Oleh :
2019
Universitas Pertamina
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................... 2
DAFTAR TABEL........................................................................................................................... 4
BAB I .............................................................................................................................................. 6
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 6
........................................................................................................................................................ 9
BAB II .......................................................................................................................................... 10
BAB III......................................................................................................................................... 27
BAB IV ......................................................................................................................................... 28
LAMPIRAN.................................................................................................................................. 33
2
DAFTAR GAMBAR
3
DAFTAR TABEL
4
LEMBAR PENGESAHAN
Mahasiswa
NIM : 101216022
Dosen Pembimbing
NIP : 116155
Pembimbing, Mahasiswa,
5
BAB I
PENDAHULUAN
Gunung Kidul menjadi wilayah pemetaan terpilih oleh penulis. Hal ini berdasarkan pada
kompleksitas kenampakan struktur yang berkembang diikuti dengan variasi litologi yang
memiliki perbedaan umur dan lingkungan pengendapan. Berdasarkan kompleksitas tersebut,
daerah ini akan memiliki cerita sejarah rekonstruksi yang menarik untuk ditelusuri.
1.2 Tujuan
6
1.3 Metode Pemetaan
Metode pemetaan terdiri dari empat tahap yaitu :
a. Persiapan
Tahap persiapan terbagi menjadi beberapa bagian yaitu :
1. Kajian studi literatur mengenai daerah terpilih sebagai pedoman dan interpretasi awal
ketika melakukan pemetaan di lapangan.
2. Membuat rencana lintasan pemetaan
3. Penyusunan proposal yang di dalamnya memuat rencana perjalanan selama hari
pemetaan
4. Survei daerah pemetaan yang bertujuan untuk persiapan pelaksanaan pemetaan
seperti akomodasi, tempat tinggal, serta keselamatan dan keamanan di daerah terpilih.
b. Pengambilan Data Lapangan
Kegiatan yang akan dilakukan pada tahap ini meliputi pengambilan data, informasi dari
kondisi lapangan, serta pengambilan sampel yang selanjutnya akan dianalisis di
laboratorium atau studio.
c. Analisis Sampel
Analisis pertama yang dilakukan adalah analisis mikropaleontologi yang hasil luarannya
adalah umur dan paleobatimetri melalui kandungan foraminifera pada batuan. Analisis
kedua yaitu analisis petrografi guna melihat secara detail kenampakan batuan secara
mikrokopis seperti tekstur, struktur, dan mineral pada batuan.
d. Pengolahan Data
Data yang diperoleh selanjutnya diolah untuk menyusun peta geologi dan rekonstruksi
sejarah geologi daerah pemetaan. Pengolahan ini dilakukan menggunakan beberapa
perangkat lunak, antara lain Arcgis, Coreldraw, dan Stereonet.
e. Penyusunan Laporan dan Pembuatan
Pada tahap ini, data yang telah diolah selanjutnya disusun dalam laporan tertulis beserta
lampiran meliputi peta lokasi singkapan (skala 1:12.500), peta geologi (skala 1:12.500),
peta geomorfologi (skala 1:25.000), penampang stratigrafi, hasil analisis struktur geologi
dan rekonstruksi sejarah geologi daerah pemetaan. Selain itu, akan disusun pula slide
presentasi untuk disajikan dalam ujian presentasi mata kuliah pemetaan mandiri.
7
Pemetaan Analisis Pengolahan Penyusunan
Persiapan
Langsung di Sampel Data Laporan dan
Lapangan Presentasi
Input :
Input :
Data buku
Input :
Pengukuran lapangan (hasil Input :
Studi literatur strike & dip pengukuran
Input : Hasil
Pembuatan Pengukuran strike & dip,
struktur pengukuran pengolahan
peta lintasan Sayatan tipis data oleh
geologi struktur geologi,
Penyusunan batuan guna untuk perangkat
Kenampakan analisis petrografi
kenampakan
proposal geomorfologi, lunak dan data
geomorfologi
Survei Deskripsi
dan
deskripsi dari buku
mikropaleontologi
Perizinan singkapan dan singkapan dan lapangan
Peminjaman litologi litologi) di
alat masukkan ke
dalam perangkat
lunak
8
1.4 Lokasi Pemetaan
Lokasi pemetaan berada di wilayah Pegunungan Selatan. Secara administrasi, lokasi
berada di Desa Nglorog, Kedungpoh, Nglipar, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Luas area pemetaan adalah 13,8 km2.
