1
Laporan LGBT Nasional Indonesia - Hidup Sebagai LGBT di Asia hal. 18
2
Ibid. Hal. 20
“Menjelang akhir tahun 1993, terdapat cukup banyak organisasi dan aktivis
individu sehingga mampu menyelenggarakan Kongres Lesbian dan Gay
Indonesia pertama (KLGI I) di Kaliurang, dekat Yogyakarta. Semakin
banyak organsasi didirikan di berbagai wilayah Indonesia, yaitu: Medan,
Batam, Ambon dan lain sebagainya. Diadakan dua kongres lagi, yaitu: KLGI
II di Lembang, dekat Bandung (tahun 1995) dan KLGI III di Denpasar
(tahun 1997). Jumlah peserta pertemuan berkembang semakin besar, terdiri
dari wakil-wakil organisasi, aktivis individu dan mereka yang berperan aktif
dalam berbagai kaukus organisasi kesehatan dan hak-hak yang seksual dan
reproduksi. Namun hanya sedikit kaum lesbian yang berpartisipasi dan sama
sekali tidak ada aktivis transgender yang hadir. Kongres 1997 merupakan
yang pertama mendapatkan liputan koran daerah.”3
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014). Hal. 82
LGBT, HAM dan Pancasila
Kaum LGBT yang ingin mendapat legalitas dan mendapat perlindungan di
Indonesia tentu berlandaskan kepada HAM dan kemanusiaan bukan kepada
Pancasila. Mengapa? Karena LGBT tidak sesuai dengan Pancasila. Pada sila ke-1
Pancasila berbunya “Ketuhanan Yang Maha Esa”, artinya semua kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah harus sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan yang
diakui di Indonesia. Maka secara tidak langsung Kaum LGBT ini mengabaikan
Pancasila dan mengedepankan HAM serta kemanusiaan yang notabene
merupakan produk liberalisme.
Permasalahan HAM dengan Pancasila ini bukan merupakan masalah baru.
Bahkan pada waktu rancangan naskah UUD 1945 pun HAM pernah
diperdebatkan. Karena ada yang berpendapat bahwa HAM itu berlandaskan
individualisme dan liberalisme, maka itu bertentangan dengan asas kekeluargaan
dan gotong royong. Mengenai hal ini, Ir. Soekarno menyatakan bahwa “Jikalau
kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan,
paham tolong menolong, paham gotong royong, dan keadilan sosial, maka
enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap paham individualisme dan liberalisme
daripadanya”.6 Tidak hanya pada masa itu, pada masa reformasi pun sebenarnya
HAM menjadi pembahasan yang sangat rumit dan panjang. Pada masa ini,
Indonessia meratifikasi dua Konvensi Hak Asasi Manusia yang penting yaitu
berkaitan dengan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak
manusiawi, merendahkan dan konvensi internasional penghapusan segala bentuk
diskriminasi rasial. 7 Serta melakukan reformasi di bidang hak mengeluarkan
pendapat.
Kemudian pada fase itu pula kaum perempuan memperjuangkan keadilan
gender yang bersifat inklusif mealui peningkatan wawasan dalam berbagai aspek
kehidupan. 8 Lalu pada tahun 1998 melalui TAP No. XVII MPR merumuskan
sebuah piagam Hak Asasi Manusia yang berjumlah 44 pasal. 9 Pada pasal 36 yang
6
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008). Hal,
248
7
Ibid. Hal 255.
8
Paulus Wirotomo,dkk, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 2012)
hal. 187
9
Miriam Budiarjo, Op.cit, hal. 262
tertuang di dalam Piagam HAM tersebut menyebutkan bahwa “ Di dalam hak dan
kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang
ditetapkan oleh Undang-undang.” 10 Artinya, Indonesia ini sangat menjunjung
tinggi HAM dan kebebasan yang tentunya dibatasi oleh Undang-undang. Undang-
undang itu sendiri hadir dan mengandung nilai-nilai Pancasila di dalamnya. Maka,
Kaum LGBT yang ingin mendapatkan legalitas secara langsung bertabrakan
dengan Piagam HAM tersebut yang menyebutkan hak dan kebebasannya dibatasi
oleh undang-undang dan undang-undang tersebut lahir dari Pancasila yang
notabene merupakan Konsensus Nasional.
