Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Sebelum kegiatan penambangan dimulai perlu dilakukan suatu kegiatan yaitu
perancangan tambang. Perancangan tambang dimaksudkan sebagai bagian dari
proses perencanaan tambang yang berkaitan dengan masalah-masalah geometrik.
Perancangan tambang dilakukan sesuai dengan kondisi asli dari area yang akan
ditambang sesuai dengan hasil kegiatan eksplorasi yang telah dilakukan
sebelumnya. Dua aspek penting dalam pekerjaan desain tambang adalah desain pit
atau penentuan batas akhir penambangan, serta pentahapan dan penjadwalan
produksi hingga ke perencanaan tahunan atau bulanan.
Salah satu masalah yang timbul pada perancangan desain tambang yaitu
bagaimana cara merancang desain suatu tambang yang aman dan akurat untuk
keperluan tahapan perencanaan selanjutnya, serta optimal dalam memenuhi target
produksi yang diinginkan.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan studi mengenai dasar-dasar
dan Checklist data awal yang harus dikumpulkan pada perancangan desain,
termasuk pengaruh rancangan desain pit terhadap rancangan desain penimbunan,
sehingga pada akhirnya nanti dapat diketahui bagaimana cara merancang suatu
desain penambangan yang baik dan benar.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penulisan ini akan dibahas mengenai dasar – dasar
pada perancangan desain tambang batubara serta pengaruh rancangan desain pit
penambangan terhadap rancangan penimbunan.

1.3 Batasan Masalah


Adapun batasan masalah dalam penulisan ini adalah membahas mengenai
dasar–dasar perancangan desain pit, jalan angkut (ramp), Rancangan timbunan dan
pengaruh rancangan desain pit penambangan terhadap rancangan timbunan .

1
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan seminar mengenai perancangan desain tambang
batubara ini adalah:
1. Mengetahui Checklist data awal yang harus dikumpulkan pada perancangan
desain tambang batubara.
2. Mengetahui dasar – dasar pada perancangan desain tambang batubara
3. Mengetahui pengaruh rancangan desain pit penambangan terhadap rancangan
penimbunan

1.5 Metode Penulisan


Metode penyusunan laporan dalam penulisan seminar tambang yang
digunakan adalah :
1. Metode Pustaka atau Studi Literatur
Dalam metode ini mengambil bahan atau sumber bacaan dari literatur-
literatur atau referensi, serta media elektronik seperti internet sebagai masukan
utama.
2. Metode Penyusunan Laporan
Dari data-data yang diperoleh dari buku-buku, referensi atau internet maka
diolah kembali dan disusun mengacu pada referensi dari literatur yang digunakan.
3. Kesimpulan
Kesimpulan diperoleh setelah dilakukan korelasi antara hasil pustaka dari
berbagai sumber yang telah dilakukan penulisan dan penyusunan dengan
permasalahan yang diteliti.

1.6 Manfaat Penulisan


Penulisan seminar ini diharapkan dapat bermanfaat antara lain sebagai:
1. Tambahan pengetahuan bagi penulis dan pembaca dalam membuat
rancangan desain penambangan batubara.
2. Referensi dalam penyusunan penulisan mengenai rancangan desain
penambangan batubara.

2
BAB II
DASAR TEORI

2.1. Genesa Batubara


Endapan batubara terbentuk oleh sisa–sisa tumbuhan yang telah mati dan
terendapkan pada daerah rawa. Endapan sisa tumbuhan ini kemudian tertimbun
oleh material lain sehingga selama jangka waktu geologi (puluhan juta tahun
sampai ratusan juta tahun) mengalami perubahan tekanan dan temperature
sehingga terjadi proses pembatubaraan (coalification).
Bentuk endapan batubara tergantung pada lingkungan cekungan
pembentuknya. Endapan batubara yang terbentuk pada ujung cekungan umumnya
ketebalannya tidak menerus bias menipis atau bahkan menghilang. Sedangkan
endapan batubara yang terbentuk pada inti cekungan ketebalannya relative sama
dan menerus.

2.2. Rencana Penambangan


Rencana Penambangan yang baik akan menjadi kunci suksesnya kegiatan
penambangan. Semua aspek harus diperhitungkan dengan matang agar semua
kegiatan penambangan berjalan lancar, efektif dan efisien.

2.2.1. Pemilihan Metode Penambangan Batubara Pada Sistem Tambang


Terbuka
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan metode penambangan
batubara pada system tambang terbuka, antara lain:
a. Kondisi topografi
Kondisi topografi lokasi penambangan merupakan satu parameter penting
pemilihan metode penambangan batubara secara terbuka. Metode penambangan
yang diterapkan untuk kondisi topografi yang berupa perbukitan akan berbeda
dengan metode penambangan yang diterapkan untuk kondisi topografi yang datar.
b. Kondisi endapan batubara
Kondisi endapan batubara akan mempengaruhi pemilihan metode
penambangan, terutama menyangkut ukuran endapan batubara (ketebalan), bentuk

3
endapan batubara, kemiringan endapan batubara serta kedalaman dari endapan
batubara yang akan berpengaruh terhadap ketebalan lapisan overburden.
c. Ketebalan lapisan overburden dan interburden
Endapan batubara yang terletak cukup dalam akan menyebabkan lapisan
overburden atau interburden pada daerah penambangan menjadi tebal. Lapisan
overburden yang tebal akan mempengaruhi pemilihan metode penambangan
terutama menyangkut keberadaan endapan batubara yang masih dapat ditambang
secara ekonomis.

2.2.2. Metode Penambangan Batubara Pada Sistem Tambang Terbuka


Metode penambangan pada sistem tambang terbuka untuk endapan
batubara terdiri dari beberapa metode penambangan. Penentuan metode
penambangan tersebut akan dipengaruhi oleh kondisi topografi lokasi
penambangan, kondisi endapan batubara serta ketebalan lapisan overburden.
Beberapa metode penambangan batubara secara terbuka, antara lain:
a. Contour Mining
Metode contour mining pada umumnya digunakan untuk menambang
endapan batubara yang tersingkap di lereng pegunungan atau bukit. Kegiatan
penambangan diawali dengan pengupasan overburden di daerah singkapan
batubara (outcrop) di sepanjang lereng mengikuti garis kontur kemudian diikuti
penggalian endapan batubaranya (Gambar 2.1).

(Sumber: Chioronis, 1987)

Gambar 2.1
Metode Contour Mining

4
Penggalian dilanjutkan ke arah tebing sampai pada batas penggalian yang
masih ekonomis karena tebalnya lapisan overburden yang harus dikupas untuk
mendapatkan batubara. Alat-alat mekanis yang digunakan sebaiknya merupakan
alat-alat yang mudah dipindahkan karena keterbatasan daerah yang bisa ditambang.
b. Strip Mining
Metode strip Mining pada umumnya digunakan untuk menambang endapan
batubara yang memiliki kemiringan kecil atau datar. Selain itu endapan batubara
harus tebal, terutama bila lapisan tanah penutupnya juga tebal (Gambar 2.2). Hal
ini dimaksudkan untuk mendapatkan perbandingan yang masih ekonomis antara
jumlah overburden yang harus dikupas dengan jumlah batubara yang dapat digali.
Pada metode ini, baik untuk pengupasan tanah penutup maupun penggalian
batubara digunakan sistem jenjang. Kemajuan penambangan didahului oleh
kemajuan jenjang pada lapisan tanah penutup, kemudian diikuti oleh kemajuan
jenjang pada penggalian batubara.

(Sumber: Hartman, 1987)

Gambar 2.2
Metode Strip Mining

c. Area mining
Metode area mining pada umumnya digunakan untuk menambang endapan
batubara yang memiliki kemiringan endapan relatif datar dengan daerah topografi
yang datar (Gambar 2.3).

5
(Sumber: Prodjosumarto, 1989)

Gambar 2.3
Metode Area Mining

Kegiatan penambangan dimulai dengan mengupas lapisan overburden


dengan cara membuat suatu paritan yang disebut box cut, kemudian menimbun
lapisan overburden pada lokasi yang tidak ditambang (waste dump area).
Penggalian overburden juga diikuti dengan penggalian endapan batubaranya.
Setelah batubara dari penggalian pertama dapat diambil, maka diikuti dengan
dengan pengupasan berikutnya tetapi lapisan overburden ditimbun pada lokasi
yang sudah ditambang. Proses penambangan dilakukan secara terus menerus
dengan cara yang sama. Pada penggalian terakhir, lubang yang ada dapat ditutup
dengan memindahkan lapisan overburden pada penggalian pertama ke lubang
tersebut.

2.2.3. Nisbah Pengupasan (Stripping Ratio)


Untuk batubara, nisbah pengupasan adalah perbandingan antara volume
tanah penutup yang harus dipindahkan terhadap satu ton batubara yang ditambang.
Perbandingan antara tanah penutup dan batubara tersebut akan memberikan nisbah
pengupasan rata-rata suatu open-pit.

𝑀𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝,𝐵𝐶𝑀
SR (Stripping Ratio) =
𝐵𝑎𝑡𝑢𝑏𝑎𝑟𝑎,𝑡𝑜𝑛

6
Break Even Striping Ratio ( BESR )
Analisis nisbah pengupasan ini dilakukan untuk menentukan sistem
penambangan yang akan digunakan, apakah tambang terbuka atau tambang bawah
tanah. Tinggi rendahnya BESR sangat dipengaruhi oleh :
- Kualitas batubara yang akan ditambang
- Harga batubara dipasaran
- Keadaan endapan batubara
Didalam analisis ini, akan diperoleh suatu hasil keekonomian dimana kita
akan mengetahui batas untung dan ruginya tambang tersebut.
BESR (1) ini juga dikenal sebagai nisbah pengupasan (overall stripping ratio)

BESR(1)=

Setelah ditentukan bahwa akan menggunakan sistem tambang tambang terbuka,


maka dalam rangka pengembangan rancangan penambangannya digunakan
BESR(2) sebagai berikut ;

Nilai bahan galian yang ditambang/ton batubara −Biaya produksi/ton batubara


BESR (2) =
Biaya pengupasan/BCM OB

BESR(2) ini biasanya disebut nisbah pengupasan ekonomis (economic stripping


ratio) yang menunjukkan besarnya keuntungan yang bisa diperoleh bila endapan
bahan galian itu ditambang secara terbuka.

2.3. Perancangan Tambang


Perancangan tambang merupakan suatu tahap penting dalam rencana operasi
penambangan. Perancangan tambang yang modern memelukan permodelan
computer dari sumberdaya yang akan ditambang. Model tersebut endapan tabular
seperti batubara. Dua aspek penting dalam pekerjaan perencanaan tambang, yaitu
penentuan batas akhir penambagan dan penjadwalan produksi.
Berdasarkan waktu perencanaan dibagi dalam :
1) Perencanaan jangka panjang, perencanaan komprehesif dari seluruh cadangan
ang ada dan nilai ekonominya: mengeksplorasi deposit yang menguntungkan
untuk memperkirakan ekstraksi dari keseluruhan sumberdaya.

7
2) Perencanaan jangka menengah: program – program yang lebih detil dan saling
berhubungan, seperti sasaran produksi tahunan.
3) Perencanaan jangka pendek: control yang sangat detil terhadap produksi
harian.

2.3.1. Geometri Jenjang


Perencanaan jenjang meliputi panjang, lebar serta tinggi jenjang. Tinggi
jenjang berhubungan dengan kemampuan alat gali/muat, yaitu pada ketinggian
berapa alat dapat bekerja efektif. Lebar jenjang berhubungan dengan penentuan
ukuran minimal dimana alat dapat beroperasi dengan baik. Panjang jenjang berguna
dalam perhitungan produksi, sebab produksi merupakan hasil perkalian antara
panjang, lebar dan tinggi jenjang.
Geometri jenjang (tinggi, lebar dan kemiringan ) bergantung pada peralatan
yang digunakan, endapan yang digali dan kondisi kerja. Tinggi jenjang sesuai
dengan ukuran excavator menjamin keselamatan dan efisiensi kerja yang tinggi,
dimana peralatan dapat bekerja secara maksimal dan dapat memindahkan material
sesuai dengan kemampuannya.
Dalam operasi di pit, pengontrolan sudut lereng biasanya dilakukan dengan
menandai lokasi pucuk jenjang (crest) yang diinginkan menggunakan bendera
kecil. Operator excavator akan menggali sampai mengkukna diposisi bendera
tersebut.

Komponen dasar pada open pit adalah jenjang. Bagian jenjang utama adalah
crest, toe, lebar jenjang, lebar bank width (Gambar 2.4).

Lebar Jenjang

Tinggi Jenjang H
Sudut Lereng Jenjang
Crest Toe α
Lebar Lereng Jenjang H

(Sumber: Hustrulid, Kuchta and Martin, 1995)

Gambar 2.4 Bagian – bagian jenjang

8
Bentuk-bentuk jenjang yang lain adalah :
1.) Jenjang kerja
Jenjang kerja adalah jenjang dimana sebagian proses penambangan
berlangsung seperti penggalian dan pemuatan berlangsung. Jenjang kerja
biasanya berukuran lebih besar dari jenjang biasa. Hal ini bertujuan agar alat
yang beroperasi bias bebas bermanuver.

SB

keterangan
BH SB : safety bench
BH : working bench (jenjang kerja)
: cut (galian yang diambil)

(Sumber: Hustrulid, Kuchta and Martin, 1995)

Gambar 2.5 Working bench dan safety bench

2.) Jenjang penangkap (catch bench)


Jenjang penangkap (Gambar 2.6) merupakan jenjang yang berada di antara
jenjang utama yang dibuat guna menangkap material yang jatuh atau runtuh
dari jenjang sebelumnya. Ukuran dari jenjang ini biasanya relatif kecil dari
jenjang utamanya.

KETERANGAN
Wh
z
Wb : tinggi penangkap
Wb
Wh : lebar penangkap
Z : zona benturan
B : berm (penangkap)

(Sumber: Hustrulid, Kuchta and Martin, 1995)

Gambar 2.6 Jenjang penangkap

2.3.2. Sudut Lereng Inter-ramp dan Overall


Sudut lereng antar jalan (inter-ramp slope angle) adalah sudut lereng
gabungan beberapa jenjang di antara dua jalan angkut. Sudut lereng keseluruhan
(overall slope angle) adalah sudut yang sebenarnya dari dinding pit keseluruhan,

9
dengan memperhitungkan jalan angkut, jenjang penangkap dan semua profil lain di
pit wall.

Berikut ini adalah definisi overall slope dan interramp slope angle :
1.) Overall slope angle
Merupakan sudut kemiringan dari keseluruhan jenjang yang dibuat pada front
penambangan. Kemiringan ini diukur dari crest paling atas sampai dengan toe
paling akhir dari front penambangan.
upper most crest

overall slope
angle

lowest most toe

(Sumber: Hustrulid, Kuchta and Martin, 1995)

Gambar 2.7 Overall slope angle (α)

2.) Overall slope angle with ramp


Pengertiannya sama, namun pada bagian pertengahan overall slope diberi
salah satu jenjang yang dimensi ukurannya lebih lebar dan digunakan sebagai jalan
angkut.

Keterangan :

Θ : overall slope angle

R : ramp
θ

(Sumber: Hustrulid, Kuchta and Martin, 1995)

Gambar 2.8 Overall slope angle with ramp

10
3.) Interramp slope angle
Interramp slope angle merupakan sudut yang berada di antara ramp yang
diukur dari crest sampai dengan toe pada ramp.

C
Keterangan :

θ1R1 : interamp slope 1

θ1R2 : interamp slope 2

R R : ramp
θ1R1 RC
RT RT : ramp toe

RC : ramp crest

C : crest
θ1R2 T : toe
T

(Sumber: Hustrulid, Kuchta and Martin, 1995)

Gambar 2.9 Interramp slope angle

4.) Overall slope angle with working bench


Overall slope angle pada jenjang kerja dan beberapa jenjang lain diukur dari
crest sampai toe

WB

θω

Keterangan :

WB : Working bench

θω : Overal slope angle dengan working bench


(Sumber: Hustrulid, Kuchta and Martin, 1995)

Gambar 2.10 Overall slope angle with working bench

5.) Interramp slope angle dengan satu working bench


Kemiringan jenjang diukur dari crest pada bench yang sejajar jenjang kerja
sampai toe (Gambar 2.11).

11
(Sumber: Hustrulid, Kuchta and Martin, 1995)

Gambar 2.11 Interramp slope angle dengan satu working bench

6.) Overall slope angle dengan working bench dan ramp


Dalam satu overall slope terdapat satu jenjang kerja dan satu jenjang untuk
jalan angkut, lebarnya lebih besar daripada lebar jenjang yang biasa. Kemiringan
sudutnya diukur dari crest jenjang yang terletak diatas jenjang kerja sampai toe
pada jenjang paling akhir.

WB

Keterangan :

WB : Working bench

R : Ramp
θ
Θ : Overall slope angle dengan satu
Working bench dan ramp

(Sumber: Hustrulid, Kuchta and Martin, 1995)

Gambar 2.12 Overall slope angle dengan working bench dan ramp

12
7.) Interramp slope angle dengan working bench dan ramp

WB Keterangan :
θωR1
θωR1 : Interamp slope angle working bench 1

θωR2 : Interamp slope angle working bench 2


R
θωR2
θω : Interamp slope ramp 3

θωR3

(Sumber: Hustrulid, Kuchta and Martin, 1995)

Gambar 2.13 Interramp slope angle dengan working bench dan ramp

8.) Overall slope angle dengan dua working bench

Keterangan :

θ : Overall slope angle


WB1
dengan dua working bench

WB1 : Working bench 1


Sh1
WB2
WB2 : Working bench 2

Sh1 : Shovel group 1


Sh2
θSh2 : Shovel group 2

(Sumber: Hustrulid, Kuchta and Martin, 1995)

Gambar 2.14Overall slope angle dengan dua


R working
: Ramp bench
Θ : Overall slope angle dengan
satu Working bench dan
2.3.3. Cara Penggambaran Geometri Jenjang ramp

Ada beberapa cara menggambarkan lokasi jenjang dalam peta tambang. Satu
alternatif adalah dengan menggambar garis ketinggian menggunakan dua jenis
garis, misalnya tipis-tebal, putus-putus penuh (Gambar 2.15) atau dua warna yang
berbeda.

13
(Sumber: Maulana, 2008)

Gambar 2.15 Penggambaran crest dan toe pada peta

Alternatif yang lebih sederhana adalah menggunakan ketinggian titik tengah


jenjang (bench centerline) untuk mewakili suatu jenjang (Gambar 2.16). Dengan
demikian hanya diperlukan satu garis saja untuk menggambarkan suatu jenjang di
peta. Letak kontur ini tepat ditengah-tengah antara lokasi toe dan crest.
Garis-garis kontur di luar pit, ditandai dengan elevasi sebenarnya. Jenjang
di dalam pit, digambarkan pada lokasi titik tengahnya (mid bench) tetapi ditandai
dengan elevasi kaki jenjang (bench toe). Pada kenyataannya, label ini mengacu
pada dataran (misalnya elevasi catch bench) di antara dua centerlines. Garis kontur
titik tengah (bench centerlines) ini memotong jalan angkut di tengah-tengah antara
dua jenjang (separuh jalan antar jenjang).

(Sumber: Maulana, 2008)

Gambar 2.16 Penggambaran mid-bench dengan penulisan elevasi toe

14
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Dasar – dasar Perancangan Pada Tambang Terbuka


3.1.1 Dasar Rancangan Tambang
Perancangan Desain tambang dibuat berdasarkan geometri jenjang tambang
yang telah ditentukan. Dengan adanya desain tambang maka target produksi dan
umur tambang dapat ditentukan. Selain itu desain tambang juga sebagai salah satu
tahapan utama dalam penentuan studi kelayakan apakah bahan galian tersebut
prospek atau tidak jika dilakukan penambangan.

Checklist data awal yang harus dikumpulkan


1. Informasi data topografi detail
Topografi suatu daerah sangat berpengaruh terhadap sistem penambangan
yang digunakan. Dari faktor topografi ini,dapat ditentukan cara penggalian,
tempat penimbunan overburden, penentuan jenis alat, jalur-jalur jalan yang
dipergunakan,dan sistem penirisan tambang.
2. Informasi geoteknik
Hal ini termasuk detil dari kekuatan batuan, diskontinuitas pada batuan dan
hubungannya terhadap orientasi tiap face penambangan yang akan dirancang
(potensi lonsoran)
3. Informasi hidrogeologi
antara lain daerah tangkapan hujan, sumbangan air tanah, kedalaman muka
air tanah dan fluktuasinya seperti ; tekanan piezometrik, gradient hidrolik,
por ositas, permeabilitas pada lapisan – lapisan yang akan ditambang,
drainase alami pada permukaan, kemungkinan keberadaan lapisan akuifer
dan aquiclude, lokasi daerah yang pernah banjir dan lain sebagainya.
4. Overburden
Overburden merupakan lapisan yang menutupi bahangalian yang akan
ditambang, harus diketahui jenis batuannya untuk menentukan metode
penggaliannya dan harus diketahui ketebalannya untuk memperhitungkan
SR nya.

15
5. Informasi alat yang dimiliki
Digunakan untuk penentuan luas pit bottom dan untuk menentukan lebar
jalan tambang.
6. Kondisi iklim dan curah hujan
Data ini dapat diperoleh dari BMKG, range data curah hujan yang diambil
antara 10 – 15 tahun. Informasi data iklim dan curah hujan ini nantinya dapat
digunakan untuk penentuan efektifitas waktu kerja.
7. Informasi data kepemilikan lahan, infrastruktur, akses dan fasilitas umum
Informasi data ini nantinya akan digunakan untuk ganti rugi pembebsan
lahan dan berpengaruh terhadap penentuan cadangan.

Langkah-langkah pembuatan desain pit adalah sebagai berikut :


1. Langkah pertama : membuat model topografi (Gambar 3.1)

Gambar 3.1 Model Topografi


2. Langkah kedua : menentukan dimensi awal penambangan (pit bottom)
(Gambar 3.2). Ukuran pit bottom ini didasarkan pada ukuran alat muat dan
alat angkut yang dipakai sehingga dapat memberi keluasan gerak alat muat
dan angkut.

16
Gambar 3.2 Plotting pit bottom

3. Langkah ketiga : membuat crest (Gambar 3.3) sesuai dengan geometri


jenjang penambangan yang telah ditentukan (garis warna merah).

Gambar 3.3 Plotting garis crest

17
4. Langkah ke empat : menghapus garis crest yang berpotongan dengan garis
kontur pada peta dasar (Gambar 3.4). Elevasi crest harus sama dengan
ketinggian garis kontur yang akan dihapus.

Gambar 3.4 Menghapus garis crest pada elevasi topografi

5. Langkah 5 : pembuatan garis toe sesuai dimensi jenjang yang telah


ditentukan (Gambar 3.5). Garis toe ini dapat digambarkan dengan warna
berbeda (warna pink) dengan garis crest (warna merah) atau dengan garis
putus-putus.

Gambar 3.5 Plotting garis toe

18
6. langkah 6 : untuk memeriksa hasil penggambaran perlu dilakukan beberapa
sayatan (penampang A-A’ dan B-B’) terhadap desain pit yang telah
tergambarkan.

Gambar 3.6 Pemotongan kontur dan pembuatan sayatan

Langkah ini perlu dilakukan untuk memperbaiki kesalahan apabila dalam


penggambaran garis crest atau toe menyimpang terhadap garis kontur pada peta
dasar.

7. Langkah 7 : membuat gambar beberapa sayatan yang telah ditentukan pada


langkah (6)

Gambar 3.7 Penampang Pit

19
3.1.2 Dasar Perancangan Jalan Tambang
Pada suatu tambang yang baru letak jalan (ramp) keluar tambang sangat
penting untuk diperhitungkan. Jalan tambang umumnya merupakan akses ke lokasi
penambangan menuju keluar lokasi missal pembuangan tanah penutup (waste
dump) atau peremuk (crusher). Factor topografi merupakan pertimbangan utama
untuk pembuatan rancangan jalan tambang.
Kinerja alat muat dan alat angkut tergantung dari kondisi topografi. Lebar
jalan tergantung pada lebar alat angkut. Umumnya lebar jalan yang aman adalah 4
(empat) kali lebar dump truck. Berdasarkan dimensi tersebut memungkinkan untuk
lalu lintas dua arah, ruangan untuk truk yang akan menyusul, selokan penyaliran
dan tanggul pengaman.
Desain ini dapat memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam
perancangan dan memudahkan dalam akses ke jenjang – jenjang penambangan.
Kemiringan maksimum yang masih praktis pada jalan tambang yang panjang
adalah 10%. Umumnya pada tambang skala kecil merancang kemiringan jalan
sebesar 10% (gambar 3.8).
Rancangan spiral dan switchback biasanya dihindari karena cenderung
melambatkan arus lalu lintas. Pertimbangan lain adalah ban akan cepat aus,
perawatan ban menjadi lebih besar dan factor keamanan.
Apabila geometric memungkinkan dan mempertimbangkan keamanan, di
beberapa lokasi jalan tambang dapat di buat belokan tanjakan darurat untuk
menghentikan laju dump truck yang tidak terkendali. Selain itu perlu dibuat tanggul
pemisah (straddle berm) di tengah jalan. Pembuatan jalan tambang memiliki
dampak pada volume penggalian material yang sangat besar sehingga aspek
ekonomi dari pembuatan jalan tambang cukup signifikan. Dasar – dasar desain jalan
tambang adalah sebagai berikut :

20
(Sumber: Hustrulid, Kuchta and Martin, 1995)

Gambar 3.8 Rancangan ramp kemiringan 10 %

Tahap 1 : Plot crest pada peta dasar. Plotting crest ini didasarkan pada letak dan
ukuran model cadangan batubara (Gambar 3.9)

(Sumber: Yanto Indonesianto dan Hidayatullah sidiq 2017)

Gambar 3.9 Plotting Crest

Tahap 2 : Plot crest dan toe dengan dimensi lantai dasar tambang yang telah
ditentukan ( gambar 3.10). Jarak crest dan toe diplot berdasarkan geometri jenjang

(Sumber: Yanto Indonesianto dan Hidayatullah sidiq 2017)

Gambar 3.10 Plot Crest dan Toe

21
Tahap 3 : Buatlah titik awal sebagai dasar akses masuk ramp. Plot titik selanjutnya
memotong garis crest berikutnya. Jark antar titik crest satu dengan lainnya
berdasarkan geometri jenjang penambangan, lebar dan kemiringan jalan yang telah
ditentukan.

(Sumber: Yanto Indonesianto dan Hidayatullah sidiq 2017)

Gambar 3.11 Titik Awal Sebagai Akses Jalan Masuk

Tahap 4 : Hubungan titik – titik A, B, C , D. garis ini merupakan akses ke tambang

(Sumber: Yanto Indonesianto dan Hidayatullah sidiq 2017)

Gambar 3.12 Membuat Garis Akses Ke Tambang

Tahap 5 : buatlah garis vertical dan horizontal yang masing – masing sejajar satu
dengan yang lainnya.

22
(Sumber: Yanto Indonesianto dan Hidayatullah sidiq 2017)

Gambar 3.13 Membuat Garis Vertikal dan Horizontal

Tahap 6 : hubungan garis horizontal dari setiap titik ke garis crest masing – masing.
setelah itu hapuslah garis crest yang tidak terpakai.

(Sumber: Yanto Indonesianto dan Hidayatullah sidiq 2017)

Gambar 3.14 Menghapus Garis Crest Yang Tidak Terpakai

Tahap 7 : hubungan setiap titik dan plot ke toe hingga membentuk pola ramp kearah
dasar penambangan ( gambar 3.15).
Setelah menyelesaikan rancangan penambangan dan jalan tambang, dilanjutkan
dengan perancangan push back yaitu urut – urutan penambangan pada produksi
yang telah ditentukan.

23
(Sumber: Yanto Indonesianto dan Hidayatullah sidiq 2017)

Gambar 3.15 Menghubungkan Tiap Titik Dan Plot Toe

3.1.3 Dasar perancangan pushback


Push back adalah bentuk – bentuk penambangan yang menunjukkan
bagaimana suatu endapan bahan galian akan ditambang, dari titik masuk awal
hingga ke bentuk akhir penambangan ( gambar 3.16).
Tujuan utama dari pentahapan ini adalah untuk membagi seluruh volume
yang ada dalam penambangan ke dalam unit – unit perancangan yang lebih kecil
sehingga lebih mudah ditangani. Selain itu, elemen waktu dapat mulai
diperhitungkan dalam rancangan ini karena urutan penambangan tiap – tiap push
baack merupakan pertimbangan penting.
Tahapan – tahapan penambangan yang dirancang secara baik akan
memberikan akses ke semua daerah kerja dan menyediakan ruang kerja yang cukup
untuk beroperasinya peralatan yambang secara efisien.

Gambar 3.16
Cross-section push back pada suatu rancangan penambangan

24
Faktor – factor yang perlu diperhatikan dalam rancangan push back :

1. Kriteria Perancangan
Push back harus cukup lebar agar peralatan tambang dapat bekerja dengan
baik. Untuk truk dan shovel besar yang ada sekarang ini, lebar push back minimum
adalah sekitar 100 – 130 m (Gambar 3.17). untuk loader dan truk berukuran sedang,
lebar push back minimum 60 meter. Jumlah shovel yang diperkirakan akan bekerja
bersama – sama pada sebuah push back juga mempengaruhi lebar minimum. Tidak
kurang pentingnya untuk memperlihatkan paling tidak salah satu jalan angkut untuk
setiap push back. Pengarahan material melalui jaan angkut harus ditunjukkan
melalui akses ke seluruh pemuka kerja.
Penambahan jalan pada suatu push back akan mengurangi lebar daerah kerja
penambangan. Jika beberapa akan diaplikasikan ke suatu push back, lebar awal di
sebelah atas harus ditambah untuk memberikan ruaang ekstra.

Gambar 3.17
Push back pada suatu rancangan penambangan (tampak atas)

2. Penampilan Rancangan Push Back dalam Laporan


Peta penampang horizontal tampak atas memperlihatkan bentuk racangan
tambang pada akhir tiap tahapan. Peta penampang horizontal dapat menunjukan
batas seluruh push back pada satu atau dua elevasi jenjang.
Peta penampang vertical samping (cross-section) berguna untuk
menunjukan geometri seluruh push back. Suatu tabulasi yang menunjukan jumlah
ton, fragmentasi, jumlah material total dan nisbah pengupasan perlu dibuat untuk
setiap push back.

25
3. Nisbah pengupasan (Stripping Ratio)
Nisbah pengupasan merupakan perbandingan antara volume tanah penutup
yang harus digali untuk setiap satu ton batubara yang ditambang. Suatu rancangan
bukaan tambang (pit) akan menentukan jumlah volume tanah penutup dan tonase
batubara yang mengisi lubang bukaan tambang. Perbandingan antara tanah penutup
dengan batubara tersebut akan memberikan nisbah pengupasan rata – rata suatu
bukaan tambang.

SR = 8
SR = 9
SR = 10

(Sumber: Hustrulid, Kuchta and Martin, 2013)

Gambar 3.18 Perbandingan Overburden dan batubara (stripping ratio)

3.1.4 Geometri Jenjang


Kedalaman ukuran bukaan tambang, rancangan kestabilan jenjang berguna
untuk menunjang kelancarn produksi dan masa depan penambangan.Perencanaan
jenjang meliputi panjang, lebar serta tinggi jenjang. Tinggi jenjang berhubungan
dengan kemampuan alat gali/muat, yaitu pada ketinggian berapa alat dapat bekerja
efektif. Lebar jenjang berhubungan dengan penentuan ukuran minimal dimana alat
dapat beroperasi dengan baik. Panjang jenjang berguna dalam penghitungan
produksi, sebab produksi merupakan hasil perkalian antara panjang, lebar dan
tinggi jenjang.
Geometri jenjang (tinggi, lebar dan kemiringan ) bergantung pada peralatan
yang digunakan, endapan yang digali dan kondisi kerja.

26
Tinggi jenjang yang sesuai dengan ukuran excavator menjamin keselamatan
dan efisiensi kerja yang tinggi, dimana peralatan dapat bekerja secar maksimal dan
dapat memindahkan material sesuai dengan kemampuannya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor:
555.K/26/M.PE/1995 Pasal 241 Tentang Tinggi Permuka Kerja dan Lebar Teras
Kerja bahwa:
(1) Kemiringan, tinggi dan lebar teras harus dibuat dengan baik dan aman untuk
keselamatan para pekerja agar terhindar dari material atau benda jatuh.
(2) Tinggi jenjang (bench) untuk pekerjaan yang dilakukan pada lapisan yang
mengandung pasir, tanah liat, kerikil, dan material lepas lainnya harus :
a. tidak boleh lebih dari 2,5 meter apabila dilakukan secara manual;
b. tidak boleh lebih dari 6 meter apabila dilakukan secara mekanik dan
c. tidak boleh lebih dari 20 meter apabila dilakukan dengan menggunakan
chamshell, dragline, bucket wheel excavator atau alat sejenis kecuali
mendapat persetujuan Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang.
(3) Tinggi jenjang untuk pekerja yang dilakukan pada material kompak tidak
boleh lebih dari 6 meter, apabila dilakukan secara manual.
(4) Dalam hal penggalian dilakukan sepenuhnya dengan alat mekanis yang
dilengkapi dengan kabin pengaman yang kuat, maka tinggi jenjang
maksimum untuk material kompak 15 meter, kecuali mendapat persetujuan
Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang.
(5) Studi kemantapan lereng harus dibuat apabila :
a. tinggi jenjang keseluruhan pada sIstem penambangan berjenjang lebih
dari 15 meter dan
b. tinggi setiap jenjang lebih dari 15 meter.
(6) Lebar lantai teras kerja sekurang-kurangnya 1,5 kali tinggi jenjang atau
disesuaikan dengan alat-alat yang digunakan sehingga dapat bekerja dengan
aman dan harus dilengkapi dengan tanggul pengaman (safety berm) pada
tebing yang terbuka dan diperiksa pada setiap gilir kerja dari kemungkinan
adanya rekahan atau tanda-tanda tekanan atau tanda-tanda kelemahan
lainnya.

27
3.2 Jalan Angkut (ramp)
Pada suatu tambang yang baru letak jalan (ramp) keluar tambang sangat
penting untuk diperhitungkan. Jalan tambang umumnya merupakan akses ke lokasi
pembuangan tanah penutup (waste dump) dan peremuk bijih (crusher) factor
topografi merupakan pertimbangan utama untuk pembuatan desain ramp.

Desain jalan tambang meliputi :


(i) Letak jalan keluar : untuk suatu tambang yang baru, letak jalan-jalan keluar
dari tambang penting diperhitungkan di mana untuk akses yang baik ke lokasi
pembuangan tanah penutup (waste dump) dan peremuk material (crushing
plant). Topografi merupakan faktor yang penting yang akan menentukan
kemampuan bagi truk untuk keluar dari pit ke medan yang curam.
(ii) Lebar jalan : tergantung pada lebar alat angkut, biasanya 4 kali lebar lebar
truk. Lebar jalan seperti di atas memungkinkan lalu lintas dua arah, ruangan
untuk truk yang akan menyusul, juga cukup untuk selokan penyaliran dan
tanggul pengaman.
(iii) Kemiringan jalan : jalan angkut di dalam tambang biasanya dirancang pada
kemiringan 10 %. Hal ini akan memberikan fleksibilitas yang lebih besar
dalam pembuatannya, serta memudahkan dalam pengaturan masuk ke jenjang
tanpa menjadi terlalu terjal di beberapa tempat.
Untuk jalan tambang yang panjang, kemiringan 10 % adalah kemiringan
maksimum yang masih praktis. Tambang-tambang kecil banyak dirancang
dengan kemiringan 10 %.
(iv) Rancangan spiral dan switchback : pada umumnya switchback dihindari
sebisa mungkin karena cenderung melambatkan lalu lintas, selain itu ban akan
cepat aus sehingga perawatan ban akan lebih besar. Pertimbangan lain ialah
factor keamanan. Apabila ada ukuran tambang yang jauh lebih rendah dari
elevasi jenjang dengan lainnya di sekeliling pit, swicthback di daerah rendah
ini sering lebih murah di banding dengan membuat jalan angkut spiral
mengelilingi dinding pit.

28
Pertimbangan faktor keamanan dalam desain jalan tambang : di lokasi jalan
tambang dapat dibuat belokan tanjakan darurat (runaway ramps) untuk
menghentikan truk yang tak terkontrol. Hal ini dilakukan apabila secara geometrik
memungkinkan. Tanggul pemisah (safety berm) di tengah jalan dapat dibuat di
beberapa tempat untuk menambah keamanan jalan tambang. Pada kegiatan
penambangan terutama dalam proses pemilihan alat ada beberapa geometri yang
perlu diperhatikan dan dipenuhi terhadap jalan angkut supaya tidak menimbulkan
gangguan atau hambatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan operasi kegiatan
pengangkutan. Dalam hal ini berkaitan dengan target produksi yang direncanakan,
karena fungsi jalan angkut adalah untuk menunjang kelancaran kegiatan dalam
pengangkutan. Dalam merancang suatu jalan angkut, geometri jalan angkut yang
harus diperhatikan meliputi :

3.2.1 Lebar Jalan Angkut

Semakin lebar jalan angkut maka akan semakin aman dan lancar lalu
lintas alat angkut dalam kegiatan pengangkutan. Lebar jalan angkut minimum yang
diperlukan hedaknya disesuaikan dengan lebar dari pada alat angkut terbesar yang
akan melintas pada jalan tersebut. Untuk menghitung lebar jalan angkut pada jalan
lurus dan lebar jalan angkut pada belokan.

1. Lebar jalan angkut pada jalan lurus

Pada jalan lurus (Gambar 3.18), jalan angkut minimum yang dipakai sebagai
jalur ganda atau lebih menurut Aassho Manual Rural Highway Design, yaitu:

L(m) = n Wt + ( n + 1 ) ( ½ x Wt )

Keterangan :

L(m) = Lebar jalan angkut minimum (m)

n = Jumlah jalur jalan angkut

Wt = Lebar alat angkut total (m)

29
(Sumber: Kaufman dan Ault, 1977)

Gambar 3.19 Lebar Jalan Angkut Lurus

Nilai 0,5 pada rumus di atas menunjukan bahwa ukuran aman kedua
kendaraan berpapasan adalah sebesar 0,5 Wt, yaitu setengah lebar terbesar
dari alat angkut yang bersimpangan. Ukuran 0,5 Wt juga digunakan untuk
jarak dari tepi kanan atau kiri jalan ke alat angkut yang melintas secara
berlawanan.
Apabila tidak sesuai dengan ketentuan menurut perhitungan, maka
harus dilakukan perubahan karena selain dapat menghambat dalam kegiatan
pengangkutan juga berbahaya bagi keselamatan operator dan kendaraan yang
beroperasi.

2. Lebar jalan angkut pada tikungan

Lebar jalan angkut pada tikungan (Gambar 3.19) selalu lebih besar dari pada
lebar jalan lurus. Perhitungan terhadap lebar jalan angkut pada tikungan atau
belokan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Lt = n ( U + Fa + Fb + Z ) + C

Z = C = ½ ( U + Fa + Fb )

Keterangan :
Lt = Lebar jalan angkut pada tikungan ( m )
U = Lebar jejak roda (m)

30
Fa = Lebar juntai depan (m)
Fb = Lebar juntai belakang (m)
Z = Lebar bagian tepi jalan (m)

C = Jarak antara alat angkut yang bersimpangan (m)

(Sumber: Kaufman dan Ault, 1977)

Gambar 3.20 Lebar Jalan Pada Tikungan


3.2.2 Radius Jalan
Jari – jari tikungan (belokan) berhubungan langsung dengan bentuk dan
kontruksi alat angkut yang digunakan. Untuk itu dalam keperluan perencanaan
jalan angkut, diperhitungkan alat angkut yang terbesar yang akan melewati jalan
angkut tersebut. Dalam penerapannya jari-jari tikungan yang dijalani oleh roda
depan dan roda belakang membentu sudut sama dengan besarnya penyimpangan
roda.
Jari-jari tikungan minimum umumnya digunakan untuk menentukan besarnya
area manufer di permukaan kerja. (Gambar 3.20)

(Sumber: Kaufman dan Ault, 1977)

Gambar 3.21 Radius Tikungan Truck

31
Besarnya jari-jari tikungan minimum dapat ditentukan dari persamaan

R = Wb/sin α

Keterangan :
R = Jari-jari lintasan roda depan (m)
Wb = Jarak sumbu roda depan dan belakang (m)
α = Sudut penyimpangan roda depan

f = Koefisien gesekan samping

3.2.3 Kemiringan Jalan

1. Super elevasi (Gambar 3.21) merupakan kemiringan jalan pada tikungan yang
terbentuk oleh batas antara tepi jalan terluar dengan tepi jalan terdalam karena
perbedaan ketinggian. Tujuan dibuat super elevasi pada daerah tikungan jalan
angkut yaitu untuk menghindari atau mencegah kendaraan tergelincir keluar
jalan atau terguling.
Berdasarkan teori dari T. Atkinson DIC pada kondisi jalan kering nilai
superelevasi merupakan harga maksimum 90 mm / m, sedangkan pada
kondisi jalan penuh lumpur atau licin maka nilai super elevasi terbesar adalah
60 mm/m.

(Sumber: Indonesianto,2015)

Gambar 3.22 Super Elevasi Tikungan Jalan Angkut

32
Secara matematis kemiringan tikungan jalan merupakan
perbandingan antara tinggi jalan dengan lebar jalan. Untuk menentukan
besarnya kemiringan tikungan jalan dihitung berdasarkan kecepatan rata-rata
kendaraan dengan koefisien fisiknya.

Persamaan yang digunakan untuk menghitung super elevasi yaitu:


tan α = V2/R.G
Keterangan:
V = Kecepatan kendaraan saat melewati tikungan.

R = Radius tikungan.

G = Gravitasi bumi = 9,8 m/s2

2. Kemiringan jalan angkut ”grade” merupakan suatu faktor penting yang harus
diamati secara detail dalam kegiatan kajian terhadap kondisi jalan tambang.
Hal ini dikarenakan kemiringan jalan angkut berhubungan langsung dengan
kemampuan alat angkut, baik dalam pengereman maupun dalam mengatasi
tanjakan.
Kemiringan jalan dinyatakan dalam persen (%). Dalam pengertiannya
kemiringan 1 % berarti jalan tersebut naik atau turun sebesar 1 satuan untuk
setiap jarak mendatar 100 satuan.

Grade (α) = (∆h / ∆x ) x 100 %

Keterangan :

∆h = Beda tinggi antara dua titik yang diukur (satuan)

∆x = Jarak datar antara dua titik yang diukur (satuan)

Secara umum kemiringan jalan maksimum yang dapat dilalui dengan baik dan
aman oleh alat angkut saat menaiki atau turun dari ketinggian maksimum 8%-
10%.

33
3.2.4 Cross slope dari jalan masuk permuka kerja

Maksud dari pembuatan cross slope adalah agar jika terdapat air pada jalan,
maka air tersebut akan mengalir pada tepi jalan. (Gambar 3.22)

(Sumber: Bargawa, 2010)

Gambar 3.23 Penampang Melintang Jalan Masuk


Cross slope didapat dari perbandingan y : x, untuk jalan yang tidak berlapis
salju atau jalan yang materialnya masih bisa meresap air, maka cross slope dibuat
1:25, jika jalan belum memenuhi cross slope diatas, maka perlu menimbun bagian
tengah jalan, sehingga memenuhi persyaratan cross slope.

3.3 Perancangan Timbunan


Perancangan timbunan merupakan upaya penentuan lokasi tempat timbunan
material hasil penggalian dan pengangkutan material baik yang berharga maupun
tidak berharga termasuk di dalamnya adalah penentuan volume atau tonasenya,
perancangan bentuk timbunan dan waktu pelaksanaanya.

3.3.1 Perancangan Timbunan


Proses penimbunan material baik material berharga maupun tidak berharga
harus mempertimbangkan beberapa factor yang mempengaruhi, antara lain :
a. Sudut lereng timbunan ( angle of repose)
Batuan kering ROM (run of mine) pada umumnya mempunyai sudut lereng
timbunan antara 34˚ – 37˚. Sudut ini dipengaruhi tinggi timbunan,
ketidakteraturan bongkah batuan dan kecepatan dumping. Pengukuran ini
dapat dibuat pada sudut lereng yang ada di daerah tersebut.

34
b. Factor pengembangan material (swell factor)
Factor pengembang pada batuan keras umumnya antara 30% - 45 % pada 1m
3 material insitu akan mengembang menjadi 1,3 – 1,45 m3 material lepas
(loose material). Maerial dapat dipadatkan sekitar 5% - 15%. Material yang
ditumpahkan oleh dump truck akan menjadi lebih kompak daripada material
yang ditumpahkan oleh belt conveyor.
c. Jarak dari pit limit
Jarak minimum merupakan ruang yang cukup untuk jalan angkut antara pit
limit dan kaki timbunan. Kesetabilan pit akibat adanya timbunan harus
diperhitungkan. Jarak yang sama atau lebih besar dari kedalaman pit akan
mengurangi resiko yang berhubungan dengan kestabilan lereng pit.
d. Tanjakan kearah dump crest
Menurut Bhnet dan Kunze dalam Waterman (2004) merekomendasikan sedikit
tanjakan kearah dump crest dengan pertimbangan penyaliran dan keamanan.
Limpasan air hujan dirancang menjauhi crest. Dump truck harus menggunakan
tenaga mesin untuk menuju crest dan bukaan meluncur bebas. Hal ini juga akan
mengurangi resiko kendaraan yang diparkir meluncur jatuh dari puncak
disposal (crest).

3.3.2 Lokasi Penimbunan


Penentuan lokasi penimbunan material didasarkan pada jenis material yang
ditimbun dan maksud dari penimbunan material. Berdasarkan jenis material dan
maksud penimbunannya lokasi penimbunan antar lain :
a. Stockpile
Stockpile merupakan suatu tempat yang digunakan untuk menyimpan
batubara yang akan diolah atau akan dipakai kembali pada suatu saat.
b. Stockyard
Stockyard merupakan suatu tempat yang digunakan untuk menyimpan
batubara yang sudah diolah (crushing and washing), biasanya terletak dekat
pelabuhan.

35
c. Disposal
Disposal merupakan suatu lokasi yang digunakan untuk menimbun material
overburden atau material tidak berharga yang harus digali dari lokasi
penambangan untuk memperoleh material berharga. Disposal biasanya
ditempatkan pada daerah yang tidak ditambang.

3.3.3 Jenis Timbunan


Proses penimbunan material baik berharga maupun tidak berharga dapat
dilakukan dengan beberapa jenis timbunan, antara lain :
a. Valley fill atau crest dump
Jenis timbunan vallay fill atau crest dump dapat diterapkan di daerah yang
mempunyai topografi curam dan biasanya dibangun pada sebuah lereng
dengan menetapkan elevasi puncak (dump crest) pada areal pembuatan
timbunan. Dump truck yang mengangkut muatannya ke elevasi ini akan
menumpahkan muatannya pada bagian atas lereng, kemudian bulldozer
akan menggusur material ini. Elevasi dump crest ini akan dipertahankan
selama proses penimbunan.

(Sumber: Denny Tebay, 2011)

Gambar 3.24 Valley Fill atau Crest Dump

36
b. Terraced dump atau timbunan yang dibangun ke atas (dalam lift)
Jenis timbunan terrace dump diterapkan jika topografinya tidak begitu
curam. Jenis timbunan ini dibangun dari bawah ke atas. Tinggi lift biasanya
disesuaikan dengan rekomendasi jenjang penimbunan (Gambar 3.23).
Kerugian cara ini adalah jarak angkut yang lebih panjang untuk peruasan
lift baru. Keuntungan dari jenis timbunan ini, lift – lift ang dibangun
berikutnya terletak lebih ke belakang sehingga sudut lereng keseluruhan
(overall slope angle) mendekat sudut yang dibutuhkan untuk reklamasi.

(Sumber: Denny Tebay, 2011)

Gambar 3.25 Terrace Dump

3.3.4 Cara penimbunan


Material dibara ke lokasi penimbunan yang sudah ditentukan dan akan
ditangani oleh alat bantu untuk melakukan pemadatan dan penempatannya. Pada
kegiatan ini digunakan alat bantu berupa bulldozer. Bulldozer akan menggusur
overburden yang telah ditumpahkan oleh dump truck. Pada pelaksanaanya, alat ini
bekerja dengan beberapa cara sesuai kondisi yang ada, antara lain :

a. Down Hill Dozing


Pada metode ini bulldozer selalu mendorong ke bawah, jadi mengambil
keuntungan dari batuan garitasi untuk menambah tenaga dan kecepatan
(Gambar3.25).

37
( Indonesianto, 2014)

Gambar 3.26 Down Hill Dozing

b. High wal atau float dozing


Bulldozer menggali beberapa kali kemudian mengumpulkan galian menjadi
satu dan mendorong dengan hati- hati pada lereng curam. Sebelum seluruh
tanah habis meluncur ke lereng, bulldozer harus direm agar tidak terjungkir.
(Gambar 3.26).

( Indonesianto, 2014)

Gambar 3.27 Float Dozing

c. Trench atau sloat dozing


Bulldozer yang menggusur melalui satu jalan yang sama akan menyebabkan
terbentuk semacam dinding pada kiri dan kanan bilah yang disebut
spillages, sehingga pada pendorongan tanah berikutnya tidak ada tanah
yang keluar dari samping bilah (lihat Gambar 3.17).

38
( Indonesianto, 2014)

Gambar 3.28 Trench Dozing

3.4 Pengaruh Rancangan Desain Pit Penambangan Terhadap Rancangan


Penimbunan
Rancangan teknik penambangan sangat terkait dengan rancangan
penimbunan overburden karena jumlah batubara yang harus ditambang akan
mempengaruhi jumlah overburden yang harus dipindahkan. Rancangan timbunan
yang dibuat juga digunakan untuk memastikan apakah jumlah material yang akan
ditimbun sudah sesuai dengan kapasitas lokasi penimbunan (disposal) yang
disediakan. Kapasitas lokasi penimbunan di luar bekas tambang di usahakan tidak
terlalu besar karena harus melakukan penimbunan kembali kedalam pit
(backfiling).

39
BAB IV
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas mengenai perancangan desain
penambangan batubara dapat ditarik kesimpulan:
1. Checklist data awal yang harus dikumpulkan pada perancangan desain
tambang adalah informasi data topografi detail, informasi data geoteknik,
informasi hidrogeologi, overburden, informasi alat yang dimiliki, kondisi
iklim dan curah hujan, informasi data kepemilikan lahan, infrastruktur,
akses dan fasilitas umum.
2. Dasar – dasar perancangan pada tambang terbuka terdiri dari; dasar
rancangan tambang, dasar perancangan jalan tambang, dasar perancangan
pushback dan geometri jenjang.
3. Racangan desain pit penambangan berpengaruh terhadap rancangan
timbunan, karena jumlah batubara yang harus ditambang akan
mempengaruhi jumlah overburden yang harus dipindahkan. Rancangan
timbunan yang dibuat juga digunakan untuk memastikan apakah jumlah
material yang akan ditimbun sudah sesuai dengan kapasitas lokasi
penimbunan (disposal ) yang disediakan. Kapasitas lokasi penimbunan di
luar bekas tambang di usahakan tidak terlalu besar karena harus melakukan
penimbunan kembali kedalam pit (backfiling).

1.2 Saran
Penulisan seminar tambang ini membahas mengenai perancangan desain
penambangan batubara, sehingga kedepannya dapat dikembangkan lagi sampai
pada pemilihan alat secara lengkap dengan referensi berdasarkan alat mekanis
dengan merk dan tipe yang lain.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 1995, Keputusan Mentri Pertambangan dan Energi No.


555.K/26/M.PE/1995 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja di
Pertambangan.

2. Arifin, D.Z., 2011, Skripsi Rancangan Teknis Penambangan Batubara Pada


PT. Kaltim Daya Mandiri Argo Energy Blok I Santan Ulu Kecamatan
Teluk Pandan Kabupaten Kutai Timur Kalimantan Barat. Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.

3. Bargawa, W.S., 2010, Perencanaan Tambang, Jurusan Teknik Pertambangan,


UPN “Veteran” Yogyakarta, Yogyakarta.

4. Chioronis, 1987, Mountaintop Removal Method, East Kentucky, USA.

5. Habiburrahman, M., 2008, Skripsi Rancangan Penambangan Batubara PT.


Kaltim Prima Coal Di Kecamatan Sangatta Kabupaten Kutai Timur
Provinsi Kalimantan Timur. Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta.

6. Hartman, H.I., 1987, Introductory Mining Engineering, The University of


Alabama Tuscaloosa, Alabama.

7. Hustrulid. W., and Kucha, M., 1995, Open Pit Mine Planning & Design, 2nd
Edition Vol 1.Fundamentals, Balkema/Rotterdam/Brockfield.

8. Hustrulid. W., and Kucha, M., 1995, Open Pit Mine Planning & Design, 3nd
Edition Vol 1.Fundamentals, Balkema/Rotterdam/Brockfield.

9. Kaufman, W.W., and Ault, J. C., 1997, Design of Surface Mine Haulage Roads
– A Manual. United States Departement Of Interior, Bureaus Of mines,
Pittsburgh.

10. Sukandarrumidi., (1995), Batubara dan Gambut,Fakultas Teknik Universitas


Gajah Mada.

11. Tebay, Denny., 2011, Skripsi Rancangan Teknis Penambangan Batubara Blok
Siambul PT.Riau Bara Harum Desa Kelesa Kabupaten Indragiri Hulu
Provinsi Riau. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta.

12. Tim Dosen dan Asisten., (2017), Pengambilan Data Perencanaan Tambang
Terbuka, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta.

41
13. Wulandari, Septi., 2017, Skripsi Rancangan Teknis Penambangan Batubara
Jangka Panjang (Long Term) Pada blok Kanan I Di PT. Multi Tambang
Jaya Utama Kabupaen Barito Selatan Provinsi Kalimantan tengah.
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta.

14. Yanto, I dan Hidayatullah Sidiq., (2017), Perencanaan Tambang Terbuka,


Jurusan Teknik Pertambangan Sekolah Tinggi Nasional Yogyakarta.

15. Yanto, I, (2016)., Pemindahan Tanah Mekanis, Jurusan Teknik Pertambangan


Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta.

16. https://www.scribd.com/document_downloads/direct/300228154?extension=
pdf&ft=1506787604&lt=1506791214&user_id=279132213&uahk=dtreMMS
qrDVwIDOvdxsSeuWsV-c (diakses tanggal 11 November 2017).

17. https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&
ved=&url=https%3A%2F%2Fwww.slideshare.net%2Fbankir212%2Fabstrak-
skripsi-
26904651&psig=AOvVaw2vOv4NssPOuZ6NSn5PIXRE&ust=15105534490
80749 (diakses tanggal 12 November 2017).

18. www.bosstambang.com, Eksplorasi dan Perencanaan Tambang (diakses


Tanggal 20 Oktober 2017).

19. www.google.com, Metode Penambangan Batubara (diakses tanggal 20


Oktober 2017).

42

Anda mungkin juga menyukai