Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PENDAHULUAN

CKD (CHRONIC KIDNEY DESEASE) DENGAN MALNUTRISI YANG

MENDAPATKAN TERAPI HEMODIALISA

Di Ruang HD RSU Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :

Ana Faridatul Fitria

NIM : 1930007

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN

MALANG

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dengan CKD (CHRONIC KIDNEY DESEASE) DENGAN

MALNUTRISI YANG MENDAPATKAN TERAPI HEMODIALISA di Ruang HD Rumah

Sakit dr. Saiful Anwar Malang yang Dilakukan Oleh :

Nama : Ana Faridatul Fitria

NIM : 1930007

Prodi : Profesi Ners

Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Profesi Ners Departemen

Keperawatan Dasar, yang dilaksanaka pada tanggal 19 Agustus 2019 – 31 Agustus 2019,

yang telah disetujui dan disahkan pada :

Hari :

Tanggal :

Malang, Agustus 2019

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

(.............................................) (.............................................)
BAB 1

LATAR BELAKANG

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan
irreversible dimana tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah) (Zurmeli, Bayhakki, & Utami, 2015).

Malnutrisi adalah suatu kondisi dimana terjadi pengurangan cadangan protein tubuh
dengan atau tanpa disertai deplesi lemak atau suatu kondisi dengan kapasitas fungsional
berkurang disebabkan konsumsi makanan tidak adekuat dibandingkan kebutuhan.

Haemodialysis adalah pengeluaran zat sisa metabolisme seperti ureum dan zat
beracun lainnya, dengan mengalirkan darah lewat alat dializer yang berisi membrane yang
selektif-permeabel dimana melalui membrane tersebut fusi zat-zat yang tidak dikehendaki
terjadi.Haemodialysa dilakukan pada keadaan gagal ginjal dan beberapa bentuk keracunan
(Christin Brooker, 2008).
BAB 2

CHRONIC KIDNEY DISEASE ( CKD )

1. DEFINISI

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi ginjal yang


progresif dan irreversible dimana tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Zurmeli, Bayhakki, &
Utami, 2015).
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan suatu perubahan fungsi ginjal
yang progresif dan ireversibel ditandai oleh penurunan laju filtrasi glomerulus
secara medadak dan cepat (hitungan jam – minggu) (Faruq, 2017).
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis didefinisikan
sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan
glomerulus filtration rate (GFR) (Nahas & Levin,2010).

2. ANATOMI FISIOLOGI

Ginjal merupakan organ yang berada di rongga abdomen, berada di belakang


peritoneum, dan terletak di kanan kiri kolumna vertebralis sekitar vertebra T12
hingga L3.Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm,
tebal 2,3-3 cm, berbentuk seperti biji kacang dengan lekukan mengahadap ke
dalam, dan berukuran kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat
kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih antara 120-150
gram (Evelyn, 2013).
Berikut adalah penjelasan bagian-bagian di dalam ginjal :
1) Ginjal terletak di bagian perut. Gambar ginjal di atas adalah ginjal kiri yang
telah dibelah.
2) Calyces adalah suatu penampung berbentuk cangkir dimana urin terkumpul
sebelum mencapai kandung kemih melalui ureter.
3) Pelvis adalah tempat bermuaranya tubulus yaitu tempat penampungan urin
sementara yang akan dialirkan menuju kandung kemih melalui ureter dan
dikeluarkan dari tubuh melalui uretra.
4) Medula terdiri atas beberapa badan berbentuk kerucut (piramida), di sini
terdapat lengkung henle yang menghubungkan tubulus kontortus proksimal
dan tubulus kontortus distal.
5) Korteks di dalamnya terdapat jutaan nefron yang terdiri dari badan malphigi.
Badan malphigi tersusun atas glomerulus yang diselubungi kapsula Bowman
dan tubulus(saluran) yang terdiri dari tubulus kontortus proksimal, tubulus
kontortus distal, dan tubulus kolektivus.
6) Ureter adalah suatu saluran muskuler berbentuk silinder yang menghantarkan
urin dari ginjal menuju kandung kemih.
7) Vena ginjal adalah pembuluh balik yang berfungsi untuk membawa darah
keluar dari ginjal menuju vena cava inferior kemudian kembali ke jantung.
8) Arteri ginjal adalah pembuluh nadi yang berfungsi untuk membawa darah ke
dalam ginjal untuk disaring di glomerulus.

3. KLASIFIKASI
Klasifikasi (CKD ) Cronic Kidney Disease :

Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin


Test) dapat digunakan rumus :
Clearance creatinin (ml/ menit) = (140-umur ) x berat badan (kg)
72 x creatinin serum
- Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
a. Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 CKD biasanya belum merasakan
gejala yang mengindikasikan kerusakan pada ginjal. Hal ini disebabkan ginjal
tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi 100%
sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam
stadium 1. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita
memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
b. Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, seseorang yang berada pada stadium 2
juga tidak merasakan gejala karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik,
walaupun dengan GFR yang mulai menurun.
c. Stadium 3
Seseorang yang menderita CKD stadium 3 mengalami penurunan GFR
moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat ini
akumulasi sisa–sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut
uremia. Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi
(hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang.
d. Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15–30% saja dan apabila
seseorang berada pada stadium ini sangat mungkin dalam waktu dekat
diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal/dialisis atau melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau
uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu besar kemungkinan
muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia, penyakit
tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya.
e. Stadium 5
Pada stadium ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk
bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal
(dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.

4. ETIOLOGI
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak
nefron ginjal. Sebagian besar merupakan parenkim ginjal difus dan bilateral
1. Infeksi, misalnya pielonofritis kronik
2. Penyakit vaskuler hipertensi, misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteri renalis.
3. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE),
poli arteritis nodusa, sklerosis sistemik progresif.
4. Penyakit metabolik seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
5. Nefropati toksik, misalnya penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
6. Nefropati obstruktif
a. Saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
b. Saluran kemih bagian bawah: hipertrofi prostale, striktur uretra anomali
kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

5. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerus dan
tubulus) di duga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron –
nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat
disertai reabsorbsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya saring. Metode
adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron – nefron
rusak beban bahan yang harus di larut menjadi lebih besar dari pada yang bisa
direabsorbsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya
karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguriatimbul disertai retensi
produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala – gejala khas kegagalan ginjal bila kira
– kira fungsi ginjal telah hilang 80 – 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang
demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
dieksresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak tertimbun produk sampah
akan semakin berat.
6. PATHWAY
Infeksi Obat – obatan
Vaskular
toksik
Fungsi ginjal
Arteroslerosis Memperberat
Sebagian dari kerja ginjal
nefron rusak
Suplai darah ke Penumpukan
ginjal turun Kerja nefron lainnya cairan di ginjal

Diuretik osmosis

Kerusakan nefron

Fungsi dlm filtrasi

CKD

Penurunan produksi Sekresi protein Retensi


Retensi urin
eritropoitin terganggu natrium

Penumpu
kan urin
Defesiensi Urea, kreatinin Tekanan
di VU
eritropoetin kapiler

Tekanan
Alirah darah
Produksi HB dlm VU Edema
tidak sampai
otak
Merangsang
Suplai O2 SSP
Kelebihan
Penurunan
volume cairan
Sianosis Nyeri kesadaran
Kompensa
si tubuh kelemahan
Ganggua
n perfusi Gangguan perfusi
jaringan jaringan serebral
sesak
perifer
Intoleransi
Pola nafas aktivitas
tidak efektif
7. MANIFESTASI KLINIS
1. Kardiovaskuler
Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis pitting
edema (kaki, tangan, sacrum) edema periorbital friction rub pericardial,
pembesaran vena leher.
2. Dermatologi
Warna kulit abu – abu mengkilat, kulit kering bersisik pruritus, ekimosis, kuku
tipis dan rapuh rambut tipis dan kasar.
3. Pulmoner
Krekels, sputum kental, dan lihat pernafasan kusmaul
4. Gastrointestinal
Anoreksia, mual, muntah, cegukan, nafas berbau ammonia, ulserasi, dan
pendarahan saluran cerna, konstipasi, diare, dan perdarahan mulut.
5. Neurologi
Tidak mampu konsentrasi, kelemahan, dan keletihan konfusi/perubahan
tingkat kesadaran disorentasi, kejang, rasa panas pada telapak kaki, perubahan
perilaku.
6. Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang, kelemahan pada tingkat fraktur tulang
(Smeltzer dan Bare, 2010)

8. KOMPLIKASI
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diet berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial dan tamponade jantung akibat retensi produksi
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfusio system renin-
angiotensin-aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin gastrointestinal, penurunan usia sela
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin DNA kehilangan
darah selama hemodialisa.
5. Penyakit tulang beserta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
6. Asidosis metabolik
7. Osteodistropi ginjal
8. Sepsis
9. Neuropati perifer
10. Hipeuremia.
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1) Laboratorium :
a) Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan
hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit
yang rendah.
b) Gas Darah Arteri : pH kurang dari 7,2 (normal 7,38-7,44)
c) Kalium : meningkat (normal 3,55-5,55 mEq/L)
d) Magnesium/fosfat : meningkat (normal 1,0-2,5 mg,dl)
e) Kalsium : menurun (normal 9-11 mg/dl)
f) Protein (khususnya albumin) menurun (normal 4-5,2 g/dl)
g) Ureum dan kreatinin : Meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20 : 1.
h) Kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) meningkat.
i) Nilai normal :
Laki-laki: 97-137 mL/menit/1,73 m3 atau 0,93-1,32 mL/detik/m2
Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau 0,85-1,23 mL/detik/m2
j) Hiponatremi : Umumnya karena kelebihan cairan.
k) Phosphate alkaline : meninggi akibat gangguan metabolisme tulang,
terutama isoenzim fosfatase lindi tulang.
l) Radiologi : Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (
adanya batu atau adanya suatu obstruksi ). Dehidrasi karena proses
diagnostikakan memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab itu penderita
diharapkan tidak puasa.
m) Intra Vena Pielografi (IVP) Untuk menilai sistem pelviokalisisdan ureter.
n) USG (Ultrasonografi) :Untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal
parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises,
ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
o) EKG (Elektrokardiografi) :Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel
kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).
10. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanan penyakit Chronic Kidney Disease (CKD) antara lain :


1. Terapi Konservatif
a. Konservatif
1. Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik
merupakan hasil pemecahan protein yang akan menumpuk secara cepat
dalam darah jika terdapat gangguan pada klirens renal. Protein yang
dikonsumsi harus bernilai biologis (produk susu, telur, daging) di mana
makanan tersebut dapat mensuplai asam amino untuk perbaikan dan
pertumbuhan sel. Biasanya cairan diperbolehkan 300-600 ml/24 jam.
Kalori untuk mencegah kelemahan dari Karbohidrat dan lemak.
Pemberian vitamin juga penting karena pasien dialisis mungkin
kehilangan vitamin larut air melalui darah sewaktu dialisa.
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan serum
K+ (hiperkalemia ) :
1) Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.
2) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama dengan
7,35 atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.
b. Anemia
1) Anemia Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon
eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating Faktor). Anemia ini diterapi
dengan pemberian Recombinant Human Erythropoetin ( r-HuEPO )
dengan pemberian 30-530 U per kg BB.
2) Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan adalah
membuang toksin asotemia dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis.
3) Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran cerna
dan kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti hemodialisis ). Klien
yang mengalami anemia, tranfusi darah merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif ,murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-
hati.
Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal :
a. HCT < atau sama dengan 20 %
b. Hb < atau sama dengan 7 mg5
c. Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum anemia dan
high output heart failure.
c. Kelainan Kulit
1. Pruritus (uremic itching)
Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal, insiden
meningkat pada klien yang mengalami HD.
d. Kelainan Neuromuskular
Terapi pilihannya :
1. HD reguler.
2. Obat-obatan : Diasepam, sedatif.
3. Operasi sub total paratiroidektomi.
e. Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa : volum dependen
hipertensi, tipe vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program terapinya
meliputi :
1. Restriksi garam dapur.
2. Diuresis dan Ultrafiltrasi.
3. Obat-obat antihipertensi.
3. Terapi pengganti
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2012).
a. Dialisis yang meliputi :
1. Hemodialisa
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Secara khusus, indikasi HD adalah:
1) Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan
GGA untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih.
2) Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa
apabila terdapat indikasi:
 Hiperkalemia > 17 mg/lt
 Asidosis metabolik dengan pH darah < 7.2
 Kegagalan terapi konservatif
 Kadar ureum > 200 mg % dan keadaan gawat pasien uremia,
asidosis metabolik berat, hiperkalemia, perikarditis, efusi, edema
paru ringan atau berat atau kreatinin tinggi dalam darah dengan
nilai kreatinin > 100 mg %
 Kelebihan cairan
 Mual dan muntah hebat
 BUN > 100 mg/ dl (BUN = 2,14 x nilai ureum )
 preparat (gagal ginjal dengan kasus bedah )
 Sindrom kelebihan air
2. Dialisis Peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di
Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang
tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal
ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi
untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat
ginjal (Sukandar, 2006).
b. Transplantasi ginjal atau cangkok ginjal.
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih
70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

MALNUTRISI PADA PASIEN CKD

1. Definisi
Malnutrisi adalah suatu kondisi dimana terjadi pengurangan cadangan
protein tubuh dengan atau tanpa disertai deplesi lemak atau suatu kondisi
dengan kapasitas fungsional berkurang disebabkan konsumsi makanan tidak
adekuat dibandingkan kebutuhan.

2. Patofisiologi
Malnutrisi pada pasien dialisis dapat timbul oleh berbagai sebab
diantaranya asupan makanan yang tidak adekuat, respon katabolisme, prosedur
dialisis, ESRD yang menimbulkan inflamasi kronis dan mencetuskan
hiperkatabolisme dan anoreksia, perdarahan, oxidative stress serta gangguan
metabolisme dan endokrin.
a. Asupan makanan
Asupan makanan yang berkurang dapat disebabkan oleh berbagai hal
seperti disgeusia uremic, abnormalitas rasa seperti logam dan mulut
kering, faktor psikologis seperti depresi, obat-obatan, inflamasi kronik,
gangguan gastrointestinal seperti gangguan pengosongan lambung,
hemodialisis, infus glukosa lama yang dapat mengurangi asupan makanan
dan mampu menginduksi kelainan endokrin, asam amino, glukagon,
serotonin, serta leptin dan insulin.
Uremia anoreksia terkait peningkatan konsentrasi ureum di serebral
dan plasma, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi, hiporesponsif
terhadap eritropoetin disertai clinical outcome yang buruk. Diperkirakan
anoreksia timbul pada sepertiga pasien yang menjalani hemodialisis.
Sebab-sebab anoreksia lain:
a. Dialisis tidak adekuat
b. Retensi molekul anoreksigen
c. Peningkatan leptin serum
d. Digeusia
e. Anemia
f. Mual, muntah, gastroparesis
g. Polimedikasi, Hospitalisasi Status ekonomi lemah Depresi
b. Perubahan metabolisme protein
Pada pasien gagal ginjal kebutuhan protein meningkat dibandingkan
pasien tidak uremia. Hal ini terjadi karena peningkatan mobilisasi protein
otot, untuk mendukung glukoneogenesis. Rasio asam amino esensial : non
esensial akan menurun (valin dibandingkan glisin, tirosin dibandingkan
fenilalanin). Beberapa penelitian melaporkan terdapat penurunan threonin,
valin, lisin, histidin dan peningkatan sitrulin dan aspartat. Hal ini terjadi
akibat defek enzim yang mempengaruhi sintesis dan konversi asam
amino. Perubahan metabolisme protein disebabkan oleh gangguan
metabolisme asam amino, penggunaan protein hepatosplanchnic
abnormal, peningkatan katabolisme protein otot yang diinduksi oleh
asidosis metabolik, inflamasi kronik, terapi pengganti ginjal dan
carbomoylation.
c. Gangguan metabolisme asam amino.
Pada ESRD terjadi perubahan metabolisme asam amino yang
menyebabkan penurunan konsentrasi asam amino total. Konsentrasi asam
amino dan asam amino rantai cabang merupakan prediktor yang lemah
untuk menilai status nutrisi pasien dialisis. Katabolisme yang terjadi
disebabkan oleh berbagai hal seperti:
Efek umum
1) Inaktivitas fisik
2) Gagal jantung
3) Asupan karbohidrat
4) Abnormalitas endokrin
5) Inflamasi, infeksi, sepsis
6) Asidosis
7) Abnormalitas asam amino
d. Gangguan penggunaan protein hepatosplachnic.
Setelah masa postprandial selesai, asam amino dialihkan ke area
hepatosplchnic disertai NH4+, untuk sintesis sitrulin, glutamat dan urea.
Pada penyakit ginjal kronis, berkurangnya penggunaan protein hepato-
splachnic menyebabkan menurunnya sintesis protein dan urea.Walaupun
gangguan metabolisme splanchnic memiliki efek yang kecil terhadap
abnormalitas metabolisme asam amino, namun sangat berperan terhadap
keseimbangan sirkulasi tirosin dan prolin.
e. Asidosis metabolik.
Ambilan glutamin rendah, gangguan produksi glutamin, ekskresi
amonia urin menyebabkan asidosis metabolik sehingga meningkatkan
katabolisme protein. Proteosintesis rasio terkait langsung dengan
konsentrasi kortisol dan berbanding terbalik dengan konsentrasi
bikarbonat. Berbagai faktor yang memperburuk asidosis metabolik seperti
peningkatan sekresi kortisol, asupan protein berkurang, stimulasi
pemecahan protein otot. Asidosis metabolik menyebabkan anoreksia,
kelemahan, gangguan kardiovaskular dan gastrointestinal, defek endokrin,
resistensi insulin, hiperkalemia, gangguan metabolisme triasilgliserol dan
neoglukogenesis,serta mampu mengubah ambilan asam amino
hepatosplanchnic, ureagenesis dan sintesis albumin. Asidosis yang
menetap kemungkinan disebabkan oleh overload acid yang timbul akibat
konsumsi protein berlebihan. Koreksi asidosis menggunakan natrium
bikarbonat atau dialisis akan mengurangi oksidasi asam amino rantai
cabang dan katabolisme.
f. Gangguan metabolisme glukosa
Abnormalitas metabolisme glukosa dapat terjadi pada ESRD. Pasien
nondiabetik disertai ESRD menunjukkan onset hiperglikemia, toleransi
gula darah terganggu atau gula darah normal disertai hiperinsulinemia.
Hipoglikemia sangat sering dijumpai yang timbul akibat berkurangnya
clearance insuline, penggunaan β- bloker, alkohol, sepsis, gastroparesis,
penyakit hati dan gagal jantung, serta terkait dengan defisiensi faktor
glukoneogenesis (seperti alanin) dan pengurangan konsentrasi hormon
penyeimbang. Hipoglikemia setelah dialisis akibat hiperinsulinemia
(respon konsentrasi glukosa yang tinggi dari cairan dialisat) atau karena
kehilangan glukosa 15-25 gram jika dialisat bebas glukosa.Faktor yang
berperan dalam kontrol gula darah adalah berkurangnya clearance
insuline, resistensi insulin, sekresi insulin dan perubahan produksi
somatostatin.
g. Insulin clearance.
Gangguan clearance insuline timbul bila GFR < 40 ml/menit. Sejalan
dengan progresifitas penyakit ginjal, ambilan insulin peritubular akan
meningkat untuk menjamin clearance insuline hingga GFR 15-20
ml/menit. Pengurangan degradasi insulin perifer (hati,otot) berperan
dalam memperpanjang waktu paruh insulin. Pada ESRD Clearance
insuline berkurang dan menjadi normal oleh hemodialisis. Toksin uremia
juga menghambat.
h. Resistensi insulin
Degradasi insulin terutama di hati yang secara fisiologis akan
membuang sekitar 50 % insulin melalui sirkulasi porta. Sering dijumpai
pada pasien gagal ginjal kronik, yang terlihat dengan berkurangnya respon
hipoglikemia setelah pemberian insulin. Sistem muskular merupakan
tempat tersering terjadinya resistensi insulin. Biopsi otot menunjukkan
tidak terdapat kelainan pada reseptor binding, fosforilasi β subunit dan
ekspresi transporter glukosa. Resistensi insulin ESRD dapat disebabkan
oleh penurunan pengaturan katabolisme protein di ginjal, asidosis
metabolik, toksin uremia (seperti psuedouridin), produk katabolisme
protein, aktivitas fisik berkurang, anemia, inflamasi kronik dan malnutrisi.
HOMA (Homeastatic model assesment index) merupakan suatu metode
sederhana yang dapat memperkirakan adanya resistensi insulin, telah
dikembangkan dan diterima sebagai prediktor mortalitas kardiovaskular
pada ESRD.
i. Sekresi Insulin
Sekresi Insulin dipengaruhi oleh metabolisme kalsium abnormal
(hiperparatiroidisme dan defisiensi vitamin D) dan penurunan konsentrasi
kalium intraselular.1 Koreksi asidosis meningkatkan sensitifitas sel
paratiroid terhadap kalsium dan sensitivitas serta sekresi insulin.
j. Gangguan pelepasan somatostatin.
Somatostatin mampu menghambat absorbsi glukosa dan sekresi insulin
dan glukagon dari pankreas. Berkurangnya pelepasan somatostatin pada
ESRD menyebabkan gangguan metabolisme glukosa dan sekresi insulin.
k. Gangguan metabolisme lipid
Pada pasien ESRD terdapat penurunan high density lipoprotein
(HDL), peningkatan triasilgliserol dan very low density lipoprotein
(VLDL), disebabkan oleh berkurangnya degradasi lipoprotein,
peningkatan konsentrasi lipoprotein, penurunan aktivitas lipoprotein
lipase, penurunan rasio apo C2 : apo C3, variasi struktural lipoprotein dan
gangguan pengenalan reseptor, peningkatan sintesis triasilgliserol dan
defesiensi asam lemak esensial. HDL dan LDL akan mengalami oksidasi,
glikalasi dan carbamoylation. Oksidasi LDL dan lipoprotein berperan
terhadap terjadinya atherosklerotik dan disfungsi endotel.
l. Perubahan hormonal dan endokrin
Pada ESRD sering dijumpai hiperglukagonemia, peningkatan
hormon paratiroid (menyebabkan katabolisme), gangguan berbagai
hormon, diantaranya terdapat resistensi terhadap growth hormon (GH)
baik pasien yang mendapat terapi konservatif maupun terapi pengganti
ginjal.
m. Toksin uremia
Sindroma uremia terjadi karena retensi berbagai zat yang secara
fisiologis diekskresi oleh ginjal. Toksin uremia berperan terhadap
timbulnya berbagai tanda dan gejala. Dialytic outcome lebih baik dengan
clearance uraemic toxin dengan berat molekul (BM) 1000-5000 dalton.
Berbagai molekul ini terikat protein dengan konsentrasi bervariasi,
molekul BM sedang paling sedikit. Urea menimbulkan anoreksia, mual
dan muntah. Kreatinin mempengaruhi berbagai reaksi metabolik.
Advanced glication end product (AGEP) merupakan toksin uremik
terpenting, berasal dari reaksi non enzim protein rantai cabang dan
glukosa, setelah berikatan dengan reseptor permukaan yang spesifik
mampu menginduksi perubahan fungsi sel bahkan menyebabkan kematian
sel. Secara tidak langsung juga terkait dengan oxidative stress. Salah satu
AGEP adalah pentosidin, terbentuk dari hasil glikolasi dan oksidasi.
Peningkatan pentosidin terkait erat dengan inflamasi dan malnutrisi, yang
akan meningkat sejalan dengan menurunnya residual renal function
(RRF), namun bukan merupakan prediktor respon klinis dialisis dan bukan
penanda prediksi mortalitas.
3. Klasifikasi
Malnutrisi pada gagal ginjal kronis terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu
malnutrisi tipe 1 dan malnutrisi tipe 2.
Pada malnutrisi tipe 1 umumnya terjadi karena asupan kalori dan protein
yang kurang. Penurunan albumin hanya sedikit sehingga pemberian nutrisi
yang adekuat serta dialisis akan menunjukkan perbaikan status nutrisi.

Gambaran Malnutrisi Tipe 1 dan Tipe 2


Tipe 1 Tipe 2
Albumin serum Normal Rendah
Komorbid Tidak lazim Lazim
Inflamasi Tidak Ya
Asupan Makanan Sedikit Normal/rendah
Resting Energy Normal Meningkat
Expenditure
Stress oksidatif Meningkat Meningkat
Katabolisme Menurun Meningkat
protein
Perbaikan akibat Ya Tidak
dialisis atau
dukungan nutrisi

Malnutrisi tipe 2 terkait dengan inflamasi, sering disebut sebagai


malnutrition inflamation atheroclerosis (MIA). Pada kondisi ini, selain
pemberian nutrisi dan dialisis, penting memperhatikan penyakit lain yang
menyertai serta respon inflamasi kronis.
4. Penatalaksanaan
Tatalaksana pasien malnutrisi sudah menjalani dialisis meliputi
identifikasi dan talaksana penyebab malnutrisi, dukungan nutrisi adekuat,
optimalisasi dialisis (Kt/V >1,2 pada pasien HD 3 kali/minggu dan Kt/V >1,8
pada pasien HD 2 kali/minggu ) disertai monitoring adekuasi dialisis secara
rutin, mengatasi kondisi medis yang memperberat malnutrisi seperti asidosis
metabolik, infeksi, anemia, depresi serta gangguan gastrointestinal, konseling
gizi, evaluasi obat-obatan yang menyebabkan nafsu makan menurun,
suplementasi oral serta obat yang dapat meningkatkan nafsu makan.
Managemen Malnutrisi pasien Dialisis
Deteksi dan Penanganan sebab anoreksia dan katabolisme
 Koreksi diet yang tidak adekuat
 Koreksi dialisis tidak adekuat
 Penggunaan membran biokompatibel
 Penggunaan bikarbonat saat dialisis
 Pemberian eritropoetin
 Deteksi dan penanganan depresi
 Deteksi dan penanganan gangguan gastrointestinal
Malnutrisi ringan atau sedang (diet tidak adekuat tanpa malnutrisi berat)
 Konseling diet dan suplementasi oral
Malnutrisi Berat
 Asupan spontan > 20 Kcal/kg/hari : IDPN +suplementasi oral
 Asupan spontan : < 20 Kcal/kg/hari : nutrisi eneral harian

KDOQI merekomendasikan kebutuhan protein 0.60 gram/kg/hari pada


pasien dengan GFR <25 mL/min ( CKD Stages 4-5), namun bukan untuk
pasien GFR tinggi. Recommended dietary allowance (RDA) protein adalah
0.75 gram/kg/hari.
Asupan protein yang dibatasi akan menurunkan mortalitas 40 % pasien
gagal ginjal.29 Cianciaruso melaporkan dari Italia, pemberian protein 0,55
gr/kg/hari menunjukkan kontrol metabolik yang lebih baik dibandingkan
pemberian protein 0,8 gr/kgBB/hari. Parameter yang digunakan ureum,
bikarbonat, fosfat dan PTH serta urea nitrogen urin.
Kebutuhan kalori pada pasien dialisis bervariasi terutama dipengaruhi
oleh aktivitas fisik, abnormalitas endokrin dan biokimia, anemia, infeksi akut
atau kronik, penyakit jantung, diabetes, penggunaan steroid atau obat-obatan
lain, bahkan proses dialisis juga menyebabkan kehilangan asam amino. Atas
dasar ini maka kebutuhan protein pasien HD dapat ditingkatkan menjadi 1,2
gram/kgBB dan 50 % merupakan protein dengan nilai biologis tinggi. Pasien
HD kebutuhan kalori mencapai 1,3-1,5 gram/kgBB.