Sejarah HAM di dunia sangatlah banyak, salah satunya adalah Piagam
Madinah. Beberapa literatur menyebutkan bahwa Piagam Madinah adalah cikal
bakal Hak Asasi Manusia. Lalu, apa perbedaannya? Perbedaan mendasar adalah
pada landasannya. Terdapat satu poin yang membahas terkait perselisihan di kota
Madinah yang penyelesaiannya dikembalikan kepada Allah dan Muhammad
saw.11 Dari salah satu butir perjanjian tersebut mengindikasikan bahwa Piagam
Madinah atau Perjanjian dengan kaum Yahudi ini berlandaskan kepada Allah dan
Rasulullah saw dengan kata lain berlandaskan dengan agama isalam. Berbeda
dengan HAM masa kini yang berlandaskan kemanusiaan, individualisme dan
liberalisme. Lalu pada segi tujuannya pun berbeda, Piagam Madinah ini bertujuan
untuk membangun sebuah masyarakat madani dengan asas persatuan. Beberapa
poin membahas terkait kewajiban orang yahudi untuk ikut berperang bersama
kaum muslimin serta tolong menolong dalam menghadapi orang yang hendak
menyerang Yatsrib (Madinah).12Ini menegaskan bahwa Piagam Madinah bukan
hanya sekadar perjanjian belaka, namun menjadi sebuah landasan bernegara di
Madinah untuk membangun masyarakat Madani dengan asas persatuan yang
berlandaskan agama. Berbeda dengan HAM yang notabene bertujuan untuk
memenuhi kehendak pribadi maupun golongan sebebasnya tanpa batasan agama,
moral, maupun nilai sosial yang ada. Inilah salah satu dampak sosial dari adanya
LGBT bagi masyarakat Indonesia yang akan menyebabkan pergeseran nilai secara
10
Ibid.
11
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum Sirah Nabawiyah, Terj. Agus
Suwandi (Jakarta, Umul Qura, 2011) hal. 360
12
Ibid.
perlahan menuju liberalisme. Mengedepankan HAM, kemanusiaan, kebebasan
diatas Pancasila, agama, moralitas dan sebagainya. Karena mereka berdalil
menginginkan keadilan sosial sebagaimana tertuang di dalam sila ke 5 dari
Pancasila namun mengabaikan sila pertama.
Dari kutipan di atas yang di ambil dari Laporan LGBT Nasional Indonesia
dapat dikatakan bahwa LGBT ini ‘memaksa’ agama harus tunduk terhadap
kebutuhan manusia bukan sebaliknya. Paham ini sama seperti paham Feminisme
dan liberalisme memiliki akar yang sama yaitu relativisme, paham yang
menganggap bahwa benar atau salah, baik atau buruk, senantiasa berubah-ubah
dan tidak bersifat mutlak, tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi
sosial.14 Ini berbahaya karena menyerang pemikiran masyarakat Indonesia yang
notabene merupakan masyarakat yang beragama. Ini menjadi perhatian bagi umat
islam di Indonesia. Bagaimana mungkin LGBT ini tumbuh subur di negara yang
notabene di dominasi oleh agama islam, bahkan sudah melaksanakan kongres
berskala nasional dan di dukung oleh negara-negara barat.
Dewasa ini, masyarakat dibingungkan dengan adanya pemberitaan di
media-media terkait LGBT ini. Beberapa kasus belakangan ini menunjukkan
13
Laporan LGBT Nasional Indonesia - Hidup Sebagai LGBT di Asia, Op.cit hal. 19
14
Dinar Dewi Kania, FEMINISME DAN KESETARAAN GENDER DALAM TIMBANGAN
WORLDVIEW OF ISLAM, THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) hal. 9
bahwa semakin terang-terangan mereka mengakui mereka adalah bagian dari
LGBT. Mulai dari berita LGBT masuk kampus, hingga berita Psantren Waria
yang ingin membuat Fiqh Waria. Terelebih di sosial media, para aktivis LGBT ini
mengincar pengguna sosial media dengan artikel-artikelnya yang menggelitik.
Ada yang membahas terkait LGBT itu sesuai dengan budaya Indonesia, sesuai
dengan agama, bahkan ada yang memutarbalikkan fakta terkait kisah kaum Nabi
Luth a.s tentang kaumnya yang menyukai sesama jenis. Mereka berdalih bahwa
kaum Nabi Luth a.s terkena adzab karena melakukan pelecehan seksual bukan
homoseksual. Yang lebih parah, penulis pernah membaca sebuah statement dari
aktivis LGBT yang menganggap bahwa Islam itu menghalalkan Homoseksual.
Apakah benar? Tentu tidak. Yang menghalalkan homoseksual adalah Nushairiyah,
yang juga menghalalkan Khamar, Homoseks (Liwath) dan nikah sesama
mahram.15
LGBT dan Moralitas (Perspektif Sosiologi)
Terlepas dari itu semua, LGBT ini sudah menjadi penyakit yang
menggerogoti Indonesia dari segi pemikiran maupun moralitas. Dari segi
pemikiran sudah dijabarkan bahwa mereka secara tidak langsung ingin menggeser
bahkan mengganti nilai-nilai Pancasila dengan nilai-nilai Liberalisme. Dari segi
moral jelas mereka ingin diakui bahwasanya LGBT itu merupakan perbuatan yang
baik dan sejalan dengan nilai-nilai Moralitas. Dari segi sosiologis, Moralitas
didefinisikan oleh Emile Durkheim sebagai berikut
“Moralitas, bagi Durkheim memiliki tiga komponen yang penting.
Pertama, Moralitas melibatkan disiplin, yaitu suatu pengertian tentang
otoritas yang menghalangi dorongan-dorongan idiosinkratis. Kedua,
moralitas menghendaki keterikatan dengan masyarkat karena
masyarakat adalah sumber dari moralitas. Ketiga, melibatkan otonomi,
suatu konsep tentang individu yang bertanggung jawab atas tindakan
mereka.”16
15
Syaikh Abu Mus’ab As-Suri, Rezim Nushairiyah, Terj. Azzam Kuwais, (Solo: Jazera, 2013) hal.
43
16
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi “Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Terj. Nurhadi (Bantul: KREASI
WACANA,2014) hal. 113
seseorang. Pengekangan ini penting, karena sebagaimana kita ketahui bahwa
setiap individu mempunyai hasrat yang berbeda baik dengan sesama individu
maupun dengan kelompok, bahkan dengan negara. Jika hasrat ini tidak dikekang,
maka akan terjadi konflik. Begitu pun dalam kasus LGBT ini. LGBT secara
langsung bertentangan dengan Pancasila, maka ketika disiplin ini tidak ditegakkan
akan menimbulkan konflik berkepannjangan. Durkheim sendiri menganggap
Disiplin ini sebagai sebuah Kewajiban Sosial yang mampunyai tanggung jawab
moral bagi diri seseorang sendiri.17
Komponen yang kedua ialah keterikatan, yaitu keterikatan terhadap
kelompok sosial. Durkheim berkata “...Seperti halnya moralitas membatasi dan
mengekang kita dalam merespons kebutuhan alamiah kita, maka ketika
masyarakat menuntut komitmen dan ketundukan kita terhadap kelompok, dia
sekalgus juga memaksa kita untuk mengejawantahkan dir kita sendiri”.18 Artinya,
ketika seseorang sudah masuk kelompok atau katakanlah sebuah negara, maka
seseorang tersebut harus tunduk dengan nilai-nilai moral yang dianut kelompok
atau negara tersebut. Kedua komponen ini saling melengkapi satu sama lain.
Disiplin merupakan masyarakat yang dilihat sebagai sesuatu yang menuntut kita
sedangkan keterikatan adalah masyarakat yang dilihat sebagai bagian dari diri kita.
Otonomi merupakan komponen ketiga dari moralitas yang dikemukakan
oleh Durkheim. Durkheim melihat otonomi sebagai dorongan-dorongan kehendak
yang punya landasan rasional dengan corak sosiologis di mana dasar rasional itu
adalah masyarakat. 19 Durkheim juga berpendapat bahwa masyarakat adalah
sumber dari moralitas itu sendiri. Artinya, moralitas ini merupakan nilai yang lahir
dan berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Tentunya moralitas ini berbeda
beda tergantung dengan tingkat rasionalitas dari masyarakat tersebut.
Indonesia yang berlandaskan Pancasila tidak begitu saja dengan mudah
menerima LGBT. Karena memang masyarakat Indonesia dalam mengambil suatu
tindakan harus bersandar kepada nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila, dan
tentunya bersandar kepada nilai-nilai ketuhanan. Artinya, selama Pancasila masih
sebagai sebuah Konsensus Nasional secara tidak langsung LGBT ini tertolak dari
17
Ibid.
18
George Ritzer, Op.cit hal. 114
19
Ibid.
Indonesia. Terlebih masyarakat Indonesia yang lebih banyak dihuni oleh
masyarakat bergama Islam. Ini menjadi sebuah tantangan serta kewajiban bagi
umat islam untuk terus mengajarkan masyarakat tentang pentingnya nilai-nilai
Islam di Indonesia. Dan sarana yang paling efektif adalah dalam bidang
pendidikan.
Pendidikan Moral Sebagai solusi dari LGBT
Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk menurunkan nilai-nilai
yang ada kepada para siswa. Pendidikan didefinisikan oleh Durkheim sebagai
proses dimana individu mendapatkan alat-alat fisik, intelektual, dan yang paling
penting adalah moral yang diperlukan agar dapat berperan dalam masyarakat.20
output dari pendidikan menurut Durkheim adalah perannya di dalam masyarakat
dalam menjaga nilai-nilai di dalam masyarakat. Ruang kelas merupakan
masyarakat kecil yang menimbulkan kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif
tersebut cukup untuk menanamkan sikap moral. Maka, pendidikan tersebut hadir
untuk memproduksi semua komponen Moralitas.
Keterkaitan antara Pendidikan dan Moralitas ini merupakan sebuah
kepastian. Karena, moralitas itu sendiri bersumber dari masyarakat. Durkheim
menjelaskan keterkaitan tersebut :
Pertama, pendidikan akan memberikan individu disiplin-disiplin yang
mereka butuhkan untuk mengendalikan nafsu yang mengancam mereka.
Kedua, pendidikan bisa mengembangkan suatu rasa pengabdian kepada
masyarakat an sistem moralnya pada diri murid. Yang paling terpenting
adalah peran pendidikan dalam pengembangan otonomi, di mana
disiplin “diinginkan secara sukarea” dan keterikatan terhadap
masyarakat hadir dari “persetujuan yang mencerahkan”.
20
George Ritzer, Op.cit. hal 115
kaum intelektual sebagai ujung tombak mereka. Terus berdialektika dengan nilai-
nilai agama dan mencari celah dimana mereka bisa membenarkan diri di atas
agama.
Pendidikan moral ini menjadi sebuah solusi yang sangat baik. Dengan
bermoral Pancasilais yang didalamnya mengandung nilai-nilai agama, maka para
siswa pun akan terbentengi dari paham yang aneh tersebut. Dalam hal pendidikan,
tentunya guru mengambil peranan penting dalam proses pendidikan. Ini sejalan
dengan pemikiran Ibnu Khaldun yang menyebutkan bahwa “Barangsiapa tidak
terdidik oleh orang tuanya (guru) maka ia akan terdidik oleh zaman”. 21
Maksudnya adalah, dalam proses pendidikan, guru itu mendapat peranan yang
sangat penting.
Pendidikan moral hanya bisa tercapai jika guru tersebut memahami
pentingnya moral bagi siswa dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pendidikan moral yang paling mudah ialah dengan mengedepankan
pendidikan Agama. Karena di dalam Agama tersebut terkandung nilai-nilai moral
yang sangat mudah dipahami oleh siswa. Begitupun di dalam Agama Islam ini.
Umat Islam mempunyai beban lebih dalam kasus LGBT ini. Karena kewajiban
berdakwah demi terwujudnya umat terbaik di dunia ini. Allah Berfirman dalam
Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 110 yang artinya :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah
itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Maka sudah sepatutnya bagi kita umat Islam untuk lantang mencegah
kemunkaran yang ada di negeri kita tercinta ini. Bayangkan jika memang LGBT
ini mendapat legalitas di Indonesia, maka kita akan melihat nanti guru-guru yang
mengajar di sekolah mengajarkan tentang nilai-nilai LGBT di sekolah dan
merusak moral bangsa. Dalam hal pemikiran, mereka dapat menurunkan paham
liberalisme dan individualisme kepada para siswa dan anak anak kita nanti. Tentu
ini hal yang membahayakan bagi bangsa Indonesia. Kedepannya jika ini tidak
21
Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Terj. Masturi Irham,dkk (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2011) hal. xi
ditindak tegas dan tidak mencegahnya maka jangan kaget nanti bangsa kita akan
lebih mengedepankan kemanusiaan, kebebasan yang akarnya adalah liberalisme
ketimbang Pancasila yang mengandung nilai-nilai agama di dalamnya. Semoga
Allah tidak menurunkan Adzab kepada negeri ini seperti adzab kepada kaum Nabi
Luth a.s. Semoga Allah memberi Hidayah kepada mereka untuk bertaubat.
“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara
kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika
keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.”(Q.S An-Nisa ayat 16)
Wallahu A’lam
DAFTAR PUSTAKA