubuh, dan keyakinan akan penyakit. Lebih
memiliki banyak gejala, dan fluktuasinya lebih daripada gangguan nyeri.
 Conversion disorder: gejalanya hanya sebentar, berbeda dengan gangguan nyeri yang seringkali
kronik.

Perjalananan Penyakit dan Prognosis

Nyeri dapat muncul tiba-tiba dan semakin parah dalam beberapa minggu atau bulan. Prognosis
pada kasus ini bervariasi, meskipun gangguan nyeri seringkali kronis, menyebabkan stress, dan disabilitas.
Prognosis pada gangguan nyeri akut lebih baik dibandingkan dengan gangguan nyeri kronis.

Pengobatan

Karena akan sangat susah untuk mengurangi nyerinya, pendekatan terapi lebih diarahkan ke
rehabilitasi. Dokter harus mempertimbangkan faktor psikologis dan harus menjelaskan sejujurnya kepada
pasien bahwa hal tersebut merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam menyebabkan nyeri.
Bagaimanapun juga, dokter harus mengetahui bahwa nyeri pada pasiennya memang nyata.

 Terapi Farmakologi
Analgesic tidak terlalu bermanfaat bagi pasien, hal ini mengakibatkan penyalah gunaan zat dan
ketergantungan menjadi masalah utama pada pasien yang menggunanakan analgesik dalam jangka
waktu yang lama. Begitupun dengan obat sedatif dan antiansietas.

Antidepresan, seperti tryciclics dan SSRI merupakan obat yang paling efektif untuk pasien dengan
gangguan nyeri.

 Psikoterapi
Psikoterapi menunjukkan adanya manfaat pada pasien dengan gangguan nyeri. Dalam
psikoterapi, hal pertama yang dilakukan adalah membentuk hubungan yang baik antara pasien-
dokter.

 Terapi lain
Biofeedback dapat membantu dalam pengobatan pada pasien dengan gangguan nyeri, seperti
nyeri kepala sebelah, nyeri pada wajah, muscle tension state, dan tension headaches. Hipnosis,
transcutaneous nerve stimulation, dan dorsal column stimulation juga dapat dilakukan.
 Pain Control Programs

Anda mungkin juga menyukai