Anda di halaman 1dari 17

I.

PENDAHULUAN

Depresi merupakan masalah kesehatan yang serius. World Health Organization


(WHO) pada tahun 2001 menyatakan bahwa depresi berada pada urutan keempat
penyakit yang paling sering di dunia. Menurut Riskesdas 2013, gangguan emosional
seperti cemas dan depresi di Indonesia yaitu sekitar 6% atau 16 juta orang dari seluruh
penduduk Indonesia. Prevalensi pada wanita diperkirakan 10-25%, dan laki-laki 5-
12%.1,2
Manifestasi gejala depresi muncul dalam keluhan yang berkaitan dengan mood,
seperti sedih, murung, putus asa memudahkan penegakan diagnosis depresi. Namun,
keluhan psikomotor dan somatik, seperti malas bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati,
sakit kepala terus-menerus terkadang menyulitkan penegakan diagnosis.2
Depresi dapat menyebabkan penurunan status kesehatan, motivasi, kemampuan
kognitif, dan emosi seseorang. Hal ini menyebabkan seseorang dengan depresi tidak
dapat berfungsi secara efektif sehingga terdapat ketergantungan, kehilangan percaya
diri, termasuk penurunan kemampuan berkomunikasi hingga terjadi gangguan sosial
yang dapat memperburuk kondisi kesehatannya serta kualitas hidup dan produktivitas
kerja penderita. Hal yang paling berbahaya adalah meningkatnya angka kejadian bunuh
diri. Menurut data WHO tahun 2006, angka kejadian kasus bunuh diri yang ditemukan
adalah sebesar 15-20%. Sebagian besar kasus merupakan kasus bunuh diri yang terjadi
tidak direncanakan sebelumnya.1
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa gangguan depresi cukup umum dan perlu
untuk ditanggulangi dan dicegah sedini mungkin. Oleh karena itu, sebagai dokter
layanan primer penting untuk mendiagnosis dan memberikan terapi yang tepat pada
pasien dengan gangguan depresi.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Depresi adalah gangguan jiwa umum dengan manifestasi klinis berupa mood
depresif, penurunan minat atau kesenangan, penurunan energi, merasa bersalah atau
kurang percaya diri, gangguan tidur atau nafsu makan, dan penurunan konsentrasi.
Biasanya, depresi muncul bersamaan dengan gejala kecemasan. Efek paling buruk
dari depresi adalah ide bunuh diri. Penurunan kognitif, afek, dan psikomotor pada
depresi dapat mempengaruhi pemikiran, perilaku, perasaan, dan fungsi sosial
seseorang.3,4
Pada depresi terdapat gejala psikologik dan gejala somatik. Gejala
psikologik antara lain menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistik, putus asa, nafsu
bekerja dan kurang bergaul, tidak dapat mengambil keputusan, mudah lupa dan
timbul pikiran-pikiran bunuh diri. Gejala somatik antara lain penderita kelihatan
tidak senang, lelah, tidak bersemangat, apatis, bicara dan gerak geriknya pelan,
terdapat anoreksia, insomnia, dan konstipasi.5
Istilah depresi digunakan untuk mendeskripsikan kumpulan gejala dan
perilaku yang dominan muncul. Istilah depresi mencakup ganggan depresif mayor,
gangguan bipolar, gangguan afektif diinduksi zat, dan gangguan afektif akibat
keadaan medis umum. Identifikasi lebih lanjut diperlukan untuk menegakkan
diagnosis depresi sesuai dengan kriteria diagnosis masing-masing, adanya
penyalahgunaan zat tertentu, atau adanya kondisi medis yang menyebabkan
gangguan afektif.6
B. Epidemiologi
Depresi merupakan diagnosis pasien rawat jalan ketujuh tertinggi di dunia dan
nomor empat penyebab disabilitas. Prevalensi depresi di seluruh dunia berkisar
antara 2,2% sampai 10,4%. Menurut Riskesdas tahun 2013, prevalensi orang di
atas 15 tahun dengan gangguan jiwa ringan atau gangguan mental emosional
seperti gangguan kecemasan dan depresi yaitu sebesar 6% atau sekitar 16 juta
orang dari seluruh penduduk di Indonesia. Berdasarkan jenis kelamin, wanita lebih
banyak menderita depresi mayor dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 2:1.
Rata-rata depresi terjadi pada dekade kedua kehidupan, namun tidak menutup
kemungkinan untuk terjadi pada kelompok umur lain.1,7
Depresi dapat diklasifikasikan menjadi depresi ringan, sedang, dan berat.
Gangguan depresi berat lazim ditemukan dengan prevalensi seumur hidup sebesar
15%. Gangguan depresi berat lebih banyak pada perempuan dengan presentase
mencapai 25%. Insiden gangguan depresi berat yaitu 10% pada pasien yang
berobat di fasilitas kesehatan primer dan 15% di fasilitas rawat inap.8
C. Etiologi
Gangguan depresi disebabkan oleh banyak faktor, seperti halnya gangguan
jiwa lain. Beberapa etiologi yang memungkinkan terjadinya depresi adalah sebagai
berikut:
1. Faktor Organobiologi
Dilaporkan terdapat kelainan atau disregulasi metabolit amin biogenik
seperti 5-hydroxyindoleatic (5-HLAA), asam homovanilic (HVA), dan 3-
methoxy-4-hydroxyphenyl-glycol (MHPG) di dalam darah, urin, dan cairan
serebropinal pada pasien gangguan afektif.9
a. Amin Biogenik
Norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmiter yang
paling berperan dalam pasien gangguan afektif.
b. Norepinefrin
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respon klinis
antidepresi mungkin merupakan peran langsung sistem adrenergik pada
gangguan depresi. Sebagai contoh aktifnya reseptor tersebut
mengakibatkan penurunan jumlah pelepasan norepinefrin dan reseptor ini
pula terletak pada neuron serotonergik yang mengatur pelepasan jumlah
serotonin.
c. Dopamin
Terdapat dua teori terbaru yaitu jalur dopamin mesolimbik yang
mengalami disfungsi atau reseptor dopamin D1 yang hipoaktif
menimbulkan gejala depresi.
d. Serotonin
Aktivitas serotonin bertanggung jawab untuk kontrol afek, agresi,
tidur, dan nafsu makan.
2. Faktor Genetik
Faktor ini merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan, namun
jalur penurunan sangat kompleks. Penelitian dalam keluarga didapatkan hasil
bahwa generasi pertama memiliki kemungkinan 2 sampai 10 kali lebih sering
mengalami depresi berat. Pada penelitian lain didapatkan 2 dari 3 studi
gangguan depresi berat diturunkan secara biologis meskipun anak tersebut
diadopsi keluarga lain. Penelitian pada anak kembar monozigot didapatkan 53-
69% sedangkan anak kembar dizigot didapatkan 13-28% mengalami depresi
berat.9
3. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang tertekan akan menyebabkan
terjadinya stres. Teori mengemukakan bahwa bila seseorang mengalami stres
sebelum timbul episode pertama maka terjadi perubahan neurotransmiter,
sistem sinyal intraneuron seperti penurunan kontak sinaps dan hilangnya
beberapa neuron sehingga mengakibatkan gangguan episode berulang. Faktor
lain yang berkaitan dengan stresor lingkungan adalah kehilangan orangtua
sebelum usia 11 tahun, pasangan, dan pekerjaan dapat mengakibatkan
seseorang memiliki risiko depresi 2 sampai 3 kali lebih besar.9
4. Faktor Kepribadian
Semua tipe kepribadian dapat mengalami depresi sesuai dengan situasinya.
Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, histrionik, dan ambang berisiko
tinggi dibandingkan kepribadian paranoid, dan antisosial. Riset menunjukkan
pasien yang mengalami stresor dengan kepribadian tidak percaya diri lebih
sering mengalami depresi.9
5. Faktor Psikodinamik
Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan antara lain;
a. Sigmund Freud dan Karl Abraham
Terdapat 4 hal utama yaitu: (1) gangguan hubungan ibu-anak fase oral
(10-18 bulan) menjadi faktor predisposisi episode depresi berulang; (2)
depresi dapat dihubungkan dengan cinta yang nyata maupun fantasi
kehilangan objek; (3) intropeksi merupakan mekanisme pertahanan atas
kehilangan objek yang dicintai; (4) Kehilangan cinta dapat diekspresikan
campuran antara benci dan cinta, serta perasaan marah pada diri sendiri.
b. Heinz Kohut
Depresi dikonseptualisasikan bermula dari teori self-phychology bahwa
perkembangan jiwa anak harus dipenuhi kedua orang tua dengan
memberikan rasa percaya diri, rasa positif, dan self-cohesion.
c. John Bowlby
Rusaknya keeratan hubungan awal dan trauma akibat perpisahan pada
anak merupakan faktor predisposisi depresi sedangkan kehilangan pada
dewasa memudahkan seseorang terkena depresi pada masa dewasa.

6. Lain
Terdapat beberapa jenis obat yang dapat memicu terjadi gangguan depresi
yaitu 10:
a. Obat kardiovaskular : β-blocker, klonidin, metildopa
b. Obat sistem saraf pusat : barbiturat, benzodiazepin, fenitoin
c. Obat hormonal : estrogen, progestin, tamoxifen
d. Lain : indometasin, narkotika
D. Gambaran Klinis
Menurut National Institute of Mental Health (2015), terdapat beberapa gejala
yang terjadi pada pasien depresi. Gejala klinis depresi terjadi selama minimal dua
minggu dengan gejala seperti berikut:
a. Rasa sedih yang persisten, gelisah, atau pikiran kosong
b. Merasa putus asa
c. Perasaan bersalah, merasa diri tidak berguna
d. Iritabilitas, cepat marah, gelisah
e. Hilang minat beraktifitas, termasuk aktivitas seksual
f. Lelah dan penat
g. Masalah konsentrasi, mengingat sesuatu dan membuat keputusan
h. Insomnia atau tidur berlebihan
i. Ide atau pernah mencoba bunuh diri
j. Sakit kepala, kejang, atau masalah pencernaan yang persisten dan tidak
sembuh dengan pengobatan
E. Penegakan Diagnosis
Menurut PPDGJ-III, depresi dimasukan ke dalam gangguan suasana perasaan
(mood/afektif) yang diberi kode diagnosis F32. Depresi dapat diklasifikasikan
menjadi depresi ringan, sedang, dan berat dengan atau tanpa ciri psikotik. Kriteria
diagnosis depresi mengacu pada gejala utama dan gejala tambahan, serta
berdasarkan onset penyakit.
Kriteria diagnosis depresi adalah sebagai berikut 11 :
1. Gejala utama
a. Afek depresif
b. Kehilangan minat dan kegembiraan
c. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah bekerja meskipun bekerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas.
2. Gejala tambahan
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri sendiri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
3. Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode
lebih pendek dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
4. Kategori diagnosis depresi ringan (F.32.0), sedang (F.32.1), dan berat (F.32.2)
hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode
depresif berikutnya harus diklasifikasikan di bawah salah satu diagnosis
gangguan depresi berulang (F.33.-).

Selain itu, pedoman diagnostik untuk masing-masing kategori depresi


adalah sebagai berikut:

1. Episode depresi ringan (F.32.0)


a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
tersebut di atas
b. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala tambahan
c. Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
d. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
e. Hanya sedikit kesulitan dari pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukan.
2. Episode depresi sedang (F.33.1)
a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
tersebut di atas
b. Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala tambahan
c. Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
d. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
e. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan, dan urusan rumah tangga.

3. Episode depresi berat tanpa gejala psikotik (F.32.2)


a. Tiga gejala utama depresi harus ada
b. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala tambahan, dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat.
c. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
d. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu
kurang dari 2 minggu.
e. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.
4. Episode depresi berat dengan gejala psikotik (F.32.3)
a. Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F.32.2 tersebut di
atas
b. Disertai waham, halusinasi, atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan, atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab akan hal itu.
Halusinasi auditorik biasanya berupa suara yang menghina atau
menuduh. Halusinasi olfaktorik biasanya berupa bau kotoran atau daging
membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.
c. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi
afek atau tidak serasi afek (mood congruent).
Kriteria lain untuk menentukan diagnosis depresi berat yaitu berdasarkan
kriteria DSM-IV-TR, yaitu sebagai berikut 8:
1. Lima atau lebih gejala di bawah telah ada selama periode waktu 2 minggu dan
menunjukkan perubahan fungsi sebelumnya serta setidaknya satu gejalanya
diantara mood menurun atau kehilangan minat atau kesenangan.
a. Mood menurun hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang
ditunjukkan baik melalui laporan subjektif (contohnya perasaan sedih
atau kosong) atau pengamatan orang lain (contohnya tampak bersedih)
b. Menurunnya minat atau kesenangan yang nyata pada semua, atau hampir
semua aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang
ditunjukkan laporan subjektif atau pengamatan orang lain).
c. Penurunan berat badan yang bermakna walaupun tidak diet atau berat
badan bertambah (contohnya perubahan lebih dari 5% berat badan dalam
sebulan), atau menurun mauun meningkatnya nafsu makan hampir setiap
hari.
d. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
e. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati orang
lain, tidak hanya perasaan subjektif adanya kegelisahan atau menjadi
lebih lamban).
f. Lelah atau hilang energi hampir setiap hari
g. Perasaan tidak berarti atau bersalah yang tidak sesuai atau berlebihan
(yang dapat menyerupai waham) hampir setiap hari (tidak hanya
menyalahkan diri atau rasa bersalah karena sakit)
h. Menurunnya kemampuan berpikir atau berkonsentrasi, atau keragu-
raguan hampir setiap hari (baik laporan subjektif atau diamati orang lain)
i. Pikiran berulang mengenai kematian (bukan hanya rasa takut mati),
gagasan bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang spesifik, atau
upaya bunuh diri atau suatu rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri.
2. Gejala tidak memenuhi kriteria episode campuran
3. Gejala menyebabkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi yang lain.
4. Gejala tidak disebabkan pengaruh fisiologis langsung zat (misalnya
penyalahgunaan obat atau dalam proses pengobatan) atau kondisi medis
umum (misalnya hipotiroidisme).
5. Gejala sebaiknya tidak disebabkan karena berkabung, setelah kehilangan
orang yang dicintai, gejala bertahan hingga lebih lama 2 bulan, atau ditandai
hendaya fungsi yang nyata, preokupasi patologis mengenai ketidakberartian,
gagasan bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tambahan dalam penegakkan diagnosis depresi dapat
menggunakan algoritma MINI (Mini International Neuropsychiatric Interview).
Alat ini merupakan rangkaian pertanyaan yang harus dijawab pasien dengan
jawaban ya tau tidak. MINI untuk gangguan depresi dibuat oleh Lecrubier dan
Sheehan pada tahun 1998 dan dialihkan bahasakan oleh Yayasan Depresi Indonesia
bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.10

G. Diferensial Diagnosis
1. Distimia
Gangguan distimik merupakan gangguan jiwa dengan ciri khas perasaan
yang tidak adekuat, bersalah, iritabilitas, kemarahan, penarikan diri dari
masyarakat, hilang minat, serta inaktivitas dan tidak produktif. Menurut
DSM-IV-TR, adanya gejala-gejala tersebut minimal dua tahun (satu tahun
untuk anak dan remaja) serta tidak pernah memiliki episode depresif berat,
manik, atau hipomanik. Gambaran distimik sering bertumpang tindih dengan
depresi berat. Pada gangguan distimik, gejala subjektif lebih dominan
daripada gejala objektif. Gejala seperti inersia, letargi, dan anhedonia sering
terlihat pada pagi hari, dan sebaliknya, gejala seperti agitasi, ganggan nafsu
makan dan libido, serta retardasi psikomotor kurang nampak pada gangguan
distimik.8
2. Gangguan Campuran Cemas dan Depresi
Gangguan ini menggambarkan pasien dengan gejala ansietas dan depresi
yang tidak memenuhi kriteria diagnosis gangguan ansietas atau gangguan
afektif. Kombinasi gejala depresi dan ansietas, terutama gejala somatik,
seperti tremor, palpitasi, mulut kering, dan rasa perut yang bergejolak sering
tidak didiagnosis dengan gangguan ini. Gangguan ini dapat menimbulkan
hendaya fungsional yang bermakna, sehingga gangguan ini lazim ditemukan
di pelayanan primer dan klinik kesehatan jiwa rawat jalan.8
H. Penatalaksanaan
1. Terapi Farmakologi
a. Golongan trisiklik (Maramis, 2009)
Golongan trisiklik bekerja dengan cara memblok reuptake serotonin
dan norepinefrin, sehingga kadar serotonin dan norepinefrin di dalam
otak meningkat. Contoh obat dari golongan ini adalah amitriptilin,
imipramin, klomipramin, maprotlin dan amoksapin.
b. Golongan inhibitor monoaminoksidase (MAOI)
Golongan MAOI bekerja dengan cara mencegah oksidase monoamin
yang berperan dalam oksidasi norepinefrin. Contoh obat dari golongan ini
adalah moklobemid.
c. Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
Golongan SSRI bekerja dengan menghambat reuptake serotonin
sehingga jumlah serotonin dalam otak meningkat. SSRI merupakan
golongan obat yang paling sering digunakan dalam terapi karena efek
samping yang lebih ringan daripada golongan MAOI atau Trisiklik.
Contoh obat dari golongan ini adalah flouxetin, setralin, paroxetine, dan
sitalopram.

Dalam penggunaan obat antidepresan, perlu diketahui efek samping obat


yang mempengaruhi beberapa sistem organ, yaitu (Maramis, 2009):

a. Efek kolinergik, seperi mulut kering, mata kabur angguan akomodasi,


meningkatnya tekanan intraokuler, konstipasi, hipotensi postural,
retensi urin, berkeringat, dan ileus
b. Efek susunan saraf pusat, seperti pusing, lelah, bingung, tremor,
disartria, insomnia, kejang, mendadak jatuh, dan eksaserbasi gejala
psikotik
c. Kardiovaskuler, seperti hipotensi, sinus takikardi, aritmia, dan konduksi
atrioventrikuler terganggu
d. Hematologis, seperti depresi sumsum tulang, leukopenia,
agranulositosis, purpura, trombositopenia, anemina hemolitik, dan
hiponatremia
e. Lain-lain, seperti hipotermia, hipertermia, gangguan pernapasan,
gangguan libido, exantema, tinitus,keluhan gastrointestinal, gangguan
hepar, dan berat badan bertambah.
2. Perawatan di rumah sakit, bila (Tomb, 2004):
a. Terapat disabilitas dalam melakukan kegiatan akibat depresi
b. Lingkungan keluarga kurang mendukung dalam roses penembuhan
pasien
c. Mempunyai risiko bunuh diri
d. Mempunyai riwayat penyakit lain yang perlu ditangani oleh tenaga
kesehatan
3. Terapi psikologis (Tomb, 2004)
a. Terapi suportif
Pada terapi suportif, pasien diberikan kehangatan, empati, perhatian,
dan optimistik. Selain itu, pasien dibantu dalam mencari masalah yang
membuat pasien merasa depresi, kemudian dibantu dalam menyelesaikan
masalah tersebut. Identifikasi faktor pencetus dan bantu pasien dalam
mengkoreksinya. Jika terdapat masalah eksternal seperti pekerjaan, bantu
dalam menyelesaikan masalahnya.
b. Terapi kognitif perilaku
Terapi kognitif perilaku diberikan pada pasien depresi ringan ataupun
sedang. Terapi ini memberikan pasien latihan keterampilan dan berbagi
pengalaman-pengalaman sukses. Pasien juga dilatih untuk mengenal dan
menghilangkan pikiran negatif, sehingga mencegah kambuhnya kembali
depresi tersebut.
4. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik diberikan sebagai terapi pasien depresi jika (Tomb,
2004):
a. Pasien masih belum sembuh setelah pengobatan selama 6 minggu atau
lebih
b. Kondisi pasien menuntut untuk remisi segera, seperti adanya keinginan
untuk bunuh diri
c. Depresi dengan gejala psikotik
d. Pasien yang tidak toleransi terhadap obat, seperti pasien dengan usia tua
yang mempunya penyakit jantung.
I. Pencegahan
Menurut Mrazek dan Haggerty dalam peneltiannya pencegahan terbagi atas 3
sublevel yaitu 10:
1. Pencegahan universal ditargetkan kepada seluruh komunitas, seperti edukasi
dengan kampanye kesehatan tanpa melihat faktor risiko seseorang.
2. Pencegahan selektif ditargetkan kepada komunitas yang memiliki faktor
risiko berdasarkan karakteristik demografi.
3. Pencegahan sesuai indikasi ditargetkan kepada seseorang yang memiliki tanda
atau gejala klinis awal (subsindromal).
Menurut Bennet et al (2014) bentuk pencegahan dapat dikategorikan menjadi
3 bagian; (1) primer yaitu mencegah kejadian gangguan jiwa pada suasana yang
sebenarnya tidak memiliki risiko terjadinya depresi; (2) sekunder yaitu deteksi
dengan menggunakan instrumen sesusai usia dan pengobatan dini pada pasien
depresi; (3) tersier yaitu meminimalisir disabilitas akibat gangguan depresi.11
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah teknik pengobatan dan
pencegahan terhadap beberapa gangguan jiwa seperti depresi (Ambarwati, 2009).
Banyak penelitian dengan metode CBT yang berbeda dalam mencegah gangguan
depresi pada remaja akan tetapi penelitian Clarke et al dalam Barrera et al (2010)
menunjukkan hasil penelitian yang terbaik dengan metode 15 kali sesi CBT dengan
pertemuan keluarga sebanyak 3 kali dibandingkan pengobatan biasa. Pencegahan
gangguan depresi pada dewasa yang dilakukan Munoz dan Ying dalam Barrera et
al (2010) dengan metode CBT sebanyak 8 kali dalam grup kecil untuk melihat
faktor risiko berupa onset, jenis kelamin, perceraian, sosioekonomi rendah, dan
etnis. Pencegahan gangguan depresi pasca persalinan menggunakan skoring
Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) dengan beberapa variasi frekuensi
masih belum ditemukan berapa kali pertemuan dan kapan waktu intervensi yang
terbaik (Barrera et al., 2010). 10,12
Penelitian Paykel dalam Barrera et al (2010) menunjukkan pasien akut
(episode pertama) yang menerima cognitive therapy (CT) sebanyak 16 sesi dengan
6 dan 14 minggu setelah pertemuan terakhir sebagai tambahan memiliki angka
kejadian (29%) relaps setelah 48 minggu terapi terakhir dilakukan dibandingkan
pasien yang menerima pengobatan saja.13
J. Prognosis
Pada pemberian terapi yang sesuai, gejala depresi pada pasien dapat menurun
70-80%, meskipun sekitar 50% penderita tidak memberikan respon dalam
permulaan terapi. Dua puluh persen pasien depresi yang tidak diobati selama
setahun akan memiliki gejala yang dapat menjadi dasar penegakan diagnosis
depresi atau empat puluh persen diantaranya mengalami remisi parsial. Remisi
parsial atau riwayat depresi sebelumnya meningkatkan risiko adanya gangguan
depresi berulang dan resistensi pengobatan.14
DAFTAR PUSTAKA

1. Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia :
Jakarta.
2. Nurmiati, A. 2005. Depresi : Aspek Neurobiologi, Diagnosis, dan Tatalaksana.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
3. Marcus, Marina, M. Taghi Yasamy, Mark van Ommeren, Dan Chisholm,
Shekhar Saxena. 2012. Depression: A Global Public Health Concern.
Available at:
http://www.who.int/mental_health/management/depression/who_paper_depre
ssion_wfmh_2012.pdf
4. Ashwani, Arya & Verma Preeti. 2012. A Review on Pathophysiology,
Classification, and Long Term Course of Depression. International Jurnal of
Pharmacy 3(3): 90-96
5. Blazer, D.G. 2003. Depression in Late Life: Review and commentary. J
Gerontology Med Sci 58A(3): 249-265
6. Tesar, George E. 2010. Recognition and Treatment of Depression. Available
at:
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/psyc
hiatry-psychology/recognition-treatment-of-depression/#bib3
7. Kessler, RC. 2013. The Epidemiology of Depression Across Cultures. Journal
of National Institute of Health 34: 119-138
8. Sadock, Benjamin J. & Virginia A. Sadock. 2004. Kaplan dan Sadock Buku
Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta : EGC
9. Ismal, RI & Siste, K. 2014. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
10. Muchid, A., Chusun, Wurjati, R., Komar, Z., Istiqomah, SN., Purnama, NR.,
Rostilawati., dkk. 2007. Pharmaceutical Care Unit Penderita Gangguan
Depresi. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis
11. Bennet, C., Jones, RB., Smith, D. 2014. Prevention Strategies For Adolescent
Depression. Adv in Pysc Treatment 20:116-124.
12. Ambarwati, WN. 2009. Keefektivan Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
Sebagai Terapi Tambahan Pasien Skizofrenia Kronis di Panti Rehabilitasi
Budi Makati Boyolali. Surakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret.
13. Barrera, AZ., Torres, LD., Munoz, RF. 2007. Prevention of Depression: The
State of The Science at The Beginning of The 21th Century. Inter Review of
Psyc, 19(6): 655–670.
Maramis, Willy Ffaf. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2.
Jakarta:EGC
14. Halverson, Jerry L. 2016. Depression. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/286759-overview#a6

Anda mungkin juga menyukai