Anda di halaman 1dari 19

UNIVERSITAS INDONESIA

GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF: DELIRIUM &

PERUBAHAN SPIRITUAL PADA LANSIA

MAKALAH

Diajukan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah keperawatan gerontik

OLEH :

MISELLA ELVIRA FARIDA (1706107434)

TRI WIDIANTO (1706107610)

YAYANG BAYU T.A. (1706107636)

ZAENUDIN (1706107642)

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, 2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan
rahmatnya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini dilakukan
dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah keperawatan gerontik. Kami menyadari
bahwa tanpa kerjasama kelompok dan bimbingan fasilitator sangat sulit untuk
menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Dr. Etty Rekawati, SKp.,MKM selaku koordinator mata ajar keperawatan
gerontik
(2) Ns. Dwi Nurviyandari K.W, Skep.,M.Kep.,Sp.Kep.Kom selaku dosen
pembimbing mata ajar keperawatan gerontik
(3) Kelompok 5 mata ajar keperawatan gerontik

akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan mambalas segala kebaikan
semua pihak yang yang telah membantu. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu keperawatan.

Depok, 22 oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman judul ............................................................................................................... i

Kata pengantar .............................................................................................................. ii

Daftar isi ......................................................................................................................iii

BAB I : Pendahuluan .................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1


1.2 Tujuan ............................................................................................................... 2

BAB II : Tinjauan Pustaka............................................................................................ 3

2.1 Delirium pada lansia ......................................................................................... 3


2.2 Spiritual pada lansia ......................................................................................... 7

BAB III : Penutup ....................................................................................................... 13

3.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 13


3.2 Saran ............................................................................................................... 14

Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perubahan yang terjadi pada lansia dapat berupa perubahan fisik, psikologis dan
spiritual. Perubahan fisik ini salah satunya adalah perubahan sistem neurologis
dimana merupakan salah satu perubahan pada lansia yang adaptif. Perubahan dalam
sistem neurologis dapat berupa perubahan ukuran otak akibat atrofi, penurunan
aliran darah cerebral, dan penyusutan neuron (Stanley, 2002). Dampak dari
perubahan tersebut dapat menimbulkan gejala fisik, kognisi dan cara komunikasi,
persepsi dan sensori kemudian berkembang menjadi suatu kondisi patologis atau
gangguan seperti gangguan kognitif dan gangguan persepsi sensori.
Gangguan fungsi kognitif yang sering dijumpai pada populasi lanjut usia salah
satunya adalah delirium. Delirium merupakan sindrom ditandai dengan onset akut,
gangguan dalam pemikiran, ingatan, perhatian, perilaku, persepsi, orientasi, dan
kesadaran (Miller, 2009). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo, insiden delirium pada lansia tahun 2012 adalah sebesar
18,8% pada pasien rawat inap (Isfandiaty, Harimurti, Setiati, & Roosheroe, 2012).
Delirium akibat proses penuaan dengan delirium akibat cedera kepala tidak dapat
dibedakan secara klinis, namun secara etilologi dapat dibedakan. Delirium pada
lansia diakibatkan oleh ketidakseimbangan jumlah neurotransmiter sehingga
berpengaruh terhadap aktivitas neuron (Miller, 2009), sedangkan pada cedera kepala
disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial (Black,2009). Delirium pada
lansia yang tidak mendapatkan tatalaksana dengan baik dapat berkembang menjadi
disfungsi serebral kronis yang mengakibatkan demensia. Kondisi tersebut akan
mengurangi tingkat kemandirian lansia sehingga membutuhkan lebih banyak
layanan keperawatan dan meningkatkan hospitalisasi yang lebih lama pada lansia di
unit rawat inap (Reichel, 2009).
Menurut Stanley & Beare (2006) permasalahan pada lansia baik fisik maupun
psikologis diatas dapat dinetralisir apabila lansia mempunyai kehidupan spiritualitas
yang kuat. Hal yang sama juga disampaikan Adegbola (2006) dalam Destarina dkk
(2014) mengatakan bahwa spiritualitas secara signifikan membantu lansia untuk

