Anda di halaman 1dari 4

Keiretsu Jepang

Keiretsu yang dapat diartikan sebagai Perkongsian ini sebenarnya merupakan strategi
Jepang dalam berbisnis automotif di seluruh dunia. Caranya adalah para perusahaan besar
automotive memiliki share di perusahaan-perusahaan lain yang merupakan groupnya, missal
Toyota Group, ada Toyota Motor Company, Toyota Tsusho Indonesia, Toyota Engineering
dll.
Perusahaan besar Jepang tersebut kemudian bekerjasama dengan banyak perusahaan
local di seluruh dunia untuk produksi komponen, stamping, hingga perakitan but mostly
dengan raw material adalah imported dari steel mills Jepang seperti Nippon Steel, Kawasaki
Steel yang notabene steel producer ini juga memiliki share di Toyota Group. Disinilah letak
"Keiretsu" nya Jepang, mereka akan tetap menomorsatukan raw material yang berasal dari
group mereka sehingga perekonomian mereka tetap bergerak. Komposisi Krakatau Steel
sebagai local content hanyalah sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali.
Kita cukup kebablasan dengan di ambil alihnya kepemilikan saham astra di TAM oleh
Toyota Motor Company Jepang untuk kemudian berganti nama menjadi TMMC, Toyota
Motor Manufacturing Company. Akibat dari hal ini secara financial adalah retain earning
perusahaan lari ke Jepang semuanya, secara moral pekerja Indsonesia seperti menjadi tamu
di negeri sendiri dan secara operasional peningkatan local content Krakatau Steel yang
diperjuangkan Astra tidak lagi terdengar.
Morale of the story adalah peraturan pemerintah yang memberikan kebebasan
perusahaaan asing untuk memiliki 100% saham di Indonesia telah menjadi bumerang. Steel
producer Indonesia yang seharusnya bisa memberikan kontribusi lebih kepada industry
otomotif Indonesia tidak berjalan mulus, padahal bila menggunakan material Krakatau Steel
kita terhindar dari import duti yang tinggi sehingga harga mobil tidak perlu seperti sekarang
ini.
Secara resmi zaibatsu (financial cliques) yang melahirkan keiretsu (corporate groups),
memang pernah dilarang saat Jepang diduduki oleh Amerika Serikat. Namun ketika kekuatan
ekonomi Jepang mulai membaik sekitar tahun 1960-an-1970-an, zaibatsu bangkit lagi. Dunia
bisnis Jepang kembali membuat pengelompokan seperti yang pernah ada pada masa
sebelum perang. Namun berbeda dengan zaibatsu yang lebih jelas, keiretsu bersifat agak
samar-samar.
Selama ini, para perencana ekonomi atau badan pengembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan di negara-negara berkembang, sepertinya tidak pernah memeriksa berapa
jumlah perusahaan yang mendukung, perusahaan besar Jepang untuk menghasilkan sebuah
produk. Bila penelitian ini pernah dilakukan, tidak mustahil sejak awal mereka bisa
mengetahui bahwa alih teknologi dari Jepang tidak akan pernah terjadi. Mereka akan sadar
bahwa pemindahan kegiatan industri Jepang ke negara-negara berkembang, tak lebih
hanyalah sekadar penyewaan lokasi untuk pabrik dan tenaga buruh, terutama sehubungan
dengan yendaka.
Gambaran lebih gampang bagaimana cara melihat bentuk keiretsu ini beroperasi,
dapat dilihat jelas dari geliatan bisnis Jepang yang ada di industri otomotif dan elektronik,
yang memiliki ratusan sampai ribuan mata rantai perusahaan. Dari situ akan terlihat
bagaimana imposible-nya negara-negara berkembang melakukan alih teknologi tersebut.
Gampangnya, ada satu negara berkembang ingin melakukan alih teknologi
elektronika TV atau mobil, maka negara ini tak cukup hanya membawa satu perusahaan saja
untuk masuk ke negaranya dan kemudian bisa terjadi alih teknologi. Tetapi harus membawa
ratusan atau ribuan perusahaan yang tersubordinasi atau yang menjadi pendukung
perusahaan utama tersebut.

PERTANYAAN besarnya, apakah mungkin pemindahan atau pembuatan semacam


duplikat dari mata rantai perusahaan-perusahaan sebanyak itu. Ini baru satu persoalan saja,
yakni pemindahan perusahaan saja, belum termasuk alih teknologi.
Dalam kasus Toyota misalnya, sebuah studi menyebutkan bahwa lapisan atas struktur
organisasi piramida Toyota, tersusun oleh 10 perusahaan subkontraktor utama. Di luar ini
ada dua lagi perusahaan lain, tapi tidak berkaitan dengan kegiatan manufakturing. Total
perusahaan pada lapisan atas berjumlah 12 unit. Namun jumlah tersebut masih di tambah
lagi oleh dua perusahaan, yang dalam kesan umum sering dirasakan sebagai saingan Toyota
di pasaran mobil, yakni Daihatsu Motors dan Hino Motors yang dikonsentrasikan pada truk.
Pada lapisan menengah piramida itu terdapat pula dua grup pembuat komponen.
Masing-masing adalah kyoho-kai (Toyota cooperative association), yang terdiri dari 183
perusahaan dan kemudian Eiho-kai (Toyota Prosperity Association), yang terdiri dari 65
perusahaan. Totalnya 248 perusahaan, ini baru perusahaan yang nampak dalam keiretsu
Toyota.
Di bawah perusahaan-perusahaan ini masih terdapat pula beberapa angkatan
perusahaan dalam urutan hirarki, yang masing-masing terdiri pula dari ratusan perusahaan.
Namun berapa pastinya jumlah perusahaan yang ada dalam jaringan keiretsu Toyota,
barangkali hanya Toyota sendiri yang tahu.
Semua ini memang hanyalah gambaran yang tidak sepenuhnya utuh, namun minimal
mendekati kebenaran mengenai otomotif Toyota. Sebab di luar gambaran ini masih ada pula
jaringan distribusi yang mencapai 4.750 perusahaan.
Seperti yang ada dalam bayangan orang pada umumnya, sekadar untuk membuat
kaca spion saja, perusahaan-perusahaan industri mobil Jepang memerlukan tiga atau empat
perusahaan kecil. Perusahaan terakhir melakukan tugas untuk merakit hingga menjadi spion.
Keempat perusahaan ini tak mungkin sendiri, karena satu sama lain merupakan dari rangkain
sistem.

Ciri semacam ini bukan khas dominasi dari Toyota, tetapi merupakan khas dari seluruh
perusahaan besar di Jepang. Matsushita misalnya, memiliki rantai 160 perusahaan, yang
masing-masing perusahaan memiliki lagi mata rantai kecil hingga yang paling kecil yang tidak
sedikit jumlahnya. Demikian juga dengan Sony, Hitachi, dan Mitsubishi, semua mengikuti
pola seperti itu.
Sebuah contoh konkret tentang berlakunya aturan main tersebut adalah, soal
terbakarnya pabrik rem milik Toyota di Perfektur Aichi beberapa bulan lalu. Akibat tidak
mungkinnya Toyota memperoleh suplai dari luar jaringannya, maka perusahaan ini harus
menghentikan produksi beberapa hari. Akibatnya Toyota menderita kerugian milyaran yen,
karena harus menunggu salah satu pensuplai dari lingkungan sendiri memproduksi
komponen rem yang diperlukan.

KEMBALI dalam hubungan antara Jepang dan mitra dagangnya selama ini, jelas
terlihat bahwa pengejaran oleh angsa yang berada di belakang dalam kawanan angsa
menurut flying geese model jelas tidak akan pernah terjadi. Ini belum lagi jika faktor-faktor
lain ikut diperhitungkan sebagai misal, sikap perusahaan-perusahaan Jepang yang ada
kalanya, jelas-jelas menghalangi negara berkembang untuk melangkah sendiri atau
menyalahi garis yang ditetapkan.
Kasus pengembangan teknologi Mazda tua yang berhasil dilakukan KIA dari Korsel
pada pertengahan tahun 1980-an yang akhirnya menimbulkan kekecewaan KIA, karena
Mazda menolak memberi restu atas teknologi tersebut. Masih dalam konteks Korsel, dalam
industri semi konduktor, sering kali dikatakan koran bahwa Korsel telah mengalahkan Jepang.
Tapi di luar cerita di koran-koran, ilmuwan Korsel sendiri mengeluh bahwa akibat
ketergantungan pada Jepang, total hasil keuntungan dari penjualan semi konduktor tersebut
ternyata lebih besar dikantungi Jepang beberapa kali lipat daripada Korsel-nya sendiri.
Barangkali ketidakpuasan yang kini mulai timbul di negara-negara mitra Jepang di
Asia, terutama sekali dalam hal alih teknologi, apakah tidak mungkin bahwa industri yang ada
di negara berkembang tersebut adalah jaringan keiretsu Jepang. Kalau perkiraan ini salah,
pertanyaan yang timbul selanjutnya, melihat dasar dan rumitnya jaringan keiretsu, serta
aturan atau komitmen-komitmen yang dipegang teguh para anggota, tampaknya hampir
mustahil bagi negara berkembang untuk bisa tumbuh menjadi kekuatan industri yang
mandiri.
Kalau hanya sekadar dilihat dari sisi menumbuhkan lapangan kerja baru, barangkali
kehadiran perusahaan Jepang bisa dianggap bermanfaat. Sisi lainnya hanya sekadar
untuk memperoleh wahana latihan dalam sistem industri modern, walau hanya sepotong-
sepotong.
Jadi sangat keliru jika hubungan bisnis yang terjalin melalui investasi Jepang di
Indonesia selama ini, merupakan rumus efektif untuk memaksa Jepang melakukan alih
teknologi. Setelah proses itu terjadi, kemudian Negara berkembang itu sendiri menjalankan
berbagai proses produksi dari awal hingga akhir. Padahal dalam sistem keiretsu, ibaratnya
semua itu tak lebih hanyalah tangan perusahaan Jepang yang ada di negara berkembang,
dari ribuan tangan yang mengenggam kepingan teknologi dari produk yang dihasilkannya.
Proses tak terjadinya alih teknologi dalam industri otomotif nasional, sekali pun telah
bermitra seperempat abad dengan Jepang, tidak perlu ditanggapi sebagai kekecewaan.
Masalah itu sebenarnya sudah harus disadari sejak awal, bahwa hal itu memang tidak
mungkin pernah terjadi. Kita telah kehilangan waktu sekitar seperempat abad, karena
ketidakjelian lembaga terkait dalam membaca "nafas bisnis" Jepang yang sesungguhnya yang
tetap berobsesi ingin menjadi saudara tua, cahaya dan pelindung bagi Asia.
Bila ingin menguasai teknologi dan akhirnya menjadi mandiri, Indonesia mungkin
bukan harus menjadi angsa yang adem dan terbang lembut di belakang dalam formasi huruf
"V" terbalik itu. Melainkan harus berubah menjadi elang yang tangguh. Namun untuk
menjadi elang yang tangguh harus ada kepastian hukum, permainan yang adil dan kompetitif,
tidak membuang peluang, menjaga kewibawaan, performance yang bagus, kesungguhan,
serius, dan tidak menganggap segala sesuatunya sebagai barang mainan sesaat.
Tetapi harus dilihat sebagai sesuatu peluang besar untuk membawa bangsa ini
menjadi mandiri, karena waktu, tenaga, dana dan kehormatan yang dipertaruhkan untuk
menjadi elang itu sudah terlalu besar dikeluarkan. Kalau semua pengorbanan yang dilakukan
oleh seluruh masyarakat ini tak diimbangi dengan kemampuan yang maksimal, bukan saja si
induk angsa beserta rangkainnya yang menghantamnya, tetapi juga kolega angsa itu ikut
menghantamnya. (Banu Astono/ Yusron Ihza)

Sumber : Kompas
Diposting oleh Fahmi di 02.02AaA

Anda mungkin juga menyukai