Psikosomatik berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata, yaitu psyche yang
artinya psikis dan soma yang artinya tubuh. Ilmu ini menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara faktor psikologi dengan fenomena fisiologi secara umum dan
patogenesis penyakit secara khusus. Oleh karena itu, faktor psikologis harus
dipertimbangkan dalam setiap penyakit.
Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala fisik,
dimana tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Untuk hal tersebut terdapat
bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait dengan adanya faktor
psikologis atau konflik.
Menurut DSM V, gangguan psikosomatik terdiri dari, (1) gangguan gejala somatic
(Somatic Symptom Disorder), (2) gangguan kecemasan terhadap penyakit (Illness Anxiety
Disorder), (3) gangguan konversi (Conversion Disorder), (4) faktor psikologis yang
mempengaruhi kondisi medis lain (Psychological Factors Affecting Other Medical
Conditions), (5) gangguan buatan (Factitious Disorder) (6) gangguan nyeri (Pain Disorder).
Definisi
Somatic symptom disorder/hypochondriasis ditandai dengan adanya ketakutan
atau gagasan tentang adanya suatu penyakit serius berdasarkan misiterpretasi dari gejala
tubuh selama lebih/sama dengan 6 bulan. Seseorang dengan gangguan ini akan
menambah dan memperkuat sensasi somatic yang mereka miliki. Gangguan ini akan
menyebabkan distress dan impairment terhadap hidup seseorang, tidak diperhitungkan
sebagai gangguan mental lain, dan individu yang mengalaminya akan memiliki
pengetahuan yang rendah terhadap keberadaan penyakit ini.
Epidemiologi
Dalam populasi umum, dilaporkan prevalensi dalam 6 bulan untuk gangguan ini
mencapai 4-15%
Prevalensi pada laki-laki dan perempuan sama
Dapat terjadi di berbagai usia, namun paling sering muncul pada usia 20-30 tahun
Gangguan ini terjadi pada 3% mahasiswa kedokteran, biasanya pada 2 tahun
pertama, tapi biasanya bersifat sementara
Etiologi
Diagnosis
Diagnosis dari SSD yaitu adanya kepercayaan yang salah bahwa seseorang
memiliki penyakit serius, berdasarkan dari misinterpretasi gejala/sensasi fisik.
Kepercayaan ini harus berlangsung selama minimal 6 bulan, meskipun tidak ditemukan
temuan patologis pada pemeriksaan medis dan neurologis. Kepercayaan ini juga tidak
termasuk delusi, dan tidak bisa dibatasi dengan distress/gangguan mengenai penampilan
(seperti pada body dysmorphic disorder). Gejala-gejala somatic yang dirasakan haruslah
cukup intens sehingga menyebabkan distress/impairment terhadap kemampuan pasien
dalam melakukan fungsinya dalam bidang-bidang yang penting dalam hidupnya. Pasien
juga tidak menyadari bahwa perhatiannya terhadap penyakitnya terlalu berlebihan (poor
insight).
Spesifikasi jika:
With predominant pain: jika gejala somatic didominasi oleh rasa nyeri
Persistent: gejalanya parah, impairment yang ditimbulkan signifikan, dan
ruasinya panjang (lebih dari 6 bulan)
Pasien percaya bahwa mereka memiliki penyakit serius yang belum terdeteksi
dan mereka tidak bisa dipersuasi/dibujuk sebaliknya (bahwa mereka tidak punya
penyakit itu)
Kepercayaan tersebut, seiring dengan berjalannya waktu, dapat dialihkan ke
penyakit lainnya
Kepercayaan mereka menetap sekalipun hasil lab menunjukkan hasil negative
Kepercayaannya belum cukup bisa dikatakan sebagai delusi
Sering disertai dengan gejala depresi dan ansietas, serta dapat berdampingan
dengan penyakit depresi dan ansietas
Manifestasi secara sementara dapat terjadi setelah stres berat, misalnya setelah
kematian/penyakit serius yang dialami seseorang yang penting bagi pasien, atau
setelah penyakit serius/life-threatening yang telah membaik tapi pasien masih
terperangkap dalam kondisi tersebut
Diagnosis Banding
Tata Laksana
Definisi
Illness anxiety disorder merupakan adanya rasa takut bahwa pasien memiliki
penyakit serius pada pasien yang memiliki penyakit secara medis maupun tidak, namun
kecemasannya melebihi proporsi dari diagnosis dan penderita mengasumsikan dirinya
mengalami kemungkinan outcome yang terburuk.
