Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

TEKNOLOGI PENANGANAN HASIL PERIKANAN

PENANGANAN HASIL PERIKANAN (TERIPANG,


UBUR-UBUR, DAN BULU BABI)

Kelompok 4 :

Aatikah Dewi Ghaisani 05061281823017


Mutiara 05061281823019
Prenki Ferdian Mahendra 05061281823020
Galih Dwiyogo Wicaksono 05061281823021
Rina Sakinah 05061281823023
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Teripang (Holothuroidea) merupakan salah satu komoditas perikanan yang
bernilai ekonomis tinggi dan sangat digemari di pasar internasional. Biota laut ini
telah digunakan sejak lama oleh bangsa Cina sebagai obat-obatan alami karena
dipercaya dapat memperkaya darah, mengobati penyakit ginjal dan organ
reproduksi. Ditambahkan pula bahwa teripang diyakini dapat mengobati
kelumpuhan, impotensi, konstipasi dan sering buang air kecil (Subaldo, 2011).

Pemanfaatan teripang dalam bidang farmasi disebabkan karena teripang


mengandung berbagai bahan aktif yang bermanfaat. Berbagai penelitian telah
dilakukan untuk mengetahui manfaat teripang dalam bidang kesehatan. Wibowo
dan Yunizal (1997) menyatakan bahwa teripang mengandung senyawa
antioksidan yang berfungsi mengurangi kerusakan sel jaringan tubuh. Farouk dkk.
(2007) menambahkan bahwa ekstrak teripang menunjukkan aktifitas antiprotozoa
dan menghambat sel tumor, serta dapat digunakan sebagai penyembuh luka dan
antitrombotik (mengurangi pembekuan darah di dalam saluran darah) sehingga
dapat mengurangi resiko penyakit jantung dan stroke.

Selanjutnya, ubur-ubur atau Scyphozoa merupakan koelenterata yang hidup di


laut baik dalam bentuk polip yang melekat di dasar ataupun yang berenang bebas
dalam bentuk medusa. Tubuhnya lunak seperti gelatin, transparan, dan
mengandung banyak air. Bentuk tubuhnya unik sehingga dengan mudah dapat
dibedakan dari jenis koelenterata lainnya. Ubur-ubur ini dikenal sebagai binatang
pengganggu di perairan dekat pantai terutama pada tempat-tempat rekreasi, karena
dapat menyebabkan rasa gatal pada kulit bila tersentuh. Hal ini disebabkan oleh
sel-sel penyengat atau nematosis yang terdapat di dalam jaringan epidermisnya,
baik pada tentakel maupun di bagian lain tubuhnya. Pengolahan ubur-ubur dari
bentuk segar menjadi bahan makanan yang siap untuk di ekspor secara garis
besarnya sama. Di Indonesia metode pengolahan meliputi pengeluaran cairan dari
tubuh dengan cara penggaraman bertahap dan perlahan-lahan, dan memakan waktu
cukup lama. Proses ini diikuti dengan pengeringan sehingga mencapai kadar air
yang paling rendah, kemudian dikemas. Tulisan ini mengetengahkan jenis
ubur-ubur yang umumnya ditemukan di perairan tropis yang dapat diolah, serta
cara-cara pengolahannya sampai siap untuk ekspor (Chidambara, 1984).
Dan, bulu babi atau landak laut (Sea urchin) merupakan kelompok hewan yang
sering dijumpai di daerah pantai dan laut Indonesia bahkan di seluruh dunia (Rajab,
2001). Hasil analisis kualitatif gonad landak laut jenis diadema setosum kaya akan
nilai gizi salah satunya asam lemak tak jenuh yang berkasiat untuk menurunkan
kadar kolestrol dalam tubuh dan mencerdaskan otak, mengandung vitamin A,
Vitamin B kompleks dan mineral yang berfungsi untuk melancarkan fungsi sistem
saraf dan metabolisme tubuh manusia (Saparinto, 2003). Namun landak laut jarang
sekali dimanfaatkan oleh masyarakat dan tidak memiliki nilai jual meskipun
memilki banyak manfaat karena durinya yang mengandung racun.

Nelayan yang berdomisili di daerah kepulauan seperti, Sulawesi, Kepulauan


Seribu, Lombok, Sumbawa dan wilayah Indonesia bagian timur lainnya
memanfaatkan landak laut (Sea urchin) sebagai makanan tambahan. Gonadnya
dijadikan sebagai sumber pangan karena mengandung 20 macam asam amino,
vitamin B kompleks, vitamin A, mineral, asam lemak tak jenuh (omega-3) dan
omega-6. Tingginya kadar protein dan kadar air gonad landak laut (Sea urchin)
menyebabkan teksturnya lembek dan mudah mengalami proses pembusukam jika
tidak ditangani dengan baik. Kadar air di dalam suatu bahan merupakan sumber
kehidupan bagi mikroorganisme, sehingga semakin tinggi kadar air suatu bahan
maka bahan tersebut akan cepat mengalami kemunduran mutu (Aziz, 1993).

1.2. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui bagaimana
cara penanganan teripang, ubur-ubur, dan bulu babi dengan baik.

1.3. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana cara penanganan


terhadap teripang, ubur-ubur, dan bulu babi yang baik dan benar.

BAB 2

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1. Penanganan Teripang

Teripang merupakan komoditi hail perikanan yang sangat cepat mengalami


kerusakan. Agar teripang masih tetap hidup, teripang ditempatkan dalam ember
berisi air laut yang secara periodik airnya diganti dan dilindungi oleh sinar matahari.
Dengan cara ini teripang dapat dipertahankan hidup 6-8 jam tergantung jenis
teripang. Umumya teripang pasir dan teripang nenas mempunyai ketahanan hidup
yang tinggi sedangkan teripang gama dan teripang hitam ketahanan hidupnya lebih
rendah. Karena teripang mudah sekali mengalami kerusakan maka segera setelah
ditangkap harus cepat diolah dengan baik (Thenu, 2013).
Jika belum memungkinkan untuk diolah, maka teripang dapat diawetkan
dengan beberapa cara penanganan yaitu, penanganan suhu kamar (27 – 31oC),
teripang pasir hidup yang didiamkan dalam suhu kamar dapat bertahan hingga 9
jam dengan kondisi masih layak untuk diolah. Tetapi jika direbus lebih dahulu
setelah disiangi masih mampu bertahan hingga 12 jam. Untuk jenis teripang batu
hidup dapat disimpan pada suhu kamar sampai 12 jam. Jika direbus setelah disiangi
dapat bertahan hingga 15 jam. Penanganan suhu dingin (00 – 20C), daya awet
teripang pasir bias diperpanjang jika disimpan pada suhu dingin atau es. Keawetan
dapat sampai 9 hari dalam kondisi yang masih bagus. Jika teripang pasir direbus
setelah disiangi, bias bertahan smpai 15 hari. Dan, penanganan suhu beku, teripang
pasir yang masih utuh dan yang telah disiangi dan direbus masih mempunyai
kondisi yang bagus dalam penyimpanan beku selama 2 bulan. Sedangkan teripang
batu yang masih utuh daya awetnya hanya dapat mencapai 1,5 bulan, jika direbus
setelah disiangi bias mencapai 2 bulan (Thenu, 2013).

2.2. Penanganan Ubur-ubur


Ubur-ubur dengan diameter minimum 25 cm adalah yang paling baik untuk
diolah. Metode pengolahan meliputi penarikan cairan tubuh dengan jalan
penggaraman secara bertahap dan berulang-ulang. Proses pengolahan dipisah
antara bagian payung tujuh fase dan bagian lengannya enam fase. Untuk bagian
payung, lima fase pertama adalah penggaraman, fase keenam pengeringan dan ke
tujuh adalah fase pengemasan dan penyimpanan. Sebelum proses pengolahan
dimulai, ubur-ubur dicuci bersih dengan air tawar kemudian bagian payung
dipisahkan dari bagian lengannya. Masing-masing bagian kemudian dicuci
sendiri-sendiri. Bagian-bagian lain yang tidak perlu seperti isi perut harus dibuang.
Bagian-bagian yang telah terpisahkan ini masing-masing dimasukkan kedalam
bak-bak kayu yang dilapisi dengan lembaran politan yang agak tebal, ukuran 2 x
1,5 x 1 m (Manuputty,1988).

Proses pengolahan bagian payung, meliputi beberapa fase yaitu. Fase 1, bagian
payung direndam di dalam larutan yang terdiri dari campuran tawas 500 gr dan
bubuk pemutih 200 gr yang dilarutkan dalam 100 liter air tawar. Lama perendaman
3-5 jam atau sampai terlihat adanya lapisan berwarna putih tebal pada sub-umbrella.
Kemudian payung dikeluarkan dari bak, bagian putih tebal tadi dibuang dengan
menggunakan pisau dengan hati-hati tanpa melukai payung. Lapisan tipis yang
meliputi exumbrella juga dibuang dengan hati-hati. Larutan bekas perendam
dibuang. Fase 2, payung yang telah dibersihkan dari lapisan tadi, disusun pada bak
yang lain dengan bagian sub–umbrella menghadap ke atas dan dibiarkan 3-4 hari.
Di antara tum-pukan, diselipkan campuran zat yang terdiri dari tawas 1200 gr dan
garam dapur 6000 gr. Larutan yang tetinggal pada bak masih dapat digunakan lagi.
Fase 3, pada fase ini cairan dari tubuh (pa-yung) sudah mulai berkurang. Setelah
kira-kira 50% dari cairan yang tereduksi, payung dipindahkan ke bak yang lain
yang telah diisi dengan campuran 600 gr tawas dan 800 gr garam dapur. Lamanya 3
hari (Manuputty,1988).

Fase 4, pada perkiraan cairan tubuh yang telah tereduksi sekitar 70%, payung
dipindahkan ke bak berikutnya dengan susunan seperti pada fase 3, kemudian
ditambahkan garam dan tawas dengan jumlah separuh dari jumlah yang digunakan
pada fase 3. Setelah 4 hari tepi payung kelihatan mulai terlipat. Kemudian diadakan
pencucian dengan meng-gunakan larutan garam dengan pH 4. Lipatan akan hilang
dan payung akan menjadi pipih dengan sendirinya tanpa mengalami kerusakan.
Jaringan lain seperti selaput tipis yang terjadi pada cekungan payung juga dibuang
dengan hati-hati. Kemudian payung yang telah pipih ini dicuci lagi dengan larutan
garam dengan pH 4. Fase 5, payung pipih disusun dalam bak berikutnya dan diberi
garam dapur 3000 gr. Setelah 3 hari, diberi perlakuan seperti fase 4. Fase 6, dalam
fase ini payung yang telah ber-bentuk lempengan disusun di dalam bak yang lain,
kemudian ditaburi garam dapur 2000 gr (juga di antara masing-masing la-pisan).
Kemudian diberi larutan garam dengan pH 4, diisi sampai 4/5 bak. Bagian atas bak
ditutup dengan lembaran politen dan diberi pemberat di atasnya, tujuannya untuk
menekan lempengan yang ada di ba-wah sehingga mengurangi cairan dari
lempe-ngan tersebut. Fase 7, lempengan dipindahkan ke dalam bak yang bersih.
Hasil akhir ini telah siap untuk dikemas, disimpan dan dipasarkan atau di ekspor.
Hasil ini setelah dibiarkan untuk jangka waktu 2 hari, dikemas dalam kantong
politen dengan jalan disusun, kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu. Bentuk
akhir berupa ubur-ubur kering seperti lempengan bundar (Manuputty,1988).

Proses pengolahan bagian lengan juga meliputi beberapa fase yaitu fase 1, pada
fase 1 lengan-lengan yang dikum-pulkan sejumlah 1500 buah ditampung di dalam
bak, diberi larutan yang terdiri dari 700 gr tawas dan 4000 gr garam dapur yang
dilarutkan dalam 400 liter air. Kemudi-an bagian atas diberi beban sehingga
sub-stansi lemak dan bahan lain yang terkandung bersama air akan keluar.
Kemudian diadakan pencucian dengan air tawar. Pada fase ke 2 lengan-lengan
tersebut diatur berlapis-lapis setebal 10-12 cm, dan kemudian diatas
masing-masing susunan di-taburkan campuran 2500 gr dapur dan sedi-kit tawas.
Kemudian didiamkan selama 24 jam dengan susunan tetap, baru sesudah itu diaduk
dan dibiarkan tercampur selama 3 hari (Manuputty,1988).

Fase ke 3 dan ke 4 prosesnya sama de-ngan fase 2, hanya sebelumnya


dipindahkan dulu ke bak yang lebih bersih. Fase ke 5, lengan-lengan tersebut
di-susun setebal 10 cm, diantara masing-masing susunan diberi garam dapur 1600
gr. Kemu-dian diberi larutan garam ber pH 4, sampai 4/5 bak, dibiarkan selama 6
hari. Fase ke 6 atau terakhir, lengan-lengan tadi di pindahkan ke dalam bak bersih,
di biarkan selama sehari, kemudian dikemas. Hasil akhir yang baik dari proses ini
bentuk-nya elastis, rata-rata beratnya berkisar antara 70 - 78 gr. Fungsi tawas untuk
membersihkan dan menghilangkan lendir yang membalut tubuh-nya. Tanda bahwa
ubur-ubur telah selesai diproses ialah telah kering dan apabila di-gigit terasa kenyal
dan sedikit renyah. Harga setelah selesai diolah tergantung dari ukuran, dan dibagi
dalam tiga kategori. Kategori 1, diameter 40 cm; kategori 2, 30 - 35 cm dan kategori
3, lebih kecil atau sama dengan 25 cm. Penyusutan dari tahap awal sampai siap
diproses dapat berkisar antara 3 - 20% tergantung perlakuan. Individu yang belum
dewasa dapat hancur jika diolah, biasanya ukuran ideal yaitu garis tengah 20 - 40
cm dengan berat 3 - 5 kg. Hampir diseluruh pesisir pantai pulau Jawa pada musin
tertentu diadakan penang-kapan ubur-ubur dalam jumlah besar (Manuputty,1988).

2.3. Penanganan Bulu Babi


Penanganan awal pada bulu babi adalah dengan cara pemberian jeruk nipis,
pengukusan, dan pengasapan. Pemberian jeruk nipis, prosedur penanganan mentah
pertama-tama saya peraskan jeruk nipis kedalam mangkok lalu diukur sebanyak 20
ml. Bersamaan dengan itu gonad landak laut (Sea urchin) di timbang sebanyak 200
gram. Kemudian dilakukan pencampuran antara gonad dan air jeruk nipis lalu
diaduk pelan-pelan hingga tercampur. Pengukusan, prosedur pengukusan gonad
landak laut (Sea urchin) dengan menyiapkan alat pengukusan. Kemudian dilakukan
pengukusan (suhu 1000C) Selanjutnya simpan gonad kedalam alat pengukus atau
piring dandang. Proses pengukusan dilakukan selama 30 menit pada suhu 100 0C
(Afrianto dan Liviawaty, 1989). Dan pengasapan, pengasapan dengan
menggunakan sabut kelapa. Kemudian simpan gonad landak laut (Sea urchin) di
atas alat pengasap. Pengasapan untuk gonad landak laut (Sea urchin) dilakukan
selama 1 jam pada suhu 20-30 0C (Sukreni dkk, 2018).

BAB 3
KESIMPULAN

1. Teripang mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan.


Teripang dapat diawetkan dengan melakukan beberapa penanganan yaitu
penanganan suhu kamar (27 – 31oC), penanganan suhu dingin (00 – 20C),
penanganan suhu beku.
2. Metode pengolahan ubur-ubur meliputi penarikan cairan tubuh dengan jalan
penggaraman secara bertahap dan berulang-ulang. Proses pengolahan dipisah
antara bagian payung tujuh fase dan bagian lengannya enam fase. Untuk
bagian payung, lima fase pertama adalah penggaraman, fase keenam
pengeringan dan ke tujuh adalah fase pengemasan dan penyimpanan.
3. Penanganan awal pada bulu babi adalah dengan cara pemberian jeruk nipis,
pengukusan, dan pengasapan.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta:


Penerbit Kanisius. 125 hlm.

Aziz, A. 1993. Beberapa Catatan tentang Perikanan Bulu Babi. Oseana Vol. 18 No.
2. Pusat Pengembangan Oseanologi. Indonesia – LIPI. Jakarta: Hal. 65-75.
CHIDAMBARAM, L. 1984. Export oriented processing of Indian jelly fish
(Muttai chori, TAMIL) by Indonesian method at Pondicherry region.
Mar. Fish. Infor. Serv. 60 : 11–13.

Faraouk, AE., Ghouse FAH, Ridzwan BH. 2007. New Bacterial Species Isolated
from Malaysian Sea Cucumbers with Optimized Secreted
AntibacterialActivity. American Journal of Biochemistry and
Biotechnology. 3 (2) : 60 – 65.

Manuputty, 1988. Ubur-ubur (Scyphomedusae) dan Cara Pengolahannya. Oseana,


Volume XIII, Nomor 2 : 49–61, 1988

Rajab, A.W. 2011. Reproduksi dan siklus bulu babi. Oseana,26(3):25– 36.

Saparinto, C. 2003. Binatang laut bulu babi dapat tekan kolesterol. Tersedia pada:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0303/01/ragam2.htm.

Subaldo, MC. 2011. Cleaning, Drying and Marketing Practices of Sea Cucumber
in Davao Del Sur, Phillippines. JPAIR Multidisciplinary Journal. Vol
6 : 117 – 126.

Sukreni, 2018. Pengaruh Metode Penanganan Awal yang Berbeda Terhadap


Kualitas Gonad Landak Laut (Diadema setosum). Jurnal Fish Protech.
1(1):17-25.

Thenu, 2013. Teripang dan Pemanfaatannya. Widya Iswara BPPP : Ambon.

Wibowo S, Yunizal, E. Setiabudi, M. D. Elina dan Tazwir, 1997. Teknologi


Penanganan dan Pengolahan teripang. Instalasi Penelitian Perikanan
Laut SLIPI. Balai Penelitian Perikanan Laut. Pusat Penelitian dan
Pengembanagn Perikanan Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai