September 1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solehah. Ia lahir dengan nama Abdurrahman
Addakhil atau “Sang Penakluk”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus”
adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai.
Gus Dur merupakan putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat
terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari,
adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri,
adalah pengajar pesantren. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis
dan menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok
Pesantren Denanyar Jombang.
Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa
Qotrunnada, Zanubba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Yenny aktif berpolitik di PKB dan saat ini adalah Direktur The Wahid Institute.
Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo,
Jakarta, pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, diantarnya jantung dan gangguan
ginjal yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat dia harus menjalani cuci darah rutin.
Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Surabaya usai mengadakan
perjalanan di Jawa Timur.
1. Pendidikan
a. Ketua PBNU
b. Anggota MPR RI
Ia menjadi anggota MPR dari Golkar. Meskipun disukai rezim, Gus Dur acap
mengkritik pemerintah, diantaranya proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai Bank
Dunia. Ini merenggangkan hubungannya dengan pemerintah dan Suharto. Selama
masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren
dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi
sekolah sekular. Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua PBNU
pada Musyawarah Nasional 1989. Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran
politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati Muslim. Pada November 1996, Gus
Dur dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai
ketua NU. Desember tahun itu juga dia bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI
yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Juli 1997 merupakan awal krisis
moneter dimana Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi itu. Gus Dur didorong
melakukan gerakan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun terkena stroke
pada Januari 1998. Pada 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama delapan pemimpin
komunitas Muslim, dipanggil Soeharto yang memberikan konsep Komite Reformasi
usulannya. Gus Dur dan delapan orang itu menolak bergabung dengan Komite
Reformasi. Amien, yang merupakan oposisi Soeharto paling kritis saat itu, tidak
menyukai pandangan moderat Gus Dur terhadap Soeharto. Namun, Soeharto
kemudian mundur pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden
menggantikan Soeharto. Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah lahirnya partai
politik baru, dan pada Juni 1998, komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai
politik baru.
Baru pada Juli 1998 Gus Dur menanggapi ide itu karena mendirikan partai
politik adalah satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum.
Partai itu adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada 7 Februari 1999, PKB resmi
menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya.
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek)
menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan
penggunaan huruf Tionghoa. Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus
Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri. Pada Pemilu April 2004,
PKB memperoleh 10.6% suara dan memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun,
Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis dan KPU menolak memasukannya
sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan
Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Di Pilpres
putaran dua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur
golput. Agustus 2005, Gus Dur, dalam Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu bersama
Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati mengkritik kebijakan
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama dalam soal pencabutan subsidi
BBM.
3. Penghargaan Gusdur
Pada 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius
untuk kategori kepemimpinan sosial. Dia ditahbiskan sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa
tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004. Pada
11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang
Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam
memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi
di Indonesia. Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang
bergerak di bidang penegakan HAM karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli
persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los
Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas. Dia juga
memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama
kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.