Epidemiologi
Etiologi
Diagnosis
Spesifikasi:
Gejala klinis
Diagnosis Banding
Penatalaksanaan
Definisi
Epidemiologi
Etiologi
Faktor psikoanalitik
Conversion disorder disebabkan oleh pengekangan dari konflik intrafisik asadar
dan konversi kecemasan menjadi gejala fisik. Konflik tersebut berupa impuls
yang bersifat insting (agresi, seksualitas) dan pelarangan terhadap
pengekspresian impuls tersebut. Gejala tersebut menyebabkan pengekspresian
‘keinginan terlarang’ tersebut secara parsial, namun secara tersamar, sehingga
pasien bisa menghindari konfrontasi dari impuls-impuls ‘terlarang’ tersebut.
Contohnya, vaginismus (kekejangan abnormal pada otot vagina ketika penetrasi
seksual) melindungi pasien dari mengekspresikan keinginan seksual yang tidak
dapat diterima. Conversion disorder juga dapat menjadi sarana komunikasi
bahwa pasien membutuhkan perhatian dan perawatan khusus yang nantinya bisa
mengendalikan dan memanipulasi orang lain.
Teori pembelajaran
Conversion disorder dapat dianggap sebagai coping mechanism terhadap situasi
yang mustahil.
Faktor biologis
Gejala dapat disebabkan cortical arousal yang berlebihan sehingga memberikan
negative feedback antara cortex cerebri dengan brainstem reticular formation.
Output yang berlebihan akan menghambat kesadaran pasien terhadap sensasi
yang dirasakan tubuh, sehingga terjadi deficit sensori pada beberapa pasien.
Diagnosis
Diagnosis terbatas pada gejala neurologis yang tidak dapat dijelaskan secara
neurologis. Pada diagnosis, harus ada asosiasi yang kuat antara penyebab dari gejala
neurologis dan faktor psikologis. Diagnosis harus menyingkirkan gejala nyeri dan difungsi
seksual.
Gejala Klinis
Sensorik
Biasanya terjadi anesthesia dan paresthesia pada ekstremitas. Selain itu, dapat
juga mengenai panca indera, sehingga menyebabkan ketulian, kebutaan, dan
tunnel vision.
Motorik
Gejala motoric berupa gerakan abnormal, gangguan cara berjalan, kelemahan
otot, dan paralisis. Gerakan biasanya menjadi lebih parah ketika pasien sedang
diperhatikan.
Kejang
Pseudoseizure merupakan gejala lain dari conversion disorder yang dapat disertai
gejala menggigit lidah, inkontinensi urinaria, dan cedera setelah terjatuh.
Diagnosis Banding
Gangguan Mental
Gejala gangguan Konversi dapat timbul pada Skizofrenia, Depresi dan Anxietas.
Namun gangguan-gangguan mental ini memiliki gejala tersendiri yang khas.
Gangguan Somatoform Lain
Gejala berupa gangguan sensori-motoris juga ditemukan pada Gangguan
somatisasi. Namun gangguan Somatisasi lebih bersifat kronis, terjadi di usia yang
lebih muda, dan adanya gejala yang bersifat multiple organ. Hypochondriosis
memiliki karakteristik pasien yang tidak mengalami gangguan atau kehilangan
fungsi. Ditemukan gangguan somatis yang bersifat kronis. Gangguan tidak
terbatas pada gejala-gejala neurologis dan adanya kekhasan perilaku serta
kepercayaan hypochondrial. Gangguan Nyeri didiagnosa jika hanya terbatas pada
timbulnya gejala nyeri. Pasien yang hanya mengeluhkan gangguan fungsi seksual
sebaiknya diklasifikasikan sebagai gangguan disfungsi seksual, daripada sebagai
gangguan Konversi.