1
beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis.
Perubahan spiritual pada lansia salah satunya dapat dilihat dari semakin matangnya
kehidupan keagamaan lansia. Perkembangan spiritual yang matang akan membantu
lansia untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan, maupun
merumuskan arti dan tujuan keberadaannya dalam kehidupan. Perkembangan
spiritual pada lansia tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah
faktor usia yang sudah mulai renta dan kondisi tubuh yang menurun (Hamid, 2009).
Sehingga sangat penting untuk diketahui oleh perawat tentang perubahan pada
lansia baik secara fisik, psikologis dan spiritual pada lansia dan perubahan ini dapat
dijadikan dasar dalam pemberian asuhan keperawatan yang holistik pada lansia.
Berdasarkan uraian diatas, kami akan membahas tentang perubahan fungsi kognitif:
delirium dan perubahan spritual pada lansia.

1.2 Tujuan
Penulisan makalah ini mempunyai tujuan umum dan tujuan khusus sebagai beikut.
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep gangguan fungsi kognitif yaitu delirium pada lansia
dan perubahan spritual yang terjadi pada lansia.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan definisi, etiologi, patofisiologi dan penatalaksanaan
delirium pada lansia.
b. Mendeskripsikan konsep perubahan spiritual pada lansia
c. Mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi spiritualitas pada
lansia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Delirium Pada Lansia


1. Pengertian delirium pada lansia
Pengertian delirium telah di rumuskan oleh beberapa ahli, menurut Yang
et al (2009) dalam Miller (2012) adalah suatu sindrom yang ditandai dengan
onset akut, perjalanan yang berfluktuasi, gangguan dalam pikiran, ingatan,
perhatian, perilaku, persepsi, orientasi, dan kesadaran. Menurut Tabloski (2014)
delirium adalah gangguan kognitif akut yang mempengaruhi kemandirian
fungsional. Sedangkan menurut Reichel (2009) delirium adalah keadaan
bingung akut yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan perhatian diselingi
interval jernih, kognisi global terganggu dan dimanifestasikan dengan bicara
tidak koheren dan bertele-tele.
Dari beberapa pengertian delirium diatas dapat disimpulkan bahwa
delirium adalah suatu kondisi gangguan kognisi akut, ingatan, perhatian,
perilaku, persepsi, orientasi dan kesadaran yang mempengaruhi kemandirian
fungsional.
2. Klasifikasi delirium pada lansia
Menurut Miller (2012) terdapat tiga sub tipe perilaku delirium yaitu
bersifat hiperaktif, hipoaktif dan campuran. Gambaran klinis delirium hiperaktif
meliputi gelisah, agitasi, dan peningkatan aktivitas psikomotor, sedangkan
delirium hipoaktif dicirikan dengan perlambatan gerakan, kurang bicara, dan
tidak responsif. Sedangkan campuran memiliki manifestasi dari hiperaktif dan
hipoaktif.
DSM-V (Diagnosis and statistical manual of mental disorder, 5th
edition) (2013) mengklasifikasikan delirium berdasarkan etiologi sebagai
berikut: delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum, delirium
intoksikasi substansi (penyalahgunaan obat), delirium penghentian substansi,
delirium diinduksi substansi (pengobatan atau toksin), delirium yang
berhubungan dengan etiologi multipel, delirium tidak terklasifikasi.

3
3. Patofisiologi delirium pada lansia
Patofisiologi delirium menurut Reichel (2009) masih kurang dipahami
tetapi kemungkinan terdapat gangguan pada neurotransmisi utama. Skenario
yang paling umum adalah ketika stressor biologis terjadi pada host yang rentan.
Seorang dewasa muda yang sehat dengan kapasitas cadangan berlebih tidak
mudah untuk terjadi delirium; sebaliknya, individu lanjut usia dengan cadangan
minimal dan beberapa kondisi komorbiditas dapat mengembangkan delirium
dengan stressor ringan seperti infeksi saluran kemih.
Individu yang lebih tua sangat rentan sebagai akibat dari peningkatan
penurunan sel dan penurunan neurotransmiter, terutama asetilkolin dimana
diketahui bahwa defisiensi kolinergik menyebabkan delirium dan dapat
diinduksi dengan obat antikolinergik. Aktivitas antikolinergik serum meningkat
pada inhibitor delirium dan kolinesterase telah terbukti membalikkan delirium
bahkan pada kasus-kasus yang tidak disebabkan oleh obat antikolinergik. Studi
neuropsikologi dan neuroimaging menunjukkan gangguan fungsi kortikal yang
lebih tinggi dengan kompromi banyak area otak lainnya termasuk korteks
prefrontal, struktur subkortikal, thalamus, ganglia basal, korteks frontal dan
temporoparietal, korteks fusiform, dan girus lingual terutama pada sisi yang
tidak dominan. Beberapa neurotransmitter lain memainkan peran penyebab atau
kontribusi seperti dopamine, yang mempengaruhi pelepasan asetilkolin.
Neurotransmitter lain seperti serotonin, norepinefrin, dan asam gamma
aminobutyric telah terlibat, dengan sistem kolinergik menjadi jalur umum akhir.
Stres kronis dan pelepasan sitokin yang mengubah permeabilitas penghalang
darah-otak juga dapat berkontribusi.
4. Etiologi : Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi
Delirium sebagai akibat proses penuaan pada sitem neurologis dapat
dibedakan dari delirium akibat cedera kepala dilihat dari etiologinya. Delirium
pada lansia diakibatkan oleh ketidakseimbangan jumlah neurotransmiter
sehingga berpengaruh terhadap aktivitas neuron (Miller, 2009), sedangkan pada
cedera kepala disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial (Black,2009).
Delirium pada lansia mempunyai etiologi yang multifaktor yaitu hasil interaksi
antara faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi merupakan

4
resiko yang membuat individu lebih rentan untuk delirium, sedangkan faktor
presipitasi merupakan penyebab langsung terjadinya delirium (Stanley, 2002).
Menurut Miller (2012) faktor- faktor yang paling umum dapat
meningkatkan resiko delirium adalah bertambahnya usia, penurunan kognitif,
perubahan fisiologis, dehidrasi dan malnutrisi. Penurunan kognitif pada lansia
terjadi karena adanya perubahan metabolisme oksidatif serebral dan
ketidakseimbangan zat neurotransmiter seperti dopamin dan asetilkolin yang
akan menyebabkan delirium (Stanley, 2002). Sedangkan perubahan fisiologis
yang dapat menjadi faktor predisposisi yaitu pendengaran dan penglihatan.
Karena dengan adanya penurunan fungsi kedua indra tersebut, stimulus yang
datang mengalami distorsi atau bahkan hilang ( Reichel, 2009).
Kondisi dehidrasi dan ketidakseimbangan asupan nutrisi menyebabkan
metabolisme di otak tidak seimbang. Kondisi natrium, ureum dan kreatinin yang
tinggi merupakan faktor resiko independen untuk delirium (Reichel, 2009).
Sedangkan faktor pemicu terjadinya delirium yaitu infeksi, obat- obatan
dan post operasi. Infeksi pada kepala contohnya meningitis dapat mengganggu
keseimbangan neurotransiter. Obat- obatan yang dapat menyebabkan delirium
terutama obat- obatan dengan sifat antikolinergik (Reichel, 2009). Berdasarkan
hasil penelitian oleh Shin et al., (2016) yang dilakukan pada 78 lansia dengan
patah tulang pinggul, kemudian dilakukan penilaian klinis dan psikologis
sebelum operasi dan dilakukan penilaian delirium dari hari berikutnya sampai
hari ke 7. Ditemukan 40 orang lansia yang mengalami delirium. Hal tersebut
dikaitkan dengan anestesi regional.
5. Penatalaksanaan Delirium
Penanganan delirium pada lansia dapat dibagi menjadi terapi
farmakologis dan terapi non farmakologis. Strategi penanganan delirium secara
farmakologis lebih jarang dilakukan karena menimbulkan efek samping bahkan
terjadinya penyakit lain. Terapi farmakologis biasanya diberikan pada delirium
yang menimbulkan resiko bahaya bagi pasien sendiri atau bagi orang lain.
Terapi yang digunakan yaitu dari golongan psychofarmakologis seperti
haloperidol, benzodiazepin, antidepresan, risperidone dan antipsikotik lainnya (
Reichel, 2009).

5
Strategi penanganan non farmakologis merupakan pengobatan utama
bagi lansia yang mengalami delirium. Terapi non farmakologis dapat dilakukan
dengan menciptakan lingkungan yang aman. Lingkungan yang sepi, tenang,
penggunaan jam, kalender, dan foto untuk membantu orientasi. Pencahayaan
yang memadai untuk membantu membentuk irama sirkandia yang normal.
Pendekatan yang konsisten dari keluarga dan perawat juga dapat membantu
orientasi (Reichel, 2009).
Dalam sebuah penelitian oleh Alvarez, et.al .(2016) dibuktikan bahwa
terapi okupasi efektif dalam mengurangi durasi dan kejadian delirium pada
pasien usia lanjut. Penelitian ini dilakukan pada pasien usia lanjut tanpa ventilasi
mekanik di ruang intensif care yaitu dengan menerapkan intervensi standar pada
kelompok kontrol dan menerapkan intervensi standar ditambah terapi
okupasional dua kali sehari selama lima hari. Kemudian dievaluasi hasilnya
dengan mengukur kemandirian fungsional, kekuatan tangan dominan dan
penilaian status mini mental (MMSE).
Teknik terapi okupasi yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu
stimulasi polysensori dengan stimulasi eksternal yang intens, posisi dengan
memposisikan pasien untuk mencegah edema dan luka baring pada area tubuh
yang rentan, stimulasi kognitif yaitu dengan cara setiap pasien menerima sebuah
buku catatan untuk latihan kognitif, serta alat seperti sekuensing kartu dan
permainan, latihan aktivitas dasar seperti perawatan diri dan makan, stimulasi
pada fungsi motorik anggota gerak atas dengan latihan ekstremitas pasien secara
aktif, dan partisipasi keluarga dengan kunjungan harian oleh anggota keluarga
yang terlatih (Alvarez, et al, 2016).
Delirium merupakan masalah pada lansia yang dapat menimbulkan
dampak yang serius bahkan sampai mengancam jiwa. Pecegahan primer dapat
diawali dengan pemahaman yang baik bahwa delirium bukan konsekuensi
normal dari penuaan. Selain itu, delirium mempunyai faktor resiko yang dapat
dicegah. Pentalaksanaan farmakologis ataupun nonfarmakologis yang tepat
dapat membantu mengembalikan kembali fungsi otak normal jika penyebab
delirium sudah diketahui dan diatasi.

6
B. Spiritual Lansia
1. Perubahan Spiritual Pada Lansia
Perubahan yang terjadi pada lansia dapat berupa perubahan fisik,
psikologis dan spiritual. Perubahan fisik lebih identik dihubungkan dengan
penurunan fungsi tubuh hingga terjadinya penyakit. Perubahan fisik ini akan
memicu perasaan bahwa lansia berada pada sisa-sisa usia dan menunggu
datangnya kematian, sebagai manusia yang tidak produktif lagi serta
permasalahan psikologis lainnya. Menurut Stanley & Beare (2006)
permasalahan diatas dapat dihilangkan atau dinetralisir dengan kehidupan
spiritualitas yang kuat. Agama dan spiritualitas merupakan sesuatu yang
berbeda. Agama biasanya mengacu pada sistem keyakinan, praktik, dan ritual
yang menjadi ciri suatu komunitas dengan cara tertentu (biasanya didasarkan
pada kepercayaan pada makhluk Illahi), sedangkan spiritualitas dapat
didefinisikan secara lebih luas, berhubungan dengan keyakinan dan praktik yang
memberi arti dan tujuan dalam kehidupan individu. (Tabloski, 2014). Adegbola
(2006) dalam Destarina dkk (2014) mengatakan bahwa spiritualitas secara
signifikan membantu lansia untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan
yang diakibatkan oleh penyakit kronis. Perubahan spiritual pada lansia salah
satunya dapat dilihat dari semakin matangnya kehidupan keagamaan lansia.
Perkembangan spiritual yang matang akan membantu lansia untuk menghadapi
kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan, maupun merumuskan arti dan tujuan
keberadaannya dalam kehidupan. Perkembangan spiritual pada lansia tersebut
dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor usia yang sudah
mulai renta dan kondisi tubuh yang menurun (Hamid, 2009). Sehingga sangat
penting untuk diketahui oleh perawat tentang perubahan spiritualitas pada lansia
dan perubahan ini dapat dijadikan dasar dalam pemberian asuhan keperawatan
yang holistik pada lansia. Berdasarkan uraian diatas pada lembar tugas mandiri
ini akan dibahas tentang perubahan spritual pada lansia dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Definisi spiritualitas secara umum mencakup konsep-konsep berikut:
penyembuhan; keadilan sosial; pengembangan diri; hubungan interpersonal;
makna dan tujuan hidup; hubungan transenden dengan makhluk yang lebih

