Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun
binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang
berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada
manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap suatu
organ, beberapa mempunyai efek pada hampir setiap organ. Kadang-kadang
pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis yang dapat
meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan.
Insiden kira – kira 8000 orang terkena gigitan ular berbisa setiap tahun di
Amerika Serikat, dengan lebih 98% dari gigitan mengenai ekstremitas.
Sejak tahun 1960, rata- rata 14 korban setiap tahun meninggal di Amerika
Serikat karena gigitan ular, dengan 70% kebanyakan di lima daerah serikat
termasuk Texas, Georgia, Florida, Alabama, dan California Selatan.
Bisa dari ular berbisa mengandung hialuronidase, yang menyebabkan
bisa dapat menyebar dengan cepat melalui jaringan limfatik superfisisal.
Toksin lain yang terkandung dalam bisa ular, antara lain neurotoksin, toksin
hemoragik dan trombogenik, toksin hemolitik, sitotoksin, dan antikoagulan.
Ular berbisa dibandingkan ular tak berbisa pit viper dinamakan demikian
karena memiliki ciri lekukan yang sensitif terhadap panas terletak antara
mata dan lubang hidung pada tiap sisi kepala. Pit viper juga memiliki pupil
berbentuik elips, berlainan dengan pupil bulatyang memiliki ular jenis tak
bebahaya. Sebaliknya, ular karang memiliki pupil bulat dan sedikit lekukan
pada muka. Pit viper memiliki gigi taring panjang dan sederet gigi
subkaudal. Ular tak berbisa banyak memiliki gigi dibanding dengan taring
dan mempunyai dua deret gigi subkaudal. Untuk membedakan ular karang
berbisa dengan ular lain yang mirip warnanya, harus diingat bahwa ular
karang memiliki hidung berwarna hitam dan memiliki juga guratan cincin
warna merah yang berdampingan dengan warna kuning.

1
Prinsip Pertolongan Pertama pada korban gigitan ular adalah,
meringankan sakit, menenangkan pasien dan berusaha agar bisa ular tidak
terlalu cepat menyebar ke seluruh tubuh sebelum dibawa ke rumah
sakit. Pada beberapa tahun yang lalu penggunaan torniket
dianjurkan. Seiring berkembangannya ilmu pengetahuan kini dikembangkan
metode penanganan yang lebih baik yakni metode pembalut dengan
penyangga. Idealnya digunakan pembalut dari kain tebal, akan tetapi jika
tidak ada dapat juga digunakan sobekan pakaian atau baju yang disobek
menyerupai pembalut. Metode ini dikembangkan setelah dipahami bahwa
bisa menyebar melalui pembuluh limfa dari korban. Diharapkan dengan
membalut bagian yang tergigit maka produksi getah bening dapat berkurang
sehingga menghambat penyebaran bisa sebelum korban mendapat ditangani
secara lebih baik di rumah sakit.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi gigitan ular ?
2. Bagaimana etiologi gigitan ular?
3. Bagaimana patofisiologi gigitan ular ?
4. Apa manifestasi klinis gigitan ular ?
5. Bagaimana penatalaksanaan gigitan ular ?
6. Bagaimana Web Of Cause gigitan ular?
7. Bagimana asuhan keperawatan gigitan ular ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang definisi gigtan ular.
2. Untuk mengetahui tentang etiologi gigitan ular.
3. Uuntuk mengetahui tentang patofisiologi gigitan ular.
4. Untuk mengetahui tentang manifestasi Klinis gigitan ular.
5. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan gigitan ular.
6. Untuk mengetahui tentang Web of Cause gigitan ular.
7. Untuk menegtahui tentang asuhan keperawatan gigitan ular.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Gigitan ular adalah suatu keadan yang disebabkan oleh gigitan ular
berbisa. Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa.
Racun binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang
berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada
manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap suatu
organ, beberapa mempunyai efek pada hampir setiap organ. Kadang-kadang
pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis yang dapat
meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun
tergantung dari bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut
bersifat ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali
mengandung faktor letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan
mengusir predator, racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit
jaringan.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk
melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan
diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan
oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu
modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi
kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi
tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang
memiliki aktivitas enzimatik.
2.2 Etiologi
Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan
Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan
pendarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap
dilokasi pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa

3
Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam. Daya toksik
bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
1. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang
menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan
jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah),
sehingga sel darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar
menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya
perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan,
dan lain-lain.
1) Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel
saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel
saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan
tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan
peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan
jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan
jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui
pembuluh limfe.
2) Bisa ular yang bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan
maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal
dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
3) Bisa ular yang bersifat kardiotoksin
Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot
jantung.
4) Bisa ular yang bersifat cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardiovaskuler.
5) Bisa ular yang bersifat cytolitik
Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan
pada tempat gigitan.

4
6) Enzim-enzim
Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bias
2.3 Patofisiologi
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin.
Toksik tersebut menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu
berbagai system. Seperti, sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem
pernapasan.
Pada gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf
yang berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan
oedem pada saluran pernapasan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk
bernapas.
Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah
yang dapat mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem pernapasan
dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang
dapat mengakibatkan gagal napas.
2.4 Derajat gigitan ular
1. Derajat 0
1) Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam
2) Pembengkakan minimal, diameter 1 cm
2. Derajat I
1) Bekas gigitan 2 taring
2) Bengkak dengan diameter 1 – 5 cm
3) Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
3. Derajat II
1) Sama dengan derajat I
2) Petechie, echimosis
3) Nyeri hebat dalam 12 jam
4. Derajat III
1) Sama dengan derajat I dan II
2) Syok dan distres nafas / petechie, echimosis seluruh tubuh
5. Derajat IV
1) Sangat cepat mem

5
2.5 Manifestasi klinis
Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua
gigitan ular. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis
(kulit kegelapan karena darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit).
Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular
berbisa, yaitu terjadi oedem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan
5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (matirasa), paralysis
(kelumpuhan otot), pulselesness (denyutan). Tanda dan gejala khusus pada
gigitan family ular :
1. Gigitan Elapidae
Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular
cabai, coral snakes, mambas, kraits), cirinya:
1) Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang
berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2) Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3) 15 menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10 jam
muncul paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan,
sehingga sukar bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata
menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, mati
rasa di sekitar mulut dan kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
2. Gigitan Viperidae/Crotalidae
Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam
berupa bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota
badan.
2) Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam.
3) Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan
lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
3. Gigitan Hydropiidae
Misalnya, ular laut, cirinya:
1) Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan
muntah.

6
2) Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan
nyeri menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot,
mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini
penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti jantung.
4. Gigitan Crotalidae
Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan,
ekimosis, nyeri di daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya
pemberian polivalen crotalidae antivenin.
2) Anemia, hipotensi, trombositopeni.
Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa
kategori:

1. Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra
menimbulkan rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat
membengkak hebat dan dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa
ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar sisi gigitan luka.
2. Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia
dapat menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-
organ abdomen. Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah
spontan dari mulut atau luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol
dapat menyebabkan syok atau bahkan kematian.
3. Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung
pada sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama
secara cepat menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian
sebelum mendapat perawatan. Awalnya, korban dapat menderita
masalah visual, kesulitan bicara dan bernafas, dan kesemutan.
4. Kematian otot, bisa dari russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan
beberapa elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan
kematian otot di beberapa area tubuh. Debris dari sel otot yang mati
dapat menyumbat ginjal, yang mencoba menyaring protein. Hal ini
dapat menyebabkan gagal ginjal.
5. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat

7
6. Mengenai mata korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan
kebutaan sementara pada mata.
2.6 Woc gigitan ular

Bisa ular

(polipeptida,enzim,protein)

Masuk ke dalam
tubuh melalui gigitan

Merusak sel-sel
endotel dinding
pembuluh darah

Kerusakan membran
plasma

Bereaksi dan menimbulkan


MK : NYERI AKUT
bradikinin, serotonn dan
histamin

Toksik menyebar
melalui pembuluh
darah

Keracunan gigitan
ular

Gangguan sistem Gangguan sistem


neurologis kardiovaskular

Mengenai saraf Toksik masuk ke


pernafasan pembulu darah

Odema paru
MK : Hipotensi

Sukar bernafas

MK :POLA NAFAS
TIDAK EFEKTIF

8
2.7 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel
darah lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin,
waktu tromboplastin parsial, hitung trombosit, urinalisis, penentuan kadar
gula darah, BUN dan elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan
pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu pembekuan dan
waktu retraksi bekuan.
2.8 Penatalaksanaan
1. Prinsip penanganan pada pasien gigitan ular:
1) Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular.
2) Menetralkan bisa.
3) Mengobati komplikasi.
2. Pertolongan pertama :
Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi
segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya
lakukan prinsip RIGT, yaitu:
R: Reassure: Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan
korban, kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga
racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien
pingsan/panik karena kaget.
I: Immobilisation: Jangan menggerakan korban, perintahkan korban
untuk tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan
medis tidak datang, lakukan tehnik balut tekan (pressure-immoblisation)
pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat prosedur pressure
immobilization (balut tekan).
G: Get: Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
T: Tell the Doctor: Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang
muncul ada korban.
3. Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan):
Balut tekan pada kaki:
1) Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.
2) Keringkan sekitar luka gigitan.

9
3) Gunakan pembalut elastis.
4) Jaga luka lebih rendah dari jantung.
5) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari
kaki naik ke atas.
6) Biarkan jari kaki jangan dibalut.
7) Jangan melepas celana atau baju korban.
8) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai
menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki
yang tetap pink).
9) Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
Balut tekan pada tangan:
1) Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut).
2) Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat.
3) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan.
4) Pasang papan sebagai fiksasi.
5) Gunakan mitela untuk menggendong tangan.
2.9 Komplikasi
1. Syok hipovolemik
2. Edema paru
3. Kematian
4. Gagal napas

10
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Asuhan Keperawatan Teori


1. Primary survey
1) Nilai tingkat kesadaran
2) Lakukan penilaian ABC :
3) A – airway: kaji apakah ada muntah, perdarahan
4) B – breathing: kaji kemampuan bernafas akibat kelumpuhan otot-
otot pernafasan
5) C – circulation : nilai denyut nadi dan perdarahan pada bekas
patukan, Hematuria, Hematemesis /hemoptisis
2. Intervensi primer
1) Bebaskan jalan nafas bila ada sumbatan, suction kalau perlu
2) Beri O2, bila perlu Intubasi
3) Kontrol perdarahan, toniquet dengan pita lebar untuk mencegah
aliran getah bening (Pita dilepaskan bila anti bisa telah diberikan).
Bila tidak ada anti bisa, transportasi secepatnya ke tempat
diberikannya anti bisa.
Catatan : tidak dianjurkan memasang tourniquet untuk arteriel dan
insisi luka
4) Pasang infus
3. Secondary survey dan Penanganan Lanjutan :
1) Penting menentukan diagnosa patukan ular berbisa
2) Bila ragu, observasi 24 jam. Kalau gejala keracunan bisa nyata, perlu
pemberian anti bisa
3) Kolaborasi pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian
besar terdiri atas protein, maka sifatnya adalah antigenik sehingga
dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa bersifat
polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular.
Serum antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan
jaringan lokal yang luas

11
Bila alergi serum kuda : Adrenalin 0,5 mg/SC, ABU IV pelan-pelan
4) Bila tanda-tanda laringospasme, bronchospasme, urtikaria hypotensi
: adrenalin 0,5 mg/IM, hydrokortison 100 mg/IV
5) Anti bisa diulang pemberiannya bila gejala-gejala tak menghilang
atau berkurang. Jangan terlambat dalam pemberian ABU, karena
manfaat akan berkurang.
6) Kaji Tingkat kesadaran
Nilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
7) Ukur tanda-tanda vital
4. Diagnosa Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin
2) Hipertermia berhubungan dengan efek langsung endotoksin pada
hipotalamus
3) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan
tubuh tak adekuat
4) Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di
rumah sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma,
ancaman kematian atau kecacatan.
5. Intervensi Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin
Intervensi :
 Auskultasi bunyi nafas
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius
merupakan indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial,
atelektasis.
 Pantau frekuensi pernapasan
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres,
dan sirkulasi endotoksin.
 Atur posisi klien dengan nyaman dan atur posisi kepala lebih
tinggi
 Motivasi / Bantu klien latihan nafas dalam
 Observasi warna kulit dan adanya sianosis

12
 Kaji adanya distensi abdomen dan spasme otot
 Batasi pengunjung klien
 Pantau seri GDA
 Bantu pengobatan pernapasan (fisioterapi dada)
 Beri O2 sesuai indikasi (menggunakan ventilator)
2) Hipertermia berhubungan dengan efek langsung endotoksin pada
hipotalamus
Intervensi :
 Pantau suhu klien, perhatikan menggigil atau diaforesis
Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi
akut.
 Pantau suhu lingkungan, batasi linen tempat tidur
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal.
 Beri kompres mandi hangat
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol
dapat membuat kulit kering.
 Beri antipiretik
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi
sentralnya pada hipotalamus
 Berikan selimut pendingin
Rasional:Digunakan untuk mengurangi demam.
3) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan
tubuh tak adekuat.
Intervensi:
 Berikan isolasi atau pantau pengunjung sesuai indikasi
 Cuci tangan sebelum dan sesudah aktivitas terhadap klien
 Ubah posisi klien sesering mungkim minimal 2 jam sekali
 Batasi penggunaan alat atau prosedur infasive jika memungkinkan
 Lakukan insfeksi terhadap luka alat infasif setiap hari
 Lakukan tehnik steril pada waktu penggantian balutan

13
 Gunakan sarung tangan pada waktu merawat luka yang terbuaka
atau antisipasi dari kontak langsung dengan ekskresi atau sekresi
 Pantau kecenderungan suhu mengigil dan diaforesis
 Inspeksi flak putih atau sariawan pada mulut
 Berikan obat antiinfeksi (antibiotic)
4) Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di
rumah sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma,
ancaman kematian atau kecacatan.
Intervensi:
 Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur
perawatan.
Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan
dan ansietas, memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja
sama.
 Tunjukkan keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien
bila prosedur bebas dari nyeri.
Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa
dukungan tersedia dan bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang
tersebut tidak hanya merawat luka.
 Kaji status mental, termasuk suasana hati/afek.
Rasional: Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan
represi untuk menurunkan dan menyaring informasi keseluruhan.
Beberapa pasien menunjukkan tenang dan status mental waspada,
menunjukkan disosiasi kenyataan, yang juga merupakan mekanisme
perlindungan.
 Dorong pasien untuk bicara tentang luka setiap hari.
Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus
untuk membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
 Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk
bertanya dan berikan jawaban terbuka/jujur.

14
Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang
dapat membantu pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai
menerima apa yang terjadi.
6. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan
dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak. Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu
dikaji ulang letak kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat
apa yang ditemukan, serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
1) Menunjukan GDA dan frekuensi dalam batas normal dengan bunyi
nafas vesikuler.
2) Tidak mengalami dispnea atau sianosis
3) Mendemontrasikan suhu dalam batas normal
4) Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan
5) Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
3.2 Case Study
Tn.A 37 tahun masuk rumah sakit tgl 13 April 2018, sebelumnya penderita
pada pukul 12.30 WIB digigit ular di tungkai kiri, dibawa ke RSUD
Kebumen jam 13.00 WIB. Penderita mengeluh : sesak nafas, terasa panas,
nyeri, badan kaku semua dan kaki bengkak. Nyeri kepala (-), mual dan
muntah (-). Px TTV di IGD : S : 37,3 derajat C, TD : 130/80, N : 78/menit,
RR : 27 x/menit.
a. Identitas Pasien
Nama : Tn.A
Umur : 37 tahun
Alamat : Kebumen
Jenis Kelamin : L
Pekerjaan : Tani
Pendidikan : SMP
b. Keluhan Utama : Klien mengatakan sesak nafas.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang : klien datang ke IGD pada tanggal 13
April 2018 jam 13.00 WIB, dengan di bawa oleh tetangganya, klien

15
mengatakan tungkai kirinya digigit ular, setelah itu klien merasakan
sesak nafas, terasa panas, nyeri, badan kaku semua dan kaki bengkak,
tampak kebiruan. dan tiba-tiba terjatuh. Di rumah kaki klien sudah
diikat dengan menggunakan kain diatas luka gigitan ular tersebut. Lalu
klien langsung dibawa ke RS. Hasil pemeriksaan TTV : TD : 130/80
mmHg, N : 78 x/menit, RR : 27 x/menit, S : 37,3 derajat C. GCS
E3V3M5 di IGD terpasang infus NaCl 0,9 % 30 Tpm. Riwayat
Kesehatan Dahulu : Klien sebelumnya tidak menderita sakit apapun.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga : klien mengatakan dalam keluarga tidak
ada yang menderita penyakit menular atau menurun seperti, DM,
hepatitis, TBC, Hipertensi, dll
e. Pengkajian Primary Survey

1. Airway : tidak ada sumbatan jalan nafas, tidak ada sputum, tidak
ada darah.
2. Breathing : klien mengalami sesak nafas, penggunaan otot bantu
pernafasan, RR = 27 x/menit, pengembangan dada simetris, suara
nafas vesikuler.
3. Circulation : ada perdarahan di tungkai kiri karena gigitan ular, N =
78 x/menit, akral dingin, CRT >3 detik, sianosis.
4. Disability : kesadaran somnolent (E3V3M5), pupil isokor (2mm).
5. Exposure : terdapat perdarahan pada luka gigitan ular, adanya
edema pada luka, memar.
f. Pengkajian secondary survey
1. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala : meochepal, rambut bersih, tidak beruban.
b. Mata : ishokor (2 mm), reaksi cahaya +, konjungtiva tidak
anemis.
c. Hidung : simetris, tidak ada polip, bersih.
d. Telinga : bentuk simetris kanan kiri, tidak terdapat serumen,
bersih
e. Mulut : mukosa bibir lembab, simetris.
f. Leher : penggunaan otot bantu pernafasan
(sternokleidomastoidius), tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
g. Dada :

16
a) Paru-paru : Inspeksi : pengembangan dada simetris, tidak ada
jejas
Palpasi : vocal fremitus teraba kanan kiri.
Perkusi : sonor
Auskultasi : Vesikuler, bronchovesikuler, bronchial.
b) Jantung : Inspeksi : ictus kordis tidak tampak
Palpasi : teraba ictus kordis di SIC V dan VI
Perkusi : Pekak
Auskultasi : terdengar bunyi S1 dan S2
c) Abdomen : Inspeksi : simetris, tidak ada luka
Auskultasi : peristaltic usus 6x/menit
Perkusi : Thympani
Palpasi : tidak ada pembesaran hepar, tidak ada massa.
d) Ekstremitas :
Ekstremitas atas : terpasang infus NaCl 0,9 % di tangan
dextra, tidak ada edema
Ekstremitas bawah : Akral dingin, bengkak pada luka gigitan,
kekakuan otot kaki dextra, nyeri pada luka.
1. Analisa Data

Data Etiologi Problem


Ds : Reaksi endotoksin Pola nafas tidak

klien mengatakan sesak nafas. efektif


Do :
penggunaan otot bantu pernafasan,
RR = 27 x/menit, pengembangan dada
simetris, suara nafas vesikuler, CRT
>3 detik, sianosis.
Ds : Proses infeksi Nyeri akut
klien mengatakan tungkai kirinya
digigit ular.
Do:
Akral dingin, bengkak pada luka

17
gigitan, kekakuan otot kaki dextra,
nyeri pada luka, N = 78x/menit, RR =
27 x/m, TD 130/80 mmHg
Ds : Proses infeksi Hipertermi
Klien mengatakan terasa panas di
badannya.
Do:
S : 37,3°C

2. Diagnosa
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
2) Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
3) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
3. Intervensi
Tgl Dx Tujuan & KH Intervensi
13-04- 1 Setelah dilakukan 1. Pertahankan jalan napas
18 tindakan keperawatan 3 x klien.
24 jam klien tidak 2. Pantau frekuensi dan
mengalami sesak nafas: kedalaman pernapasan.
3. Auskultasi bunyi napas..
Kriteria hasil : 4. Sering ubah posisi.
1. RR dalam batas 5. Berikan O2 melalui cara
normal 16-20 x/m yang tepat, misal masker
2. Klien menunjukkan wajah.
jalan nafas yang paten

13-04- 2 Setelah dilakukan 1. Kaji tanda-tanda vital.


18 tindakan keperawatan 2. Kaji karakteristik nyeri.
selama 3x24 jam klien 3. Ajarkan tehnik distraksi
merasa nyaman. dan relaksasi.

18
4. Pertahankan tirah baring
Kriteria hasil : selama terjadinya nyeri.
1. TTV dalam batas 5. Lakukan perawatan luka.
normal ( TD 120/80 6. Kolaborasi dengan tim
mmHg, N 60-100 medis dalam pemberian
x/m, RR 16-20 x/m) analgetik.
2. Klien tampak rileks
3. Skala Nyeri turun 0-1

13-04- 3 Setelah dilakukan 1. Pantau suhu klien.


18 tindakan keperawatan 2. Pantau asupan dan
selama 2x24 jam badan haluaran serta berikan
klien tidak panas minuman yang disukai
untuk mempertahankan
Kriteria hasil : keseimbangan antara
1. Suhu dalam batas asupan dan haluaran.
normal 36,5°C 3. Berikan kompres hangat
2. Klien tidak pusing 4. Berikan Antiperitik sesuai
program.

4. Implementasi dan evaluasi


Tgl Dx Implementasi Evaluasi TTD
16- 1 1. Mempertahankan S: M
04- jalan nafas klien. klien tidak merasa sesak
18 2. Mengkaji frekuensi nafas.
dan kedalaman O:
nafas RR 20x/mnt, tidak
3. Mengaskultasi terpasang penggunaan otot
bunyi nafas klien bantu pernafasan,
4. Memberikan posisi pengembangan dada
semi fowler simetris, suara nafas

19
5. Memberikan vesikuler, CRT <3 detik,
oksigen nasal kanul tidak sianosis.
2-4 lpm A:
masalah teratasi
P:
intervensi dihentikan
16- 2 1. Mengkaji tanda S: M
04- tanda vital klien klien tidak merasa nyeri.
18 2. Mengkaji O:
karakteristik nyeri skala nyeri 1
klien RR 20x/mnt
3. Mengajarkan teknik N 70x/mnt
relaksasi nafas TD 110/90 mmHg
dalam Akral dingin, tidak
4. Mempertahankan bengkak pada luka
posisi klien gigitan, nilai otot kaki
5. Merawat bagian dextra 4, tidak nyeri pada
yang terluka luka.
6. Memberikan obat A:
analgesik sesuai masalah teratasi
indikasi dokter P:
intervensi dihentikan
15- 3 1. Mengkaji suhu klien S: M
04- 2. Memantau asupan klien tidak merasa
18 dan haluaran serta badanya panas.
berikan minuman O:
yang disukai untuk S 36,5 C
mempertahankan A:
keseimbangan masalah teratasi
antara asupan dan P:
haluaran. intervensi dihentikan
3. Memberikan

20
kompres hangat
4. Memberikan obat
antipiretik sesuai
indikasi

21
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Prinsip Pertolongan Pertama pada korban gigitan ular adalah,
meringankan sakit, menenangkan pasien dan berusaha agar bisa ular tidak
terlalu cepat menyebar ke seluruh tubuh sebelum dibawa ke rumah
sakit. Pada beberapa tahun yang lalu penggunaan torniket
dianjurkan. Seiring berkembangannya ilmu pengetahuan kini dikembangkan
metode penanganan yang lebih baik yakni metode pembalut dengan
penyangga. Idealnya digunakan pembalut dari kain tebal, akan tetapi jika
tidak ada dapat juga digunakan sobekan pakaian atau baju yang disobek
menyerupai pembalut. Metode ini dikembangkan setelah dipahami bahwa
bisa menyebar melalui pembuluh limfa dari korban. Diharapkan dengan
membalut bagian yang tergigit maka produksi getah bening dapat berkurang
sehingga menghambat penyebaran bisa sebelum korban mendapat ditangani
secara lebih baik di rumah sakit
4.2 Saran
Segera bawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Informasikan
kepada dokter mengenai penyakit yang diderita pasien seperti asma dan
alergi pada obat – obatan tertentu, atau pemberian antivenom
sebelumnya. Ini penting agar dokter dapat memperkirakan kemungkinan
adanya reaksi dari pemberian antivenom selanjutnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Diane C. Baugman, Joann C. Hackley, Medical Surgical Nursing, Lippincott,


1996
Donna D. Ignatavicius, at al., Medical Surgical Nursing : A Nursing Process
Approach, 2nd Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1991.
Hugh A. F. Dudley (Ed), Hamilto Bailey, Ilmu Bedah, Edisi XI, Gajah Mada
University Press, 1992
Joice M. Black, Esther Matassarin Jacobs, Medical Surgical Nursing : Clinical
Management for Contuinity of Care, 5th Edition, WB. Saunders Company,
Philadelphia, 1997.
Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, 1990
Susan Martin Tucker, at al., Standar Perawatan Pasien : Proses keperawatan,
Diagnosis dan Evaluasi, Edisi V, Volume 2, EGC, Jakarta, 1998.

23

Anda mungkin juga menyukai