HEMODIALISA
A. Pengertian
Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah
buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau
pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat (DR. Nursalam M.
Nurs, 2006)
Haemodialysis adalah pengeluaran zat sisa metabolisme seperti ureum dan zat
beracun lainnya, dengan mengalirkan darah lewat alat dializer yang berisi membrane
yang selektif-permeabel dimana melalui membrane tersebut fusi zat-zat yang tidak
dikehendaki terjadi.Haemodialysa dilakukan pada keadaan gagal ginjal dan beberapa
bentuk keracunan (Christin Brooker, 2008).
Dialisis adalah proses yang menggantikan secara fungsional pada gangguan
fungsi ginjal dengan membuang kelebihan cairan dan akumulasi toksin endogen atau
eksogen. Dialisis paling sering digunakan untuk pasien dengan penyakit ginjal akut
atau kronis (tahap akhir) (Doenges, 2010)

B. Prinsip Kerja / Mekanisme Hemodialisis


Mekanisme pemisahan zat – zat terlarut pada hemodialisis terjadi secara difusi dan
ultrafiltrasi.
1) Secara difusi
Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif zat terlarut. Molekul zat
terlarut dari kompartemen darah akan berpindah kedalam kompartemen dialisat
setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati membran semipermiabel
demikian juga sebaliknya. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami
perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi
kearah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama dikedua
kompartemen (dari yang konsentrasi tinggi kekonsentrasi rendah)
2) Secara ultrafiltrasi
Pemisahan cairan dialisis dan darah dilakukan dengan prinsip perbedaan tekanan.
Tiga tipe dari tekanan yng dapat terjadi pada membrane adalah:
a) Tekanan positif
Tekanan positif merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan
dalam membrane.Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan
resistensi vena terhadap darah yang mengalir balik kefistula. Tekanan positif
“mendorong“ cairan menyeberangi membrane
b) Tekanan negative
Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane
oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane. Tekanan negative “menarik “
cairan keluar dari darah
c) Tekanan Osmotik
Tekanan Osmotik merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan
dengan kadar zat terlarut tinggi akan menarik cairan dari larutan lain yang
konsentrasinya lebih rendah sehingga menyebabkan membrane permiabel
terhadap air (dari konsentrasi rendah kekonsentrasi tinggi). Dimisalkan ada 2
larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran semipermiabel, bila larutan
“B” mengandung lebih banyak jumlah partikel dibanding “A” maka
konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding konsentrasi larutan “A”.
Dengan demikian air akan berpindah dari “A” ke “B” melalui membran dan
sekaligus akan membawa zat -zat terlarut didalamnya yang berukuran kecil
dan permiabel terhadap membran, akhirnya konsentrasi zat terlarut pada kedua
bagian menjadi sama.

C. Tujuan Hemodilisa
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan
D. Indikasi dan kontra indikasi hemodialisa
1) Klien dengan syndrome uremik/azotemia (gagal ginjal akut dan kronik), ureum >
200 mg/dl dan kreatinin > 1,5 mg/dl
2) Hiperkalemia, kadar kalium > 5,0 mEq/L
3) Asidosis, pH darah < 7,1
4) Kelebihan cairan
5) Dehidrasi berat
6) Keracunan barbiturate
7) Leptospirosis

E. Kontra indikasi :
Kontraindikasi untuk dialisa menurut PERNEFRI (2003: 290), antara lain :
1) Tidak mungkin didapatkan akses vaskular pada hemodialisa atau terdapat
gangguan di rongga peritoneum pada CAPD ( Contious Ambulatory peritoneal
Dialysis).
2) Dialisa tidak dapat dilakukan pada keadaan :
a) Akses vaskular sulit.
b) Instabilitas hemodinamik.
c) Koagulopati.
d) Penyakit Alzheier.
e) Dementia multi infark.
f) Sindrom hepatorenal.
g) Sirosis hati berlanjut dengan enselopati.
h) Keganasan lanjut.

F. Proses Hemodialisa
1) Persiapan
a) Persiapan alat
(1) Dialiser (ginjal buatan)
(2) AVBL
(3) Set Infus
(4) NaCl (cairan fisiologis) (2-3 fflashf)
(5) Spuit ,5 cc, 20 cc, 3
(6) Heparin injeksi (+ 2000 Unit)
(7) Jarum punksi
(8) Jarum metal (AV. Fistula G.16,15,14) 1 – 1 ¼ inch.
(9) Jarum dengan katheter (IV Catheter G.16,15,14) 1 – 1 ¼ inchi.
(10) Penapung cairan (Wadah)
(11) Anestesi local (lidocain, procain
(12) Kapas Alkohol
(13) Kassa
(14) Desinfektan (alcohol bethadin)
(15) Klem arteri (mosquito) 2 buah.
(16) Klem desinfektan
(17) Bak kecil + mangkuk kecil
(18) Duk (biasa, split, bolong)
(19) Sarung tangan
(20) Plester
(21) Pengalas karet atau plastik
b) Persiapan lingkungan
(1) Lingkungan disiapkan agar nyaman dan tenang
(2) Jaga privacy klien
(3) Atur tempat tidur sesuai dengan kenyamanan pasien
c) Persiapan Klien
(1) Jelaskan prosedur tindakan hemodialisis
(2) Timbang berat badan klien
(3) Anjurkan pasien mencuci tangan
(4) Atur posisi klien agar memudahkan tindakan dan nyaman untuk klien
(5) Observasi tanda-tanda vital dan keadaan umum
d) Persiapan perawat
(1) Perawat membaca order atau catatan medik klien
(2) Perawat mencuci tangan
(3) Perawat memakai sarung tangan dan masker.
3) Prosedur Tindakan
Penatalaksanaan hemodialisis dibagi dalam tiga tahap yaitu :
Perawatan Sebelum Hemodialisa
a) Menyiapkan mesin hemodialisis
(1) Sambungkan slang air dari mesin hemodialisis
(2) Kran air dibuka
(3) Pastikan slang pembuang air dari mesin hemodialisis sudah masuk
kelubang/saluran pembuangan.
(4) Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak (sebelumnya periksa
voltage listrik).
(5) Hidupkan mesin dengan menekan tombol on yang ada dibelakang mesin.
(6) Jelaskan mesin pada posisi rinse selama + 20 menit (sesuai program
penggunaan mesin).
(7) Matikan mesin hemodialisis
(8) Masukkan slang dialisat kedalam jerigen dialisat pekat.
(9) Sambungkan slang dialisat dengan konector yang ada pada mesin
hemodialisis
(10) Hidupkan mesin dengan posisi normal (siapkan)
b) Menyiapkan sirkulasi darah :
(1) Bukalah alat-alat dialysis dari setnya.
(2) Tempatkan dializer pada holder (tempatnya) dengan posisi “inlet” (tanda
merah) diatas dan posisi “outlet” (tanda biru) dibawah.
(3) Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inlet” dari dializer.
(4) Hubungkan ujung biru dari VBL dengan ujung “outlet: dari dializer dan
tempatkan bubble trap diholder dengan posisi tegak.
(5) Set infuse ke botol aCL 0,.9% - 500 cc
(6) Hubungkan set infuse keselang arteri.
(7) Bukalah klem NaCl 0.9%, isi selang arteri sampai keujung selang lalu klem.
(8) Tempatkan ujung biru VBL pada maatkan dan hindakan kontaminasi.
(9) Memutar letak dializer dengan posisi “inlet” dibawah dan “outlet” diatas,
tujuannya gar dializer bebas dari udara.
(10) Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin.
(11) Buka klem dari infuse set, ABL, VBL
(12) Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit,
kemudian naikkan secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.
(13) Isi bubble trap dengan NaCl 0.9% sampai ¾ bagian
(14) Memberikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengeluarkan
udara dari dalam dializer, dilakukan sampai dializer bebas udara (tekanan
tidak lebih dari 200 mmHg).
(15) Melakukan pembilasan dan pengisian dengan menggunakan NaCL 0.9%
sebanyak 500 CC yang terdapat pada botol (Kolf), sisanya tampung dalam
gelas ukur.
(16) Ganti kolf NaCL 0.9% yang kosong dengan kolf NaCL 0.9% baru.
(17) Sambung ujung biru VBL dan ujung merah ABL dengan menggunakan
konektor.
(18) Menghidupkan pompa darah selama 10 menit untuk dializer baru, 15-20
menit untuk dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit, berikan UFR
0.8 – 1.0
(19) Mengembalikan posisi dializer ke posisi semula, dimana “inlet” dialisat
selama 5-10 menit siap untuk dihubungkan dengan pasien (soaking).
c) Punksi Cimino/Graft
(1) Persiapan alat-alat
(a) 1 buah set steril dialysis terdiri dari :
- Kain alas dan set steril kain 1 buah
- Kassa 5 buah, tuffer 1 buah
- 1 buah mangkok kecil berisi NaCL 0.9%
- 1 pasang sarung tangan
- 1 buah 5 cc berisi NaCL 0.9%
- 2 buah AV fistula
(b) 2 buah mangkok steril berisi betadin dan alcohol
(c) Masker dan apron
(d) Plester / micropore
(e) 1 buah gelas ukur
(f) Arteri klem
(g) Plastic untuk alat kotor
(h) Trolly
(2) Memulai desinfektan caranya :
(a) Jepitlah tuffer betrdine dengan arteri klem, oleskan daerah cimino dan
vena lain dengan cara memutar dari dalam ke luar.
(b) Masukkan tuffer kedalam kantong plastic.
(c) Jepitlah kassa alcohol dengan arteri klem, bersihkan daerah cimino dan
vena lain caranya sama seperti diatas.
(d) Lakukan sampai bersih
(e) Letakkan kassa kotor pada plastic, sedangkan klem arteri letakkan
pada gelas ukur.
(f) Letakkan kain alas steril dibawah tangan
(g) Letakkan kain belah steril diatas tangan.
(3) Memasukkan jarum AV Fistula :
(a) Masukkan jarum AV Fistula pada tusukan yang telah dibuat pada saat
pemberian anestesi lokal (cimino)
(b) Setelah darah keluar isaplah dengan spuit 5 ml dan bilas kembali
dengan NaCL 0.9% secukupnya.
(c) AV Fistula diklem, spuit 5 ml dilepaskan, ujung AV Fistula ditutup,
tempat tusukan difikasi dengan micropore/plester.
(d) Masukkan jarum AV Fistula pada vena lain, sesuai pada tempat
pemberian anestesi lokal caranya sama seperti diatas pada no. A
(e) Tinggalkan kain alas steril dibawah tangan pasien, sebagai alas dan
penutup selama proses dialysis berlangsung.
(f) Alat kotor masukkan ke dalam plastic, sedangkan alat-alat yang dapat
dipakai kembali dibawa ke ruang disposal.
(g) Bedakan dengan alat-alat yang terkontaminasi.
(h) Bersihkan dari darah, masukkan ke kantong plastik.
d). Memulai Pelaksanaan Hemodialisis
a) Lakukan tindakan aseptik dan anti-septik dengan membersihkan
tempat yang akan dilakukan penusukkan dengan betadine 10%,
kemudian dibersihkan dengan alcohol 70%.
b) Depper dan kassa yang telah dipakai, dibuang ketempat sampah yang
telah disediakan.
c) Cari daerah yang lebih mudah dilakukan penusukkan.
d) Jarak penusukkan pertama kali pada daerah vena (outlet) disertai
pemberian loading heparin 1000 IU/sesuai dosis.
e) Lakukan penusukan pertama kali pada daerah vena (outlet0 disertai
pemberian loading heparin 1000 IU/sesuai dosis.
f) Kemudian dilakukan penusukkan pada daerah “inlet” dengan ABL
(arteri blood line) dan dijalankan blood pump dengan kecepatan mulai
dari 100 ml/menit sampai seluruh blood line (baik ABL maupun
VBL) terisi penuh, baru disambungkan dengan bagian jarum fistula
“outlet”.
g) Jalankan lagi blood pump perlahan-lahan sampai 200 ml/menit, setelah
itu mulailah pemasangan sensor dan batasan minimal dan maksimal
baik pada blood monitoring maupun dialisat monitoring.
h) Kemudian set mesin hemodialisis sesuai program HD masing-masing
pasien.
i) Matikan (tutup) klem infuse NaCL.
j) Sambungkan jarum AV Fistula dengan selang arteri, bersihkan kedua
sambungan dengan kassa betadine.
k) Bukalah masing-masing klem pada AV Fistula dengan aterial
e). Mulai dialysis berjalan :
a) Hidupkan pump, mulailah putar dari 100 ml/menit, dinaikkan secara
bertahap sampai batas maksimal.
b) Mengalirkan darah untuk mengisi selang arterial dan dialiser.
c) Perhatikan aliran darah pada cimino/graft apakah lancar.
d) Jika aliran darah tersendat-sendat,cobalah memutar posisi jarum AV
Fistula secara perlahan-lahan sampai aliran darah lancar.
e) Darah pada bubble trap tidak boleh penuh/kosong, sebaiknya ¾ bagian.
f) Tekan tombol start heparin
g) Mengatur kecepatan pemberian, heparin selama dialysis berlangsung
h) Bukalah klem pada selang urea, sebagai venous pressure.
i) Tekan tombol start sambil melihat jam, tanda proses dializer dimulai.
j) Putar tombol UF, tertekan UF yang dihitung.
k) Fiksasi pada sambungan antara AV Fistula dengan selang darah.
I. Pengawasan selama hemodialisis berlangsung
a) Observasi tanda-tanda vital tiap jam, tensi dan nadi, kemungkinan
komplikasi selama HD : mual, kram otot dan keluhan lain. kecuali
keadaan pasien jelek, obersvasi sesuai dengan kebutuhan :
(1) Jika pasien sesak, hitung pernafasan.
(2) Jika pasien demam, ukur suhu badan
b) Menjaga ketepatan pencatatan dalam lembaran dialysis
c) Pengawasan Mesin :
Pengawasan sirkulasi darah diluar ekstrakorporeal blood monitoring :
- Pengawasan kecepatan aliran darah
- Pengawasan terhadap tekanan :
Arteri : Bila alarm berbunyi pada aterial druk berarti tekanan darah
rendah, lihat aliran darah pada “inlet”.
Venous pressure : dilihat dari indikator (hati-hati bila tinggi), bila
tinggi periksa “outlet”, bila rendah periksa sensor vena.
d) Pengawasan heparin pump.
e) Pengawasan terhadap sirkulasi dialisat monitoring
(1)Kebocoran dializer (blood leak)
(2)Low temperature atau high temperature
(3)Low conductivity atau high conductivity
(4)Transmembrane pressure
(5)Positive pressure
f) Perhatikan kelancaran aliran darah pada cimino/graft.
g) Perhatikan sambungan yang terdapat pada :
(1)AV Fistula dengan selang arteri
(2)Selang arteri dengan dializer dan sebaliknya, kalau perlu
dikembangkan.
h) Berikan pasien posisi tidur yang nyaman.
i) Perhatikan edema pada : muka, punggung tangan, asites, mata kaki dan
daerah dorsum pedis :
(1)Jika edema (+) tidak disertai sesak nafas maka lakukan dialysis sesuai
dengan program tarik air (UFG = ultrafiltrasi goal). Cara perhitungan
tarik air : selisih berat badan, dating berat badan standar + jumlah intake
yang masuk (minum, infuse, transfuse dan sonde).
(2)Jika edema ++ atau lebih, dengan disertai sesak nafas maka lakukan
tarik air (sequential ultrafiltrasi) pada awal dialysis.
j) Perhatikan pemakaian oksigen :
(1) Apakah oksigen masih ada (lihat pada jarum petunjuk)
(2) Perhatikan bila pada angka petunjuk oksigen, apakah sudah sesuai
dengan kebutuhan pasien.
k) Perhatikan gambaran EKG monitor, jika ada kelainan direkam dan
beritahu pada dokter yang merawat pasien/dokter jaga.
l) Bantu segala kebutuhan pasien termasuk : makanan, minuman, buang air
dan urinaria.
m) Kaji keluhan pasienk), kalau perlu terapi beritahu dokter.
n) Evaluasi hasi tindakan dialysis.
o) Tindakan atau obat-obatan yang telah diberikan, catalah dalam catatan
keperawatan.
I. Mengakhiri Dialisis
a) Mengakhiri dialysis:
(1) Hentikan pump heparin dan lepaskan spuit heparin dari tempatnya.
(2) Kecilkan pompa darah (BP) sampai 100 cc dan matikan.
(3) Klem pada AV Fistula dan selang arterial
(4) Lepaskan sambungan AV Fistula dan selang arterial dengan kassa
steril.
b) Membilas AV Fistula :
Gunakan spuit 5 cc berisi NaCL, bilas AV Fistula sampai bersih, lalu
klem kembali dan tutup ujung AV Fistula.
c) Membilas selang darah dan dialiser :
(1) Bilas selang darah dan dialiser dengan NaCL sampai darah tidak ada
lagi.
(2) Jika ada obat-obatan injeksi yang akan diberikan, berikan melalui
selang vena.
(3) Selama pembilasan, gunakan pump dengan kecepatan 100 ml/menit.
(4) Menyelesaikan dialysis
(5) Selang pada vena diklem, lepaskan dari mesin.
(6) Lepaskan semua selang darah dan dialiser dari mesin, masukkan ke
dalam plastik.
d) Melepaskan jarum AV Fistula
(1) Cabut AV Fistula pada cimino dan AV Fistula pada vena lainnya,
masukkan AV Fistula ke dalam plastik.
(2) Tekan bekas tusukan dengan kassa betadine sampai darah tidak keluar
lagi.
(3) Berikan masing-masing bekas tusukan dengan band aid dan balutlah
sesuai dengan kebutuhan, lalu difiksasi dengan micropore.
e) Mengembalikan alat-alat :
(1) Alat instrument yang telah digunakan dipisahkan dibawa ke disposal
room dan dipisahkan dengan alat yang terkontaminasi.
(2) Perawat melepas sarung tangan, masker dan apron.
(3) Perawat mencuci tangan.
K. Komplikasi Hemodialisa
a. Hipotensi terjadi ketika cairan dikeluarkan
b. Emboli udara (komplikasi jarang) jika udara memasuki vaskular pasien
c. Nyeri dada akibat penurunan pCO2 bersamaan dgn terjadinya sirkulasi darah
diluar tubuh
d. Pruritus dapat terjadi ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit
e. Ggn keseimbangan dialisis tjd akibat perpindahan cairan serebral dan munculnya
sbg serangan kejang
f. Kram otot dan nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel
g. Mual dan muntah (Smeltzer, 2001:1401).

L. Akses Vascular
Akeses vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek teknik untuk
program HD akut maupun kronik.Tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya
darah dari tubuh penderita menuju dializer dan selanjutnya kembali lagi ketubuh
penderita.Untuk melakukan dialisis intermiten jangka panjang, maka perlu ada jalan
masuk ke sistem vaskular penderita yang dapat di andalkan.Darah harus dapat keluar
dan masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200-400 ml/menit.Teknik-teknik akses
vaskuler utama untuk hemodialisis dibedakan menjadi akses eksternal dan akses
internal (Price, 1995). Akses vascular sangat diperlukan oleh karena untuk
hemodialisis yang efektif diperlukan aliran darah yang cukup sampai lebih dari 300
ml/menit dan dapat dipakai berulang kali dalam jangka waktu yang panjang.
Ada 2 macam akses vascular yaitu :
a. Akses vascular sementara atau kontemporer
b. Akses vascular ini biasanya digunakan pada saat pertama kali hemodialisis
sebelum dibuat akses vascular yang permanent.Akses vascular sementara
umumnya dilakukan dengan menggunakan kateter perkutan kedalam vena
jugularis, femoral atau yang saat ini dihindari adalah pada vena subclavia
 Keuntungan akses vascular sementara adalah :
1) Pada vena jugularis interna : dapat digunakan untuk jangka panjang dengan resiko
yang kecil
2) Pada vena femoralis : pemasangan mudah dengan resiko yang kecil
3) Pada vena subclavia : klien merasa lebih nyaman dan penggunaanya lebih lama
 Kerugian akses vascular sementara adalah :
1) Pada vena jugularis : pemasangan lebih sulit
2) Vena femoral : immobilisasi pasien, resiko infeksi lebih tinggi
3) Vena subclavia : komplikasi stenosis vena dan resiko komplikasi pemasangan.
c. Akses vascular menetap/permanent
Akses vascular menetap dilakukan dengan membuat fistula atau hubungan
(shunt) antara arteri dengan vena yang biasa disebut AV shunt. Dapat dilakukan
dengan vena dan arteri pasien sendiri, memakai vena dari tempat lain (native
graft) atau dengan bahan buatan (artificial graft)
AV shunt dilakukan dengan cara menyambung arteri subcutan dengan vena
didekatnya. Vena yang berdinding tipis dialiri oleh darah arteri yang bertekanan
tinggi sehingga aliran darah lebih cepat. Cara ini sangat sering digunakan dan
paling aman, bertahan lama, dan dengan komplikasi yang minimal (stenosis,
infeksi, steal syndrome). Namun ada beberapa kerugian dari AV shunt yaitu ;
memerlukan waktu cukup lama untuk siap dipakai, cukup sering kegagalan atau
kurang dapat memberikan aliran darah yang cukup pada saat hemodialisis serta
pada klien dengan penyakit vascular yang berat tidak dapat dilakukan.
Lokasi yang sering digunakan :
1) Pergelangan tangan (fistula radio chepalic/Brescia cimino)
2) Daerah siku/elbow (fistula brachio chepalic)

M. Dializer
Komponen ini terdiri dari membran dialiser semipermiabel dengan lokasi yang
tersebar merata yang memisahkan kompartemen darah dan dialisat.Darah banyak
mengandung zat-zat toksik secara berlebihan sedangkan dialiser tidak mengandung
apapun kecuali elektrolit tertentu.
Ada 3 macam dialiser yaitu :
a. Selulosa yang dibuat dari serat kapas yang diproses
b. selulosa yang dimodifikasi dengan menambah gugus asetat seperti selulosa
diasetat atau triaset
c. Membran sintetis seperti membrane polisulfon, polyacryionitril (PAN),
policarbonat. Dimana membrane ini mempunyai klirens dan filtrasi yang besar.
Berbagai sifat dari dialiser dipengaruhi oleh:
a. Luas permikaan dialiser
b. Ukuran pori-pori atau kemampuan permeabilitas ketipisannya
c. Koefisian ultrafiltrasi
d. Kemampuan untuk mencegah terjadinya clotting sehingga pemakaian
antikoagulasi yang minimal
e. Harga

N. Dializat
Larutan dialisat biasanya disiapkan dalam bentuk konsentrasi yang mengandung
buffer bikarbonat atau asetat.
a. Dialisat Asetat
Dialisat Asetat masih banyak digunakan untuk dialisat karena dapat
diproduksi dengan mudah dalam kemasan yang mengandung berbagai macam
elemen.Dialisat asetat telah dipakai secara luas sebagai dialisat standard untuk
mengoreksi asidosis uremikum dan untuk mengimbangi kehilangan bikarbonat
secara difusi selama HD. Dialisat asetat tersedia dalam bentuk konsentrat yang
cair dan relatif stabil.Dibandingkan dengan dialisat bikarbonat, maka dialisat
asetat harganya lebih murah tetapi efek sampingnya lebih banyak.Efek samping
yang sering seperti mual, muntah, kepala sakit, otot kejang, hipotensi, gangguan
hemodinamik, hipoksemia, koreksi asidosis menjadi terganggu, intoleransi
glukosa, meningkatkan pelepasan sitokin. Kemudian seiring berkembangnya
waktu, larutan bicarbonate lebih banyak digunakan karena lebih fisiologis, dapat
mengontrol asidosis dengan lebih baik,lebih sedikit menimbulkan efek dan
komplikasi.
b. Dialisat Bikarbonat
Dialisat bikarbonat terdiri dari 2 komponen konsentrat yaitu larutan asam dan
larutan bikarbonat.Kalsium dan magnesium tidak termasuk dalam konsentrat
bikarbonat oleh karena konsentrasi yang tinggi dari kalsium, magnesium dan
bikarbonat dapat membentuk kalsium dan magnesium karbonat.Larutan
bikarbonat sangat mudah terkontaminasi mikroba karena konsentratnya
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.Kontaminasi ini dapat
diminimalisir dengan waktu penyimpanan yang singkat.Konsentrasi bikarbonat
yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan alkalosis metabolik
yang akut.Namun dialisat bikarbonat bersifat lebih fisiologis walaupun relatif
tidak stabil.Biaya untuk sekali HD bila menggunakan dialisat bikarbonat relatif
lebih mahal dibanding dengan dialisat asetat.
Adapun komposisi dialisat asetat dan bikarbonat adalah sebagai berikut:
- Natrium = 135 – 145 meg / 1
- Kalium = 0 – 4,0 meg / 1
- Calsium = 2,5 – 3,5 meg / 1
- Magnesium = 0,5 – 2,0 meg / 1
- Khlorida = 98 – 112 meg / 1
- Asetat atau bikarbonat = 33 – 25 meg / 1.
- Dextrose = 2500 mg / 1
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan dasar utama proses perawatan yang akan membantu


dalam penentuan status kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi
kekuatan dan kebutuhan klien serta merumuskan diagnosa keperawatan (Darma,
2015).
1. Identitas klien
Penderita Chronic Kidney Disease (CKD) kebanyakan berusia diantara 30
tahun, namun ada juga yang mengalami Chronic Kidney Disease (CKD)
dibawah umur tersebut dan kebanyakan terjadi pada laki-laki yang diakibatkan
oleh berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan
sebagainya. Chronic Kidney Disease (CKD) dapat terjadi pada siapapun,
pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu
kejadian Chronic Kidney Disease (CKD), karena kebiasaan kerja dengan
duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak menyediakan
cukup air minum/mengandung banyak senyawa/zat logam dan pola makan
yang tidak sehat.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang didapat pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD)
biasanya bervariasi, mulai dari output sedikit sampai tidak dapat buang air
kecil, bengkak pada ekstremitas, gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak
selera makan (Anoreksia), mual muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas
berbau (ureum) dan gatal pada kulit.
3. Riwayat Penyakit sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit
terutama pada prerenal dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa
lama keluhan penurunan jumlah urine output dan apakah penurunan jumlah
urine output tersebut ada hubungannya dengan predisposisi penyebab, seperti
pasca perdarahan setelah melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar meluas,
cedera luka bakar, setelah mengalami episode serangan infark, adanya riwayat
minum obat Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAID) atau pemakaian
antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah, serta adanya riwayat
trauma langsung pada ginjal.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum Chronic
Kidney Disease (CKD) seperti batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan
yang berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa
sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk
dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat
alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya salah satu keluarga yang mengalami penyakit
yang sama. Bagaimana pola hidup yang biasa diterapkan dalam keluarga, ada
tidaknya riwayat penyakit infeksi, hereditas dan penyakit menular pada
keluarga.
6. Riwayat Psikososial
Adanya kelemahan fisik, penurunan urine output dan prognosis penyakit
yang berat akan memberikan dampak rasa cemas dan koping yang maladaptif
pada klien, ditemukanya tingkat stress yang tinggi serta emosi yang labil.
a. Pola Kebiasaan Sehari – hari
1. Pola Nutrisi
Kaji asupan nurisi dalam mengonsumsi tinggi garam, protein, natrium,
kalium, lemak, kolestrol serta cairan yang berlebih. Gejalanya adalah pasien
tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6 bulan disertai
anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
2. Pola Eliminasi
Kaji pengeluaran urin dan feses, kaji warna dan volume haluran serta
ketidakseimbangan antara input dan output. Biasanya haluran urin menurun
volume urine kurang dari 400 ml/24jam dengan warna urin kuning
kemerahan, kecokelatan atau mirip seperti minuman bersoda, hal ini bisa
disebabkan karena adanya kemungkinan darah yang tercampur dari sebuah
infeksi. Pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) juga mengalami
gangguan BAB konstipasi dengan konsistensi keras atau diare dengan
konsistensi cair berbau khas feses.
3. Pola Kebersihan Diri
Kaji kebersihan pada pasien mandi (frekuensi, cara, alat mandi,
kesulitan, mandiri/dibantu) cuci rambut, gunting kuku, gosok gigi dan ganti
baju. Pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) tidak mengalami masalah
dalam kebersihan dirinya, pasien bisa mandi meskipun adanya keterbatasan
gerak, rambut tampak bersih, gigi tampak bersih dan pasien mengganti baju
2 kali dalam sehari.
4. Pola Aktivitas, latihan dan Bermain
Kaji kegiatan aktivitas pasien sehari-hari apakah pasien mengalami
keletihan, kelemahan, keterbatasan gerak dengan aktivitasnya dan bekerja
secara berat atau ringan. Biasanya pada pasien Chronic Kidney Disease
(CKD) yang mengalami edem karena kelebihan volume cairan, mengalami
keterbatasan dalam mobilitas sehingga aktivitasnya dibantu oleh orang lain.
5. Pola Istirahat dan Tidur
Kaji istirahat pasien pada siang hari berapa jam sekali dan kaji tidur
pasien malam hari dengan nyenyak atau tidak, selama berapa jam dan
bangun pada pukul berapa. Pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD)
sering mengalami gangguan istirahatnya terutama pada malam hari karena
nyeri pada kaki, merasa tidak nyaman atau gelisah. Pasien sulit untuk
memulai tidur dan sering terbangun durasinya kurang dari 5 jam.
6. Pola Persepsi sensori dan kognitif
Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan otot,
perubahan tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala, kram/nyeri kaki
(memburuk pada malam hari), perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah,
penglihatan kabur, kejang, sindrom, rasa kebas pada telapak kaki,
kelemahan khusussnya ekstremitas bawah (neuropati perifer), gangguan
status mental.
7. Pola Reproduksi dan seksual
Kaji adanya ada tidaknya penurunan libido, amonera, infertilitas,
impotensi dan atropi.
Pemeriksaan fisik
1. Keadaan Umum
a. Keadaan umum : pasien tampak lemah, dan ekspresi wajah biasanya
gelisah.
b. Tingkat kesadaran : tingkat kesadaran pasien biasanya kompos mentis
sampai koma.
c. Tanda – tanda vital : tekanan darah mengalami peningkatan sistolik
lebih dari 160 mmHg dan diastolik lebih dari 90 mmHg. Respiration
rate lebih dari 20 x/menit, suhu badan relative normal 36,6-37,5 °C,
denyut nadi teraba takikardi dalam kisaran 90-120 x/menit, skala nyeri
3-6 (Skala nyeri ringan sampai skala nyeri berat).
2. Pemeriksaan Head To Toe
a. Kepala dan Rambut

Inspeksi : Dilihat bentuk kepala, kesimetrisan kepala, penyebaran


rambut merata atau tidak, kebersihan rambut, rambut
mudah rontok atau tidak, terdapat lesi atau tidak dikulit
rambut

Palpasi : Tekan apakah terdapat benjolan atau tidak, terdapat odem


dikepala atau tidak, adanya nyeri tekan atau tidak.

b. Hidung

Inspeksi : Bentuk hidung simetris kanan dan kiri, septum nasi tepat
ditengah hidung, penciuman kanan dan kiri normal atau
tidak, terdapat lesi atau tidak.

Palpasi : Apakah terdapat benjolan atau tidak, adanya odem dan


adanya nyeri tekan atau tidak.

c. Telinga

Inspeksi : Bentuk telinga simetris atau tidak , ada lesi atau tidak,
kebersihan telinga kurang atau tidak dan pendengaran
kanan dan kiri normal atau tidak.

Palpasi : Ada nyeri tekan atau tidak, terdapat benjolan tau tidak, ada
odem atau tidak.

d. Mata
Inspeksi : konjungtiva anemis atau tidak normalnya merah muda,
sclera bening atau tidak normalnya putih, pupil terdapat
kejulingan mata kanan dan kiri atau tidak.

Palpasi : Terdapat nyeri tekan disekitar mata atau tidak, terdapat


benjolan atau tidak, terdapat odem atau tidak.

e. Mulut, gigi, lidah, tonsil dan pharing

Mulut

Inspeksi : Mukosa bibir terdapat sianosis atau tidak, bibir terdapat


lesi atau tidak dan kebersihan mulut.

Palpasi : Tidak terdapat benjolan dan nyeri tekan.

Gigi

Inspeksi : Terdapat karies gigi atau tidak, gigi lengkap atau tidak.

Lidah

Inspeksi : Lidah kotor atau tidak, terdapat lesi dilidah atau tidak.

Tonsil dan pharing : tidak ada pembengkakan pada tonsil, dipharing


terdapat gangguan menelan atau tidak.

f. Leher dan Tenggorakan

Inspeksi : Tidak terdapat lesi, warna leher sama dengan area


sekitarnya, biasanya terjadi peningkatan kelenjar tiroid,
dan pembesaran tiroid pada leher.

Palpasi : tidak adanya nyeri tekan, tidak ada pembengkakan pada


kelenjar tiroid.

g. Dada dan Thorax

Inspeksi : Bentuk dada anterior dan posterior simetris atau tidak


normalnya chest, kaji frekuensi pernafasan dan ritme
pernafasan, biasanya pernafasan dipsnea sampai pada
edema pulmonal, tampak penggunaan otot bantu
pernapasan.

Palpasi : Adanya nyeri tekan atau tidak, vocal fremitus getaran


terapa di ICS 5 mid clavikula sinistra.

Perkusi : Paru dexstra ics I – VI sonor, ics VI – X pekak, Paru


sinistra ics I – II sonor, ics II – V redup, ics VI – VII sonor,
ics VIII – X timpani.

Auskultasi : Kaji adanya suara tambahan seperti ronki, whezing,


crackles normalnya suara nafas vesikuler

h. Jantung

Inspeksi : Ictus cordis teraba di ICS 5 Mid clavikula sinistra.

Palpasi : Palpasi kuat dan ictus cordis teraba di ICS 5 Mid clavikula
sinistra terdapat adanya nyeri tekan atau tidak.

Perkusi : Batas ics 3 sinistra, batas bawah ics 5 sinistra, batas kiri
midclavikula sinistra, batas kanan linea sternalis dextra,
biasanya terjadi pembesaran jantung sehingga terjadi
pelebaran pembuluh darah jantung pada ics 3 suara
terdengar redup.

Auskultasi : Terdengar bunyi jantung I dan II tunggal dan terdengar


suara mur- mur.

i. Abdomen

Inspeksi : Amati bentuk abdomen pada pasien Chronic Kidney


Disease (CKD), biasanya perut tampak adanya asites,
amati warna kulit, adanya lesi atau tidak.

Auskultasi : Bising usus normalnya 5-30 kali/menit. Jika kurang dari itu
atau tidak ada sama sekali kemungkinan ada peristaltik
ileus, konstipasi, peritonitis atau obstruksi, biasanya pada
pasien Chronic Kidney Disease (CKD) terjadi penurunan
peristaltik usus.

Palpasi : Terdapat nyeri tekan atau tidak, terdapat benjolan atau


tidak, terdapat odem atau tidak.

Perkusi : Kuadran I pekak (hepar), kuadran II timpani (gaster),


kuadran III (apendiks), kuadran IV timpani (usus).

j. Ekstremitas

Inspeksi : Amati warana kulit, biasanya kulit tampak kering dan


bersisik mengkilat/uremia, terdpat odem pada ekstremitas
tubuh seperti wajah, tangan dan kaki.

Palpasi : Pada pasien gagal ginjal kronik biasanya terdapat odem di


daerah ekstremitas seperi kaki, tangan terlihat dari
pemeriksaan piting edem >2 detik, drajat pitting odem 1-3
mm, CRT (capilary Refil Time) kembali lebih dari >2
detik, akral teraba dingin. Kekuatan otot biasanya
mengalami kelemahan fisik, aktifitas dibantu.

Nilai 0 : Bila tidak terlihat kontraksi sama sekali.

Nilai 1 : Bila terlihat kontraksi dan terapi tidak ada gerakan pada
sendi.
Nilai 2 : Bila ada gerakan pada sendi tetapi tidak bisa melawan
gravitasi.
Nilai 3 : Bila dapat melawan grafitasi tetapi tidak dapat melawan
tekanan pemeriksaan.
Nilai 4 : Bila dapat melawan tahan pemeriksaan tetapi kekuatanya
berkurang.
Nilai 5 : Bila dapat melawan tekanan pemeriksaan dengan keluatan
penuh.
k. Genetalia dan anus

Inspeksi : Amati kebersihan genetalia, terdapat lesi atau tidak


disekitar genetalia, amati adanya edem pada genetalia atau
tidak, amati adanya cairan yang keluar dari sekitar anus
dan tampak adanya lesi atau tidak di bagian anus.

Palpasi : adanya nyeri tekan atau tidak, adanya benjolan atau tidak
dan adanya odem atau tidak.

2. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi

2. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan


aliran darah ke otak

3. Nyeri akut berhubungan dengan retensi cairan edema

4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan

5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


intake tidak adekuat

6. Keusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan ureum

7. Perubahan pola eleminasi berhubungan dengan retensi cairan

8. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan

3. Intervensi

No Tujuan Kriteria Hasil Intervensi


1. Setelah dilakukan - Keadaan umum baik Manajemen Jalan Nafas :
tindakan 1 x 24 jam - RR dalam batas normal 12 1. Observasi frekuensi,
pasien mengalami – 24 x/menit kedalaman dan upaya
perbaikan status - Tidak ada sesak napas pernafasan.
pernafasan. - TTV dalam batas normal 2. Pertahankan jalan nafas
yang paten
3. Observasi tanda-tanda
hipoventilasi
4. Berikan terapi O2
5. Dengarkan adanya
kelainan suara tambahan
6. Monitor vital sign

2. Setelah dilakukan - tingkat kesadaran Monitorang neurologis


asuhan keperawatan membaik 1. Monitor ukuran,
selama 1 x 24 jam - GCS 4-5-6 kesimetrisan, reaksi dan
perfusi jaringan - k/u membaik bentuk pupil
serebral tidak - TTV dalam batas normal 2. Monitor tingkat kesadaran
terganggu, pasien - tidak terpasang oksigen klien
sadar 3. Monitir tanda-tanda vital
4. Monitor keluhan nyeri
kepala, mual, muntah
5. Monitor respon klien
terhadap pengobatan
6. Hindari aktivitas jika TIK
meningkat
7. Observasi kondisi fisik
klien

3. Setelah dilakukan - tingkat kesadaran Manajemen nyeri ( 1400 ):


tindakan 3 x 24 jam membaik 1. Lakukan pengkajian nyeri
nyeri berkurang - GCS 4-5-6 yang komperhensif yang
- k/u membaik meliputi lokasi,
- TTV dalam batas normal karakteristik,durasi,
- Skala nyeri 0 frekuensi, kualitas,
intensitas atau beratnya
nyeri dan faktor pencetus.
2. Gali bersama pasien faktor-
faktor yang dapat
menurunkan dan
memperberat nyeri
3. Dorong pasien untuk
memonitor nyeri dan
menangani nyerinya
dengan tepat
4. Ajarkan pasien melakukan
distraksi relaksi untuk
menurunkan nyeri
5. Kolaborasi untuk
pemberian penurun nyeri
yang optimal dengan
peresepan analgesik
4. Setelah dilakukan - BB ideal 1. Catat intake dan output
tindakan asuhan - TTV dalam batas normal cairan
keperawatan selama - Tidak ada edema 2. Kaji tekanan darah
3 x 24 jam intak dan 3. Batasi masukan cairan
output seimbang 4. Timbang berat badan
harian
5. Berikan cairan yang sesuai
6. Tingkatkan intake/asupan
cairan per oral ( misalnya,
memberikan cairan oral
sesuai prefensi pasien,
tempatkan cairan yang
mudah dijangkau, dan
menyediakan air segar )
yang sesuai
7. Minimalkan asupan
makanan dan minuman
dengan diuretik atau
pencahar
8. Jaga pencatatan
intake/output yang akurat
9. Monitor tanda-tanda vital

5. Setelah dilakukan - K/u baik Manajemen Nutrisi (1100)


tindakan asuhan - Berat badan dalam batas
1. Diskusikan dengan pasien
keperawatan selama normal
dan keluarga tentang faktor
3 x 24 jam nutrisi - Asupan nutrisi adekuat
penyebab
Adekuat
2. Kaji psikososial pasien
yang berhubungan dengan
makan berlebih.
3. Jelaskan hubungan obesitas
dengan diabetes
4. Konsultasikan dengan ahli
gizi untuk progam diit.
5. Motivasi pasien untuk
mengkonsumsi cukup
makanan yang
mengandung kompleks
karbihidrat yang tinggi.
6. Bantu memilih menu harian
berdasarkan rencana
rendah kalori dan rendah
lemak.
7. Timbang berat badan setiap
hari.
8. Diskusikan kebutuhan diit
dan tingkat latihan sesuai
program diit.

6. Setelah dilakukan - Tidak ada kerusakan 1. Inspeksi kulit terhadap


tindakan asuhan kulit perubahan warna, turgor,
keperawatan selama - Kulit tampak normal faskular.
3 x 24 jam tidak ada - Tidak ada pruiritis 2. Jaga kulit tetap bersih dan
tanda tanda - TTV dalam batas normal kering.
kerusakan kulit - Suhu tubuh normal 3. Berikan perawatan kulit
dengan salep atau krim.
4. Pertahankan linen kering.
5. Lakukan perawatan luka
dengan larutan NaCl dan
debridement sesuai order.

7. Setelah dilakukan - Mengidentifikasi 1. Tanyakan klien tentang


tindakan asuhan keinginan berkemih2. waktu berkemih2.
keperawatan selama - Berespons tepat waktu 2. Dorong klien untuk dapat
3 x 24 jam gangguan terhadap dorongan melakukan eliminasi urine
eliminasi dapat berkemih. dengan teratur.
teratasi - Mencapai toilet antara 3. Hindari faktor pencetus
dorongan berkemih dan inkontinensiaurine seperti
pengeluaran urine cemas.
4. Jelaskan tentang :
pengobatan, penyebab, dan
tindakan lainnya.
8. Setelah dilakukan - K/U membaik 1. klien dalam berpartisipasi
tindakan asuhan - dapat beraktivitas melalui aktivitas spesifik
keperawatan selama kembali 2. Berkolaborasi dengan ahli
3 x 24 jam pasien - TTV dalam batas terapi fisik, okupasi dan
dapat berkativitas normal terapis rekreasioanl dalam
secara normal perencanaan dan
pemantuan program
aktivitas, jika memang
perlu
3. Bantu pasien untuk
mengeplorasi tujuan
personal dari aktivitas –
aktivitas yang konsisten
dari kemampauan fisik ,
fisiologis dan sosial
4. Bantu klien dan keluarga
untuk mengidentifikasi
kelemahan dalam level
ktivitas tertentu
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 volume 3.
Jakarta: EGC
Carpenito, 2006. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan dan Masalah
Kolaboratif. Jakarta: EGC

Darma, S.P . 2015. Penyakit Ginjal : Deteksi Dini Dan Pencegahan. Yogyakarta : CV
Solusi Distribusi
Evelyn. 2013. Anatomi dan fisiologi untuk paramedic. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Faruq, M. 2017. Upaya Penurunan Volume Cairan. Program Studi Keperawatan Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta, C.

L Johnson . 2010. Buku Ajar Keperwatan Keluarga. Yogyakarta : Nuha medika

Kasuari, 2012. Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan dan Kardiovaskuler dengan


Pendekatan Patofisiologi. Magelang: Poltekes Semarang.

Anda mungkin juga menyukai