Prognosis baik jika onsetnya akut, stressor dapat diidentifikasi secara jelas, jarak
antara onset dan pengobatan pendek, dan tingkat intelegensia pasien di atas rata-
rata
Jika gejala muncul dengen durasi yang singkat, 95% dapat membaik dengan
spontan
Jika gejala muncul selama 6 bulan atau lebih, kemungkinan resolusi gejala kurang
dari 50% dan berkurang dalam durasi yang lebih lama
Tata laksana
Gangguan Konversi biasanya hilang secara spontan, terutama jika didukung oleh
insight-oriented supportive yang baik dan terapi perilaku. Yang paling penting
adalah caring dan hubungan yang baik pasien dengan dokter dan terapis lainnya.
Psikodinamik approach dilakukan untuk menganalisa dan menggali konflik psikis
serta simbolisasi dari gejala gangguan konversinya. Psikoterapi yang dianjurkan
adalah terapi yang bersifat singkat dan dilakukan dalam jangka yang pendek.
Proses psikoterapi difokuskan untuk mengurangi faktor stres. Yakinkan pasien
bahwa gejala-gejala yang timbul akan semakin memperberat penyakitnya.
Terapi Hipnotis, obat-obatan anxiolytic, serta pelatihan relaksasi tingkah laku
cukup efektif. Obat-obatan parenteral seperti Amobarbital atau Lorazepam juga
efektif terutama jika pasien memilik kejadian yang membuat trauma.
PSYCHOLOGICAL FACTORS AFFECTING OTHER MEDICAL CONDITIONS
Klasifikasi
1. Gangguan mental yang memiliki gejala fisik sebagai bagian dari gangguan
tersebut (misalnya pada conversion disorder, dimana gejala fisik dihasilkan oleh
konflik psikologis)
2. Gangguan somatisasi, dimana gejala fisik bukan disebabkan oleh patologis
organik
3. Hipokondriasis, dimana pasien memiliki perhatian berlebihan terhadap
kesehatannya
4. Keluhan fisik yang berhubungan dengan gangguan mental (dysthymic disorder
yang memiliki gejala somatik seperti lemah otot, lemah, rasa lelah, asthenia)
5. Keluhan fisik yang berhubungan dengan substance-related disorder (misalnya
batuk yang berhubungan dengan ketergantungan nikotin)
Stress Theory
Etiologi
Kriteria diagnosis DSM-V untuk faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis adalah:
C. Faktor psikologis dan perilaku pada kriteria B tidak dapat dijelaskan secara lebih baik dengan
gangguan mental lain (contoh : gangguan panik, gangguan depresi mayor, gangguan stress
pasca trauma)
Gangguan Spesifik
Gangguan spesifik yang dapat terjadi pada gangguan psikosomatik sangat bervariasi, di antaranya
adalah:
Penyakit Keterangan
Gangguan Kardiovaskular
Hipertensi Stres akut menyebabkan pelepasan katekolamin yang meningkatkan tekanan sistolik.
Stres kronik berhubungan dengan hipertensi esensial. Perubahan pola hidup
diperlukan.
Angina, aritmia, Kepribadian tipe A (agresif, iritabel, mudah frustrasi) rentan terhadap PJK. Aritmia
penyakit jantung sering terjadi pada gangguan cemas. Perubahan pola hidup diperlukan untuk
koroner menurunkan risiko. Propranolol dapat diberikan pada pasien fobia sosial yang
mengalami takikardia untuk menurunkan risiko penyakit jantung.
Gangguan Pernafasan
Asma Serangan dicetuskan oleh stress, ISPA, dan alergi. Pemeriksaan dinamika keluarga
diperlukan, terutama ketika pasien masih anak-anak. Mungkin didapatkan orangtua
yang overprotektif. Propranolol dan β-bloker dikontraindikasikan pada pasien asma
dengan gangguan cemas. Mengi pada asma merupakan jeritan tersembunyi pasien
untuk mendapatkan kasih sayang dan perlindungan.
Sindrom Menyertai gangguan panik, gangguan cemas menyeluruh. Pasien berespons terhadap
hiperventilasi MAO, antidepresan trisiklik, atau agen serotonergik.
Gangguan Muskuloskeletal
SLE dan RA Penyakit dapat dicetuskan oleh stres kehidupan mayor, terutama kematian orang yang
dicintai. Penyakit memburuk dengan stres kronik, kemarahan, atau depresi. Penting
untuk meminta pasien terus aktif untuk mengurangi deformitas sendi. Obati depresi
dengan antidepresan atau psikostimulan, dan obati spasme otot dengan
benzodiazepin.
Osteoartritis Perubahan pola hidup meliputi penurunan berat badan, olahraga isometrik untuk
menguatkan sendi, aktivitas fisik, dan kontrol nyeri.
Gangguan Gastrointestinal
IBD: penyakit Crohn, Berkaitan dengan depresi. Stres mencetuskan gejala. Teori psikologis: kepribadian
IBS, kolitis ulserativa pasif, intimidasi masa kanak-kanak, obsesif, ketakutan akan hukuman, hostilitas
yang tertutup.
Ulkus peptikum Peningkatan asam lambung terjadi karena rasa cemas, stres, kopi, alkohol. Teori
psikologis: ketergantungan yang besar pada orang lain, tidak dapat mengeluarkan
kemarahan.
Gangguan Kulit
Neurodermatitis Terjadi karena stresor psikososial: kematian orang yang dicintai, konflik seksual,
kemarahan yang terpendam. Sebagian berespons terhadap hipnosis dalam
mengatasi gejala.
Lain-lain
Nyeri kepala Tension-type headache (TTH) terjadi akibat kontraksi otot-otot di leher yang
menyebabkan konstriksi aliran darah. TTH berhubungan dengan cemas dan stres
situasional. Terapi relaksasi dan anti-cemas dapat berguna.
Nyeri kepala migrain dapat dicetuskan oleh stres, olahraga, dan makanan tinggi
tiramin. Penatalaksanaan adalah dengan pemberian ergotamin. Profilaksis dengan
propranolol dapat menyebabkan depresi. Sumatriptan dapat digunakan pada
serangan migrain nonhemiplegik dan nonbasilar.
Obesitas Hiperfagia mengurangi rasa cemas. Behavioral therapy, grup support, konseling
nutrisi, dan psikoterapi suportif dapat membantu.
Penatalaksanaan
1. Pendekatan kolaboratif.
Kolaborasi dengan ilmu penyakit dalam dan ilmu bedah diperlukan untuk mengatasi gangguan fisik
pasien. Pada saat yang bersamaan, psikiater mengatasi aspek psikiatrik.
2. Psikoterapi
a. Psikoterapi suportif.
b. Dynamic insight-oriented psychotherapy. Eksplorasi konflik di bawah alam sadar mengenai
seks dan agresi. Kecemasan yang disebabkan stresor kehidupan diatasi dengan
mematangkan defense mechanism.
c. Terapi grup. Terapi grup dapat digunakan bila terdapat beberapa pasien yang memiliki
kondisi fisik yang sama. Pasien dapat saling berbagi pengalaman dan belajar dari satu sama
lain.
d. Terapi keluarga. Eksplorasi hubungan keluarga dengan menekankan bagaimana penyakit
pasien dapat mempengaruhi anggota keluarga lain.
e. Cognitive-behavioral therapy.
i. Cognitive. Pasien belajar bagaimana stres dan konflik dapat menyebabkan penyakit
somatik. Pikiran negatif mengenai penyakit diatasi dan diubah.
ii. Behavioral. Relaksasi dan teknik biofeedback mempengaruhi sistem saraf otonom
secara positif. Teknik ini dapat digunakan pada pasien asma, alergi, hipertensi, dan
nyeri kepala.
f. Hipnosis. Hipnosis berguna untuk menghentikan kebiasaan rokok dan mengubah kebiasaan
makan (diet).
g. Biofeedback. Melatih untuk mengontrol sistem saraf otonom. Digunakan untuk nyeri kepala
tension, migrain, dan hipertensi.
h. Akupresur dan akupuntur. Terapi alternatif memiliki hasil yang bervariasi pada seluruh
gangguan psikosomatik.
3. Farmakoterapi
a. Anggap serius gejala nonpsikiatrik dan berikan pengobatan yang tepat (misal: laksatif untuk
konstipasi). Konsultasikan dengan dokter yang merujuk ke bagian kedokteran jiwa.
b. Gunakan obat antipsikotik bila terdapat gejala psikosis. Perhatikan efek samping dan
imbasnya pada gangguan psikosomatik.
c. Obat anti-cemas dapat mengurangi rasa cemas pada periode stres akut, namun batasi
penggunaan untuk mencegah terjadinya ketergantungan.
d. Antidepresan dapat diberikan bila terdapat depresi akibat kondisi medis. Selective serotonin
reuptake inhibitor (SSRI) dapat membantu bila pasien mengalami obsesi terhadap
penyakitnya.
FACTITIOUS DISORDER
Definisi
Pasien dengan factitious disorder akan menstimulasi, menginduksi, atau memperberat penyakitnya
untuk mendapatkan perhatian medis, dalam keadaan benar-benar sakit atau tidak. Motivasi utamanya
adalah untuk menghindari tugas, mendapatkan keuntungan finansial, atau alasan lain yang nyata.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan perawatan medis dan mengambil bagian dari sistem medis.
Epidemiologi
Sekitar 0.8-10% pasien dengan gangguan ini merupakan pasien yang biasa konsultasi ke psikiater
Sekitar 2/3 pasien Munchausen syndrome (orang yang secara berulang mengesankan kalau ia
sakit, padahal nyatanya, gejalanya dibuat olehnya sendiri) adalah laki-laki. Mereka cenderung
berkulit putih, usia pertengahan, tidak bekerja, tidak menikah, dan tidak memiliki attachment
sosial atau keluarga
Pasien yang didiagnosis factitious disorder yang terbukti memiliki tanda dan gejala fisik biasanya
wanita, dengan perbandingan 3:1, berusia 20-40 tahun, memiliki riwayar bekerja/belajar di suatu
institusi kesehatan
Komorbid
Kebanyakan pasien yang didiagnosis factitious disorder memiliki komorbid penyakit psikiatri, seperti
mood disorder, personality disorder, substance-related disorder
Etiologi
Faktor psikososial
Pasien dengan riwayat child abuse yang menyebabkannya harus sering dirawat di rumah
sakit, membuat perawatan RS dianggap sebagai pelarian dari situasi rumah yang traumatik.
Di sana, pasien juga menemukan orang-orang yang mengurusinya dengan penuh kasih saying
(dokter, perawat, pekerja RS). Sedangkan, orangtuanya bersifat ‘rejecting’ sehingga sulit
untuk membentuk kedekatan dengan orangtuanya. Maka, si anak akan membuat ikatan
orangtua-anak yang baru dengan orang-orang yang mengurusinya di RS.
Pasien yang menginginkan prosedur yang menyakitkan (misalnya operasi, tes diagnostic yang
invasif) dapat memiliki kepribadian masokistik dan menganggap rasa sakit sebagai hukuman
bagi dosa di masa lalu.
Banyak pasien yang memiliki pembentukan identitas yang lemah atau self-image yang
terganggu (pada borderline personality disorder). Pada pasien yang merupakan pekerja
medis, akan kesulitan membedakan dirinya dan pasien yang sering kontak dengannya.
Faktor biologis
Disfungsi otak dapat menjadi faktor risiko dalam factitious disorder, yaitu hipotesis bahwa
pemrosesan informasi yang terganggu dapat mendukung pseudoalgia fantastica dan perilaku
menyimpang.
Berdasarkan jenis gejalanya, factitious disorder dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tanda & gejala
psikologis serta tanda & gejala fisik.
Adanya gejala psikosis sebagai salah satu gangguan, dapat mengindikasikan prognosis yang buruk
pada factitious disorder. Pasien dengan psikotik dan diketahui memiliki gejala factitious disorder
dengan tanda & gejala psikologis, memiliki prognosis yang buruk dibandingkan dengan gangguan
bipolar atau skizoafektif. Beberapa pasien secara sengaja mengkonsumsi zat psikoaktif agar gejala
seperti insomnia, susah tidur, halusinasi dapat muncul. Kombinasi penggunaan zat psikoaktif
dapat memberikan gambaran klinis yang tidak khas.
Diagnosis Banding
Gangguan dengan tanda dan gejala fisik yang menonjol perlu mempertimbangkan kemungkinan
penyakit lain yang dapat mempengaruhi fisik. Riwayat banyaknya operasi pada pasien gangguan buatan
dapat menjadi predisposisi adanya komplikasi atau penyakit yang mengharuskan operasi lanjutan.
Factitious disorder merupakan rangkaian kesatuan antara somatoform disorder dan malingering,
tujuannya untuk menganggap dirinya sakit.
a. Conversion Disorders
Pada factitious disorder gejala muncul dengan disengaja, rela melakukan prosedur-prosedur yang
membahayakan tubuhnya sendiri, berulangkali dirawat di rumah sakit. Pasien dengan conversion disorder
biasanya tidak berulangkali dirawat di rumah sakit, dan gejalanya memiliki hubungan langsung dengan
temporal atau symbolic reference to specific emotional conflicts.
Hypochondriasis atau illness anxiety disorder berbeda dengan factitious disorder. Pada pasien
hipokondriasis gejala muncul tidak disengaja, dan khas pada usia lanjut.
b. Personality Disorders
Karena kurangnya hubungan dekat dengan orang lain, bermusuhan, dan riwayat penggunaan zat
& riwayat kriminal, pasien dengan factitious disorder sering diklasifikasikan sebagai gangguan
kepribadian antisosial. Orang yang antisosial, biasanya tidak secara sengaja melakukan prosedur invasif
supaya mendapat perawatan di rumah sakit.
c. Skizofren
Diagnosis skizofren seringkali ditegakkan berdasarkan gaya hidup yang aneh, tapi pasien factitious
disorder biasanya tidak memenuhi kriteria diagnosis skizofren, kecuali jika terdapat delusi yang
membuatnya benar-benar sakit dan karena itu dia mengunjungi rumah sakit. Beberapa pasien factitious
disorder menunjukkan adanya gangguan pikiran yang parah atau delusi aneh.
d. Malingering
Factitious disorders harus dibedakan dengan malingering. Malingerers have an obvious,
recognizable environmental goal in producing signs and symptoms. Pasien malingering mencari
perawatan rumah sakit untuk mendapatkan kompensasi finasial, menghindari pekerjaan, atau hanya ingin
mendapat makan dan tidur gratis. Pasien malingering biasanya berhenti mengeluhkan gejalanya ketika
dianggap sudah tidak menguntungkan lagi, atau ketika resikonya menjadi tinggi.
e. Substance Abuse
Meskipun pasien factitious disorders memiliki riwayat komplikasi dengan penggunaan zat, mereka
tidak dianggap sebagai pengguna, melainkan memiliki 2 diagnosis bersamaan.
Factitious disorders biasanya muncul pada dewasa muda, meskipun bisa muncul pada anak atau
remaja. Pada awalnya, pasien dirawat di rumah sakit karena sakit dengan gejala yang jelas pada saat kecil
atau remaja. Setelah itu, pasien menjadi lebih tau tentang pengobatan dan rumah sakit, dan akhirnya
muncul perlahan keinginan untuk dirawat di rumah sakit. Prognosis pada kebanyakan kasus factititious
disorder adalah buruk, beberapa pasien berakhir di penjara. Beberapa kemungkinan yang mempengaruhi
prognosis pada kasus ini seperti:
Kepribadian masokis,
Tidak sepenuhnya psikotik, ada saat-saat dia berfungsi dengan baik
Gangguan kepribadian antisosial dengan gejala minimal
Pengobatan
Tidak ada pengobatan psikiatri yang spesifik pada pasien factitious disorder. Pengobatan yang
paling baik berfokus pada manajemen non-farmakologi, bukan farmakologi. 3 tujuan utama dalam
pengobatan gangguan ini adalah:
PAIN DISORDER
Pain disorder ditandai dengan ada dan berfokus pada nyeri, baik pada satu atau lebih bagian tubuh
dan cukup berat untuk menjadi perhatian klinis. Faktor psikologis berpengaruh pada perjalanan penyakit,
tingkat keparahan, atau perawatan nyeri.
Epidemiologi
Prevalensi nyeri sampai saat ini sekitar 12%. 10-15% orang dewasa di Amerika disabilitas karena nyeri
pada bagian belakang.
Pain disorder dapat muncul pada usia berapapun, berhubungan dengan gangguan psikiatri terutama
gangguan afek dan cemas.
Pasien dengan depresi berat atau penyakit yang mematikan meingkatkan resiko bunuh diri.
Etiologi
Faktor psikodinamika, nyeri timbul sebagai dampak adanya konflik dalam pikirannya, yang
dimanifestasikan lewat adanya nyeri fisik. Nyeri ini dapat berfungsi juga sebagai cara untuk mendapat
kasih sayang, hukuman akibat perbuatan yang salah, cara untuk menebus perilaku buruknya.
Faktor perilaku, nyeri akan semakin kuat ketika dihargai dan akan dihambat ketika diabaikan.
Faktor interpersonal, nyeri dapat timbul untuk mendapatkan keuntungan dalam hubungan interpersonal.
Faktor biologis, adanya kekurangan endorfin dapat berhubungan dengan stimulus sensori yang berlebih.
Beberapa pasien dapat mengalami gangguan nyeri daripada gangguan mental lainnya, hal ini diakibatkan
karena adanya keadaan kelainan pada sensori, struktur limbik, dan gangguan kimiawi.
Pasien dapat mengalami nyeri di beberapa bagian tubuh, seperti nyeri pinggang, nyeri kepala,
nyeri pada wajah, nyeri pelvis kronis, dan nyeri lainnya. Nyeri dapat berupa posttraumatic, neurophatic,
neurological, iatrogenic, atau musculoskeletal. Untuk mendiagnosis pain disorder, harus ditemukan
adanya faktor psikologis yang berpengaruh pada munculnya gejala nyeri.
Pasien seringkali memiliki riwayat pengobatan yang lama dan operasi, banyak mengunjungi
dokter untuk meminta berbagai pengobatan, dan bisa bersikeras menginginkan operasi. Terdapat
preokupasi terhadap nyeri dan menganggap nyeri adalah sumber penderitaannya. Manifestasi klinisnya
dapat diperparah akibat penggunaan zat.
Suatu penelitian menunjukkan adanya hubungan antara gejala nyeri dengan tingkat keparahan
dari gangguan gejala somatik, gangguan depresi, dan gangguan cemas. Sekitar 25-50% pasien dengan
gangguan nyeri, memiliki major depressive disorder. Pada dysthymic disorder or depressive disorder
symptoms terdapat pada 60-100% pasien dengan gangguan nyeri.
Diagnosis Banding
Physical pain: intensitasnya fluktuatif, sangat sensitif terhadap pengaruh emosi, kognitif, atensi, dan
situasi. Nyeri pada psikogenik tidak menghilang oleh distraksi atau analgesik.
Hipokondriasis: adanya preokupasi terhadap nyeri, tubuh, dan keyakinan akan penyakit. Lebih
memiliki banyak gejala, dan fluktuasinya lebih daripada gangguan nyeri.
Conversion disorder: gejalanya hanya sebentar, berbeda dengan gangguan nyeri yang seringkali
kronik.
Nyeri dapat muncul tiba-tiba dan semakin parah dalam beberapa minggu atau bulan. Prognosis
pada kasus ini bervariasi, meskipun gangguan nyeri seringkali kronis, menyebabkan stress, dan disabilitas.
Prognosis pada gangguan nyeri akut lebih baik dibandingkan dengan gangguan nyeri kronis.
Pengobatan
Karena akan sangat susah untuk mengurangi nyerinya, pendekatan terapi lebih diarahkan ke
rehabilitasi. Dokter harus mempertimbangkan faktor psikologis dan harus menjelaskan sejujurnya kepada
pasien bahwa hal tersebut merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam menyebabkan nyeri.
Bagaimanapun juga, dokter harus mengetahui bahwa nyeri pada pasiennya memang nyata.
Terapi Farmakologi
Analgesic tidak terlalu bermanfaat bagi pasien, hal ini mengakibatkan penyalah gunaan zat dan
ketergantungan menjadi masalah utama pada pasien yang menggunanakan analgesik dalam jangka
waktu yang lama. Begitupun dengan obat sedatif dan antiansietas.
Antidepresan, seperti tryciclics dan SSRI merupakan obat yang paling efektif untuk pasien dengan
gangguan nyeri.
Psikoterapi
Psikoterapi menunjukkan adanya manfaat pada pasien dengan gangguan nyeri. Dalam
psikoterapi, hal pertama yang dilakukan adalah membentuk hubungan yang baik antara pasien-
dokter.
Terapi lain
Biofeedback dapat membantu dalam pengobatan pada pasien dengan gangguan nyeri, seperti
nyeri kepala sebelah, nyeri pada wajah, muscle tension state, dan tension headaches. Hipnosis,
transcutaneous nerve stimulation, dan dorsal column stimulation juga dapat dilakukan.
Pain Control Programs