Anda di halaman 1dari 19

TEORI KEBIJAKAN DAN


PEMBANGUNAN

GENDER DAN PEMBANGUNAN


Kelompok 5 :
1. Muh Tawakkal (1822098)
2. Ashar (1822089)
3. Vianda Fherani (1822091)
4. Sufiati (1822118)

STISIP MUHAMMADIYAH SINJAI


TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur atas kehadirat allah SWT, yang telah melimpahkan
berkat, rahmat dan karuniah-nya. Sehingga dapat terseleaikannya penyusunan makalah ini yang
mengenai“gender dan pembangunan”.

Tak lupa pula kita kirimkan salam serta sholawat atas junjungan kita baginda nabi Muhammad SAW,
yang telah membawah kita dari alam kegelapan menu alam yang terang benderang seperti sekarang ini.

Adapun penyusunan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas dari mata kuliah teori kebijakan dan
pembangunan. Makalah ini disusun dari suntingan naskah dari berbagai sumber internet. Disamping saya juga
tentu mendapat bantuan dari berbagai pihak lainnya, Oleh karena itu, izinkan pada kesempatan ini, penyusun
mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah teori kebijakan dan pembangunan, yang telah memberikan
bimbingan dan arahan hingga makalah ini dapat terselesaikan.

Dengan segenap kekurangan yang saya miliki, saya mohon maaf jika nasih ada kesalahan penulisan baik
dari segi ejaan maupun hal lain yang kurang pantas untuk diambil sebagai sampel dan contoh. Harapan saya
semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan referensi

Senin, 21 oktober 2019


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………..

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………….

BAB I

PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………….

 LATAR BELAKANG …………………………………………………………………………………


 RUMUSAN MASALAH………………………………………………………………………………

BAB II

PEMBAHASAN……………………………………………………………………………………….

BAB III

PENUTUP………………………………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembangunan merupakan isu penting yang tidak pernah berhenti dibahas baik di Negara terbelakang,
Negara berkembang, sampai dengan Negara maju. Walaupun konteks yang dibicarakan dan cara yang
digunakan mereka berbeda-beda, akan tetapi pada dasarnya tujuan yang diharapkan semua sama, yakni
membawa negaranya masing-masing dari keadaan sebenarnya saat ini menuju keadaan normatif yang
dianggap lebih baik. Hal ini seperti pendapat Kantz (1971) [1], pembangunan merupakan suatu proses
perubahan pokok pada masyarakat dari suatu keadaan nasional tertentu menuju ke keadaan lain yang
dianggap lebih bernilai.

Dalam hal pembangunan sering sekali dibahas mengenai persamaan gender dalam pembangunan,
dimana fokus utama yang dimaksudkan adalah bagaimana melibatkan perempuan di dalam pembangunan
seagaimana laki-laki. Permasalahan ini menurut kaum feminis disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber
daya manusia perempuan itu sendiri[2], tentu saja rendahnya sumber daya ini juga karena kurang
terbukanya akses perempuan dalam hal perbaikan sumber daya, hal ini menyebabkan kaum perempuan
tidak dapat bersaing dengan kaum laki-laki di dalam pembangunan.

Dengan adanya banyak fenomena yang muncul terkait dengan masalah gender dan munculnya dua
kubu yang sangat menghendaki adanya persamaan dan keadilan gender, untuk titik ekstrim disebut sebagai
kaum feminis, dan kaum yang berkehendak untuk tetap membedakan gender antara laki-laki dengan
perempuan, untuk titik ekstrim mereka disebut sebagai kaum anti-feminisme, maka penyusun akan
membahas lebih mendalam permasalahan gender tersebut dalam paper ini. Akan tetapi, pembahasan
tersebut akan dikaitkan dengan pembangunan Negara karena bagaimanapun juga pembangunan adalah isu
kenegaraan yang sangat penting dan tidak akan pernah ada hentinya.

Pembangunan negara dilakukan oleh semua warga negara tanpa terkecuali. Akan tetapi, sampai saat
ini masih dirasakan adanya ketidakseimbangan pembagian peran dalam pembangunan negara tersebut,
dalam hal ini adalah pembagia peran antara laki-laki dengan peran perempuan. Banyak beranggapan bahwa
wanita terlalu diberi porsi yang sangat kecil dan termarginalkan karena kemampuannya cenderung untuk
diragukan.

Secara lebih rinci, di dalam paper ini akan dibahas beberapa hal mengenai gender dan kaitannya
dengan pembangunan, yakni pengertian gender, perbedaan gender: (bagi laki-laki dan perempuan),
implikasi perbedaan gender pada perempuan, hubungan gender dengan pembangunan, permasalahan gender
dalam pembangunan, serta solusi pemecahan masalah gender dalam pembangunan.

Selama ini kebanyakan orang menyamaartikan antara gender dengan jenis kelamin. Hal itu
sebenarnya keliru karena pada dasarnya gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Oleh karena itu, dalam
paper ini penyusun juga akan berusaha meluruskan kekeliruan tersebut dengan membahas perbedaan dari
gender dan jenis kelamin.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gender dan Perbedaannya dengan sex

Istilah “gender” dikemukakan oleh para ilmuwan sosial dengan maksud untuk menjelaskan perbedaan
perempuan dan laki-laki yang mempunyai sifat dasar yang diciptakan dan berasal dari Tuhan, dan bentukan
budaya (konstruksi sosial). Seringkali orang mencampur-adukkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati
(tidak berubah) dengan yang bersifat non-kodrati (gender) yang bisa berubah dan diubah. Perbedaan peran
gender ini juga menjadikan orang berpikir kembali tentang pembagian peran yang dianggap telah melekat,
baik pada perempuan maupun laki-laki.

Istilah Gender pertama kali di perkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian
manusia yang didasari pada pendifinisian yang bersifat sosial budaya dengan ciri-ciri fisik biologis. Gender
disini yaitu membrikan batasan dan membedakan laki-laki dan perempuan dari ciri-ciri fisik dan biologisnya
dengan laki-laki dan perempuan dari aspek kaitannya dengan sosial budaya.

Dalam sejarah ilmu sosial tokoh yang paling berjasa dalam mengembangka istilah dan pengertian Gender
adalah Ann Oakley (1972) yang mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenanakan
pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. Sedangkan, Menurut BKKBN (Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional):2007 Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung- jawab antara
laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan
perkembangan jaman.

Jadi secara singkat, Gender itu adalah perbedaan mengenai fungsi dan peran sosial laki-laki dan
perempuan yang dibentuk oleh lingkungan tempat kita berada. Gender lebih berkaitan dengan anggapan dan
kebiasaan yang berlaku di suatu tempat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan dianggap sesuai atau
tidak sesuai (tidak lumrah) dengan tata nilai sosial dan budaya setempat. Dengan demikian, Gender dapat
berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya dan dapat berubah dari waktu ke waktu.

Masih banyak terjadi ketidakjelasan batasan antara gender dan kodrat, sebagai contoh apabila perempuan
mengerjakan pekerjaan yang dianggap merupakan pekerjaan laki-laki, maka dianggap menyalahi ‘kodrat’.
Sebenarnya, hal seperti itu kurang tepat karena yang dimaksud kodrat itu sendiri merupakan sifat biologis
yang berasal dari Tuhan, bukan hasil bentukan sosial dari lingkungan seperti halnya pekerjaan. Kodrat
sifatnya tetap dan tidak bisa berubah-ubah, wanita kodratnya melahirkan, mempunyai rahim, dan perbedaan
fisik biologis lainya yang sudah menjadi ciri seorang wanita, dan laki-laki kodratnya mempunyai jakun, dan
sebagainya, adapun kemampuan untuk melaukan suatu pekerjan, hak memilih pekerjaan, tempat dan jenis
pekerjaan itu berkaitan dengan gender.

Ketidakjelasan batasan makna atas istilah gender tersebut telah mengakibatkan perjuangan gender
menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja datang dari kaum laki-laki yang merasa terancam “hegemoni
kekuasaannya” tapi juga datang dari kaum perempuan sendiri yang tidak paham akan apa yang
sesungguhnya dipermasalahkan oleh perjuangan gender itu.

Jadi pada intinya gender itu membahas tentang persamaan & perbedaan peran antara laki-laki dan
perempuan. Karena itu, gender berbicara dalam lingkup tataran kehidupan sosial budaya masyarakat atau
pada lingkungan sosial.

Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.[3]Dalam sebuah literature disebutkan bahwa:Gender
adalah seperangkat peran yang, seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain
bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Peragkat perilaku khusus ini –yang mencakup penampilan,
pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga
dan sebagainya- secara bersama-sama memoles “peran gender” kita.[4]

Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa gender adalah pembagian peran sosial dalam satu lingkup
masyarakat tertentu berdasarkan persepsi yang berlaku dalam lingkup tersebut. Atau secara sederhana gender
juga dapat diartikan pembagian peran dan tingkah laku (feminin dan maskulin) berdasarkan nilai yang
berlaku dalam suatu masyarakat.

Sedangkan yang dimaksud dengan sex atau jenis kelamin adalah pembagian manusia berdasarkan ciri-ciri
fisik dengan fungsi bioogis yang dimilikinya. Ciri-ciri tersebut seperti kumis, jenggot, penis, dan suara yang
besar bagi laki-laki dan payudara, vagina, dan suara yang kecil bagi perempuan.Untuk lebih memperjelas

No Aspek Gender Jenis Kelamin

1. Dasar Konstruksi sosial Takdir

2. Pencirian Persepsi kultur Biologis

3. Status yang dibentuk Feminin, maskulin Perempuan, laki-laki

4. Jangkauan Kelompok sosial tertentu Universal, seluruh dunia


perbedaan antara gender dan jenis kelamin, berikut ini adalah tabel perbedaan antara gender dan jenis
kelamin:

Tabel mengacu pada pendapat Bambang Sunaryo[5] dan presentasi Greety R. Sumayku.[6]

B. Perbedaan Gender Antara Laki-laki dan Perempuan

Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa gender tidaklah sama dengan jenis kelamin. Jeinis kelamin lebih
bersifat kodrati sedangkan gender lebih memfokuskan pada pembagian peranan dimana suatu peran
cenderung bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan suatu masyarkat. Akan tetapi walaupun keduaya
adalah dua hal yang berbeda namun gender dan jenis kelamin mempunyai suatu hubungan yang tidak dapat
dipisahkan. Gender mempunyai fokus pada pembagian peranan berdasarkan jenis kelamin sehingga munculah
peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang dalam hal ini muncul porsi peranan dua jenis
kelamin yang berbeda atau ketimpangan gender.

Perbedaan peranan sosial antara dua jenis kelamin ini mulai dibentuk sejak dini oleh dua faktor penentu.
Pertama adalah dari diri masing-masing individu yang berdasar jenis kelamin yaitu perbedaan kadar
hormonal. Perbedaan hormonal merupakan bawaan sejak lahir dan akan nampak dengan sendirinya. Sebagai
contoh pada laki-laki cenderung bersifat keras, kasar, macho, melindungi, sedangkan pada perempuan lebih
feminin seperti lemah lembut, penyayang, lebih pasif, juga penuh rasa iba. Kedua yaitu faktor lingkungan.
Pengaruh lingkungan dapat menyebabkan penetapan sifat-sifat khas tersebut atau sebaliknya malah
menghilangkannya. Misal seorang anak perempuan yang sejak kecil bergaul dengan kelompok anak laki-laki
di kompleksnya, hingga ia tumbuh besar menjadi seorang yang tomboi.

Terdapat empat macam perbedaan peran gender antara perempuan dan laki-laki menurut Linda
Sudiono[7], yaitu:

1. Pekerjaan. Laki-laki dianggap merupakan pekerja yang produktif, sedangkan perempuan lebih bersifat
reproduktif. Produktif disini mengandung arti lebih memberikan nilai tambah suatu barang, erat kaitanya
dengan pekerjaan yang membutuhkan kerja keras, sedangkan reproduktif berarti kelangsungan atau
pengelolaan suatu produksi. Contohnya perempuan yang bekerja sebagai kuli pecah batu dianggap tabu
karena biasanya pekerjaan tersebut dilakoni para laki-laki.

2. Wilayah kerja. Laki-laki dianggap sebagai pekerja publik, sedangkan perempuan lebih kepada sektor
domestik. Biasanya orang mengartikan seorang perempuan wilayah kerjanya di dapur, sumur, kasur.

3. Status. Laki-laki dianggap mempunyai status yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini
dikarenakan laki-laki dianggap sebagai aktor utama, berbeda dengan perempuan yang dianggap sebagai
aktor tambahan.

4. Sifat. laki-laki erat kaitannya dengan maskulin seperti kuat, gagah, berani, tegas, sedangkan perempuan
kaitannya dengan feminin seperti lemah lembut, penyayang, juga anggun.

Dalam konteks gender, terdapat tiga teori yang melihat perbedaan gender tersebut. Masing-masing teori
mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam melihat perbedaan gender, yaitu

 Feminisme Kultural

Pada teori ini memusatkan pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat secara kultural, atau
bagaimana perempuan berbeda dari laki-laki. Teori ini memandang perbedaan gender berdasarkan karakter
dari jenis kelamin. Misalnya saja pada laki-laki lebih bersifat maskulin sedangkan perempuan lebih ke
feminin.

 Peran Institusional

Teori ini mengemukakan bahwa perbedaan gender berasal dari perbedaan peran antara laki-laki dan
perempuan dalam berbagai latar institusional. Dalam teori ini yang paling menentukan adalah pembagian
kerja berdasarkan jenis kelamin. Seperti diketahui kebanyakan laki-laki diasumsikan sebagai pekerja kasar,
sedangkan perempuan biasanya berada di lingkungan rumah tangga.

 Analisis Eksistensial dan Fenomenologis

Dalam teori ini perempuan dianggap sebagai objek sedangkan laki-laki sebagai subjek, atau laki-laki
dijadikan sebagai aktor utama sedangkan perempuan aktor tambahan, sehingga muncullah perbedaan gender
diantara keduanya. Teori ini lebih memarginalkan perempuan sehingga derajatnya lebih rendah daripada laki-
laki. Helene dan Irigaray mengungkapkan bahwa pembebasan perempuan sebagai orang kedua akan datang
apabila mereka sanggup mengembangkan kesadaran dan kebudayaan yang unik dalam diri mereka.

 Implikasi Perbedaan Gender pada Wanita


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bagaimana perbedaan gender dengan sex (jenis kelamin), letak
sudut pandang yang sangat memegang peran, ketika berbicara gender maka akan menghadirkan proses sosial
ataupun kultural yang berlaku sedangkan jenis kelamin merupakan kodrat tuhan yang didapat dari mulai lahir
dalam bentuk ciri biologis. Ketika jenis kelamin berbeda, maka antara laki – laki dengan perempuan
kemudian akan mengakibatkan perbedaan sikap dan peran yang disebut sebagai perbedaan gender.

Perbedaan gender hadir karena banyak faktor, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan
dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara[9]. Perbedaan ini dalam
masyarakat tidak terlalu diperhatikan sepanjang perbedaan tersebut tidak menimbulkan diskriminasi. Akan
tetapi, pada kenyataannya perbedaan gender yang berkembang pada saat ini melahirkan banyak
permasalahan. Permasalahan paling utama yang ditimbulkan yaitu mengakibatkan ketidakadilan gender
(gender inequalities). Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, mulai
dari marjinalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,
pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih banyak
(burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.[10]

Marjinalisasi di sini diartikan sebagai suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang
mengakibatkan kemiskinan.[11] Marjinalisasi memberikan batasan kepada perempuan dengan adanya
peminggiran peran perempuan sehingga perempuan tidak lagi bisa berbuat banyak dan beraktifitas ataupun
berperan penting pada bagian masalah atau urusan tertentu. Sebagai contoh, adanya peraturan adat bahwa
anak perempuan tidak berhak mendapatkan warisan, sehingga menimbulkan ketidakadilan dalam urusan
pembagian harta.

Subordinasi berarti suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis
kelamin lebih rendah dari yang lain.[12] Kaum perempuan yang telah terkena penilaian atau anggapan tidak
memiliki hak yang sama dengan laki-laki membuat perempuan selalu memiliki kasta lebih rendah dari laki-
laki, baik disisi pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain, sedangkan laki-laki lebih diutamakan dalam hal
menuntut ilmu, pekerjaan, pembagian peran, dan lain sebagainya.

Permasalahan lain adalah pemberian stereotipe terhadap kaum wanita. Sterotipe berarti pemberian citra
baku atau label/tanda kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau
sesat.[13] Ketika citra buruk yang dibuat oleh masyarakat tentang perempuan hadir, maka sering label
tersebut memberikan dampak buruk terhadap para perempuan. Dampak tersebut separti keyakinan bahwa
faktor pendorong terjadinya pemerkosaan karena memang sikap perempuan yang memancing kaum pria,
tidak ada dukungan untuk si perempuan sebagai korban justru tekanan karena diberi label memancing hasrat
laki-laki. Contoh lain adalah peran perempuan sebagai istri hanya sebagai pelayan suami, jadi cukup di rumah
saja.

Kemudian kekerasan (violence), artinya serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang.[14] Kekerasan yang dialami wanita dapat berbentuk fisik maupun psikis. Pada
umumnya kekerasan yang dimaksud adalah kekerasan fisik. Padahal pada kenyataannya, baik kekerasan fisik
maupun kekerasan mental tersebut sebenarnya sama-sama berbahaya karena kekerasan secara fisik akan
menimbulkan sakit atau di tubuh yang juga membekas secara mental, sedangkan kekerasan psikis akan selalu
memberikan bayangan buruk pada seseorang hingga tidak berani melakukan apapun.

Ketidakadilan yang sangat umum terjadi namun kurang begitu disadari adalah beban ganda (double
burden). Artinya, beban pekerjaan yang diterima oleh satu pemeran gender dengan yang lain memiliki porsi
lebih banyak dan tida seimbang.[15] Ketidakadilan gender dalam bentuk peran ganda ini berlaku ketika
seorang wanita bekerja dan memiliki karir tertentu. Perempuan yang memiliki peran karir atau kerja juga
diwajibkan mengurus rumah, bila tidak maka dipandang tidak wajar, sehingga peran mereka menjadi ganda.
Hal tersebut tentu saja memberikan dampak memberatkan bagi pihak wanita yang terkadang hal tersebut juga
menekan pikiran pihak perempuan.

Hal yag berlaku dalam mayarakatn masyarakat, meskipun perbedaan gender sudah dianggap sebagai hal
yang wajar, tetapi terkadang tetap saja memberi kerugian kepada satu pihak tertentu. Contoh yang sering
terjadi adalah bahwa perempuan selalu dianggap cengeng, emosional, perempuan tempatnya didapur, lemah,
dan oleh sebab itu sering terjadi kekerasan terhadap perempuan terutama di dalam lingkungan rumah tangga.
Jika perempuan bekerja, maka itu ditujukan hanya untuk mencari nafkah tambahan, karena laki – laki
dipandang sebagai pencari nafkah utama. Debgan demikian terjadilah penanggunganganda sekaligus, yakni
beban bekerja dan beban urusan rumah tangga. Perempuan memikul beban berlipat, meski mereka bekerja
disektor publik, tetapi pekerjaan mereka dalam keseharian tidak berkurang, inilah yang menyebabkan beban
ganda pada perempuan. Perempuan juga sering kali menjadi objek ‘keisengan’ lelaki hidung belang, sehingga
tak jarang terjadi pelecehan seksual terhadap perempuan.

D. Hubungan Gender dengan Pembangunan

1. Isu gender dalam pembangunan

Walaupun mencuatnya isu gender lebih disebabkan kerena gertakan dari kaum feminisme, namun
pembangunan tetaplah hal yang universal. Oleh karena itu, bila tuntutan tersebut hanya mengacu pada
substansi perempuan, maka akan menjadi pertanyaan balik bagi kaum laki-laki, kaum laki-laki akan
menuntut hal yang sama. Oleh karena itu, maka gender merupakan suatu hal yang harus dipandang secara
keseluruhan dalam pembangunan[16].

Apabila dibayangkan, hubungan antara gender dengan pembangunan terasa masih membingungkan.
Padahal, bagaimanapun metode dan konsep pembangunan pasti akan diikuti atau berpengaruh pada
kehidupan baik spesifik pada laki-laki, perempuan, atau keduanya. Oleh karena itu, pembahasan gender
dengan pembangunan bukanlah hal yang dapat diapresiasi dengan sikap skeptis. Isu gender merupakan
suatu isu yang menuntut keadilan konstruksi sosial maupun kultural antara kaum laki-laki dengan
perempuan. Dalam tuntutan konstruksi ini, keseimbangan fungsi, status, dan hakekat antar jenis kelamin
diharapkan dapat direalisasikan. Sebaliknya, pembangunan merupakan suatu konstruksi perubahan yang
terjadi di masyarakat dari kondisi sosio-kultural tertentu menuju ke arah sesuatu yang dianggap lebih
bernilai[17]. Selain itu dapat juga diartikan sebagai usaha pengentasan keterbelakangan. Oleh karena itu
semua, gender dan pembangunan adalah suatu korelasi timbal balik antara satu dengan yang lain.

Kesejahteraan merupakan tujuan utama dari adanya pembangunan. Substansi dari kesejahteraan salah
satunya dengan adanya keadilan. keadilan sendiri bukanlah hal yang dapat dengan mudah diperhitungkan
secara matematis. Keadilan dalam ekonomi belum dapat dikatakan sebagai kesimpulan keadilan,
melainkan baru sebatas substansi keadilan. Untuk itu, aspek manusia tidak dapat diabaikan, karena sudah
hakekat manusia sebagai homo politicus. Lantas, pertanyaan yang muncul adalah tentang bagaimana cara
pembenahan bila dari segi manusia dalam bersosial tidak ada kesejahteraan?. Mencoba mendalami isu ini,
maka muncul pertanyaan baru, yakni apakah pembangunan yang tujuan utamanya untuk mencapai
kesejahteraan mengabaikan atau hanya sekilas mengintip masalah gender?. Inilah yang selalu
dipertanyakan dan dituntut oleh para aktivis gender, khususnya kaum feminisme.

Melihat fakta yang ada selama ini ada, memang dapat dirasakan bahwa pembangunan yang dilakukan
hanyalah mekanisme yang dilakukan oleh pihak kapitalis. Kesejahteraan yang menjadi tujuan utama dari
pembangunan dirubah menjadi unsur pembangunan. Pembangunan sampai dewasa ini lebih meningkatkan
dari segi infrastruktur dan ekonomi. Sektor keseimbangan dalam hal ini gender kurang diperhatikan. Hal
ini disebabkan bahwa terdapat suatu penyimpangan dalam konsep pembangunan. Pembangunan yang
terjadi hanya sedikit yang berlandaskan untuk kesejahteraan dan kebanyakan pembangunan akan tersus
digencarkan guna mengikuti dan menyamai perkembangan zaman oleh bangsa-bangsa dunia ketiga kepada
bangsa-bangsa maju. Mungkin, logika seperti ini dapat menjadi salah satu kritik atas pembangunan pada
dunia ketiga.

2. Bias Gender dalam partisipasi pembangunan


Tindakan yang bersinggungan pada orang lain adalah partisipasi. Sedemikian sederhana inti dari
partisipasi. Namun demikian, hal tersebut akan bertambah rumit dan kompleks bila sudah tercampur
urusan serba politik. Gambaran politik di sini bukan dipandang dari sudut tata pemerintahan dan
kenegaraan, melainkan lebih pada wacana mengenai kekuasaan, kewenangan, dan pengaruh. Gender
sebagaimana realita di lapangan, terlintas bayangan gelap atas diskriminasi. Diskriminasi gender dalam
partisipasi lebih banyak dirasakan oleh kam feminis.

Terdapat banyak perdebatan gender mengenai siapa yang salah dan siapa yang menjadi kawan atau
lawan dalam hal partisipasi pembangunan. Pertama adalah pendapat feminisme liberalis, mereka
menganggap bahwa partisipasi dalam pembangunan seharusnya mengikuti pada konsep struktur
fungsionalisme. Para kaum liberalis menganggap bahwa dalam pembangunan harus ada keharmonisan dan
saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Jadi, dari kacamata feminisme liberalis partisipasi
pembangunan seharusnya dan sudah memakai aturan yang sedemikian rupa. Apabila ia merasa
terdiskriminasikan maka itu merupakan kesalahan yang ia lakukan sendiri. Artinya, adanya partisipasi
adalah hasil dari kemauan dari seorang partisipan sendiri, bukan dari pihak lain yang menyuruh atau
menghalangi berpartisipasi.[18]

Pendapat kedua bersal dari Feminisme Radikalis. Kaum ini tersirat hanya berfikir pragmatis dalam
menghadapi suatu masalah. Terbukti dalam melihat partisipasi dalam pembangunan yang mana
kebanyakan kaum perempuan (feminis) lebih banyak terpinggirkan, semua kesalahan dan penyebab
diletakan pada faktor seks. Kesalahan mutlak dibebankan pada laki-laki. Oleh karena itu, prinsip yang
mereka ajukan dalam berpartisipasi pembangunan adalah dengan menghancurkan hegemoni patriokal.

Setelah radikalis, muncul aliran baru yang mana pendapat ini lebih banyak diterima yakni feminisme
sosialis. Mereka memang secara sadar juga meletakan faktor hegemoni patriokal sebagai suatu penyebab
yang mana dikawinkan dengan analisi kelas dari teori marxis[19]. Menyinggung kembali mengenai
hegemoni patriokal, dalam pandangan sosialis memang hal tersebut sepatutnya diredam. Namn demikian
tidak secara ekstrim seperti radikalis, sosialis lebih menuntut pada mekanisme struktur yang mna
seharsnya ada suat keterbukaan yang harus disediakan bagi kaum feminis. Terlebih konsep struktur yang
mereka ambil dari paham marxisme, yakni suatu dominasi kapitalis sebaiknya tidak ada dan yang ada
adalah suatu hidup bersama tanpa ada dominasi.

Lantas, dilain pihak bagaiman dengan kam masklinisme?. Secara posisi mereka lebih diuntungkan dari
pada pihak perempuan. Banyak dan mudah mereka menembus mekanisme pembangunan. Namun
demikian, secara tersirat ada suatu beban yang terus membayanginya. Beban tersebut dirasa ketika mereka
ditntut untuk dapat produktif demi memenhi kebutuhan hidup. Perasaan itu muncul ketika ia tertekan
bahwa seharusnya kaum merekalah yang harus bekerja untuk mencari nafkah dari pada kaum perempuan.
Oleh karena itu, diskriminasi gender merupakan hal yang merugikan kedua belah pihak, baik laki-laki
maupn perempuan. Demikianlah pendapat mengenai konsep partisipasi yang harus dibedayakan gender
dalam pembangunan dan masih banyak pendapat lain diluar sana mengenai konteks gender dan
pembangunan.

Lalu, partisipasi seperti apa yang seharusnya diungkit dalam pembangunan. Pembangunan merupakan
suatu konstruksi yang mengarah pada satu kehidupan yang lebih maju. Dalam menuju proses kemajuan
tersebut harus melihat pada satu aspek yang sangat penting, yaitu keseimbangan. Dengan mengembalikan
pada aspek keadilan tentunya keseimbangan akan terwujud. Karena adanya diskriminasi gender yang
terjadi dan hal itu telah menjadi suatu label dalam hidup, maka cara yang dilakukan untuk melakukan bias
gender dengan mengubah cara pandang pada suatu isu. Tidak perlu muluk-muluk, perubahan cukup pada
suatu penghayatan dan kepercayaan sifat dan fungsi gender. Maksudnya, antara kaum maskulin dan
feminis terbelah bukan karena ada suatu identifikasi kelompok, namun lebih pada siapa yang saling cukup
mencukupi antara satu dengan yang lain. Maka dari itu, konsep partisipasi pembangunan adalah dengan
melimpahkan pembangunan pada suatu kebutuhan dari masing-masing gender yang mana dapat terakmlasi
pada suatu program. Dengan demikian pembangunan untuk kesejahteraan dapat terlaksana karena memang
bertujuan kesejahteraan dan bukan untuk mengejar idealitas bangsa maju. Satu hal penting, bahwa idealitas
maju bukan merupakan koreksi, proyeksi, diukur dan dibandingkan dengan negara lain, melainkan hasil
kepuasan tersendiri dari suatu negara atas kesejahteraan yang rasional. Maksudnya, ada kalanya penafsiran
kesejahteraan atas dasar skeptis terhadap lingkungan dan merasa dirinya sudah tercukupi walau
menyimpang dari konteks kesejahteraan lingkungan.

E. WID menuju GAD

WID (Women in Development) atau Perempuan dalam pembangunan merupakan Pendekatan kebijakan
yang digunakan untuk memadukan perempuan ke dalam kegiatan pembangunan yang dimulai pada awal
1970-an, dan selama 40 tahun terakhir berevolusi berdasarkan pengalaman, peninjauan, dan reformulasi
strategi serta tujuan melalui beberapa tahap pendekatan berorientasi kesejahteraan, kesejajaran, perang
melawan kemiskinan, dan pendekatan aliran-utama. Sekitar tahun 1980an, WID telah diterima dan
diterapkan secara internasional sebagai penekanan strategis dengan sasaran mencapai integrasi perempuan
dalam semua aspek proses pembangunan dan kemudian Negara-negara dunia ketiga pun beramai-ramai
memasukan agenda WID Ke dalam program pembangunan di negaranya masing-masing.

WID yang merupakan bagian diskursus pembangunan, dan merupakan pendekatan dominan bagi
pemecahan persoalan dunia ke Tiga dan merupakan strategi arus utama developmentalism tentang
bagaimana mendorong partisipasi perempuan dalam program pembangunan. Agenda utama program
WID[20]adalah bagaimana melibatkan kaum perempuan dalam kegiatan pembangunan. Asumsinya,
penyebab dari keterbelakangan perempuan adalah karena mereka tidak berpartisipasi dalam pembangunan.
Disini WID menginginkan bagaimana kaum perempuan bisa memiliki derajat yang sama atau sejajar dengan
kaum laki-laki atau tidak lagi ada kesenjangan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki dalam
berbagai bidang pembangunan.

Namun dalam perkembangannya WID ini mengalami banyak kendala atau kelemahan-kelemahan serta
kritik-kritik dalam pengimplementasiannya. Hasil tinjauan unit-unit masalah perempuan pemerintah yang
seringkali dengan sumber daya dibawah rata-rata dan sangat marjinal menunjukkan, bahwa mereka telah
tidak dapat secara efektif mempengaruhi kebijakan nasional atau membawa kesejajaran gender yang tadinya
dibayangkan dalam pikiran pada waktu pendiriannya.[21] Sehingga membuat pendekatan seperti ini tidak
dapat menurunkan kesenjangan antara kaum laki-laki dan perempuan. Proyek-proyek hanya-untuk-
perempuan seringkali dipikirkan dan didanai secara kurang, bahkan kadang-kadang dibebankan ke pundak
kaum perempuan yang telah terbebani dengan beban-kerja yang berat, hanya dengan imbalan yang kurang
pula.

Sehingga dengan adanya keadaan seperti itu, diperlukan suatu Transformasi social, yang dimana tujuan
dari Tranformasi social itu tidak hanya memperbaiki status perempuan namun juga memperjuangkan
martabat dan kekuatan perempuan. Sehingga muncul suatu pendekatan GAD, yang dimana pendekatan itu
lebih mencakup kepada hak-hak perempuan, peranan perempuan sebagai peserta aktif, dan pelaku
pembangunan dan peranan mereka sebagai actor dengan suatu agenda khusus dalam pembangunan.

Perbedaan antara WID dan GAD[22], pada dasarnya, berdasarkan atas pendekatan penilaian dan
penanganan posisi yang tidak sama dari perempuan dalam masyarakat. GAD tidak menyisihkan
perempuan sebagai subyek sentral. Namun kiranya lebih, sementara pendekatan WID difokuskan secara
eksklusif pada perempuan untuk meningkatkan posisi ketidaksejajaran perempuan, maka pendekatan GAD
mengakui, bahwa peningkatan status perempuan memerlukan analisis mengenai hubungan antara laki-laki
dan perempuan maupun menyamakan pendapat dan kerjasama laki-laki . Penekanan ditempatkan pada
kebutuhan untuk memahami cara-cara, dimana hubungan yang tidak sejajar antara perempuan dan laki-laki
dapat memberikan sumbangsih pada rentang dan bentuk pemisahan yang akan dihadapi perempuan dalam
proses pembangunan ini. Jadi dapat dijelaskan bahwa pendekatan GAD (Gender And Development) ini tidak
hanya terpaku pada perempuan saja dalam usahanya melakukan kesetaraan serta berperan aktif dalam
pembangunan yang tanpa menghiraukan laki-laki namun dalam pengimplementasiannya pendekatan ini
memerlukan kaum laki-laki dalam memperjuangkan kesetaraannya.
F. Hubungan permasalahan gender dan pembangunan

Pembangunan tidak hanya menjadi isu hak asasi manusia ataupun keadilan saja, melainkan juga menjadi
isu kesejahteraan untuk memperoleh keadilan. Dalam permasalahan gender dan pembangunan banyak aktivis
pembangunan melihat orang sebagai sebuah sekelompok sasaran yang tidak mencoba untuk memahami
realitas yang berbeda dari kehidupan laki-laki dan dari kehidupan perempuan, yang mengakibatkan adanya
hubungan permasalahan dalam gender dan pembangunan. Permasalahan-permasalahan tersebut misalnya:

 Perempuan dan pendidikan

Banyak sebagian anak perempuan yang sama sekali tidak bersekolah, dimana pada saat itu orangtua
masih mempunyai pandangan bahwa anak laki-laki lebih kuat dari pada perempuan. Anak laki-laki lebih
bisa diandalkan dari pada anak perempuan. Sehingga mereka memiliki keinginan untuk mempunyai
keturunan laki-laki saja daripada mempunyai keturunan perempuan. Dikarenakan anak laki-laki dianggap
dapat memikul tanggungjawab dan dapat melanjutkan usaha-usaha misalnya mengurus ladang yang di
garap oleh orangtuanya tersebut, serta membantu orangtua apabila orangtua mereka sudah terlalu tua dan
tidak dapat bekerja untuk mengurusi ladangnya, sehingga anak laki-lakinya dapat meneruskan untuk
membantu orangtuanya mengurus ladang mereka, sedangkan anak perempuan kelak jika ia dewasa hanya
akan diam di dapur setelah itu menikah, berbeda dengan anak laki-laki meskipun kelak dewasa dan
mereka akan menikah tetapi tanggungjawabnya tetap akan ia jalankan.

 Perempuan dan bekerja,

Perempuan memiliki tingkat pengangguran lebih tinggi dari pada laki-laki. Perempuan bekerja hanya
dalam kategori yang paling dieksploitasi seperti pertanian dan ibu rumah tangga. Padahal perempuan
mampu untuk bekerja keras dalam kinerjanya, namun untuk bekerja saja perempuan hanya mendapatkan
upah yang sangat rendah dari pada laki-laki, meskipun beban yang ia tanggung sama-sama berat dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Ilustrasinya adalah sebagai berikut:

Sebuah proyek pembangunan pedesaan di negara Afrika memberikan pinjaman yang tersedia untuk
laki-laki sebagai kepala rumah tangga untuk mengembangkan pertanian kecil. Ini merupakan tanggapan
atas penilaian kebutuhan yang menemukan bahwa pertanian di daerah yang dibutuhkan beberapa
penanaman modal untuk menjadi produktif. Ketika sebagian besar proyek-proyek ini gagal, penyandang
dana menyelidiki dan menemukan bahwa pinjaman tersebut tidak digunakan untuk pertanian, atau jika
digunakan itu untuk hal-hal yang tidak pantas. Mereka juga menemukan pertanian yang sebenarnya
dilakukan oleh perempuan dan sebagian besar orang pergi untuk bekerja di kota-kota. Namun pinjaman
tersebut dibuat untuk para pria dan, karena peran tradisional mereka sebagai kepala keluarga, mereka bisa
membuat keputusan tentang bagaimana menggunakan uang.

Sebuah analisis gender dilakukan dan mengatasi masalah – menjadi jelas bahwa perempuan petani,
memiliki sedikit suara dalam rumah tangga atau masyarakat. Pinjaman kepada perempuan, layanan
dukungan dan forum untuk membuat keputusan kolektif didirikan dan uang itu digunakan untuk
menghidupkan petani miskin yang hampir tidak selamat menjadi lebih produktif.

G. Solusi Permasalahan Gender dan Pembangunan

Seperti yang telah dijelaskan bahwa ada beberapa hubungan antara masalah gender dan pembangunan
seperti masalah perempuan dengan pendidikan serta masalah perempuan dengan lapangan pekerjaan.
Permasalahan gender tersebut memang telah ada sejak zaman dahulu, namun, bukan berarti permasalahan
kesetaraan gender tidak dapat terselesaikan. Terdapat beberapa solusi yang dapat menjadi alternative untuk
menyelesaikan masalah gender ini yaitu salah satunya dengan melibatkan pemerintah/negara dalam
menyeleasiakan masalah gender itu sendiri, yakni:

 Peran pemerintah dalam permasalahan perempuan dan pendidikan.

Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di suatu Negara, tentunya mempunyai tanggung
jawab yang besar untuk mewujudkan kesetaraan gender di Negara yang dipimpinnya. Bentuk peran
pemerintah dalam masalah ini dapat berupa intervensi publik seperti mengontrol dan mengawasi,
mensubsidi, mendorong dan mengatur, melarang dan menghukum serta menyediakan layanan.

Sedangkan di dunia pendidikan pemerintah bisa melakukan investasi atau memberikan subsidi dan
mengajak pihak lain untuk melakukan investasi dibidang pendidikan khususnya yang berkaitan dengan
peningkatan mutu pendidikan perempuan. Misalnya pemerintah memberikan subsidi kepada sekolah
khusus perempuan dan lembaga pelatihan keterampilan khusus perempuan agar tercipta kesetaraan
gender dimasyarakat. Karena secara tidak langsung, bila mutu pendidikan dan keterampilan perempuan
semakin ditingkatkan maka para perempuan yang telah mendapatkan pendidikan dan keterampilan
tersebut dapat berkerja sesuai keterampilan yang mereka dapatkan. Dan dengan begitu tingkat partisipasi
perempuan didalam pembangunan akan meningkat dan diharapkan akan tercipta kesetaraan gender antara
perempuan dan laki-laki.

 Peran pemerintah dalam permasalahan perempuan dan bekerja

Kasus permasalahan gender yang terjadi di Afrika merupakan contoh kecil dari permasalahan gender
dibidang pekerjaan yang sedang terjadi di dunia saat ini. Di Indonesia sendiri kasus gender dibidang
pekerjaan sangatlah bervariatif diantranya yaitu besarnya tingkat pengangguran perempuan dibandingkan
pengangguran laki-laki serta upah buruh perempuan yang lebih kecil dibandingkan upah buruh laki-laki.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka sangat dibutuhkan intervensi dari pemerintah. Karena
dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah maka pemerintah dapat membuat UU yang mengatur
tentang ketentuan kriteria pekerjaan berdasarkan pada keterampilan bukan berdasarkan pada jenis
kelamin selain itu pemerintah juga dapat menentukan standar upah berdasarkan tingkat pekerjaan yang
dilakukan bukan berdasarkan jenis kelamin. Peraturan tersebut tentunya ditunjukan kepada pihak
perusahaan baik milik swasta ataupu milik Negara. Dengan begitu, pemerintah mempunyai kewenangan
untuk memberikan hukuman kepada perusahaan yang melanggar UU tersebut. Bila UU ini dapat
dilaksanakan dengan sebaik mungkin maka dapat dipastikan kesetaraan gender di bidang tenaga kerja
akan terwujud dengan sendirinya.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Gender yang terkait dengan tingkah laku dan pembagian fungsi ke dalam bentuk feminin dan maskulin
berbeda dengan jenis kelamin yang lebih mengklasifikasikan manusia berdasarkan struktur dan ciri biologis.
Akan tetapi walaupun keduaya adalah dua hal yang berbeda, namun gender dan jenis kelamin mempunyai
suatu hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Gender mempunyai fokus pada pembagian peranan
berdasarkan jenis kelamin sehingga munculah peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang
dalam hal ini muncul porsi peranan dua jenis kelamin yang berbeda atau ketimpangan gender.

Di seluruh belahan penjuru dunia manapun masih banyak sekali permasalahan persamaan dan keadilan
gender dan pihak yang dirugikan selalu saja perempuan. Bentuk permasalahan tersebut seperti marjinalisasi
atau pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan
stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih banyak (burden), serta
sosialisasi ideologi nilai peran gender. Oleh karena itu muncullah keum feminis yang berusaha untuk
mensejajarkan peran perempuan dengan peran laki-laki.

Persamaan gender dalam pembangunan adalah suatu hal yang sangat penting dalam keberlangsungan hidup
suatu Negara. Hal ini terjadi karena bagaimanapun juga pembangunan Negara adalah hak dan tanggung
jawab setiap warganya tanpa terkecuali, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi, jika selama ini banyak
anggapan bahwa kaum wanita yang memiliki peran feminin itu tidak penting dalam pembangunan suatu
Negara adalah suatu pandangan yang keliru. Bahkan dalam agama Islam diajarkan bahwa wanita adalah
tiang Negara yang mana menentukan tegak-rubuhnya Negara tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peran
perempuan dalam pembangunan sangatlah penting bahkan lebih penting daripada laki-laki karena
perempuanlah pihak yang melahirkan serta mendidik generasi-generasi pembangun Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1998. “Kebijakan ADB mengenai Gender dan Pembangunan”. Asian Development Bank.
Anonymous. T.th. menegpp.go.id. Diakses pada Tanggal 15 Mei 2011, pukul 15.30 WIB.
Anonymous. T.th. “Gender dan pembangunan”. www.google.com. Diakses pada tanggal 14 Mei 2011, pukul
20.32 WIB.
http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/GovBrief/GovBrief0624.pdf . Diakses pada tanggal 14 Mei
2011, pukul 20.45 WIB.
Anonymous. T.th. http://www.unja.ac.id/ppg/ppgunduh/konsep%20teori%20gender.ppt. Diakses pada 14 Mei
2011, pukul 20.50 WIB.
Anonymous. T.th . http://www.scribd.com/doc/40055665/Konsep-Dan-Teori-Gender. Diakses pada 14 Mei 2011,
pukul 21.00 WIB.
Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan (versi Indonesia dari judul asli Half The World, Half a
Chance). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Sumayku, Greety R. T. th. “Peranan Pejabat perempuan dalam Pembangunan Berwawasan Gender ”. Prop. Sulut:
Tidak diterbitkan.

Anda mungkin juga menyukai