Anda di halaman 1dari 28

HOMEOSTASIS AKIBAT CEDERA

Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Dasar Keperawatan

OLEH :

1. IRDA
2. KEMAL DIANTO
3. LAKSMI NURUL SUCI
4. MIRNA ASRAN
5. MUHAMMAD IKRAM
6. NIA KANIASIH
7. NORNI

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DHARMA HUSADA BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun
makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami
membahas mengenai Homeostasis Akibat Cedera. Makalah ini dibuat dengan
berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu
menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada


makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangunkami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selnjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Bandung, Januari 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................2
C. Tujuan .........................................................................................................2

BAB II ISI ...............................................................................................................3


A. Pengertian Cedera dan Kematian Sel .........................................................3
B. Penyebab Cedera Sel ...................................................................................4
C. Jenis-jenis cedera ........................................................................................6
D. Mekanisme cedera sel ..................................................................................7

BAB III KASUS


A. Proses Penyembuhan Fraktur ....................................................................17

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................................24
B. Saran ..........................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keadaan homeostasis atau seimbang pada sel merupakan hasil dari
fungsi sel normal yang memerlukan keseimbangan antara kebutuhan
fisiologik, keterbatasan struktur sel, serta kemampuan metabolisme.
Keadaan fungsional sel dapat berubah ketika bereaksi terhadap stress yang
ringan untuk mempertahankan keseimbangan sel (Mitchell dkk., 2008). Bila
suatu sel mendapatkan rangsang atau stimulus patologik, secara fisiologik
dan morfologik, sel kemudian melakukan adaptasi, yaitu perubahan sel
sebagai reaksi terhadap stimulus dan sel masih dapat bertahan hidup dan
mengatur fungsinya. Stimulus patologik yang diperbesar hingga melampaui
adaptasi sel terhadap stimulus maka berlanjut menjadi jejas sel yang bersifat
sementara (reversibel). Ketika stimulus tersebut terus bertambah besar dan
menetap, sel kemudian mengalami jejas menetap (ireversibel) dan berakhir
dengan kematian sel (Sudiono dkk., 2003).
Kematian sel dibedakan menjadi nekrosis dan apoptosis berdasarkan
macam pola morfologik dan mekanik. Dua proses yang mendasari
perubahan morfologik pada sel nekrosis adalah denaturasi protein dan
pencernaan sel oleh enzim (Sudiono dkk., 2003). Nekrosis merupakan jenis
kematian sel yang umum dijumpai setelah sel terpapar stimulus eksogen,
seperti iskemi dan rangsang kimia. Keadaan ini menyebabkan
pembengkakan sel, selanjutnya sel pecah terjadi denaturasi dan koagulasi
protein sitoplasma, serta hancurnya organel sel (Kumar dkk., 2003).
Penelitian Klaassen dkk. (2010) menyatakan bahwa nekrosis jaringan,
adalah salah satu contoh dari toksisitas kimiawi kompleks yang melalui
empat langkah. Pertama, bahan toksik disampaikan pada target atau sasaran.
Kedua, bahan toksik berinteraksi dengan molekul target. Ketiga, memicu
gangguan dalam fungsi sel dan/atau struktur, yang sedang melakukan
perbaikan pada tingkat molekuler, seluler dan/atau jaringan. Keempat,
ketika gangguan yang disebabkan oleh bahan toksik melebihi kapasitas
perbaikan atau saat perbaikan menjadi malfunctional, maka terjadi
toksisitas.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Cedera dan Kematian Sel
2. Apa saja penyebab cedera sel
3. Apa saja jenis-jenis cedera
4. Bagaimanakah mekanisme cedera sel
5. Apakan homeostasis akibat cedera
C. Tujuan
1. Untuk menegetahui Pengertian Cedera dan Kematian Sel
2. Untuk mengetahui penyebab cedera sel
3. Untuk mengetahui jenis-jenis cedera
4. Untuk mengetahui mekanisme cedera sel
5. Untuk mengetahui homeostasis akibat cedera
BAB II
ISI

A. Pengertian Cedera dan Kematian Sel


Cedera sel (Jejas) merupakan keadaan dimana sel beradaptasi secara
berlebih atau sebaliknya, sel tidak memungkinkan untuk beradaptasi secara
normal.
Nekrosis merupakan salah satu pola dasar kematian sel. Nekrosis
terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan toksin dan ditandai
dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan kerusakan organel. Hal
ini dapat menyebabkan disfungsi berat jaringan (Kumar; Cotran & Robbins,
2007).
Nekrosis adalah kematian sel dan kematian jaringan pada tubuh yang
hidup. Nekrosis dapat dikenali karena sel atau jaringan menunjukkan peruba
han-perubahan tertentu baik secara makroskopis maupun mikroskopis.
Secara makroskopis jaringan nekrotik akan tampak keruh (opaque), tidak
cerah lagi, berwarna putih abu-abu. Sedangkan secara mikroskopis, jaringan
nekrotik seluruhnya berwarna kemerahan, tidak mengambil zat warna
hematoksilin, sering pucat (Pringgoutomo, 2002).
Banyak agen yang dapat menyebabkan kematian sel, salah satunya
adalah mikroba. Mikroba patogen dapat menyebabkan suatu penyakit dalam
tubuh manusia. Salah satu caranya yaitu dengan merusak sel dan
organelnya. Kemudian respon sel yang utama adalah atrofi, hipertrofi,
hiperplasia, dan metaplasia. Jika respon berlebihan akan terjadi jejas (cedera
sel) dan berlanjut pada kematian sel (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).

B. Penyebab Cedera Sel


Cedera dan kematian selular dapat disebabkan oleh mikroorganisme,
kekurangan oksigen, atau oleh agen fisik seperti suhu ekstrim, kimiawi
toksik, atau radiasi. Kekurangan oksigen (anoksia) adalah penyebab paling
umum cedera dan kematian selular (Tambayong, 2000).
Di bawah ini merupakan penyebab-penyebab dari jejas sel, adalah
sebagai berikut:
1. Hipoksia
a. Daya angkut oksigen berkurang: anemia, keracunan CO
b. Gangguan pada sistem respirasi
c. Gangguan pada arteri: aterosklerosis
2. Jejas Fisik
a. Trauma mekanis: ruptura sel, dislokasi intraseluler
b. Perubahan temperatur: vasodilatasi, reaksi inflamasi
c. Perubahan tekanan atmosfer
d. Radiasi
3. Jejas kimiawi
a. Glukosa dan garam-garam dalam larutan hipertonis yang dapat
menyebabkan gangguan homeostasis cairan dan elektrolit
b. Oksigen dalam konsentrasi tinggi
c. Zat kimia, alkohol, dan narkotika
4. Agen biologik: virus, bakteri, fungi, dan parasit
5. Reaksi imunologik
a. Anafilaktik
b. Autoimun
6. Faktor genetik: sindroma Down, anemia sel sabit
7. Gangguan nutrisi: defisiensi protein, avitaminosis

C. Jenis-jenis cedera
1. Jejas Reversible (oedem, cloudy swelling)
contoh: degenerasi hidropik
Degenerasi ini menunjukkan adanya edema intraselular yaitu adanya
peningkatan kandungan air pada rongga-rongga sel selain peningkatan
kandungan air pada mitokondria dan retikulum endoplasma. Pada mola
hidatidosa telihat banyak sekali gross (gerombolan) mole yang berisi
cairan. Mekanisme yang mendasari terjadinya generasi ini yaitu
kekurangan oksigen karena adanya toksik dan karena pengaruh osmotik
2. Jejas Irreversible
Terdapat dua jenis jejas irreversibel (kematian sel) yaitu apoptosis dan
nekrosis. Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram
sedangkan nekrosis merupakan kematian sel/jaringan pada tubuh yang
hidup di luar dari kendali. Sel yang mati pada nekrosis akan membesar
dan kemudian hacur dan lisis pada suatu daerah yang merupakan respon
terhadap inflamasi (Lumongga, 2008). Jadi, perbedaan apoptosis dan
nekrosis terletak pada terkendali atau tidaknya kematian sel tersebut.

Kematian sel bermula dari jejas (cedera) yang terjadi pada sel. Jejas
tersebutdapat kembali normal apabila keadaan lingkungan mendukung.
Namun, ketikalingkungan tetap buruk, cedera akan semakin parah yang
mana sel tidak akan kembali normal (irreversible) dan selanjutnya akan
mati. Kematian sel memiliki dua macam pola, yaitu nekrosis dan apoptosis.
Kematian sel terprogram dimulai selama embriogenesis dan terus
berlanjut sepanjang waktu hidup organisme. Rangsang yang menimbulkan
apoptosis meliputi isyarat hormon, rangsangan antigen, peptida imun, dan
sinyal membran yang mengidentifikasi sel yang menua atau bermutasi.
Virus yang menginfeksi sel akan seringkali menyebabkan apoptosis, yang
pada akhirnya akan menyebabkan kematian virus dan sel pejamu (host). Hal
ini merupakan satu cara yang dikembangkan oleh organisme hidup untuk
melawan infeksi virus. Virus terterntu (misal virus EpsteinBarr yang
bertanggung jawab terhadap mononukleosis) pada gilirannya menghasilkan
protein khusus yang menginaktifkan respons apoptosis. Defisiensi apoptosis
telah berpengaruh pada perkembangan kanker dan penyakit neuro
degeneratif dengan penyebab yang tidak diketahui, termasuk penyakit
Alzheimer dan sklerosis lateral amiotrofik (penyakit Lou Gehrig). Apoptosis
yang dirangsang antigen dari sel imun (sel T dan B) sangat penting dalam
menimbulkan dan mempertahankan toleransi-diri imun.

D. Mekanisme cedera sel


Mekanisme cedera secara biokimia adalah sebagai berikut (Kumar;
Cotran &Robbins, 2007) :
1. Deplesi ATP
ATP penting bagi setiap proses yang terjadi dalam sel, seperti
mempertahankan osmolaritas seluler, proses transport, sintesis protein
dan jalur metabolik dasar.
Hilangnya sintesis ATP menyebabkan penutupan segera jalur
homeostasis.
2. Deprivasi oksigen
Kekurangan oksigen mendasari patogenesis jejas sel pada iskemia.
3. Hilangnya homeostasis kalsium
Kalsium bebas sitosol normalnya dipertahankan oleh transpor kalsium
yang bergantung pada ATP. Iskemia atau toksin menyebabkan masuknya
kalsium ekstrasel diikuti pelepasan kalsium dari deposit intrasel.
Peningkatan kalsium sitosol akan mengaktivasi fosfolipase (pencetus
kerusakanmembran),10 protease (katabolisator protein membran dan stru
ktural), ATPase (mempercepat deplesi ATP), dan endonuklease
(pemecah materi genetik).
4. Defek permeabilitas membran plasma
Membran plasma dapat langsung dirusak oleh toksin bakteri, virus,
komponen komplemen, limfosit sitolitik, agen fisik maupun
kimiawi.Perubahan permeabilitas membran dapat juga disebabkan oleh
hilangnya sintesis ATP atau aktivasi fosfolipase yang dimediasi kalsium.
5. Kerusakan mitokondria
Peningkatan kalsium sitosol, stress oksidatif intrasel dan
produk pemecahan lipid menyebabkan pembentukan saluran membran m
itokondria interna dengan kemampuan konduksi yang tinggi. Pori
nonselektif ini memungkinkan gradien proton melintasi membran
mitokondria sehingga mencegah pembentukan ATP.

E. Homeostasis Akibat Cedera


Secara bahasa, hemostasis berasal dari kata "hemo" yang artinya darah
dan "stasis" yang artinya keseimbangan. Menurut istilahnya sendiri,
hemostasis adalah suatu proses dimana ditujukan untuk mencegah darah
yang hilang pada tubuh.
Hemostasis dapat terjadi melalui empat tahap yaitu spasme pembuluh
darah, pembentukan sumbat trombosit, pembekuan darah, dan pertumbuhan
jaringan ikat.
1. Spasme pembuluh darah
Saat tubuh menerima impuls (rangsangan) dari pembuluh yang
rusak maka dinding pembuluh yang rusak tersebut akan mengalami
kontraksi sehingga aliran darah yang terdapat pada pembuluh darah
tersebut menjadi berkurang.
Kontraksi pada dinding pembuluh darah terjadi karena kerusakan
pada dinding pembuluh darah yang merupakan akibat spasme (kejang)
miogenik pada sekitar daerah yang rusak dan refleks saraf yang
menimbulkan transmisi potensial aksi sepanjang beberapa sentimeter
pada pembuluh darah.
Adapun contohnya adalah orang yang tungkainya cedera karena
benturan kadang-kadang mengalami spasme yang hebat pada pembuluh
darah yang besar sehingga tidak terjadi kehilangan darah yang sangat
banyak dan mematikan.
2. Pembentukan sumbat trombosit
Jika celah luka yang terbentuk pada jaringan itu sangat kecil, maka
tubuh akan melakukan sumat trombosit untuk menutupi celah luka
tersebut.
Trombosit bersinggungan pada permukaan pembuluh yang rusak
sehingga trombosit akan segera berubah sifat-sifatnya secara drastis.
Trombosit yang menutup tersebut akan membengkak sehingga bentuknya
menjadi irreguler, membentuk tonjolan-tonjolan yang mencuat dari
permukaan. Trombosit menjadi lengket dan membengkak pada serabut
kolagen pembuluh darah.
Trombosit mensekresikan sejumlah besar ADP (Adenosisn
Difosfat) lalu membentuk tromboksan A beserta enzim-enzimnya.
Sehingga ADP + Tromboksan A akan mengaktifkan trombosit-trombosit
yang berdekatan lalu bertumpuk membentuk sumbat trombosit yang
longgar sehingga berhasil menghalangi luka di pembuluh darah yang
celah lukanya sangat kcil sekali.
3. Pembekuan darah
Ada lebih dari 50 macam zat yang mempengaruhi pembekuan
darah yang terbagi atas prokoagulan (zat yang mempermudah terjadinya
pembekuan darah) dan antikoagulan (zat yang menghambat terjadinya
pembekuan darah). Di saat normal dimana tidak terjadinya luka pada
jaringan, antikoagulan dominan dibandingkan prokoagulan. Tetapi, pada
saat jaringan atau pembuluh darah yang rusak, prokoagulan lebih
dominan dibandingkan dengan antikoagulannya. adapun mekanismenya
secara umum, yaitu:
a. Timbulnya suatu zat atau kompleks zat-zat berupa aktivator
protrombin sebagai reaksi zat terhadap pecahnya pembuluh darah atau
kerusakan darah itu sendiri. Adapun pembentukannya pada umumnya
ada 2 jalur utama, yaitu jalur ekstrinsik dan jalur intrinsik.
proses pembentukan aktivator trombin

1) Jalur Ekstrinsik
a) Berkontaknya darah dengan dinding pembuluh darah yang rusak
atau dengan jaringan di luar pembuluh darah.
b) Pelepasan tromboplastin jaringan atau jaringan yang luka yang
melepaskan beberapa faktor termasuk yang paling utama
fosfolipid dan yang paling sedikit adalah 1 glikoprotein.
c) Jaringan glikoprotein ditambahkan dengan faktor VII dan
bersamaan hadirnya fosfolipid jaringan yang berupa ion kalsium
maka akan membentuk faktor X, sehingga faktor X akan
mengalami teraktivasi.
d) Faktor X yang teraktivasi akan berikatan dengan fosofolipid
jaringan yang berupa ion kalsium dan faktor V akan
membentuk aktivator protrombin.
2) Jalur Intrinsik
a) Trauma yang di dalamnya terdapat faktor XII dan trombosit,
masing-masingnya akan diubah. Faktor XII akan berikatan
dengan enzim proteolitik akan membentuk faktor XII akan
teraktivasi, sedangkan trombosit akan melepaskan fosfolipid
trombosit.
b) Faktor XII yang teraktivasi akan berikatan dengan faktor XI dan
membentuk faktor XI teraktivasi.
c) Faktor XI yang teraktivasi akan berikatan dengan faktor IX dan
membentuk faktor IX teraktivasi.
d) Faktor IX akan berikatan dengan faktor VIII dan fosfolipid
trombosit membentuk faktor X yang teraktivasi.
e) Faktor X akan berikatan dengan faktor V dengan fosfolipid
trombosit, maka membentuk aktivator protrombin.
b. Perubahan protrombin menjadi trombin
1) Aktivator protrombin akan menyebabkan perubahan protrombin
menjadi trombin.
2) Menyebabkan polimerasi molekul-molekul fibrinogen menjadi
benang-benang fibrin dalam 10-15 detik berikutnya.
3) Protrombin merupakan protein plasma, suatu α2-globulin yang
tidak stabil dan mudah dapat pecah menjadi senyawa kecil yang di
antaranya adalah trombin. Dibentuk terus menerus oleh hati dan
terus menerus dipakai oleh tubuh dalam proses pembekuan darah.
4) Kecepatan pembentukan trombin dari protrombin hampir
berbanding lurus dengan jumlah aktivator protrombin yang
tersedia.
c. Perubahan fibrin menjadi fibrinogen
1) Fibrinogen merupakan protein bermolekul tinggi yang dibentuk di
dalam hati dan sangat sedikit di cairan interstisial bila dalam
keadaan normal.
2) Trombin menjadi enzim protein yang memiliki proteolitik, bekerja
terhadap fbrinogen dengan cara melepaskan empat peptida yang
berberat molekul kecil dari setiap molekul fibrinogen, sehingga
membentuk molekul fibrin monomer yang kemudian fibrin
monomer berpolimerasi menjadi benang fibrin yang panjang
sehingga terbentuklah retikulum dari bekuan.
3) Molekul-molekul fibrin monomer saling berikatan melalui ikatan
nonkovalen yang lemah dan tidak saling terikat satu sama lainnya,
sehingga bekuan yang dihasilkan tidaklah kuat dan susah dicerai-
beraikan.
4) Terjadi proses yang melibatkan faktor pemantap fibrin yang
dilepaskan oleh trombosit-trombosit yang terperangkap dalam
bekuan yang dihubungkan melalui ikatan kovalen dan
menimbulkan jembatan-jembatan silang multiple di antara benang-
benang fibrin yang berdekatan dan menambah kekuatan jaringan
fibrin secara 3D
4. Pertumbuhan jaringan ikat
Terjadi dua proses dalam pembentukan jaringan ikat untuk membeku
darah, yaitu :
a. Bekuan darah dapat diinvasi oleh fibrolas yang kemudian membentuk
jaringan ikat ada seluruh bekuan tersebut, atau
b. Bekuan tersebut dihancurkan tanpa membentuk jaringan ikat terlebih
dahulu.

Bekuan yang terbentuk pada pembuluh darah akan diinvasi fibrolas


yang beberapa jam kemudian terjadi organisasi total menjadi jaringan ikat
dalam waktu kira-kira tujuh sampai sepuluh hari.
BAB III

KASUS

KASUS

Tn.A umur 31 tahun dirawat di ruang bedah ortopedi karena mengalami


kecelakaan tabrakan motor. Saat pengkajian, Tn.A mengalami nyeri pada paha
yang terpasang skeletal traksi (3kg) dan nyeri pada bagian kulitnya. Pada saat
diukur, ekstremitas bawah kanan lebih panjang 10 cm dibandingkan ekstremitas
bagian kiri. Pada tulang tibia telah dipasang pen 3 hari POD. Nyeri dirasakan
seperti disayat-sayat benda tajam. Nyeri bertambah bila sedang dilakukan
perawatan luka. Skala nyeri 6 pada rentang 1-10. Nyeri berkurang bila
diistirahatkan. Berdasarkan pengkajian fisik RR = 18x/menit, nadi 78x/menit, TD
= 110/70, CRT = 3 detik. Data Lab Hb = 10,6, hematokrit=37%, leukosit=21.200
,trombosit=171.000, MCV=87,9, MCH=29,8, MCHC=33,9, kreatinin= 0,76,
Na=138, Kalium=4,0 dan ALT =15. Pasien mendapatkan terapi cevazolin 2x1,
ketorolac 2x1, tramadol 2x1, Gentamicin 2x1 , Ranitidine 2x1.

Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama,


yaitu:

1. Mengurangi rasa nyeri.


Trauma pada jaringan disekitar fraktur menimbulkan rasa nyeri yang
hebat bahkan sampai menimbulkan syok. Untuk mengurangi rasa nyeri
dapat diberi obat penghilang rasa nyeri serta dengan teknik imobilisasi,
yaitu pemasangan bidai/spalk, maupun memasang gips.
2. Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal fiksasi internal,
sedang bidai maupun gips hanya dapat digunakan untuk fiksasi yang
bersifat sementara saja.
3. Membuat tulang kembali menyatu.
Tulang yang fraktur akan mulai menyatu dengan sempurna dalam
waktu 6 bulan.
4. Mengembalikan fungsi seperti semula.
Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi
otot dan kekakuan pada sendi. Maka untuk mencegah hai ini
diperlukan upaya mobilisasi.
Enam prinsip umum pengobatan fraktur:
 Jangan membuat keadaan lebih jelas.
 Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis yang akurat.
 Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus.
 Mengingat hukum-hukum penyembuhan secara alami.
 Bersifat realistis dan praktis dalam memilih jenis pengobatan.
 Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individual.
Untuk frakturnya sendiri, prinsipnya adalah mengembalikan posisi
patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu
selama masa penyembuhan fraktur (imobilisasi). Reposisi yang dilakukan
tidak harus mencapai keadaan sepenuhnya seperti semula karena tulang
mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan bentuknya kembali seperti
bentuk semula (remodeling/proses swapugar). Kelayakan reposisi suatu
dislokasi fragmen ditentukan oleh adanya dan besarnya dislokasi ad aksim,
ad peripheriam, dan kum kontraktione, yang berupa rotasi, atau
perpendekan.

