Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Variabel

1. Identifikasi

Identifikasi adalah penentu atau penetapan identitas orang, benda, dan

sebagainya. Pengertian identifikasi secara umum adalah pemberian tanda-

tanda pada golongan barang-barang atau sesuatu, dengan tujuan

membedakan komponen yang satu dengan yang lainnya, sehingga suatu

komponen itu dikenal dan diketahui masuk dalam golongan mana.

Identifikasi adalah penentuan dan pemastian identitas orang yang hidup

maupun orang mati berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang

tersebut (Septadina, 2015).

Identifikasi forensik merupakan upaya pengenalan individu yang

dilakukan berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat yang membedakannya dari

individu lain. Proses ini mencakup identifikasi korban hidup, korban mati,

maupun potongan tubuh yang di duga berasal dari tubuh manusia. Salah

satu teknik identifikasi yang dapat digunakan adalah antropometri yang

dilakukan dengan mengukur bagian tubuh tertentu. Identifikasi forensik

memegang peranan yang sangat penting baik dalam kasus-kasus tindak

pidana yang melibatkan bidang forensik dan medikolegal, juga dalam

kasus-kasus seperti bencana alam dan kecelakaan. Proses identifikasi

menjadi penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab suatu

kematian, namun juga dapat digunakan sebagai upaya untuk memberikan

7
8

ketenangan psikologis pada keluarga dengan adanya kepastian identitas

korban (Iswara dkk., 2016; Syafitri dkk., 2013).

Identifikasi forensik dilakukan dengan tujuan membantu penyidik

menentukan identitas seseorang untuk kepentingan visum et repertum

(VeR). Identifikasi korban yang sudah meniggal dilakukan dengan sangat

teliti untuk memperoleh identitas seperti jenis kelamin, panjang dan berat

badan, suku bangsa, warna kulit, keadaan rambut, mata, gigi, berkas luka,

dan sebagainya (Korah dkk., 2016).

Identifikasi terbagi menjadi identifikasi primer dan identifikasi

sekunder. Alat identifikasi primer yang paling dapat diandalkan adalah

analisis sidik jari, gigi, dan analisis DNA. Sedangkan, identifikasi

sekunder meliputi deskripsi individu (tato, bekas luka, jenis kelamin, dan

perhiasan), temuan medis, serta pakaian dan bukti-bukti lain yang

ditemukan di tubuh (Putri dkk., 2018). Jenis kelamin, usia dan tinggi

badan dianggap sebagai indikator utama dalam identifikasi (Shrestha dkk.,

2015).

Identifikasi individu merupakan aspek penting dalam ilmu forensik.

(Shah dkk., 2015). Identifikasi individu dapat dilakukan melalui beberapa

parameter, yaitu identifikasi usia, tinggi badan, ras dan jenis kelamin.

Identifikasi pada tulang atau kerangka bertujuan untuk membuktikan

bahwa tulang tersebut adalah tulang manusia atau hewan, tulang berasal

dari satu individu atau lebih dari satu individu, usia, umur tulang, jenis

kelamin, tinggi badan, ras, lama kematian, deformitas tulang, dan sebab
9

kematian. Tinggi badan merupakan parameter antropometri yang paling

penting dan berguna dalam penentuan identitas fisik suatu individu tidak

dikenal yang hanya ditemukan potongan tubuh saja (Oria dkk., 2016).

Identifikasi tinggi badan menempati posisi yang relatif sentral dalam

penelitian antropologi. Identifikasi tinggi badan juga digunakan untuk

identifikasi kebutuhan yurisprudensi medis atau oleh ahli hukum medis

(medikolegal). Banyak penelitian telah dilakukan untuk memperkirakan

tinggi badan dengan melakukan pengukuran tulang-tulang. Penelitian

tersebut menghasilkan berbagai formula faktor perkalian dan persamaan

regresi yang digunakan untuk memperkirakan tinggi badan dari tulang-

tulang tersebut. Meskipun hubungan antar parameter tubuh telah

ditentukan, formula yang dirancang untuk suatu populasi tidak serta merta

dapat menghasilkan data yang dapat diandalkan untuk populasi lainnya,

sehingga formula tersebut harus dikembangkan untuk setiap populasi

(Sheta dkk., 2009).

2. Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan parameter antropometri yang paling

penting dan berguna dalam penentuan identitas fisik suatu individu tidak

dikenal yang hanya ditemukan potongan tubuh saja (Oria dkk., 2016).

Penelitian-penelitian antropometri di Indonesia sudah jarang dilakukan

karena adanya kendala beberapa faktor, seperti biaya dan waktu.

Pengukuran antropometri terdiri dari beragam pengukuran terhadap


10

dimensi tubuh, salah satunya pengukuran linier atau tinggi badan (Artaria,

2010).

Pengukuran tinggi badan manusia umumnya diukur dalam satuan

centimeter (cm), hal ini juga didasari atas formula tentang perkiraan tinggi

badan yang sudah ada (Glinka dkk., 2008). Pada sikap anatomi bahwa

orang berdiri secara tegak lurus dengan ekstremitas atas disamping tubuh,

telapak tangan dan wajah menghadap kedepan (Snell, 2012). Tinggi badan

diukur pada saat berdiri secara tegak lurus dalam sikap anatomi. Kepala

berada dalam posisi sejajar dengan dataran frankfurt. Tinggi badan adalah

hasil pengukuran maksimum panjang tulang-tulang secara paralel yang

membentuk poros tubuh (the body axix), yaitu diukur dari titik tertinggi di

kepala (cranium) yang disebut vertex, ke titik terendah dari tulang

(calcaneus) yang disebut heel (Maat dkk., 2002).

