Tugas Idk Homeostasis Pada Cedera
Tugas Idk Homeostasis Pada Cedera
OLEH :
1. IRDA
2. KEMAL DIANTO
3. LAKSMI NURUL SUCI
4. MIRNA ASRAN
5. MUHAMMAD IKRAM
6. NIA KANIASIH
7. NORNI
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun
makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami
membahas mengenai Homeostasis Akibat Cedera. Makalah ini dibuat dengan
berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu
menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................................24
B. Saran ..........................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadaan homeostasis atau seimbang pada sel merupakan hasil dari
fungsi sel normal yang memerlukan keseimbangan antara kebutuhan
fisiologik, keterbatasan struktur sel, serta kemampuan metabolisme.
Keadaan fungsional sel dapat berubah ketika bereaksi terhadap stress yang
ringan untuk mempertahankan keseimbangan sel (Mitchell dkk., 2008). Bila
suatu sel mendapatkan rangsang atau stimulus patologik, secara fisiologik
dan morfologik, sel kemudian melakukan adaptasi, yaitu perubahan sel
sebagai reaksi terhadap stimulus dan sel masih dapat bertahan hidup dan
mengatur fungsinya. Stimulus patologik yang diperbesar hingga melampaui
adaptasi sel terhadap stimulus maka berlanjut menjadi jejas sel yang bersifat
sementara (reversibel). Ketika stimulus tersebut terus bertambah besar dan
menetap, sel kemudian mengalami jejas menetap (ireversibel) dan berakhir
dengan kematian sel (Sudiono dkk., 2003).
Kematian sel dibedakan menjadi nekrosis dan apoptosis berdasarkan
macam pola morfologik dan mekanik. Dua proses yang mendasari
perubahan morfologik pada sel nekrosis adalah denaturasi protein dan
pencernaan sel oleh enzim (Sudiono dkk., 2003). Nekrosis merupakan jenis
kematian sel yang umum dijumpai setelah sel terpapar stimulus eksogen,
seperti iskemi dan rangsang kimia. Keadaan ini menyebabkan
pembengkakan sel, selanjutnya sel pecah terjadi denaturasi dan koagulasi
protein sitoplasma, serta hancurnya organel sel (Kumar dkk., 2003).
Penelitian Klaassen dkk. (2010) menyatakan bahwa nekrosis jaringan,
adalah salah satu contoh dari toksisitas kimiawi kompleks yang melalui
empat langkah. Pertama, bahan toksik disampaikan pada target atau sasaran.
Kedua, bahan toksik berinteraksi dengan molekul target. Ketiga, memicu
gangguan dalam fungsi sel dan/atau struktur, yang sedang melakukan
perbaikan pada tingkat molekuler, seluler dan/atau jaringan. Keempat,
ketika gangguan yang disebabkan oleh bahan toksik melebihi kapasitas
perbaikan atau saat perbaikan menjadi malfunctional, maka terjadi
toksisitas.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Cedera dan Kematian Sel
2. Apa saja penyebab cedera sel
3. Apa saja jenis-jenis cedera
4. Bagaimanakah mekanisme cedera sel
5. Apakan homeostasis akibat cedera
C. Tujuan
1. Untuk menegetahui Pengertian Cedera dan Kematian Sel
2. Untuk mengetahui penyebab cedera sel
3. Untuk mengetahui jenis-jenis cedera
4. Untuk mengetahui mekanisme cedera sel
5. Untuk mengetahui homeostasis akibat cedera
BAB II
ISI
C. Jenis-jenis cedera
1. Jejas Reversible (oedem, cloudy swelling)
contoh: degenerasi hidropik
Degenerasi ini menunjukkan adanya edema intraselular yaitu adanya
peningkatan kandungan air pada rongga-rongga sel selain peningkatan
kandungan air pada mitokondria dan retikulum endoplasma. Pada mola
hidatidosa telihat banyak sekali gross (gerombolan) mole yang berisi
cairan. Mekanisme yang mendasari terjadinya generasi ini yaitu
kekurangan oksigen karena adanya toksik dan karena pengaruh osmotik
2. Jejas Irreversible
Terdapat dua jenis jejas irreversibel (kematian sel) yaitu apoptosis dan
nekrosis. Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram
sedangkan nekrosis merupakan kematian sel/jaringan pada tubuh yang
hidup di luar dari kendali. Sel yang mati pada nekrosis akan membesar
dan kemudian hacur dan lisis pada suatu daerah yang merupakan respon
terhadap inflamasi (Lumongga, 2008). Jadi, perbedaan apoptosis dan
nekrosis terletak pada terkendali atau tidaknya kematian sel tersebut.
Kematian sel bermula dari jejas (cedera) yang terjadi pada sel. Jejas
tersebutdapat kembali normal apabila keadaan lingkungan mendukung.
Namun, ketikalingkungan tetap buruk, cedera akan semakin parah yang
mana sel tidak akan kembali normal (irreversible) dan selanjutnya akan
mati. Kematian sel memiliki dua macam pola, yaitu nekrosis dan apoptosis.
Kematian sel terprogram dimulai selama embriogenesis dan terus
berlanjut sepanjang waktu hidup organisme. Rangsang yang menimbulkan
apoptosis meliputi isyarat hormon, rangsangan antigen, peptida imun, dan
sinyal membran yang mengidentifikasi sel yang menua atau bermutasi.
Virus yang menginfeksi sel akan seringkali menyebabkan apoptosis, yang
pada akhirnya akan menyebabkan kematian virus dan sel pejamu (host). Hal
ini merupakan satu cara yang dikembangkan oleh organisme hidup untuk
melawan infeksi virus. Virus terterntu (misal virus EpsteinBarr yang
bertanggung jawab terhadap mononukleosis) pada gilirannya menghasilkan
protein khusus yang menginaktifkan respons apoptosis. Defisiensi apoptosis
telah berpengaruh pada perkembangan kanker dan penyakit neuro
degeneratif dengan penyebab yang tidak diketahui, termasuk penyakit
Alzheimer dan sklerosis lateral amiotrofik (penyakit Lou Gehrig). Apoptosis
yang dirangsang antigen dari sel imun (sel T dan B) sangat penting dalam
menimbulkan dan mempertahankan toleransi-diri imun.
1) Jalur Ekstrinsik
a) Berkontaknya darah dengan dinding pembuluh darah yang rusak
atau dengan jaringan di luar pembuluh darah.
b) Pelepasan tromboplastin jaringan atau jaringan yang luka yang
melepaskan beberapa faktor termasuk yang paling utama
fosfolipid dan yang paling sedikit adalah 1 glikoprotein.
c) Jaringan glikoprotein ditambahkan dengan faktor VII dan
bersamaan hadirnya fosfolipid jaringan yang berupa ion kalsium
maka akan membentuk faktor X, sehingga faktor X akan
mengalami teraktivasi.
d) Faktor X yang teraktivasi akan berikatan dengan fosofolipid
jaringan yang berupa ion kalsium dan faktor V akan
membentuk aktivator protrombin.
2) Jalur Intrinsik
a) Trauma yang di dalamnya terdapat faktor XII dan trombosit,
masing-masingnya akan diubah. Faktor XII akan berikatan
dengan enzim proteolitik akan membentuk faktor XII akan
teraktivasi, sedangkan trombosit akan melepaskan fosfolipid
trombosit.
b) Faktor XII yang teraktivasi akan berikatan dengan faktor XI dan
membentuk faktor XI teraktivasi.
c) Faktor XI yang teraktivasi akan berikatan dengan faktor IX dan
membentuk faktor IX teraktivasi.
d) Faktor IX akan berikatan dengan faktor VIII dan fosfolipid
trombosit membentuk faktor X yang teraktivasi.
e) Faktor X akan berikatan dengan faktor V dengan fosfolipid
trombosit, maka membentuk aktivator protrombin.
b. Perubahan protrombin menjadi trombin
1) Aktivator protrombin akan menyebabkan perubahan protrombin
menjadi trombin.
2) Menyebabkan polimerasi molekul-molekul fibrinogen menjadi
benang-benang fibrin dalam 10-15 detik berikutnya.
3) Protrombin merupakan protein plasma, suatu α2-globulin yang
tidak stabil dan mudah dapat pecah menjadi senyawa kecil yang di
antaranya adalah trombin. Dibentuk terus menerus oleh hati dan
terus menerus dipakai oleh tubuh dalam proses pembekuan darah.
4) Kecepatan pembentukan trombin dari protrombin hampir
berbanding lurus dengan jumlah aktivator protrombin yang
tersedia.
c. Perubahan fibrin menjadi fibrinogen
1) Fibrinogen merupakan protein bermolekul tinggi yang dibentuk di
dalam hati dan sangat sedikit di cairan interstisial bila dalam
keadaan normal.
2) Trombin menjadi enzim protein yang memiliki proteolitik, bekerja
terhadap fbrinogen dengan cara melepaskan empat peptida yang
berberat molekul kecil dari setiap molekul fibrinogen, sehingga
membentuk molekul fibrin monomer yang kemudian fibrin
monomer berpolimerasi menjadi benang fibrin yang panjang
sehingga terbentuklah retikulum dari bekuan.
3) Molekul-molekul fibrin monomer saling berikatan melalui ikatan
nonkovalen yang lemah dan tidak saling terikat satu sama lainnya,
sehingga bekuan yang dihasilkan tidaklah kuat dan susah dicerai-
beraikan.
4) Terjadi proses yang melibatkan faktor pemantap fibrin yang
dilepaskan oleh trombosit-trombosit yang terperangkap dalam
bekuan yang dihubungkan melalui ikatan kovalen dan
menimbulkan jembatan-jembatan silang multiple di antara benang-
benang fibrin yang berdekatan dan menambah kekuatan jaringan
fibrin secara 3D
4. Pertumbuhan jaringan ikat
Terjadi dua proses dalam pembentukan jaringan ikat untuk membeku
darah, yaitu :
a. Bekuan darah dapat diinvasi oleh fibrolas yang kemudian membentuk
jaringan ikat ada seluruh bekuan tersebut, atau
b. Bekuan tersebut dihancurkan tanpa membentuk jaringan ikat terlebih
dahulu.
KASUS
KASUS
Secara umum, angulasi dalam bidang gerak sendi sampai kurang lebih
20-30 derajat akan dapat mengalami swapugar, sedangkan angulasi yang
tidak dalam bidang gerak sendi tidak akan mengalaminya. Akan tetapi,
rotasi antara 2 fragmen tidak pernah terkoreksi sendiri oleh proses
swapugar. Ada tidaknya rotasi fragmen tidak dapat diketahui dari foto
Rontgen, melainkan harus diketahui dari pemeriksaan klinis. Cara yang
termudah untuk memeriksa rotasi ini adalah dengan membandingkan
rotasi anggota yang patah dengan rotasi anggota yang sehat. Pemendekan
anggota yang patah disebabkan oleh tarikan tonus otot sehingga fragmen
patahan tulang berada sebelah menyebelah. Pemendekan anggota atas pada
orang dewasa dan pemendekan pada anggota atas maupun bawah pada
anak, umumnya tidak menimbulkan masalah.
1. Lokasi fraktur
2. Jenis tulang yang mengalami fraktur.
3. Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil.
4. Adanya kontak antar fragmen.
5. Ada tidaknya infeksi.
6. Tingkatan dari fraktur.
1. Fase Reaktif
a. Fase hematom dan inflamasi
b. Pembentukan jaringan granulasi
2. Fase Reparatif
a. Fase pembentukan callus
b. Pembentukan tulang lamellar
3. Fase Remodelling
a. Remodelling ke bentuk tulang semula
Jay. R. liberman, M. D. and Gary E Friedlaender (2005)
Dalam istilah-istilah histologi klasik, penyembuhan fraktur telah
dibagi atas penyembuhan fraktur primer dan fraktur sekunder.
a. Fase Inflamasi:
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan
berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam
jaringan yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah
tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena
terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia dan inflamasi yang
menginduksi ekpresi gen dan mempromosikan pembelahan sel dan
migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai penyembuhan.
Produksi atau pelepasan dari faktor pertumbuhan spesifik, Sitokin,
dapat membuat kondisi mikro yang sesuai untuk :
b. Fase proliferasi
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk
benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan
untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast
dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel
periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai
matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrous
dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan
melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan
mikro minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang
berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif
tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif. Pada fase ini dimulai
pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada
minggu ke 4 – 8.
Jenis-jenis Kalus
d. Stadium Konsolidasi
Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus,
tulang yang immature (woven bone) diubah menjadi mature (lamellar
bone). Keadaan tulang ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast
dapat menembus jaringan debris pada daerah fraktur dan diikuti
osteoblast yang akan mengisi celah di antara fragmen dengan tulang
yang baru.
e. Stadium Remodelling.
Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat
dengan bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan
dan penyerapan tulang yang terus menerus lamella yang tebal akan
terbentuk pada sisi dengan tekanan yang tinggi. Rongga medulla akan
terbentuk kembali dan diameter tulang kembali pada ukuran semula.
Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk semulanya, terutama
pada anak-anak.
Fase Inflamasi
Fase Proliferasi
Fase Pembentukan
Fase Remodel
A. Kesimpulan
Cedera sel (Jejas) merupakan keadaan dimana sel beradaptasi
secara berlebih atau sebaliknya, sel tidak memungkinkan untuk
beradaptasi secara normal.
Nekrosis merupakan salah satu pola dasar kematian sel. Nekrosis
terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan toksin dan ditandai
dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan kerusakan organel. Hal
ini dapat menyebabkan disfungsi berat jaringan. Yang disebabkan
mikroorganisme, kekurangan oksigen, atau oleh agen fisik seperti suhu
ekstrim, kimiawi toksik, atau radiasi.
B. Saran
Makalah ini disusun dengan mengumpulkan berbagai referensi.
Adapun terdapat perbedaan tentang materi atau ada persepsi lain dari
pembaca harap di maklumi. Pembahasan dalam makalah ini belum
sempurna dan belum lengkap, untuk itu diharapkan saran dan masukan
dari para pembaca agar kedepannya kami bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatn Medikal bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Djoko Simbardjo. Fraktur Batang Femur. Dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah,
Bagian Bedah FKUI.
Gibson, John. 2003. Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat. Jakarta: EGC.
Rasjad, C. 2007. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone.
Makassar: pp. 352-489