Secara umum, angulasi dalam bidang gerak sendi sampai kurang lebih
20-30 derajat akan dapat mengalami swapugar, sedangkan angulasi yang
tidak dalam bidang gerak sendi tidak akan mengalaminya. Akan tetapi,
rotasi antara 2 fragmen tidak pernah terkoreksi sendiri oleh proses
swapugar. Ada tidaknya rotasi fragmen tidak dapat diketahui dari foto
Rontgen, melainkan harus diketahui dari pemeriksaan klinis. Cara yang
termudah untuk memeriksa rotasi ini adalah dengan membandingkan
rotasi anggota yang patah dengan rotasi anggota yang sehat. Pemendekan
anggota yang patah disebabkan oleh tarikan tonus otot sehingga fragmen
patahan tulang berada sebelah menyebelah. Pemendekan anggota atas pada
orang dewasa dan pemendekan pada anggota atas maupun bawah pada
anak, umumnya tidak menimbulkan masalah.

Macam-macam cara untuk penanganan fraktur :

1. Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi


Digunakan pada penanganan fraktur dengan dislokasi fragmen
patahan yang minimal atau dengan dislokasi yang tidak akan
menyebabkan kecacatan di kemudian hari. Contoh cara ini adalah
fraktur costa, fraktur clavicula pada anak, dan fraktur vertebra
dengan kompresi minimal.
2. Imobilisasi dengan fiksasi
Dapat pula dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap
memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen.
Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa
dislokasi yang penting.
3. Reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
Ini dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti
seperti pada fraktur radius distal.
4. Reposisi dengan traksi
Dilakukan secara terus menerus selama masa tertentu, misalnya
beberapa minggu, dan kemudian diikuti dengan imobilisasi. Ini
dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan
terdislokasi kembali di dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur
dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur.
5. Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar
Untuk fiksasi fragmen patahan tulang, digunakan pin baja yang
ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja tadi disatukan
secara kokoh dengan batangan logam di luar kulit. Alat ini
dinamakan fiksator ekstern.
6. Reposisi secara non operatif diikuti dengan pemasangan fiksasi
dalam pada tulang secara operatif.
Misalnya reposisi fraktur collum femur. Fragmen direposisi secara
non-operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan
pemasangan pen ke dalam collum femur secara operatif.
7. Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang
dengan pemasangan fiksasi interna
Ini dilakukan misalnya, pada fraktur femur, tibia, humerus, atau
lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di
dalam sumsum tulang panjang, bisa juga berupa plat dengan sekrup
di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah
bisa dicapai reposisi sempurna dan bila dipasang fiksasi interna
yang kokoh, sesudah operasi tidak perlu lagi dipasang gips dan
segera bisa dilakukan mobilisasi. Kerugiannya adalah reposisi
secara operatif ini mengundang resiko infeksi tulang.
8. Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis
Dilakukan pada fraktur collum femur. Caput femur dibuang secara
operatif dan diganti dengan prostesis. Ini dilakukan pada orang tua
yang patahan pada collum femur tidak dapat menyambung
kembali.

Pengelolaan fraktur terbuka perlu memperhatikan bahaya


terjadinya infeksi, baik infeksi umum (bakteremia) maupun infeksi
terbatas pada tulang yang bersangkutan (osteomyelitis). Untuk
menghindarinya perlu ditekankan disini pentingnya pencegahan infeksi
sejak awal pasien masuk rumah sakit, yaitu perlu dilakukannya
debridement yang adekuat sampai ke jaringan yang vital dan bersih.
Diberikan pula antibiotik profilaksis selain imunisasi tetanus. Selain itu,
lakukan fiksasi yang kokoh pada fragmen fraktur. Dalam hal ini, fiksasi
dengan fiksator eksterna lebih baik daripada fiksasi interna.
A. Proses Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur
sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan – kerusakan yang
dialaminya. Penyembuhan dari fraktur dipengaruhi oleh beberapa faktor
lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal:

1. Lokasi fraktur
2. Jenis tulang yang mengalami fraktur.
3. Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil.
4. Adanya kontak antar fragmen.
5. Ada tidaknya infeksi.
6. Tingkatan dari fraktur.

Adapun faktor sistemik adalah :

1. Keadaan umum pasien


2. Umur
3. Malnutrisi
4. Penyakit sistemik.

Proses penyembuhan fraktur terdiri dari beberapa fase, sebagai berikut :

1. Fase Reaktif
a. Fase hematom dan inflamasi
b. Pembentukan jaringan granulasi
2. Fase Reparatif
a. Fase pembentukan callus
b. Pembentukan tulang lamellar
3. Fase Remodelling
a. Remodelling ke bentuk tulang semula
Jay. R. liberman, M. D. and Gary E Friedlaender (2005)
Dalam istilah-istilah histologi klasik, penyembuhan fraktur telah
dibagi atas penyembuhan fraktur primer dan fraktur sekunder.

1. Proses penyembuhan Fraktur Primer


Penyembuhan cara ini terjadi internal remodelling yang meliputi
upaya langsung oleh korteks untuk membangun kembali dirinya ketika
kontinuitas terganggu. Agar fraktur menjadi menyatu, tulang pada salah
satu sisi korteks harus menyatu dengan tulang pada sisi lainnya (kontak
langsung) untuk membangun kontinuitas mekanis.

Tidak ada hubungan dengan pembentukan kalus. Terjadi internal


remodelling dari haversian system dan penyatuan tepi fragmen fraktur
dari tulang yang patah

Ada 3 persyaratan untuk remodeling Haversian pada tempat fraktur


adalah:

a. Pelaksanaan reduksi yang tepat


b. Fiksasi yang stabil
c. Eksistensi suplay darah yang cukup

Penggunaan plate kompresi dinamis dalam model osteotomi telah


diperlihatkan menyebabkan penyembuhan tulang primer. Remodeling
haversian aktif terlihat pada sekitar minggu ke empat fiksasi.

2. Proses Penyembuhan Fraktur Sekunder.


Penyembuhan sekunder meliputi respon dalam periostium dan
jaringan-jaringan lunak eksternal. Proses penyembuhan fraktur ini secara
garis besar dibedakan atas 5 fase, yakni fase hematom (inflamasi), fase
proliferasi, fase kalus, osifikasi dan remodelling. (Buckley, R., 2004,
Buckwater J. A., et al,2000).

a. Fase Inflamasi:
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan
berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam
jaringan yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah
tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena
terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia dan inflamasi yang
menginduksi ekpresi gen dan mempromosikan pembelahan sel dan
migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai penyembuhan.
Produksi atau pelepasan dari faktor pertumbuhan spesifik, Sitokin,
dapat membuat kondisi mikro yang sesuai untuk :

1) Menstimulasi pembentukan periosteal osteoblast dan osifikasi intra


membran pada tempat fraktur,
2) Menstimulasi pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur,
dan
3) Menstimulasi kondrosit untuk berdiferensiasi pada kalus lunak
dengan osifikasi endokondral yang mengiringinya. (Kaiser 1996).

Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat


robekan pembuluh darah lokal yang terfokus pada suatu tempat
tertentu. Namun pada perkembangan selanjutnya hematom bukan
hanya disebabkan oleh robekan pembuluh darah tetapi juga berperan
faktor-faktor inflamasi yang menimbulkan kondisi pembengkakan
lokal. Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2
– 3 minggu.

b. Fase proliferasi
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk
benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan
untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast
dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel
periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai
matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrous
dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan
melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan
mikro minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang
berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif
tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif. Pada fase ini dimulai
pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada
minggu ke 4 – 8.

c. Fase Pembentukan Kalus


Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi
mulai terbentuk jaringan tulang yakni jaringan tulang kondrosit yang
mulai tumbuh atau umumnya disebut sebagai jaringan tulang rawan.
Sebenarnya tulang rawan ini masih dibagi lagi menjadi tulang
lamellar dan wovenbone. Pertumbuhan jaringan berlanjut dan
lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah
terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan
fibrous, tulang rawan, dan tulang serat matur. Bentuk kalus dan
volume dibutuhkanuntuk menghubungkan efek secara langsung
berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu
waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang tergabung
dalam tulang rawan atau jaringan fibrous. Secara klinis fragmen
tulang tidak bisa lagi digerakkan. Regulasi dari pembentukan kalus
selama masa perbaikan fraktur dimediasi oleh ekspresi dari faktor-
faktor pertumbuhan. Salah satu faktor yang paling dominan dari
sekian banyak faktor pertumbuhan adalah Transforming Growth
Factor-Beta 1 (TGF-B1) yang menunjukkan keterlibatannya dalam
pengaturan differensiasi dari osteoblast dan produksi matriks ekstra
seluler. Faktor lain yaitu: Vascular Endothelial Growth Factor
(VEGF) yang berperan penting pada proses angiogenesis selama
penyembuhan fraktur. (chen,et,al,2004).

Pusat dari kalus lunak adalah kartilogenous yang kemudian


bersama osteoblast akan berdiferensiasi membentuk suatu jaringan
rantai osteosit, hal ini menandakan adanya sel tulang serta
kemampuan mengantisipasi tekanan mekanis. (Rubin,E,1999)

Proses cepatnya pembentukan kalus lunak yang kemudian


berlanjut sampai fase remodelling adalah masa kritis untuk
keberhasilan penyembuhan fraktur. (Ford,J.L,et al,2003).

Jenis-jenis Kalus

Dikenal beberapa jenis kalus sesuai dengan letak kalus tersebut


berada terbentuk kalus primer sebagai akibat adanya fraktur terjadi
dalam waktu 2 minggu Bridging (soft) callus terjadi bila tepi-tepi
tulang yang fraktur tidak bersambung. Medullary (hard) Callus akan
melengkapi bridging callus secara perlahan-lahan. Kalus eksternal
berada paling luar daerah fraktur di bawah periosteum periosteal
callus terbentuk di antara periosteum dan tulang yang fraktur.
Interfragmentary callus merupakan kalus yang terbentuk dan mengisi
celah fraktur di antara tulang yang fraktur. Medullary callus terbentuk
di dalam medulla tulang di sekitar daerah fraktur. (Miller, 2000)

d. Stadium Konsolidasi
Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus,
tulang yang immature (woven bone) diubah menjadi mature (lamellar
bone). Keadaan tulang ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast
dapat menembus jaringan debris pada daerah fraktur dan diikuti
osteoblast yang akan mengisi celah di antara fragmen dengan tulang
yang baru.

Proses ini berjalan perlahan-lahan selama beberapa bulan


sebelum tulang cukup kuat untuk menerima beban yang normal.

e. Stadium Remodelling.
Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat
dengan bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan
dan penyerapan tulang yang terus menerus lamella yang tebal akan
terbentuk pada sisi dengan tekanan yang tinggi. Rongga medulla akan
terbentuk kembali dan diameter tulang kembali pada ukuran semula.
Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk semulanya, terutama
pada anak-anak.

Pada keadaan ini tulang telah sembuh secara klinis dan


radiologi.

Fase Inflamasi

Fase Proliferasi

Fase Pembentukan

Fase Remodel

Gambar 1. Proses Penyembuhan Kalus


Jay. R. liberman, M. D. and Gary E Friedlaender (2005)
Perbandingan Metode-metode Fiksasi

Ketika fiksasi plate dibandingkan dengan fiksasi intramedullary pada


anjing-anjing percobaan tampak vaskularisasi yang lebih tinggi dalam
osteotomi pada rod intra medullary dibandingkan plate.Tidak ada perbedaan
signifikan dalam porositas tulang pada masing-masing metode fiksasi. Akan
tetapi pada fiksasi plated memperlihatkan nilai-nilai torsional yang lebih
tinggi dari pada fiksasi intramedullary pada 90 hari .Akan tetapi perbedaan
ini tidak nyata setelah 120 hari.

Data ini memperlihatkan bahwa tulang sembuh melalui mekanisme


yang berbeda dalam tipe-tipe fiksasi yang berbeda.Walaupun metode fiksasi
plate menghambat pembentukan periosteal kalus tetapi waktu yang
dibutuhkan untuk pengembalian kekuatan dan kekakuannormal adalah sama
untuk kedua metode.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cedera sel (Jejas) merupakan keadaan dimana sel beradaptasi
secara berlebih atau sebaliknya, sel tidak memungkinkan untuk
beradaptasi secara normal.
Nekrosis merupakan salah satu pola dasar kematian sel. Nekrosis
terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan toksin dan ditandai
dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan kerusakan organel. Hal
ini dapat menyebabkan disfungsi berat jaringan. Yang disebabkan
mikroorganisme, kekurangan oksigen, atau oleh agen fisik seperti suhu
ekstrim, kimiawi toksik, atau radiasi.

B. Saran
Makalah ini disusun dengan mengumpulkan berbagai referensi.
Adapun terdapat perbedaan tentang materi atau ada persepsi lain dari
pembaca harap di maklumi. Pembahasan dalam makalah ini belum
sempurna dan belum lengkap, untuk itu diharapkan saran dan masukan
dari para pembaca agar kedepannya kami bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatn Medikal bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 2009. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktik


Klinis. Edisi 9. Jakarta. EGC.

C.Pearce, Evelyn. 1992. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama.

Djoko Simbardjo. Fraktur Batang Femur. Dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah,
Bagian Bedah FKUI.

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Gibson, John. 2003. Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat. Jakarta: EGC.

(http://dokterbedahmalang.com/tentang-fraktur-tulang/). Diakses 18 November


2011.

Mutaqin, Arif. 2008. Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal: Seri Asuhan


Keperawatan. Jakarta: EGC.

Rasjad, C. 2007. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone.
Makassar: pp. 352-489

Rina, Amelia. 2011. Traksi dan Gips. (online).

Anda mungkin juga menyukai