Gambar 1. Pengukuran Tinggi Badan berdasarkan Bentuk Poros Tubuh

(Glinka dkk., 2008)

Tinggi badan manusia akan terus bertambah mulai dari usia bayi

sampai akhir proses maturasi tulang. Proses pertumbuhan pada bayi


11

berlangsung sangat cepat dan setelah itu pertumbuhan linier masih

berlanjut namun dengan kecepatan yang lambat (Wong, 2008). Growth

spurt atau ledakan pertumbuhan adalah titik usia dimana terjadi lonjakan

pertumbuhan yang sangat cepat dari usia sebelumnya dan terjadi selama

masa pubertas. Ledakan pertumbuhan terjadi pada usia 12 tahun untuk

anak perempuan dan 14 tahun untuk anak laki-laki. Selama masa growth

spurt, pertumbuhan tinggi badan perempuan dapat mencapai 9 cm + 1,03

cm/tahun dan mencapai tinggi rata-rata terakhir pada usia 16 tahun,

sedangkan laki-laki dapat bertambah tinggi 10,3 cm + 1,53 cm/tahun

selama growth spurt sampai pada usia 18 tahun.

Setelah melewati masa ini pertumbuhan masih terus terjadi tetapi

berlangsung lambat sampai pertumbuhan pada lempeng epifisis berhenti

(Isselbacher dkk., 2002). Saat ini banyak teori mengenai tinggi badan yang

telah dikemukakan oleh para ahli berdasarkan penelitian yang dilakukan.

Penelitian yang dilakukan oleh Artaria (2010) dari Departemen

Antropologi Universitas Airlangga Surabaya menemukan bahwa terdapat

perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pengukuran

antropometri seperti tinggi badan. Laki-laki cenderung lebih tinggi dari

perempuan dikarenakan laju growth spurt pada laki-laki lebih besar

daripada perempuan, walaupun growth spurt terjadi lebih dini dari

perempuan (Wong, 2008).

Dengan demikian, akhirnya kita mengenal beberapa kategori

manusia berdasarkan tingginya, menurut Martin Knussmann ada yang


12

kerdil, sangat pendek, pendek, dibawah sedang, sedang, diatas sedang,

tinggi, sangat tinggi, dan raksasa.

Tabel 1. Klasifikasi Tinggi Badan menurut Martin Knussmann (Glinka


dkk., 2008)
Laki-laki (cm) Perempuan (cm)
Kerdil x-129,9 x-120,9
Sangat pendek 130,0-149,9 121,0-139,9
Pendek 150,0-159,9 140,0-148,9
Di bawah sedang 160,0-163,9 149,0-152,9
Sedang 164,0-166,9 153,0-155,9
Di atas sedang 167,0-169,9 156,0-158,9
Tinggi 170,0-179,9 159,0-167,9
Sangat tinggi 180,0-199,9 168,0-186,9
Raksasa 200.0-x 187,0-x

Banyak penelitian telah dilakukan untuk memperkirakan tinggi

badan dengan melakukan pengukuran tulang-tulang. Penelitian tersebut

menghasilkan berbagai formula faktor perkalian dan persamaan regresi

yang digunakan untuk memperkirakan tinggi badan dari tulang-tulang.

Meskipun hubungan antar parameter tubuh telah ditentukan, formula yang

dirancang untuk suatu populasi tidak serta merta dapat menghasilkan data

yang dapat diandalkan untuk populasi lainnya, sehingga formula tersebut

harus dikembangkan untuk setiap populasi (Sheta dkk., 2009).

a) Perkiraan Tinggi Badan

1) Perkiraan Tinggi Badan Secara Kasar

Berdasarkan hal tersebut, maka diyakini bahwa tinggi badan

tubuh manusia diyakini erat hubungannya dengan ukuran dari

panjang tulang-tulang tersebut. Disebutkan bahwa ukuran panjang

tulang-tulang memiliki hubungan yang signifikan dalam

memperkirakan tinggi badan manusia. Sering sekali autopsi yang


13

dilakukan oleh ahli forensik tidak dilakukan terhadap tubuh yang

masih utuh, tetapi sudah dalam keadaan rusak atau terpotong-

potong. Menurut Ludwig (2002) menyatakan bahwa Pada

keadaan tubuh yang tidak lagi utuh, dapat diperkirakan tinggi

badan seseorang secara kasar, yaitu dengan :

a. Mengukur jarak kedua ujung jari tengah kiri dan kanan pada

saat direntangkan secara maksimum, akan sama dengan

ukuran tinggi badan.

b. Mengukur panjang dari puncak kepala (vertex) sampai

symphisis pubis dikali 2, ataupun ukuran panjang dari

symphisis pubis sampai ke salah satu tumit, dengan posisi

pinggang dan tangan diregang serta tumit dijinjitkan.

c. Mengukur panjang salah satu lengan (diukur dari salah satu

ujung jari tengah sampai ke acromion di clavicula pada sisi

yang sama) dikali dua (cm), lalu ditambah lagi 34 cm (terdiri

dari 30 cm panjang 2 buah klavicula dan 4 cm lebar dari

manubrium sterni/ sternum).

d. Mengukur panjang dari lekuk di atas sternum (sternal notch)

sampai symphisis pubis lalu dikali 3,3

e. Mengukur panjang ujung jari tengah sampai ujung olecranon

pada satu sisi yang sama, lalu dikali 3,7

f. Panjang femur dikali 4


14

g. Panjang humerus dikali 6.

Bila pengukuran hanya dilakukan pada kerangka saja (hanya

tulang tanpa bagian yang lain), maka perlu dilakukan

penambahan 2,5 sampai 4 cm untuk mengganti jarak

sambungan sendi-sendi. Apabila sendi-sendi tidak terdapat

lagi, maka perhitungan tinggi badan dapat dilakukan dengan

mengukur tulang-tulang panjang kemudian dihitung dengan

dengan beberapa formula yang ada (Handajani dan Prima,

2014).

