Anda di halaman 1dari 6

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tanah
Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran)
mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu
sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel
padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong di
antara partikel-partikel padat tersebut. Tanah berguna sebagai bahan
bangunan pada berbagai macam pekerjaan teknik dan juga sebagai
pendukung pondasi dari bangunan.
Proses pembentukan tanah dimulai dari pelapukan sebuah batuan, baik
pelapukan secara fisik maupun pelapukan secara kimia. Karena proses ini,
batuan akan menjadi lunak dan mengalami perubahan komposisinya. Batuan
yang lapuk ini belum bisa dikatakan sebagai tanah, melainkan sebagai bahan
tanah (regolith) karena masih menunjukkan struktur batuan induk. Proses
pelapukan ini terus berlangsung hingga bahan induk tanah berubah menjadi
tanah sebenarnya. Proses pelapukan inilah yang menjadi awal terbentuknya
tanah. Sehingga faktor yang mendorong pelapukan juga turut berperan dalam
pembentukan tanah. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah iklim,
organisme, bahan induk dan topografi.
Akibat dinamika faktor-faktor tersebut maka terbentuklah berbagai jenis
tanah yang beragam dan dapat dilakukan klasifikasi tanah.
3.1.1 Klasifikasi Tanah
Sistem klasifikasi tanah dibuat dengan tujuan untuk memberikan
informasi karakteristik dan sifat fisik tanah. Karena sifat dan perilaku tanah
yang begitu beragam, sistem klasifikasi mengelompokkan tanah kedalam
kategori yang umum dimana tanah memiliki kesamaan sifat fisik. Terdapat
dua sistem klasifikasi tanah yang sering diguanakan yaitu Unified Soil
Classification System (USCS) dan American of State Highway and
Transportation Officials (AASHTO). Sistem-sistem ini menggunakan sifat-
sifat indeks yang sederhana, seperti distribusi ukuran butiran, batas cair, dan
index plastisitas.
3.1.1.1 Sistem Klasifikasi AASHTO
Pada sistem ini tanah diklasifikasikan ke dalam tujuh kelompok besar, A-
1 sampai dengan A-7 merupakan sub-sub kelompok. Tanah-tanah dalam tiap
kelompoknya dievaluasi terhadap indeks kelompoknya yang dihitung dengan
rumus-rumus empiris. Pengujian yang digunakan adalah analisis saringan dan
batas-batas Atterberg.
3.1.1.2 Sistem Klasifikasi Unified
Sistem ini mengelompokkan tanah kedalam dua kelompok besar yaitu :
1. Tanah berbutir kasar (coarse-grained-soil), yaitu : tanah kerikil dan pasir
dimana kurang dari 50% berat total contoh tanah lolos ayakan no.200, 2.
Tanah berbutir halus (fine-grained-soil), yaitu tanah dimana lebih dari 50%
berat total contoh tanah lolos ayakan no.200.
3.1.2 Batas-batas Atterberg
Batas Atterberg dikenalkan oleh Albert Atterberg pada tahun 1991 dengan
maksud untuk mengklasifikasikan tanah berbutir halus serta memastikan
karakter indeks properti tanah. Batas Atterberg mencakup batas cair, batas
plastis serta batas susut.
Tanah yang berbutir halus umumnya mempunyai karakter plastis. Karakter
plastis itu adalah kekuatan tanah seuaikan pergantian bentuk tanah sesudah
bercanpur dengan air pada voume yang ditetapkan. Tanah tersebut dapat
berupa cair, plastis, semi padat atau padat tergantung jumlah air yang
bercampur pada tanah tersebut.
3.1.2.1 Batas Cair (Liquid Limit)
Batas cair (LL) adalah kadar air tertentu dimana perilaku tanah berubah
dari kondisi plastis ke cair, pada kadar air tersebut tanah mempunyai kuat
geser terendah.
3.1.2.2 Batas Plastis (Plastic Limit)
Batas plastis (PL) adalah kadar air terendah dimana tanah mulai bersifat
plastis. Dalam hal ini sifat plastis ditentukan berdasarkan kondisi dimana
tanah yang digulung oleh telapak tangan diatas kaca mulai retak setelah
mencapai 1/8 inch.
3.1.2.3 Indeks Plastisitas (Plasticity Index)
Indeks Plastisitas merupakan selisih antara batas cair dan batas plastis,
daerah diantaranya disebut daerah plastis, atau:
PI = LL - PL (1)

3.1.3 Kohesi Tanah


Kohesi adalah gaya tarik menarik antara partikel tanah, yang dinyatakan
dalam satuan berat per satuan luas. Kohesi tanah akan semakin besar jika
kekuatan gesernya makin besar. Nilai Kohesi (c) diperoleh dari pengujian di
laboratorium yaitu pengujuan Batas Atterberg, dengan menggunakan
persamaan,
c= 0,105+0,008 (IP)+0,009 (LL) (2)
c= 0,105+0,017 (IP)+0,009 (PL) (3)

Salah satu aspek yang mempengaruhi nilai kohesi adalah kerapatan dan jarak
antar molekul dalam suatu benda. Kohesi berbanding lurus dengan kerapatan
suatu benda, sehingga bila kerapatan semakin besar maka kohesi yang
didapatkan semakin besar. Dalam hal ini, benda yang berbentuk padat
memiliki kohesi yang paling besar dan sebaliknya pada cairan

3.1.4 Sudut Geser Dalam


Sudut geser dalam merupakan sudut yang dibentuk dari hubungan antara
tegangan normal dan tegangan geser di dalam material tanah atau batuan.
Sudut geser dalam adalah sudut rekahan yang dibentuk jika suatu material
dikenai tegangan atau gaya terhadapnya yang melebihi tegangan gesernya.
Semakin besar sudut geser dalam suatu material maka material tersebut akan
lebih tahan menerima tegangan luar yang dikenakan terhadapnya. Nilai sudut
geser dalam (Ø) diperoleh dari hasil pengujian laboratorium yaitu pengujian
Batas Atterberg, menggunakan persamaan,
Ø = 3,857 - 1,487 (PI) + 0,064 (LL) (4)
Ø = 3,857 - 1,415 (PI) + 0,064 (PL) (5)

3.2 Longsoran
Longsor adalah suatu pergerakan tanah dari atas ke bawah pada
ketinggian tertentu. Pada umumnya suatu longsor mempunyai bidang
kelongsoran, dan pada umumnya terdapat dua macam bentuk bidang longsor,
yaitu: 1.Bidang Longsor Berbentuk Datar ; 2.Bidang Longsor berbentuk
Lingkaran.
Menurut Varnes (1978), dan Hansen (1984) longsoran (landslide) dapat
diklasifikasikan menjadi:Jatuhan (Fall), Longsoran gelinciran (Slides), Aliran
(Flow), Longsoran majemuk (Complex landslide).
Faktor-faktor penyebab Longsor dapat dikategorikan sebagai berikut :
Perubahan lereng suatu tebing, perubahan tinggi suatu tebing, peningkatan
beban permukaan, perubahan kadar air, aliran air tanah, pengaruh getaran,
penggundulan daerah tebing, pengaruh pelapukan secara teknis dan kimia.

3.3 Lereng
Lereng merupakan suatu kondisi permukaan tanah dimana terdapat
perbedaan elevasi antara satu daerah dengan daerah yang lain dan membentuk
kemiringan tertentu (Das, 1995). Sedangkan menurut Hidayah dan Gratia
(2007), lereng didefenisikan sebagai suatu permukaan tanah yang membentuk
sudut tertentu terhadap bidang horizontal sehingga berbentuk bidang miring.
Lereng dapat terbentuk secara alamiah karena proses geologi atau karena
dibuat oleh manusia. Lereng yang terbentuk secara alamiah misalnya lereng
bukit dan tebing sungai, sedangkan lereng buatan manusia antara lain yaitu
galian dan timbunan untuk membuat jalan raya, jalan kereta api, bendungan,
tanggul sungai dan kanal serta tambang terbuka.
3.3.1 Lereng Alam
Lereng alam (natural slope) adalah lereng yang terbentuk karena
fenomena alam yang terjadi akibat dari proses geologi. Dalam konteks
perencanaan teknik jalan, lereng alam sering dijumpai pada kawasan dengan
topografi berbukit dan pegunungan, dimana posisi badan jalan berada pada
elevasi tanah asli (existing ground) berada pada sisi sebuah bukit, atau elevasi
badan jalan berada pada lereng bukit yang sebagian digali/dipotong untuk
posisi badan jalan. Dikatakan lereng alam apabila tidak ada perlakuan dan
atau penanganan terhadap lereng tersebut, baik berupa perubahan kemiringan
atau penambahan dengan suatu konstruksi tertentu, sehingga kestabilan dan
kemantapan dari lereng alam tersebut benar-benar mengandalkan kestabilan
internal yang terbentuk akibat sifat, karakterisitk, dan struktur tanah serta
bentuk alaminya.
3.3.2 Lereng Buatan
Lereng buatan (man made slope) adalah lereng yang terjadi akibat
terbentuknya daerah galian dan atau daerah timbunan pada proses
perencanaan geometrik jalan. Lereng buatan dapat berbentuk lereng buatan
dengan penanganan konstruksi, baik struktur maupun non struktur, atau
lereng buatan tanpa penanganan konstruksi yaitu lereng yang hanya
mengandalkan kemiringan dan tinggi kritis berdasarkan karakteristik tanah
pembentuk lereng tersebut.
3.3.3 Kestabilan Lereng
Masalah kestabilan lereng di dalam suatu pekerjaan yang melibatkan
kegiatan maupun penimbunan merupakan masalah penting, karena ini
merupakan masalah keselamatan manusia, peralatan, dan bangunan yang ada
di sekitar lereng tersebut. Dalam pekerjan penambangan di dalam
penambangan terbuka, lereng yang tidak aman akan mengganggu kelancaran
produksi. Di alam tanah maupun batuan umumnya berada dalam setimbangan
(equilibrium), artinya keadaan distribusi tegangan pada tanah atau batuan
tersebut dalam keadaan mantap. Apabila tanah ataupun batuan tesebut di
kenakan suatu kegiatan seperti, penggalian, penurunan, penimbunan,
pengangkutan, erosi atau aktivitas lain yang membuat terganggunya
kesetimbangan, tanah ataupun batuan tersebut akan berusaha mencapai
kesetimbangan baru dengan cara pengurangan beban terutama dalam bentuk
longsoran.
Untuk menganalisis longsoran perlu terlebih dahulu mengetahui sistem
tegangan yang bekerja pada batuan atau tanah serta sifat fisik mekanika dari
tanah dan batuan tersebut. Tegangan batuan di dalam massa alamiahnya
adalah tegangan horizontal, tegangan vertikal dan tekanan pori air.
Sedangakan sifat mekanik yang mempengaruhui kestabilan atau lereng adalah
kohesi, sudut geser dalam, dan bobot isi. Secara prinsipnya, pada suatu lereng
berlaku dua macam gaya, yaitu : gaya yang membuat massa batuan bergerak
(gaya penggerak) dan gaya yang menahan massa batuan tersebut (gaya
penahan). Suatu lereng akan longsor jika gaya penggeraknya lebih besar dari
penahannya. Secara matematis kestabilan lereng dapat dinyatakan dalam
bentuk faktor keamanan (Fk) di mana :

𝐺𝑎𝑦𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑎ℎ𝑎𝑛
Fk = 𝐺𝑎𝑦𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑔𝑒𝑟𝑎𝑘 (6)

Fk > 1, lereng di anggap stabil


Fk < 1, lereng dianggap tidak stabil
Fk = 1, lereng dalam keadaan setimbang

3.4 Rocscience Slide 6.0

Anda mungkin juga menyukai