Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Stuart & Laraia (2009) dalam Nurhalimah (2016) mendefinisikan halusinansi


sebagai tanggapan dari panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal.
Halusinasi merupakan gangguan persepsi di mana pasien mempersepsikan sesuatu
yang sebenarnya tidak terjadi (Nurhalimah, 2016). Ada lima jenis halusinasi, yaitu
pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan.

B. Psikodinamika

1. Penyebab

Menurut Mary Durant Thomas (2007), halusinasi dapat terjadi pada klien
dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan delirium,
demensia, dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan
substansi lainnya. Halusinasi adapat juga terjadi dengan epilepsi, kondisi
infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat dialami
sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi, anti
kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik, sedangkan obat-obatan halusinogenik
dapat membuat terjadinya halusinasi sama seperti pemberian obat di atas.

Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu normal yaitu pada
individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik seperti kebutaan,
kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada pembicaraan.
Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun
banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis, psikologis,
sosial budaya, dan stresor pencetusnya adalah stres lingkungan, biologis,
pemicu masalah sumber-sumber koping, dan mekanisme koping.

5
6

2. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap pasien
serta ungkapan pasien. Adapun tanda dan gejala pasien halusinasi adalah
sebagai berikut:

a. Data Subjektif

Pasien mengatakan:

1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan.


2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat
hantu atau monster.
5) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang
bau itu menyenangkan.
6) Merasakan rasa seperti darah, urin atau feses.
7) Merasa takut atau senang dengan halusinasinya.

b. Data Objektif
1) Bicara atau tertawa sendiri.
2) Marah-marah tanpa sebab.
3) Mengarahkan telinga ke arah tertentu.
4) Menutup telinga.
5) Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu.
6) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.
7) Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.
8) Menutup hidung.
9) Sering meludah.
10) Muntah.
11) Menggaruk-garuk permukaan kulit.
7

Tabel 2.1
Data Subjektif dan Objektif berdasarkan Jenis Halusinasi.

3. Rentang Respon

Stuart & Laraia (2009) dalam Nurhalimah (2016) menjelaskan rentang


respon neurobiologis pada pasien dengan gangguan senssori persepsi
halusinasi sebagai berikut:
8

C. Pengkajian

Pengkajian merupakan langkah awal di dalam pelaksanaan asuhan


keperawatan. Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada
pasien dan keluarga. Tanda dan gejala gangguan sensori persepsi halusinasi dapat
ditemukan dengan wawancara, melalui pertanyaan sebagai berikut:

1. Dari pengamatan saya sejak tadi, bapak/ibu tampak seperti bercakap-cakap


sendiri apa yang sedang bapak/ibu dengar/lihat?
2. Apakah bapak/ibu melihat bayangan-bayangan yang menakutkan?
3. Apakah ibu/bapak mencium bau tertentu yang menjijikkan?
4. Apakah ibu/bapak meraskan sesuatu yang menjalar di tubuhnya?
5. Apakah ibu/bapak merasakan sesuatu yang menjijikkan dan tidak
mengenakkan?
6. Seberapa sering bapak//ibu mendengar suara-suara atau melihat bayangan
tersebut?.
7. Kapan bapak/ ibu mendengar suara atau melihat bayang-bayang?
8. Pada situasi apa bapak/ibu mendengar suara atau melihat bayang-bayang?
9. Bagaimana perasaaan bapak/ibu mendengar suara atau melihat bayangan
tersebut?
10. Apa yang sudah bapak/ibu lakukan, ketika mendengar suara dan melihat
bayangan tersebut?

1. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari:

a. Faktor Biologis

Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa


(herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat
penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (NAPZA).
9

b. Faktor Psikologis

Memiliki riwayat kegagalan yang berulang. Menjadi korban, pelaku


maupun saksi dari perilaku kekerasan serta kurangnya kasih sayang dari
orang-orang disekitar atau overprotektif.

c. Sosial Budaya dan Lingkungan

Sebagian besar pasien halusinasi berasal dari keluarga dengan sosial


ekonomi rendah, selain itu pasien memiliki riwayat penolakan dari
lingkungan pada usia perkembangan anak, pasien halusinasi seringkali
memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta pernah mengalami
kegagalan dalam hubungan sosial (perceraian, hidup sendiri), serta tidak
bekerja.

2. Faktor Presipitasi

Stresor presipitasi pasien gangguan persepsi sensori halusinasi ditemukan


adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak,
adanya riwayat kekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan
dalam hidup, kemiskinan, adanya aturan atau tuntutan dikeluarga atau
masyarakat yang sering tidak sesuai dengan pasien serta konflik antar
masyarakat.

3. Sumber Koping dan Mekanisme Koping

a. Sumber Koping

Mechanic yang dikutip oleh Stuart dan Sundeen (1995) mengatakan


lima sumber koping, yaitu aset ekonomi, kemampuan dan keterampilan
individu, teknik-teknik pertahanan, dukungan sosial, dan dukungan
motivasi. Menurut Lazarus dan Folkman dalam Stuart dan Sundeen
(1995), sumber koping meliputi keyakinan positif, keterampilan
pemecahan masalah, dan sumber-sumber sosial dan material.
10

b. Mekanisme Koping

Mekanisme koping klien gangguan sensori persepsi halusinasi


menurut Stuart (2007), perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi
klien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon
neurologis maladaptif, yaitu:

1) Regresi

Berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk


mengatasi ansiietas yang menyisakan sedikit energi untuk aktivitas
hidup sehari-hari.

2) Proyeksi

Sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.

3) Menarik diri

4. Perilaku dan Tahapan Halusinasi

Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan


tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak
mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata
dan tidak nyata. Halusinasi yang dialami pasien memiliki tahapan sebagai
berikut.

a. Tahap I

Halusinasi bersifat menenangkan, tingkat ansietas pasien sedang.


Pada tahap ini halusinasi secara umum menyenangkan.

Karakteristik:

Karakteristik tahap ini ditandai dengan adanya perasaan bersalah dalam


diri pasien dan timbul perasaan takut. Pada tahap ini pasien mencoba
11

menenangkan pikiran untuk mengurangi ansietas. Individu mengetahui


bahwa pikiran dan sensori yang dialaminya dapat dikendalikan dan bisa
diatasi (nonpsikotik).

Perilaku yang Teramati:

1) Menyeringai/tertawa yang tidak sesuai.


2) Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara.
3) Respon verbal yang lambat.
4) Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikan.

b. Tahap II

Halusinasi bersifat menyalahkan, pasien mengalami ansietas tingkat


berat dan halusinasi bersifat menjijikkan untuk pasien.

Karakteristik:

Pengalaman sensori yang dialami pasien bersifat menjijikkan dan


menakutkan, pasien yang mengalami halusinasi mulai merasa kehilangan
kendali, pasien berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang
dipersepsikan, pasien merasa malu karena pengalaman sensorinya dan
menarik diri dari orang lain (nonpsikotik).

Perilaku yang teramati:

1) Peningkatan kerja susunan saraf otonom yang menunjukkan


timbulnya ansietas seperti peningkatan nadi, TD, dan pernapasan.
2) Kemampuan kosentrasi menyempit.
3) Dipenuhi dengan pengalaman sensori, mungkin kehilangan
kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dan realita.
12

c. Tahap III

Pada tahap ini halusinasi mulai mengendalikan perilaku pasien,


pasien berada pada tingkat ansietas berat. Pengalaman sensori menjadi
menguasai pasien.

Karakteristik:

Pasien yang berhalusinasi pada tahap ini menyerah untuk melawan


pengalaman halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya.
Isi halusinasi dapat berupa permohonan, individu mungkin mengalami
kesepian jika pengalaman tersebut berakhir (psikotik).

Perilaku yang teramati:

1) Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh


halusinasinya dari pada menolak.
2) Kesulitan berhubungan dengan orang lain.
3) Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik, gejala fisik dari
ansietas berat seperti: berkeringat, tremor, ketidakmampuan
mengikuti petunjuk.

d. Tahap IV

Halusinasi pada saat ini, sudah sangat menaklukkan dan tingkat


ansietas berada pada tingkat panik. Secara umum halusinasi menjadi
lebih rumit dan saling terkait dengan delusi.

Karakteristik:

Pengalaman sensori menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah


halusinasinya. Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari
apabila tidak diintervensi (psikotik).
13

Perilaku yang teramati:

1) Perilaku menyerang – teror seperti panik.


2) Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.
3) Amuk, agitasi, dan menarik diri.
4) Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang komplek.
5) Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.

5. Aspek Medik

Menurut Keliat dan Akemat (2011), tindakan keperawatan untuk


membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina hubungan
saling percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting dijalin
sebelum mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien harus
difasilitasi untuk merasa nyaman menceritakan pengalaman aneh
halusinasinya agar informasi tentang halusinasi yang dialami oleh klien dapat
diceritakan secara komprehensif. Untuk itu perawat harus memperkenalkan
diri, membuat kontrak asuhan dengan klien bahwa keberadaan perawat adalah
betul-betul untuk membantu klien. Perawat juga harus sabar, memperlihatkan
penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar ungkapan klien saat
menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien atau
menertawakan klien walaupun pengalaman halusinasi yang diceritakan aneh
dan menggelikan bagi perawat. Perawat harus bisa mengendalikan diri agar
tetap terapeutik.

Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan


selanjutnya adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi
halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
munculnya halusinasi, dan perasaan klien saat halusinasi muncul). Setelah
klien menyadari bahwa halusinasi yang dialaminya adalah masalah yang
harus diatasi, maka selanjutnya klien perlu dilatih bagaimana cara yang bisa
dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses ini dimulai dengan
14

mengkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa usaha


yang klien lakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan
efektifitas cara tersebut. Apabila cara tersebut efektif, bisa diterapkan,
sementara jika cara yang dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu
dengan cara-cara baru.

Menurut Keliat dan Akemat (2011), ada beberapa cara yang bisa dilatihkan
kepada klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi:

a. Menghardik Halusinasi

Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya, klien


harus berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga.
Klien dilatih untuk mengatakan, ”tidak mau dengar…, tidak mau lihat”.
Ini dianjurkan untuk dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat. Bantu
pasien mengenal halusinasi, jelaskan cara-cara kontrol halusinasi,
ajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara pertama yaitu
menghardik halusinasi:

b. Menggunakan Obat

Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat


ketidakseimbangan neurotransmiter di saraf (dopamin, serotonin). Untuk
itu, klien perlu diberi penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi
halusinasi, serta bagairnana mengkonsumsi obat secara tepat sehingga
tujuan pengobatan tercapai secara optimal. Pendidikan kesehatan dapat
dilakukan dengan materi yang benar dalam pemberian obat agar klien
patuh untuk menjalankan pengobatan secara tuntas dan teratur.

Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan


klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga.
Hal ini penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga adalah
sistem di mana klien berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangat
menentukan kesehatan jiwa klien. Klien mungkin sudah mampu
15

mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak didukung secara kuat, klien bisa
mengalami kegagalan, dan halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua,
halusinasi sebagai salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama
(kronis), sekalipun klien pulang ke rumah, mungkin masih mengalarni
halusinasi. Dengan mendidik keluarga tentang cara penanganan
halusinasi, diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu klien
kembali ke rumah. Latih pasien menggunakan obat secara teratur. Jenis-
jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:

1) Chlorpromazine (CPZ, Largactile), Warna: Orange

Indikasi:

Untuk mensupresi gejala-gejala psikosa: agitasi, ansietas,


ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala-
gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik
depresi, gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa
kecil.

Cara pemberian:

Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan


intramuskuler. Dosis permulaan adalah 25 – 100 mg dan diikuti
peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg perhari. Dosis ini
dipertahankan selama satu minggu. Pemberian dapat dilakukan satu
kali pada malam hari atau dapat diberikan tiga kali sehari. Bila gejala
psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara perlahan-lahan
sampai 600 – 900 mg perhari.

Kontra indikasi:

Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma,


keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika, dan penderita yang
hipersensitif terhadap derifat fenothiazine.
16

Efek samping:

Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi


orthostatik, mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore
pada wanita, hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida.
Intoksikasinya untuk penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi
menyebabkan gejala penurunan kesadaran karena depresi susunan
saraf pusat, hipotensi,ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan
perubahan gambaran irama EKG. Pada penderita psikosa jarang
sekali menimbulkan intoksikasi.

2) Haloperidol (Haldol, Serenace), Warna: Biru

Indikasi:

Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilies de la


tourette pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan
perilaku yang berat pada anak-anak.

Cara pemberian:

Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang terbagi menjadi 6 –


15 mg untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2 – 5 mg
intramuskuler setiap 1 – 8 jam, tergantung kebutuhan.

Kontra indikasi:

Depresi sistem saraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson,


hipersensitif terhadap haloperidol.

Efek samping:

Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah,


gejala ekstrapiramidal atau pseudoparkinson. Efek samping yang
jarang adalah nausea, diare, kostipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala
gangguan otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi,
17

reaksi hematologis. Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam


dosis melebihi dosis terapeutik dapat timbul kelemahan otot atau
kekakuan, tremor, hipotensi, sedasi, koma, depresi pernapasan.

3) Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin), Warna: Putih kecil

Indikasi:

Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala


skizofrenia.

Cara pemberian:

Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya rendah (12,5
mg) diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis
ditingkatkan 25 mg dan interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg
setiap kali suntikan, tergantung dari respon klien. Bila pemberian
melebihi 50 mg sekali suntikan sebaiknya peningkatan perlahan-
lahan.

Kontra indikasi:

Pada depresi susunan saraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap


fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine.
Intoksikasi biasanya terjadi gejala-gejala sesuai dengan efek
samping yang hebat. Pengobatan over dosis ; hentikan obat berikan
terapi simtomatis dan suportif, atasi hipotensi dengan levarteronol
hindari menggunakan ephineprine ISO.

c. Berinteraksi dengan Orang Lain

Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya.


Dengan meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, kilen akan dapat
memvalidasi persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami
peningkatan stimulus eksternal jika berhubungan dengan orang lain. Dua
hal ini akan mengurangi fokus perhatian klien terhadap stimulus internal
18

yang menjadi sumber halusinasinya. Latih pasien mengontrol halusinasi


dengan cara kedua yaitu bercakap-cakap dengan orang lain.

d. Beraktivitas secara Teratur dengan Menyusun Kegiatan Harian

Kebanyakan halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang


tidak dimanfaatkan dengan baik oleh klien. Klien akhirnya asyik dengan
halusinasinya. Untuk itu, klien perlu dilatih menyusun rencana kegiatan
dari pagi sejak bangun pagi sampai malam menjelang tidur dengan
kegiatan yang bermanfaat. Perawat harus selalu memonitor pelaksanaan
kegiatan tersebut sehingga klien betul-betul tidak ada waktu lagi untuk
melamun tak terarah. Latih pasien mengontrol halusinasi dengan cara
ketiga, yaitu melaksanakan aktivitas terjadwal.

D. Diagnosa Keperawatan

Langkah kedua dalam asuhan keperawatan adalah menetapkan diagnosis


keperawatan yang dirumuskan berdasarkan tanda dan gejala gangguan sensori
persepsi: halusinasi yang ditemukan. Data hasil observasi dan wawancara
dilanjutkan dengan menetapkan diagnosis keperawatan. Tabel di bawah ini
merupakan contoh: Analisa data dan rumusan masalah.

No. Data Masalah Keperawatan


1. Data Objektif: Halusinasi
 Bicara atau tertawa sendiri.
 Marah marah tanpa sebab.
 Mengarahkan telinga ke posisi
tertentu.
 Menutup telinga.
Data Subjektif:
 Mendengar suara-suara atau
kegaduhan.
19

 Mendengar suara yang mengajak


bercakap-cakap.
 Mendengar suara menyuruh
melakukan sesuatu yang berbahaya.

Tabel 2.2
Analisa Data Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi.

Berdasarkan hasil pengkajian pasien menunjukkan tanda dan gejala


gangguan sensori persepsi: halusinasi, maka diagnosis keperawatan yang
ditegakkan adalah:

Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi

Pohon masalah:

Akibat Risiko perilaku kekerasan

Masalah utama Gangguan sensori


persepsi: halusinasi

Penyebab Isolasi sosial

Skema 2.2
Pohon Masalah pada Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi.

E. Perencanaan

Setelah menetapkan diagnosa keperawatan dilakukan tindakan keperawatan


pada pasien dengan gangguan sensori persepsi: halusinasi. Tindakan keperawatan
harus ditujukan juga untuk keluarga karena keluarga memegang peranan penting
dalam merawat pasien di rumah setelah pasien pulang dari rumah sakit. Saat
20

melakukan asuhan keperawatan baik di Puskesmas dan kunjungan rumah, perawat


menemui keluarga terlebih dahulu sebelum menemui pasien.

Bersama keluarga, perawat mengidentifikasi masalah yang dialami pasien dan


keluarga. Setelah itu, perawat menemui pasien untuk melakukan pengkajian,
mengevaluasi, dan melatih satu cara lagi untuk mengatasi masalah yang dialami
pasien. Jika pasien telah mendapatkan terapi psikofarmaka (obat), maka hal
pertama yang harus dilatih perawat adalah pentingnya kepatuhan minum obat.
Setelah perawat selesai melatih pasien, perawat menemui keluarga untuk melatih
cara merawat pasien. Selanjutnya perawat menyampaikan hasil tindakan yang
telah dilakukan terhadap pasien dan tugas yang perlu keluarga yaitu untuk
mengingatkan pasien melatih kemampuan mengatasi masalah yang telah
diajarkan oleh perawat

Tujuan:

Pasien mampu:

1. Membina hubungan saling percaya.


2. Mengenal halusinasi dan mampu mengontrol halusinasi dengan
menghardik.
3. Mengontrol halusinasi dengan enam benar minum obat.
4. Mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap.
5. Mengontrol halusinasi dengan melakukan aktivitas sehari-hari.

Rencana tindakan keperawatan:

1. Bina hubungan saling percaya, dengan cara:


a. Ucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien.
b. Perkenalkan diri dengan pasien: perkenalkan nama dan nama
panggilan yang perawat sukai, serta tanyakan nama dan nama
panggilan yang disukai pasien.
c. Tanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
21

d. Buat kontrak asuhan apa yang perawat akan lakukan bersama pasien,
berapa lama akan dikerjakan, dan tempat pelaksanaan asuhan
keperawatan.
e. Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang
diperoleh untuk kepentingan terapi.
f. Tunjukkan sikap empati terhadap pasien.
g. Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan.

2. Bantu pasien menyadari gangguan sensori persepsi halusinasi.


a. Tanyakan pendapat pasien tentang halusinasi yang dialaminya:
tanpa mendukung, dan menyangkal halusinasinya.
b. Identifikasi isi, frekuensi, waktu terjadinya, situasi pencetus,
perasaan, respon dan upaya yang sudah dilakukan pasien untuk
menghilangkan atau mengontrol halusinasi.

3. Latih pasien cara mengontrol halusinasi: secara rinci tahapan melatih


pasien mengontrol halusinasi dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Jelaskan cara mengontrol halusinasi dengan menghardik, 6 (enam)
benar minum obat, bercakap-cakap dan melakukan kegiatan di
rumah seperti membereskan kamar, merapikan tempat tidur serta
mencuci baju.
b. Berikan contoh cara menghardik, 6 (enam) benar minum obat,
bercakap-cakap dan melakukan kegiatan di rumah seperti
membereskan kamar, merapikan tempat tidur serta mencuci baju.
c. Berikan kesempatan pasien mempraktikkan cara menghardik, 6
(enam) benar minum obat, bercakap-cakap dan melakukan kegiatan
di rumah seperti membereskan kamar, merapikan tempat tidur serta
mencuci baju yang dilakukan di hadapan perawat.
d. Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan
oleh pasien.
22

e. Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah melakukan


tindakan keperawatan untuk mengontrol halusinasi. Mungkin pasien
akan mengungkapkan keberhasilan atau kegagalannya. Memberi
dorongan terus menerus agar pasien tetap semangat meningkatkan
latihannya.

F. Implementasi

1. Membina hubungan saling percaya, dengan cara:


a. Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien.
b. Memperkenalkan diri dengan pasien: nama dan nama panggilan
yang perawat sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan yang
disukai pasien.
c. Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
d. Membuat kontrak asuhan apa yang perawat akan lakukan bersama
pasien, berapa lama akan dikerjakan, dan tempat pelaksanaan asuhan
keperawatan.
e. Menjelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang
diperoleh untuk kepentingan terapi.
f. Setiap saat menunjukkan sikap empati terhadap pasien.
g. Memenuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan.
2. Membantu pasien menyadari ganguan sensori persepsi halusinasi:
a. Menanyakan pendapat pasien tentang halusinasi yang dialaminya:
tanpa mendukung, dan menyangkal halusinasinya.
b. Mengidentifikasi isi, frekuensi, waktu terjadinya, situasi pencetus,
perasaan, respon, dan upaya yang sudah dilakukan pasien untuk
menghilangkan atau mengontrol halusinasi.
3. Melatih pasien cara mengontrol halusinasi: secara rinci tahapan melatih
pasien mengontrol halusinasi dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Menjelaskan cara mengontrol halusinasi dengan menghardik, 6
(enam) benar minum obat, bercakap-cakap dan melakukan kegiatan
23

di rumah seperti membereskan kamar, merapikan tempat tidur serta


mencuci baju.
b. Memberikan contoh cara menghardik, 6 (enam) benar minum obat,
bercakapcakap dan melakukan kegiatan di rumah seperti
membereskan kamar, merapikan tempat tidur serta mencuci baju.
c. Memberikan kesempatan pasien mempraktikkan cara menghardik, 6
(enam) benar minum obat, bercakap-cakap dan melakukan kegiatan
di rumah seperti membereskan kamar, merapikan tempat tidur serta
mencuci baju yang dilakukan dihadapan perawat.
d. Memberi pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah
dilakukan oleh pasien.
e. Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah melakukan
tindakan keperawatan untuk mengontrol halusinasi. Mungkin pasien
akan mengungkapkan keberhasilan atau kegagalannya. Memberi
dorongan terus menerus agar pasien tetap semangat meningkatkan
latihannya.

G. Evaluasi

Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang sudah dilakukan untuk


pasien gangguan sensori persepsi halusinasi adalah sebagai berikut:

1. Pasien mampu:
a. Mengungkapkan isi halusinasi yang dialaminya.
b. Menjelaskan waktu dan frekuensi halusinasi yang dialami.
c. Menjelaskan situasi yang mencetuskan halusinasi
d. Menjelaskan perasaannya ketika mengalami halusinasi
e. Menerapkan 4 cara mengontrol halusinasi:
1) Menghardik halusinasi.
2) Mematuhi program pengobatan.
3) Bercakap dengan orang lain di sekitarnya bila timbul halusinasi.
24

4) Menyusun jadwal kegiatan dari bangun tidur di pagi hari sampai


mau tidur pada malam hari selama 7 hari dalam seminggu dan
melaksanakan jadwal tersebut secara mandiri.
f. Menilai manfaat cara mengontrol halusinasi dalam mengendalikan
halusinasi.
2. Keluarga mampu:
a. Menjelaskan halusinasi yang dialami oleh pasien.
b. Menjelaskan cara merawat pasien halusinasi melalui empat cara
mengontrol halusinasi yaitu menghardik, minum obat, bercakap-
cakap, dan melakukan aktivitas di rumah.
c. Mendemonstrasikan cara merawat pasien halusinasi.
d. Menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat digunakan untuk
mengatasi masalah pasien.
e. Menilai dan melaporkan keberhasilannnya merawat pasien.

Anda mungkin juga menyukai