2) Perkiraan Tinggi Badan Menggunakan Formula Beberapa Ahli

a. Formula Karl Pearson (Erianto, 2012)

Formula Karl Pearson telah dipakai luas di seluruh dunia sejak

tahun 1899. Formula ini membedakan formula perkiraan tinggi

badan antara laki-laki dan perempuan untuk subjek penelitian

kelompok orang-orang Eropa (European). Tulang-tulang panjang

yang digunakan pada pengukuran antara lain, yaitu tulang femur,

humerus, Radius, dan tibia.

Tabel 2. Formula Karl Pearson


Jenis Tinggi
Formula
Kelamin Badan
81.306 81.306 + 1.88 x F1
70.641 70.641 + 2.894 x HI
85.925 85.925 + 3.271 x RI
71.272 71.272 + 1.159 x (F1 + T1)
71.443 71.443 + 1.22 x (F1 + 1.08 x TI)
Laki-Laki
66.855 66.855 + 1.73 x (H1 + R1)
69.788 69.788 + 2.769 x (H1 + 0.195 x R1)
68.397 68.397 + 1.03 x F1 + 1.557 x HI
67.049 67.049 + 0.913 x F1 + 0.6 x T1 +
1.225 x HI – 0.187 x RI
15

Jenis Tinggi
Formula
Kelamin Badan
72.844 72.844 + 1.945 x F1
71.475 71.475 + 2.754 x H1
74.774 74.774 + 2.352 x TI
81.224 81.224 + 3.343 x R1
69.154 69.154 + 1.126 x (F1+T1)
Perempuan 69.154 69.154 + 1.126 x (F1 + 1.125 x T1)
69.911 69.911 + 1.628 x (H1+R1)
70.542 70.542 + 2.582 x (H1 + 0.281 x RI)
67.435 67.435 + 1.339 x F1 + 1.027 x H1
67.469 67.469 + 0.782 x F1 + 1.12 x T1 +
1.059 x H1–0.711 xR1
*F1 : Panjang maksimal tulang femur
H1 : Panjang maksimal tulang humerus
R1 : Panjang maksimal tulang Radius
T1 : Panjang maksimal tulang tibia

b. Formula Trotter-Glesser (Ismurizzal, 2011)

Formula yang dipopulerkan dalam buku Martin Knussmann tahun

1988 ini memakai subjek penelitian kelompok laki-laki ras

mongoloid dengan melakukan pengukuran pada tulang-tulang

panjang, yaitu tulang femur, humerus, radius, dan tibia,ulnar, dan

fibula.

Tabel 3. Formula Trotter-Glesser


Tinggi Badan Formula
83.2 2.68 x (HI) + 83.2 ± 4.3
83.0 3.54 x (RI) + 83.0 ± 4.6
77.5 3.48 x (U1) + 77.5 ± 4.8
72.6 2.15 x (F1) + 72.6 ± 3.9
81.5 2.39 x (T1) + 81.5 ± 3.3
80.6 2.40 x (Fi1) + 80.6 ± 3.2
74.8 1.67 x (H1 + R1) + 74.8 ± 4.2
71.2 1.68 x (H1 + U1) + 71.2 ± 4.1
70.4 1.22 x (F1 + T1) + 70.4 ± 3.2
70.2 1.22 x (F1 + Fi1) + 70.2 ± 3.2
* F1 : Panjang maksimal tulang femur
H1 : Panjang maksimal tulang humerus
R1 : Panjang maksimal tulang radius
T1 : Panjang maksimal tulang tibia
U1 : Panjang maksimal tulang ulnar
F1 : Panjang maksimal tulang fibula
16

c. Formula Dupertuis dan Hadden (Ismurizzal, 2011)

Merupakan formula yang didasarkan atas penelitian terhadap

tulang-tulang panjang pada orang Amerika. Tulang-tulang panjang

yang digunakan pada pengukuran antara lain, yaitu tulang femur,

humerus, radius, dan tibia.

Tabel 4. Formula Dupertuis dan Hadden.


Tinggi
Jenis
Badan Formula
Kelamin
(cm)
69.089 2.238 (Femur) + 69.089
81.688 2.392 (Tibia) + 81.688
73.570 2.970 (Humerus) + 73.570
80.405 3.650 (Radius) + 80.405
69.294 1.225 (Femur + Tibia) + 69.294
71.429 1.728 (Humerus + Radius) + 71.429
Laki-laki
66.544 1.422 (Femur) + 1.062 (Tibia) + 66.544
66.400 1.789 (Humerus) + 1.841 (Radius) + 66.400
64.505 1.928 (Femur) 0.568 (Humerus) + 64.505
56.006 1.442 (Femur) + 0.931 (Tibia) + 0.083
(Humerus)+ 0.480 (Radius) + 56.006

61.412 2.317 (Femur) + 61.412


72.572 2.533 (Tibia) + 72.572
64.977 3.144 (Humerus) + 64.977
73.502 3.876 (Radius) + 73.502
65.213 1.233 (Femur + Tibia) + 65.213
Perempuan 55.729 1.984 (Humerus + Radius) + 55.729
59.259 1.657 (Femur) + 0.879 (Tibia) + 59.259
60.344 2.164 (Humerus) + 1.525 (Radius) + 60.344
57.600 2.009 (Femur) 0.566 (Humerus) + 57.600
57.495 1.544 (Femur) + 0.764 (Tibia) + 0.126
(Humerus) + 0.295 (Radius) + 57.495

d. Formula Telkka (Ismurizzal, 2011)

Merupakan formula yang didasarkan dari pemeriksaan terhadap

orang-orang Finisia (Finnish) dengan melakukan pengukuran pada

tulang-tulang panjang. Tulang-tulang panjang yang digunakan pada


17

pengukuran antara lain, yaitu tulang femur, Humerus, radius, dan

tibia.

Tabel 5. Formula Telkka


Laki-laki SE Perempuan SE
169.4 + 2.8 (H1 – 32.9) 5.0 156.8 + 2.7 (H1 – 30.7) 3.9
169.4 + 3.4 (R1 – 22.7) 5.0 156.8 + 3.1 (R1– 20.8) 4.5
169.4 + 3.2 (U1 – 23.1) 5.2 156.8 + 3.3 (U1 – 21.3) 4.4
169.4 + 2.1 (F1 – 45.5) 4.9 156.8 + 1.8 (F1 – 41.8) 4.0
169.4 + 2.1 (T1 – 36.6) 4.6 156.8 + 1.9 (T1 – 33.1) 4.6
169.4 + 2.5 (F1 – 36.1) 4.4 156.8 + 2.3 (F1 – 32.7) 4.5
* F1 : Panjang maksimal tulang femur
H1 : Panjang maksimal tulang humerus
R1 : Panjang maksimal tulang radius
T1 : Panjang maksimal tulang tibia
U1 : Panjang maksimal tulang ulnar
F1 : Panjang maksimal tulang fibula

e. Formula Parikh (Ismurizzal, 2011)

Formula ini didasarkan pemeriksaan terhadap tulang-tulang kering.

Tabel 6. Formula Parikh


No Laki-laki Perempuan
1. TB (Cm) = Humerus x 5.31 TB (Cm) = Humerus x 5.31
2. TB (Cm) = Radius x 6.78 TB (Cm) = Radius x 6.70
3. TB (Cm) = Ulna x 6.00 TB (Cm) = Ulna x 6.00
4. TB (Cm) = Femur x 3.82 TB (Cm) = Femur x 3.80
5. TB (Cm) = Tibia x 4.49 TB (Cm) = Tibia x 4.46
6. TB (Cm) = Fibula x 4.46 TB (Cm) = Fibula x 4.43

f. Formula Mohd. Som dan Syed Abdul Rahman (Ismurizzal, 2011)

Formula ini didasarkan atas penelitian terhadap jenis kelamin laki-

laki dari 3 suku bangsa terbesar di Malaysia.

Tabel 7. Formula Mohd. Som dan Syed Abdul Rahman


Laki-laki Melayu Laki-laki Cina Laki-laki India
Y = 2,44 H + 101,6 Y = 2,48 H + 101,9 Y = 3,71 H + 69,3
Y = 1,96 R + 117,9 Y = 3,05 R + 91,8 Y = 5,32 R + 35,5
Y = 1,86 U + 119,1 Y = 1,49 U + 130,0 Y = 6,86 U + (-7,4)
Y = 1,30 T + 122,5 Y = 1,95 T + 97,7 Y = 2,72 T + 70,2
Y = 0,93 F + 133,0 Y = 1,35 F + 117,5 Y = 2,59 F + 71,3
Y = 1,16 Fi + 127,1 Y = 1,68 Fi + 108,5 Y = 2,15 Fi + 92,4
18

* F1 : Panjang maksimal tulang femur


H1 : Panjang maksimal tulang humerus
R1 : Panjang maksimal tulang radius
T1 : Panjang maksimal tulang tibia
U1 : Panjang maksimal tulang ulnar
F1 : Panjang maksimal tulang fibula

g. Formula Antropologi Ragawi UGM (Erianto, 2012)

Merupakan formula perkiraan tinggi badan untuk jenis kelamin

laki-laki orang dewasa suku Jawa dengan melakukan pengukuran

pada tulang-tulang panjang. Tulang-tulang panjang yang digunakan

pada pengukuran antara lain, yaitu tulang femur, humerus, radius,

dan tibia.

Tabel 8. Formula Antropologi Ragawi UGM


No Tinggi Badan
1. Tinggi Badan = 897 + 1,74 (femur kanan)
2. Tinggi Badan = 822 + 1,90 (femur kiri)
3. Tinggi Badan = 879 + 2,12 (tibia kanan)
4. Tinggi Badan = 847 + 2,22 (tibia kiri)
5. Tinggi Badan = 867 + 2,19 (fibula kanan)
6. Tinggi Badan = 883 + 2,14 (fibula kiri)
7. Tinggi Badan = 847 + 2,60 (humerus kanan)
8. Tinggi Badan = 805 + 2,74 (humerus kiri
9. Tinggi Badan = 842 + 3,45 (radius kanan)
10. Tinggi Badan = 862 + 3,40 (radius kiri)
11. Tinggi Badan = 819 + 3,15 (ulna kanan)
12. Tinggi Badan = 847 + 3,06 (ulna kiri )
* Semua ukuran dalam satuan millimeter (mm).

h. Formula Amri Amir (Ismurizzal, 2011)

Formula yang dibuat oleh Prof.dr.Amri Amir pada tahun 1989 ini

dibuat berdasarkan pemeriksaan terhadap orang hidup pada laki-

laki dan perempuan dewasa muda

Rumus regresi hubungan tinggi badan dengan tulang panjang pada

laki-laki dengan nilai r2 untuk masing-masing tulang humerus,

radius, ulna, femur, tibia, dan fibula.


19

Tabel 9. Formula Amri Amir


No Tulang Rumus Regresi r2
1. Humerus 1,34 × H + 123,43 0,22
2. Radius 3,13 × R + 87,91 0,45
3. Ulna 2,88 × U + 91,27 0,43
4 Femur 1,42 × F + 109,28 0,30
5. Tibia 1,12 × T + 124,88 0,23
6. Fibula 1.35 x Fi + 117.20 9.29

Rumus regresi hubungan tinggi badan dengan ukuran beberapa

bagian tubuh pada laki-laki dengan nilai r2 untuk masing-masing

tulang rentang tangan, lengan, lengan bawah, symphisis tangan,

dagu vertex, dan klavikula.

Tabel 10. Formula Amri Amir


No Bagian Tubuh Rumus Regresi r2
1. Rentang Tangan 0,64 × RT + 56,98 0,62
2. Lengan 0,99 × L + 89,01 0,46
3. Lengan Bawah 1,81 × LB + 83,65 0,52
4. Symphisis Tangan 1,09 × SK + 71,59 0,62
5. Dagu Vertex 2,47 × DV + 104,53 0,14
6. Clavicula 2,27 × C + 130,30 0,14

Rumus regresi hubungan tinggi badan dengan tulang panjang pada

perempuan dengan nilai r2 untuk masing-masing tulang.

Tabel 11. Formula Amri Amir


No Tulang Rumus Regresi r2
1. Humerus 1,46 × H + 111,33 0,32
2. Radius 1,30 × R + 119,38 0,30
3. Ulna 2,83 × U + 86,75 0,46
4 Femur 0,79 × F + 124,67 0,17
5. Tibia 1,33 × T + 110,70 0,26
6. Fibula 1.71 x Fi + 90,20 0,36

Rumus regresi hubungan tinggi badan dengan ukuran beberapa

bagian tubuh pada perempuan dengan nilai R2 untuk masing-

masing tulang.
20

Tabel 12. Formula Amri Amir


No Bagian Tubuh Rumus Regresi r2
1. Rentang Tangan 0,64 × RT + 53,64 0,69
2. Lengan 0,87 × L + 92,65 0,39
3. Lengan Bawah 1,83 × LB + 78,36 0,44
4. Symphisis Tangan 0,98 × SK + 76,92 0,56
5. Dagu Vertex 0,49 × DV + 143,30 0,02
6. Clavicula 2,15 × C + 124,58 0,27

i. Formula Ismurrizal (Ismurizzal, 2011)

Penelitian oleh Ismurrizal yang meneliti untuk mengetahui korelasi

antara tinggi badan dengan panjang telapak tangan pada kelompok

orang Medan, didapatkan koefisien korelasi 0,680 untuk panjang

telapak tangan kanan dan 0,684 untuk panjang telapak tangan kiri.

Rumus regresi:

TB = 71,395 + 5,436 (panjang telapak tangan kanan)

TB = 72,039 + 5,458 (panjang telapak tangan kiri)

TB (laki-laki) = 92,576 + 4,346 (panjang telapak tangan kanan)

TB (laki-laki) = 90,576 + 4,511 (panjang telapak tangan kiri)

TB (perempuan) = 104,536 + 3,321 (panjang telapak tangan kanan)

TB (perempuan) = 105,714 + 3,286 (panjang telapak tengan kiri).

j. Formula Oria dkk., (2016)

Perkiraan tinggi badan berdasarkan panjang telapak tangan dan

lebar telapak tangan pada populasi Cross River State di Nigeria,

didapatkan koefisien korelasi 0,614 untuk kelompok laki-laki dan

0,621 untuk kelompok perempuan. Rumus regresi:

TB (laki-laki) = 106,463 + 3,186 (panjang telapak tangan)


21

TB (perempuan) = 91,879 + 3,876 (panjang telapak tangan)

k. Formula Pal dkk., (2016)

Estimasi tinggi badan berdasarkan pengukuran dimensi tangan

pada populasi Benggala di India, didapatkan koefisien korelasi

sebesar 0,688.

Rumus regresi:

TB = 88,1 + 3,88 (panjang telapak tangan)

l. Formula Ilayperuma dkk., (2009)

Prediksi tinggi badan berdasarkan panjang telapak tangan pada

mahasiswa kedokteran Universitas Ruhuna di Sri Lanka,

didapatkan koefisien korelasi 0,580 untuk kelompok laki-laki dan

0,590 untuk kelompok perempuan.

Rumus regresi:

TB = 60,807 + 5,637 (panjang telapak tangan)

TB (laki-laki) = 103,732 + 3,493 (panjang telapak tangan)

TB (perempuan) = 93,689 + 3,625 (panjang telapak tangan)

m. Formula Wakode dkk., (2015)

Prediksi tinggi badan menggunakan pengukuran telapak tangan di

Maharashtra, India, didapatkan koefisien korelasi 0,6994 untuk

telapak tangan kanan kelompok laki-laki, 0,6571 untuk telapak tangan

kiri kelompok laki-laki dan 0,6935 untuk telapak tangan kanan


22

kelompok perempuan, 0,6538 untuk telapak tangan kiri kelompok

perempuan.

Rumus regresi:

TB (laki-laki) = 91,633 + 4,352 (panjang telapak tangan rerata)

TB (laki-laki) = 85,663 + 4,678 (panjang telapak tangan kanan)

TB (laki-laki) = 97,014 + 4,052 (panjang telapak tangan kiri)

TB (perempuan) = 79,376 + 4,687 (panjang telapak tangan rerata)

TB (perempuan) = 76,727 + 4,840 (panjang telapak tangan kanan)

TB (perempuan) = 81,001 + 4,535 (panjang telapak tengan kiri).

3. Telapak Tangan

Gambar 2. Tulang Telapak Tangan/Palmar

(Paulsen dan Waschke, 2014)

Struktur anatomis telapak tangan terdiri dari dua bagian utama yaitu

Bagian tulang terdiri dari Carpal, Metacarpal, dan Phalangs serta bagian

lunak yang terdiri dari Otot, Saraf, Vascular, Jaringan lemak, dan Jaringan
23

Ikat sendi (Snell, 2012). Menurut Paulsen dan Waschke (2014)

menyatakan bahwa tulang telapak tangan/palmar (manus) terdiri dari tiga

bagian utama yaitu pergelangan tangan (carpus dengan Ossa carpi),

metacarpal (metacarpus dengan Ossa metacarpi) dan jari-jari tangan

(digiti dengan Ossa digitorum).

a) Pergelangan Tangan (Carpus)

Pergelangan tangan (carpus) terdiri dari deretan proksimal dan

distal. Deretan proksimal apabila diurutkan dari radial ke ulnar, terdiri

dari Os scaphoideum, Os lunatum, dan Os triquetrum. Os pisiforme,

walaupun terletak berdekatan dengan Os triquetrum, bukan termasuk

bagian Ossa carpi tetapi berperan sebagai Os sesamoideum untuk

tendon M. flexor carpi ulnaris. Deretan distal apabila diurutkan dari

radial ke ulnar, terdiri dari Os trapezium, Os trapezoideum, Os

capitatum, dan Os hamatum. Tulang-tulang pergelangan tangan

tersebut akan berartikulasi dengan distal ulna dan distal radius, serta

dengan proksimal tulang-tulang metacarpal (Paulsen dan Waschke,

2014; Snell, 2012).

b) Metacarpus

Tulang metacarpus terdiri dari lima tulang panjang yang bagian

proksimalnya berartikulasi dengan distal tulang-tulang pergelangan

tangan (carpus). Masing-masing tulang metacarpus mempunyai basis,

corpus dan caput. Tulang metacarpal 1 (ibu jari) dan metacarpal 2 (jari
24

telunjuk) terdapat tulang sesamoid (tulang yang terbenam didalam

tendon) (Paulsen dan Waschke, 2014; Snell, 2012).

c) Jari-jari Tangan (Digiti)

Jari-jari (digiti) diklasifikasikan sebagai tulang panjang, juga

disebutsebagai phalanges. Ibu jari (Pollex) hanya terdiri dari dua

phalanges, berbedadengan jari lain (Index, Medius, Anularius, dan

Minimus) yang terdiri dari tiga phalanges (Paulsen dan Waschke,

2014; Snell, 2012).

4. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tulang

a) Faktor Internal

1) Genetik

Faktor genetik dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak

dengan orangtuanya dalam hal bentuk tubuh, proporsi tubuh dan

kecepatan perkembangan. Diasumsikan bahwa selain aktivitas

nyata dari lingkungan yang menentukan pertumbuhan, kemiripan

ini mencerminkan pengaruh gen yang dikontribusi oleh orang

tuanya kepada keturunanannya secara biologis. Gen tidak secara

langsung menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi

ekspresi gen yang diwariskan kedalam pola pertumbuhan

dijembatani oleh beberapa sistem biologis yang berjalan dalam

suatu lingkungan yang tepat untuk bertumbuh. Misalnya gen dapat

mengatur produksi dan pelepasan hormon seperti hormon

pertumbuhan dari glandula endokrin dan menstimulasi


25

pertumbuhan sel dan perkembangan jaringan terhadap status

kematangannya (matur state) (Supariasa, 2002).

Selama masa anak-anak, hormon yang paling penting dalam

pertumbuhan adalah Insulinlike Growth Factors (IGFs), yang

diproduksi oleh liver dan jaringan tulang. Insulinlike Growth

Factors menstimulasi osteoblas, mendorong pembelahan sel pada

epifiseal dan periosteum, juga meningkatkan sintesis protein yang

dibutuhkan untuk memproduksi tulang baru. Hormon ini

diproduksi sebagai respon dari sekresi human Growth Hormone

(hGH) pada lobus anterior kelenjar pituitari. Hormon tiroid juga

mendorong pertumbuhan tulang dengan merangsang stimulasi

osteoblas. Hormon insulin juga membantu pertumbuhan tulang

dengan cara meningkatkan sintesis protein tulang. Ketika mencapai

ledakan pertumbuhan (growth spurt) sekresi hormon yang dikenal

dengan seks hormon akan mempengaruhi pertumbuhan tulang

secara drastis, yaitu hormon testosteron dan hormon estrogen.

Kedua hormon tersebut berfungsi untuk meningkatkan aktivitas

osteoblas dan mensintesis matriks ekstraselular tulang. Pada usia

dewasa seks hormon berkontribusi dalam remodeling tulang

dengan memperlambat penyerapan tulang lama dan mempercepat

deposit tulang baru (Supariasa, 2002).


26

2) Jenis Kelamin

Pertumbuhan manusia dimulai sejak dalam kandungan, sampai usia

kira-kira 10 tahun anak laki-laki dan perempuan tumbuh dengan

kecepatan yang kira-kira sama. Sejak usia 12 tahun, anak laki-laki

sering mengalami pertumbuhan lebih cepat dibandingkan

perempuan, sehingga kebanyakan laki-laki yang mencapai remaja

lebih tinggi daripada perempuan. Secara teori disebutkan bahwa

umumnya laki-laki dewasa cenderung lebih tinggi dibandingkan

perempuan dewasa dan juga mempunyai tungkai yang lebih

panjang, tulangnya yang lebih besar dan lebih berat serta massa

otot yang lebih besar dan padat. Laki-laki mempunyai lemak

subkutan yang lebih sedikit, sehingga membuat bentuknya lebih

angular. Sedangkan perempuan dewasa cenderung lebih pendek

dibandingkan laki-laki dewasa dan mempunyai tulang yang lebih

kecil dan lebih sedikit massa otot. Perempuan lebih banyak

mempunyai lemak subkutan. Perempuan mempunyai sudut siku

yang lebih luas, dengan akibat deviasi lateral lengan bawah

terhadap lengan atas yang lebih besar (Moore dan Agur, 2002).

Pacu tumbuh selama masa pubertas berperan sebesar 17% dari

tinggi badan anak laki-laki sementara perempuan hanya 12%. Hal

ini disebabkan oleh adanya growth hormone (GH) yang meningkat

pada masa pubertas akhir pada laki-laki dan pubertas awal pada

perempuan (Styne, 2003). Hal ini pula yang mungkin


27

menyebabkan pada umur 12 tahun laki-laki memiliki pertumbuhan

yang lebih cepat dibandingkan dengan perempuan, sementara

perempuan pada umur 10-14 tahun (Moore dan Agur, 2002).

Selain itu perbedaan tinggi tulang pada manusia juga disebabkan

oleh maturasi dari berbagai tulang yang menyusun tinggi badan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi maturasi tulang adalah jenis

kelamin, suku, hormon dan umur (Gilsanz dan Ratib, 2012).

3) Ras

Ras merupakan suatu sistem pengelompokan yang digunakan

untuk mengelompokkan manusia dalam kelompok besar dan

berbeda melalui ciri fenotipe, asal-usul geografis, penampakan

fisik/jasmani dan kesukuan yang terwarisi. Perbedaan ras memiliki

peran yang penting pada pengukuran tinggi badan, perbedaan ras

dapat diliat dari warna kulit rambut dan sebagainya. Pada ras

negroid (Afrika dan Skandinavia) memiliki tinggi badan yang lebih

besar jika dibandingkan dengan ras mongoloid (Asia) hal ini

disebabkan oleh tungkai mereka yang panjang (Moore dan Agur,

2002). Penentuan ras juga berguna untuk menentukan tinggi badan

kaitannya dengan formula yang tersedia. Dengan melakukan

pemeriksaan yang baik seorang ahli dapat menentukan apakah

tulang yang diperiksa berasal dari ras Mongoloid, Negroid ataupun

Kaukasoid (Idries dan Tjiptomartono, 2013).


28

b) Faktor Eksternal

1) Lingkungan

Lingkungan dalam hal ini adalah lingkungan biofisik serta

lingkungan psiko-sosial yang mempengaruhi individu setiap

harinya dan akan menentukan tercapainya potensial bawaan

individu tersebut. Lingkungan dibagi menjadi lingkungan pra-natal

dan lingkungan post-natal (Silventoinen, 2003).

Lingkungan pra-natal terjadi pada saat kehamilan ibu, banyak hal

yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari masa

konsepsi hingga lahir seperti gizi ibu pada saat hamil.Kurangnya

gizi ibu pada saat hamil dapat menghambat pertumbuhan janin dan

akan berpengaruh terhadap daya tahan tubuh janin ketika lahir

sehingga rentan terkena infeksi, selanjutnya hal itu akan berdampak

pada terhambatnya pertumbuhan tinggi badan. Lingkungan post-

natal yang akan mempengaruhi pertumbuhan bayi setelah lahir

antara lain adalah lingkungan biologis, gizi, perawatan kesehatan,

kerentanan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi, adanya

gangguan fungsi tubuh seperti gangguan fungsi metabolisme dan

hormon. Selain faktor tersebut, faktor psikososial dan faktor

keluarga termasuk di dalamnya adat istiadat yang berlaku dalam

lingkungan masyarakat tempat tinggal, juga turut berpengaruh

terhadap pertumbuhan bayi (Silventoinen, 2003).


29

2) Gizi

Gizi yang buruk pada anak-anak dapat menyebabkan

berkurangnya asupan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh untuk

tumbuh. Sedangkan gizi yang baik akan mencukupi kebutuhan

tubuh dalam rangka pertumbuhan. Beberapa zat gizi yang

dibutuhkan dalam pertumbuhan dan remodeling tulang adalah

mineral dan vitamin. Sejumlah besar kalsium dan fosfat

dibutuhkan dalam proses pertumbuhan tulang, dan sejumlah kecil

magnesium, fluoride dan mangan. Vitamin A menstimulasi

aktivitas osteoblas. Vitamin C dibutuhkan untuk mensintesis

kolagen, protein utama dari tulang. Vitamin D membantu

pertumbuhan tulang dengan cara meningkatkan absorbsi kalsium

dari makanan pada sistem gastrointestinal ke dalam darah. Vitamin

K dan B juga dibutuhkan untuk sintesis protein tulang (Supariasa,

2002).

3) Obat-obatan

Beberapa jenis obat-obatan dapat mempengaruhi hormon

pertumbuhan seperti growth hormon atau hormon tiroid.

Penggunaan obat dengan dosis yang salah dapat menyebabkan

terganggunya hormon tersebut dan dapat mempercepat berhentinya

pertumbuhan. Pemakaian beberapa jenis obat juga dapat

mengganggu metabolisme tulang. Jenis obat tersebut antara lain

kortikosteroid, sitostatika (metotreksat), anti kejang, anti koagulan


30

(heparin, warfarin). Beberapa obat tertentu dapat meningkatkan

resiko terkena osteoporosis. Obat tersebut tampaknya

meningkatkan kehilangan tulang dan menurunkan laju

pembentukan tulang. Obat tersebut antara lain kortison. Tetapi efek

ini hanya terjadi jika obat tersebut digunakan dalam dosis tinggi,

atau diberikan selama 3 bulan atau lebih. Penggunaan obat ini

selama beberapa hari, atau beberapa minggu, biasanya tidak

meningkatkan resiko timbulnya osteoporosis. Pengobatan tiroid

juga berperan terhadap timbulnya osteoporosis (Supariasa, 2002).

4) Penyakit

Menurut Supariasa (2002) beberapa penyakit dapat

menyebabkan atrofi pada bagian tubuh, sehigga terjadi penyusutan

tinggi badan. Beberapa penyakit tersebut adalah:

a. Kelainan akibat gangguan sekresi hormon pertumbuhan dapat

menyebabkan gigantisme, kretinisme dan dwarfisme.

Gigantisme adalah kelainan yang disebabkan oleh karena sekresi

Growth Hormone (GH) yang berlebihan dan terjadi sebelum

dewasa atau sebelum proses penutupan epifisis. Apabila terjadi

setelah dewasa, pertumbuhan tinggi badan sudah terhenti maka

akan menyebabkan akromegali yaitu penebalan tulang-tulang

dan jaringan lunak. Kretinisme memiliki sumber penyebab yang

sama dengan gigantisme, yaitu GH. Pada kretinisme terjadi

kekurangan sekresi dari GH. Dwarfisme merupakan suatu


31

sindrom klinis yang diakibatkan oleh insufisiensi hipofisis yang

pada umumnya memengaruhi semua hormon yang secara

normal disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior.

b. Kelainan pada sikap tubuh dapat berupa skoliosis, kifosis dan

lordosis. Yang dimaksud dengan skoliosis adalah kelainan pada

tulang belakang tubuh sehingga tubuh ikut melengkung

kesamping. Kifosis adalah kelainan pada tulang belakang tubuh

yang melengkung ke belakang, sehingga tubuh menjadi

bungkuk. Adapun yang dimaksud dengan lordosis adalah

merupakan kelainan pada tulang belakang bagian perut

melengkung ke depan sehingga bagian perut maju.

c. Pada lanjut usia biasanya menderita osteoporosis. Osteoporosis

merupakan penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh

penurunan densitas masa tulang dan perburukan mikroarsitektur

tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.

Osteoporosis diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu tipe I dan tipe

II. Tipe I lebih disebabkan karena menopause sehingga

perbandingan laki-laki dan perempuannya adalah 1:6 dengan

usia kejadian 50-75 tahun. Pada osteoporosis tipe II yang

disebut juga sebagai osteoporosis senilis, disebabkan karena

gangguan absorbsi kalsium di usus sehingga menyebabkan

hiperparatiroidisme sehingga menyebabkan timbulnya


32

osteoporosis. Angka kejadian laki-laki dibanding perempuan

adalah 1:2 dengan usia diatas 70 tahun.

5. Hubungan Panjang Telapak Tangan dengan Tinggi Badan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Santosa (2014) untuk

mengetahui korelasi antara tinggi badan dengan panjang telapak tangan

pada mahasiswa fakultas kedokteran universitas sebelas maret

mendapatkan koefisien korelasi sebesar 0,971 untuk panjang telapak

tangan kanan dan 0,968 untuk panjang telapak tangan kiri. Penelitian lain

yang juga dilakukan Oria dkk., (2016) yang juga meneliti perkiraan tinggi

badan berdasarkan panjang telapak tangan dan lebar telapak tangan pada

populasi Cross River State di Nigeria mendapatkan koefisien korelasi

0,614 untuk kelompok laki-laki dan 0,621 untuk kelompok perempuan.

Estimasi tinggi badan berdasarkan pengukuran dimensi tangan pada

populasi Benggala di India mendapatkan koefisien korelasi 0,688.17. (Pal

dkk., 2016). Penelitian oleh Wakode dkk., (2015) yang juga meneliti

prediksi tinggi badan menggunakan pengukuran telapak tangan di

Maharashtra, India, didapatkan koefisien korelasi 0,6994 untuk telapak

tangan kanan kelompok laki-laki, 0,6571 untuk telapak tangan kiri

kelompok laki-laki dan 0,6935 untuk telapak tangan kanan kelompok

perempuan, 0,6538 untuk telapak tangan kiri kelompok perempuan.

Menurut penelitian yang dilakukan di India Utara terdapat korelasi

yang bermakna dengan rumus korelasi Pearson antara panjang jari


33

telunjuk dan jari manis terhadap tinggi badan dan hal ini lebih berkorelasi

pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (Krishan dkk., 2012).

Penelitian hubungan antara panjang jari terhadap tinggi badan yang

dilakukan di India menggunakan rumus korelasi Pearson juga

menunjukkan adanya korelasi yang lebih kuat jika dilakukan pada laki-laki

dibanding perempuan dengan koefisien korelasi pada perempuan adalah

0,342 dan pada laki-laki 0,513 (Oladipo dkk., 2015).

Oleh karena itu, pada hubungan antara tinggi badan dengan jari tangan

ditemukan korelasi yang bermakna terutama pada jari telunjuk, jari tengah

dan jari manis namun pada ibu jari dan kelingking tidak ditemukan

korelasi. Semakin panjang jari maka semakin tinggi pula perkiraan

tingginya (Fatati, 2014).


34

B. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kecelakaan
2. Tindak pidana Identifikasi
3. Bencana alam

Panjang Telapak
Tinggi Badan
Tangan

Pertumbuhan Tulang

Faktor Internal Faktor Eksternal


1. Jenis Kelamin 1. Lingkungan :
2. Genetik : Pranatal dan Postnatal
Hormon insulin, 2. Gizi :
tiroid, IGFs, Mineral, Vitamin (Vit. A, Vit. C, Vit. D, Vit. K,
testosteron, dan Vit. B12), Ca, PO43-, Mg, F, dan Mn
estrogen 3. Obat-obatan :
3. Ras
- Dosis yang salah
- Kortikosteroid, sitostatika (metotreksat), anti
kejang, anti koagulan (heparin, warfarin)
- Kortison dosis tinggi
4. Penyakit :
Gigantisme, kretinisme, dwarfisme, skoliosis,
kifosis, lordosis, dan osteoporosis.

Gambar 3. Kerangka Teori Penelitian


35

C. Hipotesis

1. Hipotesis Nol

Tidak terdapat korelasi antara panjang telapak tangan dengan tinggi badan

pada mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Fakultas MIPA Universitas

Halu Oleo.

2. Hipotesis Alternatif

Terdapat korelasi antara panjang telapak tangan dengan tinggi badan pada

mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Fakultas MIPA Universitas Halu

Oleo.

D. Kerangka Konsep

Panjang Telapak Tangan Tinggi Badan

Gambar 4. Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel bebas

: Variabel terikat

Anda mungkin juga menyukai