Secara geologi, area pemetaan dimuat dalam Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro.
Daerah pemetaan anggota kelompok berada di kabupaten yang sama dengan kaveling dan
batas koordinat setiap anggota kelompok sebagai berikut (Gambar 2)
1. Baasit Ghaffar Rahman (101216103)
2. Wulan Sari Puspita Ningrum (101216022)
3. Rizky Annisafitri (101216038)
(a) (b)
Gambar 2 (a) Lokasi Kaveling Kelompok Pada Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro (Surono, dkk. 1992) tumpang tindih
dengan kenampakan citra satelit (Google Earth) (b) Inset Foto Udara Daerah Penulis (Google Earth)
9
BAB II
GEOLOGI REGIONAL
Menurut Prasetyadi, dkk. (2011) struktur geologi regional daerah Pegunungan Selatan
didominasi oleh struktur arah timur laut — barat daya (Pola Meratus), utara — selatan (Pola
Sunda) dan sebagian kecil berarah barat laut — tenggara, barat — timur (Pola Jawa).
Kelompok sesar dengan arah timur laut — barat daya dan kelompok sesar berarah utara —
selatan merupakan jenis sesar geser mengiri. Sementara kelompok sesar barat laut — tenggara
merupakan jenis sesar naik dan kelompok sesar dengan arah barat — timur merupakan sesar
geser menganan dan sesar turun.
Urutan evolusi tektonik Pegunungan Selatan dari Mesozoikum hingga saat ini adalah sebagai
berikut :
10
Gambar 3 Rekonstruksi pada Awal Jura Akhir (160 Mya) dan Awal Kapur Awal (140 Mya) (Husein, dkk. 2015)
Gambar 4 Rekonstruksi Tengah Kapur Awal (130 Mya) dan Akhir Kapur Awal (120 Mya) (Husein, dkk. 2015)
11
3. Akhir Kapur Awal (Gambar 5)
Mikrokontinen Luconia bergerak dari Eurasia Timur lalu mengalami kolisi dengan
Mikrokontinen Banda dan Argo. Sementara di sisi barat Sundaland, Busur Woyla mengalami
kolisi dengan Sumatera (Husein, dkk. 2015)
Gambar 5 Rekonstruksi Akhir Kapur Awal (110 Mya-100 Mya) (Husein, dkk. 2015)
Sutur utama Sundaland terbentuk sempurna akibat rangkaian kolisi di akhir Kapur Awal.
Bagian timur Samudera Kenotetis berubah menjadi tepian pasif akibat arah pemekaran yang
tegak lurus terhadap Sundaland (Husein, dkk. 2015), Di bagian barat Kenotetis terjadi proses
sesar geser yang berimplikasi pada pergerakan India menuju Eurasia (bergerak ke arah utara).
Gambar 6 Rekonstruksi Awal Kapur Akhir (91 Mya-89 Mya) (Husein, dkk. 2015)
12
Menurut Sribudiyani, dkk. (2003) pada zaman ini terjadi proses subduksi di bawah
Lempeng Mikrosunda akibat adanya pergerakan Lempeng Indo-Australia ke arah timurlaut,
sementara itu, di bagian selatan Jawa Barat dan selatan Pegunungan Serayu di Jawa Tengah
terjadi proses depresi sehingga membentuk suatu regangan membentuk cekungan busur depan
(forearc basin) (Gambar 7). Hasil subduksi ini juga membentuk busur vulkanik disekitar zona
subduksi (Romario, dkk. 2015).
13
Gambar 8 Rekontruksi Kapur Akhir-Eosen Awal (Sribudiyani, dkk. 2003)
Tepi selatan Sundaland didominasi oleh sesar geser akibat tekanan dari Australia yang
bergerak ke arah utara (Gambar 9).
14
7. Eosen Tengah (Gambar 10)
Australia bergerak ke arah utara dan menyebabkan proses subduksi kembali terjadi di tepi
selatan Sundaland (Husein, dkk. 2015). Terjadi pergeseran Mikrokontinen Jawa Timur ke
arah utara yang dipelopori oleh dua sesar geser dan subduksi ganda. Proses subduksi juga
terjadi di kerak Samudera Kenotetis yang mengalami subduksi di bagian timur Sulawesi
Barat, implikasi dari proses ini adalah terjadinya mekanisme rifting busur belakang (termasuk
cekungan Jawa Bagian Timur) akibat terbukanya Selat Makassar (Makassar strait) (Satyana,
2003).
Pada kala ini juga terjadi reorganisasi lempeng secara global di wilayah selatan Asia dan
terjadi kolisi antara India dengan Asia serta perubahan kecepatan pada pergerakan lempeng Pasifik
(Tapponnier, dkk. 1986). Akibat dari adanya kolisi antara India dan Asia menghasilkan ekstrusi
pada sisi Eurasia Timur bagian timur dan selatan di sepanjang sesar geser. Sesar geser ini
mempengaruhi pembentukan sistem cekungan di Sumatera dan Jawa (Sribudiyani, dkk. 2003)
15
9. Oligosen Awal (Gambar 11)
Gambar 11 Rekonstruksi Oligosen Awal (35 Mya-30 Mya) (Husein, dkk 2015)
Pada kala ini, Busur Vulkanik mulai mengalami pendangkalan sebagai lanjutan dari
vulkanisme dan terus menghasilkan banyak material vulkanik yang di salurkan ke sekitar area.
Akibat banyaknya material vulkanik menyebabkan terjadinya pembebanan litosfer yang
berdampak terjadinya isostasi regional dengan fisiografi lereng yang tinggi di sekitar busur
vulkanik (Clement & Hall, 2007).
16
Gambar 12 Rekonstruksi Oligosen Akhir-Miosen Awal (Sribudiyani, dkk.2003)
Pada kala ini ujung utara Australia (Sula Spur) mengalami kolisi dengan busur Sulawesi
Utara (Husein, dkk. 2015). Akibat dorongan Australia tersebut, Sundaland mengalami rotasi
yang berlawanan arah jarum jam (counter clockwise). Sementara itu, Mikrokontinen Jawa
Timur mulai mengalami subduksi dengan Sundaland, arah gerakan subduksi ini searah jarum
jam (clockwise) (Gambar 13).
Gambar 13 Rekonstruksi Oligosen Akhir-Miosen Awal (25 Mya-20 Mya) (Husein, dkk. 2015)
17
11. Miosen Tengah-Akhir
Rotasi Sundaland tetap berlangsung seiring dengan pergerakan Australia menuju ke arah
utara. Di sisi tenggara Sundaland terjadi pemunduran subduksi (subduction rollback)
disepanjang palung Jawa Timur. Akibat dari pemunduran subuksi ini, Sumba bergeser ke arah
tenggara (Gambar 15) (Husein, dkk. 2015)
18
Gambar 15 Rekonstruksi Miosen Tengah-Awal Miosen Akhir (15 Mya-10 Mya) (Husein, dkk. 2015)
Subduction Rollback Palung Jawa semakin menggeser Sumba ke arah tenggara dan
menghasilkan peregangan di Laut Banda Selatan yang mengalami pergerakan dari arah barat
hingga di utara Sumbawa. Di ujung barat, tekanan subduksi mengakibatkan inversi Pulau
Jawa membentuk kenampakan tampak saat ini.
19
2.2 Stratigrafi Regional
Menurut Smyth, dkk. (2005), Pegunungan Selatan terbagi menjadi tiga synthem yang di
mulai dari Masa Kenozoikum hingga Miosen Tengah, dengan urutan sebagai berikut:
a. Synthem Satu
Pada Kenozoik Awal, konglomerat yang berasal dari Sungai (fluvial) diendapkan
secara angular unconformity di atas basement. Lalu terjadi proses transgresi yang
menyebabkan terendapkannya Formasi Nanggulan yang berada di atas konglomerat.
Formasi ini berumur Eosen Tengah dengan susunan litologi berupa batubara,
konglomerat, lumpur dan batupasir. Akibat transgresi yang terus-menerus lingkungan
berubah menjadi laut. Hal ini ditandai dengan melimpahnya foraminifera planktonik
dan turbidit vulkanogenik.
Pada synthem ini juga diperoleh slump Pendul yang merupakan bagian dari Formasi
Wungkal-Gamping. Slump Pendul tersusun dari campuran fragmen sekis, cangkang
Nummulites, litik dari batugamping numulitik dan lumpur yang di dalamnya banyak
mengandung material vulkanik berbutir halus.
b. Synthem Dua
Pada Kala Oligo-Miosen Awal Pegunungan Selatan mengalami peningkatan
aktivitas vulkanik. Produk endapan dari aktivitas ini adalah Kelompok Kebo-Butak lalu
di bagian atasnya diendapkan secara selaras Formasi Semilir dan Formasi Nglanggeran
dengan komposisi dan kandungan ketiga kelompok tersebut umumnya memiliki ash
yang tebal (Surono, 2009).
c. Synthem Tiga
Pada Miosen Tengah menunjukkan naik turunnya aktivitas vulkanisme yang terjadi
di Pegunungan Selatan ditandai dengan erosi dan pengendapan kembali produk
vulkanik lalu diikuti dengan perkembangan carbonate platform secara ekstensif.
Susunan formasi yang terendapkan pada synthem ini adalah Formasi Sambipitu,
Formasi Oyo, Formasi Wonosari, Formasi Punung, dan Formasi Kepek (Surono,
2009).
20
Selain ketiga synthem di atas, aktivitas yang terjadi di Pegunungan Selatan masih
berlanjut hingga Resen. Hal ini dikemukakan oleh Prasetyadi, (2007) sebagai berikut:
d. Kala Miosen Tengah-Pliosen
Pada Miosen Tengah-Pliosen terjadi pengaktifan kembali aktivitas vulkanik diikuti
dengan proses pengangkatan dan erosi.
e. Pliosen-Resen
Pada Pliosen-Resen, endapan alluvium terendapkan secara tidak selaras sebagai
satuan paling muda.
Gambar 17 Informasi stratigrafi dan Sedimen Endapan Kenozoikum Pegunungan Selatan (Smyth, dkk 2005)
21
Stratigrafi Daerah Pemetaan
22
Stratigrafi Pegunungan Selatan tersusun dari beberapa formasi sebagai berikut (Gambar18) :
23
Pengendapan kedua formasi ini juga dipengaruhi oleh kegiatan gunung api ditandai dengan
hadirnya endapan tuf sebagai produk aktivitas gunung api (Surono, 2008b).
c. Formasi Semilir
Formasi Semilir diendapkan secara selaras di atas Formasi Kebo-Butak. Menurut
Surono, (2008a) formasi ini berumur Miosen Awal (NN3) yang ditunjukkan oleh adanya
kumpulan nanofosil yaitu Sphenolithus moriformis, S. heteromorphus, S. belemnos,
Cyclicargolithus floridanus dan Discoaster deflandrei. Formasi Semilir tersusun dari
litologi batupasir tufan, batulanau, batulempung, tuf, lapilli, breksi vulkanik, serta lava
andesitik-basaltik (Faruqi, dkk. 2017) dengan ketebalan formasi 460 meter (Surono, 1992)
. Lingkungan pengendapan pada formasi ini berada di lingkungan laut dengan sistem arus
turbidit yang ditandai dengan adanya struktur graded bedding, perlapisan sejajar, dan
lapisan bergelombang (wavy lamination) (Faruqi, dkk. 2017). Pengendapan ini dipengaruhi
oleh kegiatan gunung api yang ditandai dengan kehadiran endapan tuf-lapilli sebagai
produk erupsi (Surono, 2008a).
d. Formasi Nglanggran
Formasi Nglanggaran diendapkan secara selaras di atas Formasi Semilir. Formasi
ini berumur Miosen Awal (N6) ditandai dengan kehadiran foraminifera Lepidocyclina sp
(Novian, dkk. 2007). Secara umum formasi tersusun oleh litologi breksi gunung api yang
diendapkan pada lingkungan laut hasil dari aliran rombakan gunung api bawah laut
ditandai dengan adanya endapan breksi vulkanik tersebut (Surono, 2008). Formasi ini
semakin ke atas mengalami perubahan secara berangsur menjadi Formasi Sambipitu
(Surono, 2008).
e. Formasi Sambipitu
Formasi Sambipitu berumur Miosen Awal (N8) ditunjukkan oleh forminifera yaitu
Globigerinoides immaturus, Globoquadrina dehiscens, G. archeomenardii, dan
Globigerina naparimaensis (Gandrapradana, dkk. 2015). Formasi ini tersusun dari litologi
berupa batupasir kasar, lalu semakin ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang
berselingan dengan serpih, batulanau, dan batulempung (Surono, 2009). Lingkungan
24
pengendapannya berada di lingkungan transisi, ditandai dengan kehadiran fosil jejak
berupa Chondroites isp dan Thalasinoides sp (Ashari, P dkk. 2016) dan kehadiran
foraminifera bentonik yaitu Dentalina ruidarostrata (Gandrapradana, dkk. 2015).
f. Formasi Oyo
Menurut Bothe (1929), Formasi Oyo berumur Miosen Awal-Tengah (N8-N12)
ditandai dengan kehadiran foraminifera seperti Cycloclpypeus annulatus, Lepidocyclina
rutteni, Lepidocyclina ferreroi, Miogypsina polymorpha. Formasi ini tersusun dari
batupasir yang berada dibagian bawah, lalu semakin ke atas berangsur menjadi
batugamping (Akmaluddin, 2012) dengan ketebalan formasi lebih dari 140 meter (Surono,
2009). Lingkungan pengendapan formasi ini berada di lingkungan laut dangkal ditandai
dengan carbonate platform yang berkembang baik (Husein, dkk. 2009).
g. Formasi Wonosari
Formasi Wonosari berumur Miosen Tengah-Akhir (N14-N18) (Surono, 2009).
Identifikasi umur formasi ini berdasarkan kehadiran foraminifera seperti Globogerina,
Globorotalia, Globigerinoides, Lepidocyclina sp, Ampistegina sp, Operculina sp dan
Milliloid (Siregar, S, 2006). Formasi ini tersusun oleh batuan karbonat yang terdiri dari
batugamping berlapis dan batugamping terumbu (Siregar, S, 2006) dengan ketebalan 750
meter (Surono, 2009).
Lingkungan pengendapan Formasi Wonosari berada di lingkungan rimmed shelf
platform ditandai oleh dua fasies yaitu planktonic packstone – wackestone (toe of slope)
dan fasies packstone – rudstone (reef slope) (Siregar, S, 2006).
h. Formasi Kepek
Formasi Kepek berumur Miosen Akhir–Pliosen Awal (N17-N18) ditandai dengan
kehadiran foraminifera planktonik seperti Globigerina bulloides d’orbigny, Globigerina
seminulina, Globigerinella aequilateralis, Globigerinoides ruber, Globigerinoides
trilobus, Orbulina universa dan kehadiran foraminifera bentonik seperti Amphistegina sp,
Cibicides lobatulus (Daryono&Pandita, 2016). Susunan litologi pada formasi ini terdiri
dari napal dan batugamping yang terendapkan secara menjari dengan Formasi Wonosari
25
bagian atas dengan ketebalan formasi ini kurang dari 200 meter (Surono, 2009).
Lingkungan pengendapan formasi ini berada di laut dangkal (zona neritik) berdasarkan
penemuan foraminifera bentonik yaitu Amphistegina sp, Cibicides lobatulus
(Daryono&Pandita, 2015).
i. Endapan Permukaan
Endapan kuarter merupakan hasil fluvio-vulkanik endapan merapi muda yang
mengisi graben Yogyakarta sejak Pleistosen hingga sekarang (Novian, M, dkk. 2014).
Surono, dkk (1992) membagi endapan ini menjadi 3 bagian yaitu Formasi Baturetno (Qb)
yang memiliki susunan litologi berupa lempung hitam, lumpur, lanau, pasir, lalu Formasi
Aluvium Tua (Qt) yang terususun dari litologi konglomerat, batupasir, lanau, lempung dan
Formasi Aluvium (Qa) tersusun dari litologi lempung, lumpur, lanau pasir, kerikil, kerakal,
dan berangkal.
26
BAB III
KERANGKA WAKTU
27
BAB IV
RENCANA KEUANGAN
28
DAFTAR PUSTAKA
Adha, I., Kurniasih, A., Nugroho, H., Rachwibowo, P. (2018). Kajian Analisis Sesar Di
Perbukitan Jiwo Barat, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Jurnal
Geosains dan Teknologi, 1(1), p.8-18
Bothe, A.ch.D. (1929). Djiwo Hills and Southern Range. Fourth Pacific Science
Conggress Excursion Guide, 14p
Clements, B., Hall, R. (2007). Cretaceous to Late Miocene Stratigraphic and Tectonic
Evolution of West Java. Proceedings, Indonesian Petroleum Association Thirty-
First Annual Convention and Exhibition.
Faruqi, M., Prihutama, F., Harjanto,A. (2017). Geologi Gunung Api Purba dan Kontak
Formasi Semilir dengan Formasi Oyo di Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunung
Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Proceeding, Seminar Nasional Kebumian
Ke-10 Peran Ilmu Kebumian dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia
29
Gandrapradana, M., Sulaksana, N., Haryanto, E. (2016). Sistem Pengendapan Formasi
Sambipitu, Daerah Nglanggran, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Pustaka Unpad
Novian, M., Setiawan, P., Husein, S., Rahardjo, W. (2007). Stratigrafi Formasi Semilir
Bagian Atas di Dusun Boyo, Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten
Gunung Kidul, DIY. Makalah disampaikan pada Seminar dan Workshop Potensi
Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah, Inna Garuda, 27-29
November 2007
Novian, M., Husein, S., Norma, R. (2014). Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional
Pegunungan Selatan – Zona Solo – Zona Kendeng – Zona Randublatung – Zona
Rembang. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada
Prasetyadi, C., Sudarno, I., Indranadi, V., Surono. (2011). Pola dan Genesa Struktur
Geologi Pegunungan Selatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi
Jawa Tengah. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 21(2), p.91-107
30
Rahardjo, W. (2007). Foraminifera Biostratigraphy of Southern Mountains Tertiary Rocks,
Yogyakarta Special Province. Prosiding Seminar dan Workshop Potensi Geologi
Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah
Satyana, A. (2003). Accretion and Dispersion of Southeast Sundaland: The Growings and
Slivering of a Continent. Proceedings of Joint Convention Jakarta The 32nd IAGI
and The 28th HAGI Annual Convention and Exhibition.
Setiawati, Y., Novian, M., Barianto., D. (2013). Studi Fasies Formasi Wungkal-Gamping
Jalur Gunung Gajah, Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten,
Provinsi Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6 Teknik
Geologi Universitas Gadjah Mada.
Siregar, S., Praptisih., Mukti, M. (2006). Fasies dan Model Sedimentasi Endapan Karbonat
Formasi Wonosari di bagian Selatan Pulau Jawa. Prosiding Seminar Geoteknologi
“Peluang dan Peran Ilmu Kebumian dalam Pembangunan Berkelanjutan”.
Smyth, H., Hall, R., Hamilton, J., Kinny,P. (2005). East Java: Cenozoic Basins, Volcanoes
and Ancient Basement. Proceedings, Indonesian Petroleum Association 13th
Annual Convention & Exhibition.
31
Sribudiyani., Muchsin,N., Ryacudu,R., Kunto, T., Astono,P., Prasetya,I., Sapiie,B.,
Asikin,S.,Harsolumakso, A., Yulianto, I. (2003). The Coliision of The East Java
Microplate and Its Implication For Hydrocarbon Occurences in the East Java Basin.
Proceedings Indonesian Petroleum Association Twenty-Ninth Annual Convention
& Exhibition.
Sumarso dan Ismoyowati, T. (1975). Contribution to The Stratigraphy of the Jiwo Hills
and Their Southern Surroundings (Central Java). Proceedings of the Indonesian
Petroleum Association 4th Annual Convention, 2, p. 19-26.
Surono., Toha, B., Sudarno, I. (1992). Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Jawa,
Skala 1 : 100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Surono. (2008b). Stratigrafi dan Sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak, di
Pegunungan Bagian Selatan. , 3 (4), p. 183-193.
32
LAMPIRAN
33
Gambar 20 Peta Basecamp
34