7
tinggi; keterhubungan dengan alam, orang lain, dan alam semesta; dan perasaan
dan perilaku yang timbul dari cinta, keyakinan, harapan, kepercayaan, dan
pengampunan (Miller, 2012). Menurut Hamid (2009) spiritualitas adalah konsep
dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal
terkait hubungan dengan Tuhan sedangkan dimensi horizontal terkait dengan
hubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Spiritualitas
membantu orang dalam menentukan makna dan tujuan dalam hidup mereka
(Taylor, Lillis, LeMone P & Lynn, 2011). Spiritual merupakan hubungan
transenden antara manusia dengan Tuhan, sebuah kualitas yang berjalan diluar
afiliasi agama tertentu, dan yang memberi jawaban tentang sesuatu yang tidak
terbatas (Ibrahim, 2014). Kebutuhan spiritual pada usia lanjut adalah kebutuhan
untuk memenuhi kenyamanan, mempertahankan fungsi tubuh dan membantu
untuk menghadapi kematian dengan tenang dan damai (Hawari, 2002 dalam
Sunaryo dkk, 2015).
Menurut Nugroho (2009) perubahan spiritual pada lansia ditandai
dengan semakin matangnya lansia dalam kehidupan keagamaan dan
kepercayaan yang terintegrasi dalam kehidupan dan terlihat dalam pola berfikir
dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum masa lansia
diindentikkan terjadi peningkatan aktifitas spiritual keagamaannya. Pada
kenyataannya peningkatan aktifitas tersebut banyak bergantung pada kebiasaan
yang telah dilakukannya semasa periode umur sebelumnya, sehingga tidak
sedikit seseorang yang telah memasuki masa lansia, tingkat spiritualitas masih
tergolong rendah (Syam, 2010). Perkembangan spiritual yang baik pada lansia
akan membantunya dalam menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam
kehidupan, maupun merumuskan arti dan tujuan keberadaannya dalam
kehidupan. Rasa percaya diri dan perasaan berharga terhadap dirinya akan
mampu membuat lansia merasakan kehidupan yang terarah, hal ini dapat dilihat
dari harapan dan kemampuan dalam mengembangkan hubungan antar manusia
yang positif (Dewi, 2014). Pada penelitian yang dilakukan Widiastuti (2007)
dalam Destarina (2014) menjelaskan bahwa lansia dalam hal hubungan antar
manusia (aspek horizontal) masih kurang dan lebih dominan mementingkan
kebutuhan spiritualnya dari aspek hubungan dengan Tuhan (aspek vertikal).

8
Menurut Sunaryo dkk (2015) pada lansia yang spiritualnya baik dia tidak takut
mati dan dapat lebih mampu menerima kehidupan. Sedangkan bagi lansia yang
spiritualnya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa tidak
berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan, dan rasa takut mati.
Menurut Fitriani (2016) dalam perubahan spiritual pada lansia juga
terdapat permasalahan yang terjadi yaitu disebut dengan distress spiritual.
Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan
mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dihubungkan dengan agama,
orang lain, seni, musik, literature, alam, atau kekuatan yang lebih besar dari
dirinya. Indikator tentang problem spiritual lansia mengacu pada indikator-
indikator distress spiritual yaitu :
1. Kurang dalam pengharapan, arti dan tujuan hidup, kedamaian, penerimaan,
cinta, memaafkan diri, dan keberanian.
2. Marah, memiliki rasa bersalah, dan koping buruk, menolak berinteraksi
dengan pemimpin agama, menolak berinteraksi dengan teman dan keluarga.
3. Merasa terasingkan, tidak mampu mengekspresikan kondisi kreatif
(bernyanyi, mendengar/ menulis musik).
4. Tidak ada ketertarikan kepada alam, dan tidak ada ketertarikan kepada
bacaan agama, tidak mampu ibadah, tidak mampu berpartisipasi dalam
aktifitas agama, merasa ditinggalkan atau marah kepada Tuhan.
5. Perubahan mendadak dalam praktek keagamaan, tidak mampu
introspeksidan mengalami penderitaan tanpa harapan.
Menurut Taylor dkk, 1997 dan Craven, 1996 (dalam Hamid 2009),
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi spiritual seorang lansia diantaranya :
1. Tahap perkembangan.
Tahap perkembangan manusia mempengaruhi status spiritual seseorang.
Kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak waktu
untuk kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti nilai agama. Syam
(2010) mengatakan bertambahnya usia meningkatkan kematangan dalam
berfikir dan bertindak sehingga segi spiritual lansia menjadi lebih baik yang
akan berpengaruh dalam mengambil keputusan dan menentukan sikap
dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Fowler perkembangan spiritual pada

9
lansia berada pada tahap penjelmaan dari prinsip cinta dan keadilan
(Maryam dkk, 2008).
2. Keluarga
Peranan keluarga penting dalam perkembangan spiritual individu. Penelitian
mengatakan bahwa lansia yang kehilangan pasangan atau tidak dapat
berkumpul dengan keluarga atau teman dekat akan terpisahkan dari ikatan
spiritual sehingga menyebabkan perubahan fungsi spiritualnya. Keyakinan
spiritual yang terbangun dengan baik membantu lansia menghadapi
kenyataan (Hamid, 2009).
3. Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial
budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan
spiritual keluarga. Perlu diperhatikan apapun tradisi agama atau sistem
kepercayaan yang dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual adalah
hal unik bagi tiap individu.
4. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup yang positif ataupun negatif dapat mempengaruhi
spiritual sesorang. Sebaliknya, juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang
mengartikan secara spiritual kejadian atau pengalaman tersebut. Peristiwa
dalam kehidupan seseorang biasanya dianggap sebagai suatu cobaan yang
diberikan Tuhan kepada manusia untuk menguji keimanannya.
5. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan spiritual seseorang. Krisis sering
dialami seseorang ketika menghadapi penyakit, penderitaan, proses
penuaan, kehilangan dan bahkan kematian. Perubahan dalam kehidupan dan
krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual.
6. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering kali membuat individu
merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dari sistem dukungan
sosial. Akibatnya, kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah, diantaranya
tidak dapat mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul

10
dengan keluarga atau teman dekat yang bisa memberikan dukungan setiap
saat bila diinginkan.
Perkembangan spiritual yang matang pada lansia akan terlihat dalam
pola berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-harinya dan membantunya
dalam menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan, maupun
merumuskan arti dan tujuan keberadaannya dalam kehidupan. Perubahan
spiritual pada lansia seharusnya berimbang pada dua dimensi spiritual yaitu
dimensi vertikal dan horizontal. Menurut penelitian Widiastuti (2007) dalam
Destarina (2014) dapat dilihat bahwa lansia masih lebih dominan pada dimensi
vertikal dibanding dimensi horizontal, padahal dimensi horizontal juga sangat
penting dalam perkembangan spiritualnya.
2. Pengkajian Spiritual Pada Lansia
Dalam melakukan pengkajian spiritual terhadap pasien lansia, terdapat
beberapa panduan untuk Penilaian Keperawatan (Miller, 2012) seperti;
menyadari spiritualitas diri sendiri sebelum ke pasien (self assessment),
memahami bahwasanya kebutuhan spiritual adalah sesuatu yang universal,
mengakui bahwa kebutuhan spiritual pasien termasuk dalam konsep
keperawatan yang holistic, berpikiran terbuka dan hilangkan sikap menghakimi.
Untuk menilai kesehatan spiritual lansia, Miller (2012) membuat beberapa
pertanyaan yang dapat digunakan dalam proses pengkajian kesehatan spiritual:
● "Apa yang bermakna dan penting dalam kehidupan Anda?"
● "Apa yang telah dan ingin dicapai dalam kehidupan Anda?"
● "Hal apa yang dapat membuat anda menjadi senang?"
● “Siapa orang yang dapat dijadikan sahabat terpercaya anda? ”
● "Apakah Anda percaya pada Tuhan?"
● “Apakah Anda aktif dalam kegiatan keagamaan atau spiritual? ”
● “Aktifitas apa yang dapat memberikan ketenangan batin bagi? ”
● "Apa yang Anda yakini tentang kematian?"
● “Apa yang anda ketahui tentang hubungan antara tubuh, pikiran, emosi, dan
jiwa Anda?
● “Apakah ada benda atau sesuatu yang mendukung keyakinan anda? ”
● "Apakah Anda membutuhkan kunjungan dari seorang pemimpin spiritual?"

11
Bebrapa hal yang harus diperhatikan saat Observasi / Pertanyaan untuk
menilai ada tidaknya Distress Spiritual (Miller, 2012)
● Selama wawancara psikososial, pastikan ada tidaknya petunjuk spiritual
berabahaya, seperti: ide bunuh diri; marah ke kepada Tuhan; ketidakmampuan
untuk memaafkan orang lain; perasaan putus asa, tidak berguna, atau
pengabaian; pertanyaan tentang makna hidup, kerugian, atau penderitaan.
● “Apakah ada konflik antara keyakinan atau nilai dengan tindakan yang harus
Anda ambil? ”(contoh: tranfusi darah)
● “Apakah ada konflik antara apa yang Anda yakini dengan apa yang ada di
masyarakat atau profesional perawatan kesehatan? ”(Contoh: mempertanyakan
kebijaksanaan penggunaan NGT untuk makan, atau larangan makan ikan untuk
ibu hamil)”
● “Apakah Anda memiliki pertimbangan agama khusus yang tidak sedang
dijalani? ”(contoh: praktik diet, ketaatan pada hari libur keagamaan)
● “Apakah ada sesuatu yang mengganggu kebutuhan spiritual Anda? ”(contoh:
lingkungan yang bising, kurangnya privasi)

12
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Perubahan yang terjadi pada lansia dapat berupa perubahan fisik,
psikologis, spiritual dan kognitif. Perubahan spiritual pada lansia dapat dilihat
dari semakin matangnya kehidupan keagamaan lansia. Perkembangan spiritual
yang matang pada lansia akan membantu lansia untuk menghadapi kenyataan,
berperan aktif dalam kehidupan, maupun merumuskan arti dan tujuan
keberadaanya dalam kehidupan. Perkembangan spiritual lansia dipengaruhi
oleh faktor usia yang mulai rentan dan kondisi tubuh yang menurun.
Permasalahan perubahan spiritual pada lansia berupa distress spiritual, yaitu
kerusakan kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan
hidup seseorang dihubungkan dengan agama,orang lain, seni, musik, literature,
alam atau kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Pengkajian spiritual pada
lansia dapat dilakukan dengan FICA yang efektif untuk menilai dimensi
spiritual berdasarkan korelasi dengan indikator spiritualitas dalam kualitas
hidup.
Perubahan kognitif pada lansia dapat berupa demensia dan delirium.
Demensia khas pada lansia, namun delirium bisa dialami oleh dewasa. Delirium
adalah suatu kondisi gangguan kognitif akut, ingatan, perhatian, perilaku,
persepsi, orientasi, dan kesadaran yang mempengaruhi kemandirian fungsional.
Delirium diklasifikasikan berdasarkan etiologinya menjadi delirium yang
berhubungan dengan kondisi medik, delirium intoksikasi substansi, delirium
penghentian substansi, delirium diinduksi substansi, delirium yang
berhubungan dengan etiologi multipel dan delirium tidak terklasifikasi.
Penyebab delirium pada lansia adalah bertambahnya usia, penurunan kognitif,
perubahan fisiologis, dehidrasi, dan malnutrisi. Faktor utama penyebab delirium
adalah penurunan keseimbangan zat neurotransmiter dopamin dan asetilkolin.
Penatalaksanaan delirium secara farmakologi berupa pemberian obat golongan
psikofarmakologis. Sedangkan penatalaksanaan nonfarmakologis dengan

13
menciptakan lingkungan yang aman, lingkungan yang sepi, tenang, dan terdapat
jam dan kalender untuk membantu orientasi.
3.2. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepanya
penulis akan lebih fokus dan detail dalam membahas mengenai spiritual dan
delirium pada lansia dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan dapat
dipertanggungjawabkan. Saran dan kritik penulis harapkan demi kebaikan
penulisan makalah kedepanya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Alvarez, E. A., Garrido, M. A., Tobar, E. A., Prieto, S. A., & Vergara, S. O. (2016).
Therapy for deliriummanagement in elderly patients withoutmechanical ventila
tion in an intensive care unit: A pilot randomized clinical trial. Journal Of
Critical Care 2017 Feb; Vol. 37, pp. 85-90. Date of Electronic
Publication: 2016 Sep 10.
Destarina, V; Agrina; Dewi Yulia I.(2014). Gambaran spiritualitas lansia di panti
sosial tresna werdha khusnul khotimah pekanbaru. JOM PSIK Vol.1 No.2:1-8
Dewi Sofia R. (2014). Buku ajar keperawatan gerontik. Yogyakarta:Deepublish
Fitriani Mei. (2016). Problem psikospiritual lansia dan solusinya dengan bimbingan
penyuluhan islam (studi kasus Balai Pelayanan Sosial Cepiring Kendal).
Jurnal ilmu dakwah Vol.36 No.1:70-95
Hamid Achir Yani S. (2009). Bunga rampai asuhan keperawatan kesehatan jiwa.
Jakarta:EGC
Ibrahim. (2014). Karakteristik spiritual pada lanjut usia di unit pelaksana teknis
dinas (UPDT) rumoh seujahtra geunaseh sayang banda aceh tahun 2013. Idea
Nursing Journal Vol.5 No.1:58-63
Isfandiaty, R., Harimurti, K., Setiati, S., & Roosheroe, A. G. (2012). Incidence and
predictors for delirium in hospitalized elderly patients: a retrospective cohort
study. Acta Medica Indonesiana, 44(4), 290–297.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23314969.
Maryam R. Siti, dkk.(2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta:
Salemba Medika
Miller, CA. (2012). Nursing for wellness in older adult. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins
Nugroho H.Wahjudi.(2009). Komunikasi dalam keperawatan gerontik. Jakarta:EGC

Reichel, Williams et al. (2009). Reichel’s care of the elderly; clinical aspects of
aging 6th edition. Cambridge. Cambridge University Press
Shin, J. E., Kyeong, S., Lee, J. S., Park, J. Y., Lee, W. S., Kim, J. J., & Yang, K. H.
(2016). A personality trait contributes to the occurrence of postoperative
delirium: A prospective study. BMC Psychiatry, 16(1), 1–14.
https://doi.org/10.1186/s12888-016-1079-z.
Stanley & Beare. (2002). Buku ajar keperawatan gerontik . Philadephia : Davis
Company. (Penerjemah : Nety, J & Sari, K, 2007).
Sunaryo dkk .(2015). Asuhan keperawatan gerontik. Yogyakarta:Andi offset
Syam, Amir. (2010). Hubungan antara kesehatan spiritual dengan kesehatan jiwa
pada lansia muslim di sasana tresna werdha KBRP Jakarta Timur. Tesis.
Program Magister Ilmu Keperawatan FIK UI
rd
Tabloski, P.A. (2014). Gerontological nursing 3 edition. Upper Saddle River.
Pearson
Taylor, C. R., Lillis, C, LeMone P & Lynn, P. (2011). Fundamentals of nursing: The
art and science of nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai