Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH KEWARGANEGARAAN

KORUPSI DALAM OTONOMI DAERAH

Dosen Pembimbing :
Dr. Khrisna Hadiwinata, SH., MH.

Anggota Kelompok 6 Kelas D3 TL 2-F :

Alfa Rizky Eha Pradana (1731120108)


Moh. Nizar Khamdun (1731120083)
Muhammad Iqbal Surur (1731120097)
Nihayatuzzulfa (1731120096)

PROGRAM STUDI TEKNIK LISTRIK


JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
POLITEKNIK NEGERI MALANG
2018
A. Pengertian Korupsi

Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah
tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain
yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan
tidak legalmenyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka
untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

B. Pengertian Korupsi Menurut Para Ahli

Agar lebih memahami apa itu korupsi, maka kita dapat merujuk pada pendapat
beberapa ahli berikut ini:

1. Robert Klitgaard

Menurut Robert Klitgaard, pengertian korupsi adalah suatu tingkah laku yang
menyimpang dari tugas-tugas resmi jabatannya dalam negara, dimana tujuannya
untuk memperoleh keuntungan status atau uang yang menyangkut diri pribadi
atau perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri, atau dengan melanggar aturan
pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku pribadi.

2. Henry Campbell Black

Menurut Henry Campbell Black, definisi korupsi adalah suatu perbuatan yang
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu keuntungan yang tidak sesuai
dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain.

3. Albert Sydney Hornby

Menurut Albert Sydney Hornby, arti korupsi adalah suatu pemberian atau
penawaran dan penerimaan hadian berupa suap, serta kebusukan atau keburukan.
4. Nathaniel H. Leff

Menurut Nathaniel H. Leff, pengertian korupsi adalah suatu cara diluar hukum
yang digunakan oleh perorangan atau kelompok untuk mempengaruhi tindakan-
tindakan birokrasi.

5. Syeh Hussein Alatas

Menurut Syeh Hussein Alatas, pengertian korupsi adalah subordinasi kepentingan


umum di bawah kepentingan pribadi yang mencakup pelanggaran norma, tugas
dan kesejahteraan umum, yang diakukan dengan kerahasiaan, penghianatan,
penipuan dan ketidakperdulian dengan akibat yang diderita oleh rakyat.

6. Gunnar Myrdal

Menurut Gunnar Myrdal, pengertian korupsi adalah suatu masalah dalam


pemerintahan karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran
membuka jalan membongkar korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman
terhadap pelanggar. Tindakan dalam pemberantasan korupsi umumnya dijadikan
pembenar utama terhadap KUP Militer.

7. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Menurut KBBI, pengertian korupsi adalah tindakan penyelewengan atau


penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan
pribadi atau orang lain.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:

 perbuatan melawan hukum,


 penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
 memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
 merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah

 memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),


 penggelapan dalam jabatan,
 pemerasan dalam jabatan,
 ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
 menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan
korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan
dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik
ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau
berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan
kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan
membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi
dan kejahatan.

Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang
dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang
legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

C. Faktor Penyebab Korupsi

Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa tindakan korupsi adalah suatu
tindakan yang ingin mencari keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, namun
merugikan kepentingan publik dan masyarakat luas. Adapun faktor penyebab
korupsi adalah sebagai berikut:
1. Faktor Internal

Faktor internal penyebab korupsi berasal dari dalam diri sendiri, yaitu sifat dan
karakter seseorang yang mempengaruhi segala tindakannya. Beberapa yang
termasuk di dalam faktor internal ini diantaranya:

 Sifat tamak, sifat dalam diri manusia yang menginginkan sesuatu


melebihi kebutuhannya dan selalu merasa kurang.
 Gaya hidup konsumtif, perilaku manusia yang selalu ingin memenuhi
kebutuhan yang tidak terlalu penting sehingga tidak bisa
menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluarannya,
misalnya hedonisme.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal penyebab korupsi berasal dari lingkungan sekitar yang dapat
mempengaruhi pemikiran dan tindakan seseorang sehingga melakukan korupsi.
Beberapa yang termasuk dalam faktor eksternal tersebut diantaranya:

 Faktor ekonomi, adanya kebutuhan akan ekonomi yang lebih baik


seringkali mempengaruhi seseorang dalam bertindak. Misalnya gaji
yang tidak sesuai dengan beban kerja, mendorong seseorang
melakukan korupsi.
 Faktor politik, dunia politik sangat erat hubungannya dengan
persaingan dalam mendapatkan kekuasaan. Berbagai upaya dilakukan
untuk menduduki suatu posisi sehingga timbul niat untuk melakukan
tindakan koruptif.
 Faktor organisasi, dalam organisasi yang terdiri dari pengurus dan
anggota, tindakan korupsi dapat terjadi karena perilaku tidak jujur,
tidak disiplin, tidak ada kesadaran diri, aturan yang tidak jelas, struktur
organisasi tidak jelas, dan pemimpin yang tidak tegas.
 Faktor hukum, seringkali tindakan hukum terlihat tumpul ke atas
tajam ke bawah. Artinya, para pejabat dan orang dekatnya cenderung
diperlakukan istimewa di mata hukum, sedangkan masyarakat kecil
diperlakukan tegas. Hal ini terjadi karena adanya praktik suap dan
korupsi di lembaga hukum.

D. Jenis dan Bentuk Korupsi

Ada banyak sekali bentuk dan contoh tindakan korupsi yang dilakukan oleh para
pejabat, mulai dari pegawai rendah hingga pejabat negara. Mengacu pada
pengertian korupsi, adapun beberapa jenis dan bentuk korupsi adalah sebagai
berikut:

1. Bribery (Penyuapan)

Bribery atau penyuapan adalah suatu tindakan memberikan uang/ imbalan kepada
pihak lain yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk
mendapatkan apa yang diinginkan. Bentuk penyuapan tersebut misalnya;

 Memberikan atau menjanjikan sesuatu (uang atau lainnya) kepada


hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara.

2. Embezzlement (Penggelapan)

Embezzlement atau penggelapan adalah suatu tindakan kecurangan dalam bentuk


penggelapan sumber daya orang lain atau organisasi untuk kepentingan pribadi.
Bentuk penggelapan tersebut misalnya;

 Membuat faktur tagihan fiktif.


 Menggunakan kas kecil untuk kepentingan pribadi.
 Penggelembungan biaya perjalanan dinas.

3. Fraud (Kecurangan)
Fraud atau kecurangan adalah suatu tindakan kejahatan ekonomi yang disengaja
dimana seseorang melakukan penipuan, kecurangan, dan kebohongan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi. Bentuk fraud tersebut misalnya;

 Penggelapan uang kas dengan cara mengundur-undur waktu pencatatan


penerimaan kas.
 Memanipulasi atau mendistorsi informasi/ fakta untuk kepentingan
tertentu.

4. Extortion (Pemerasan)

Extortion atau pemerasan adalah suatu tindakan koruptif dimana seseorang atau
kelompok melakukan ancaman secara lalim kepada pihak lain untuk memperoleh
uang, barang dan jasa, atau perilaku yang diinginkan dari pihak yang diancam.
Bentuk pemerasan tersebut misalnya;

 Ancaman perusakan properti bila tidak memberikan uang keamanan.


 Pemerasan dengan cara ancaman merusak reputasi seseorang.

5. Favouritism (Favoritisme)

Favouritism/ favoritisme atau tindakan pilih kasih adalah suatu mekanisme


koruptif dimana seseorang atau kelompok menyalahgunakan kekuasaannya yang
berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya.

E. Kondisi yang mendukung munculnya korupsi

Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab


langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang
bukan demokratik.

 Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah


 Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari
pendanaan politik yang normal.
 Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
 Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman
lama".
 Lemahnya ketertiban hukum.
 Lemahnya profesi hukum.
 Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
 Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan


kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B
Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada umumnya orang menghubung-
hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan
adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar bahwa
hal tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling
memengaruhi satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling
menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi.
Namun kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang
paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini
dikemukakan oleh Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The
Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123). Begitu pula
J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960
situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai, gaji
sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami
bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan
banyak di antaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk
pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya Andi
Hamzah, 2007)

 Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal
memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
 Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau
"sumbangan kampanye".
F. Contoh permasalahan tindak pidana korupsi :

Kota Malang, 06 September 2018 – Kota Malang mendapatkan sorotan dari


media nasional atas kasus korupsi yang menimpa 41 anggota DPRD. Jika
diibaratkan penyakit, korupsi merupakan penyakit yang dapat mengganggu
kinerja pada tubuh. Apabila penyakit sudah mulai ganas, segala aktivitas yang
dilakukan tidak optimal. Begitulah kira-kira jika digambarkan dengan kondisi
Kota Malang hari ini. Jumlah 41 angggota DPRD dari 45 orang telah ditetapkan
sebagai; 1 terpidana, 18 terdakwa, dan 22 tersangka. Yang menghebohkan adalah
penetapan ke-22 tersangka. Hal ini diakibatkan dari penelusuran lebih jauh oleh
KPK terhadap kasus Suap Perubahan APBD 2015.

Dengan kondisi semacam ini, berdampak terhadap penyelenggaraan pemerintah di


Kota Malang menjadi lumpuh. Pada tahap ini terdapat agenda besar yang harus
dibahas bersama antar pemerintah dan DPRD. Diantaranya adalah, pembahasan
Penetapan APBD 2019, Laporan Pertanggungjawaban satu periode pemerintahan
(2013-2018), Laporan Keterangan Pertanggun-jawaban (LKPJ) 2018,
Pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Perioritas Perlafon Anggaran
Sementara (KUA PPAS) 2020 dan beberapa rapat paripurna lainnya.

Pada persoalan diatas, segala macam pembahasan adalah agenda-agenda penting


untuk menentukan kebijakan di Kota Malang. Agar roda pemerintahan kembali
normal, melalui Kementrian Dalam Negeri, pemerintah Kota Malang akan
diberikan diskresi sehingga penyelenggaraan pemerintahan tidak lumpuh. Selain
itu pula, Pimpinan KPK menyampaikan agar partai politik yang memperoleh kursi
di dewan dapat melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) untuk mempercepat
penyelenggaraan pemerintah.

Dalam hal ini, terdapat permasalahan penting yang perlu diperhatikan bersama,
diantaranya:

1. Cabut Mandat DPRD


Cabut mandat DPRD merupakan penyampaian kekecewaan warga Kota Malang
terhadap DPRD karena mandat yang diberikan sebagai wakil rakyat tidak
dioptimalkan. Seharusnya DPRD menjadi penyeimbang dengan pemerintah (cek
and balance), bukan melakukan kongkalikong pada saat pembahasan kebutuhan
masyarakat. Pembangunan Jembatan Kedungkandang adalah bukti dari kegagalan
fungsi DPRD. Pembangunan Jembatan Kedungkandang dari tahun 2012 hingga
2014 tidak berjalan. Semestinya secara kewenangan DPRD dapat menolak LKPJ
Kota Malang pada tahun 2014. Bukan malah memberi ruang untuk dilakukan
penganggaran kembali pada Perubahan APBD 2015. Karena fungsi
pengawasannya tidak maksimal, mengakibatkan terjadinya suap tersebut. Hal
inilah yang membuat warga Kota Malang kecewa.

2. Partai Politik Segera Melakukan PAW


Partai politik pemenang pileg pada tahun 2014 harus segera melakukan PAW.
Dengan begitu pelaksanaan roda pemerintahan di Kota Malang tidak macet,
karena sisa dari 41 anggota DPRD tidak memenuhi quorum atau 2/3 dari anggota
DPRD. Melihat banyaknya agenda paripurna, maka PAW harus segera dilakukan.

3. KPK Usut Tuntas


KPK harus usut tuntas pelaku kejahatan korupsi di Kota Malang. Persoalnnya
adalah belum ditemukannya aktor intelektual dibelakang kasus ini. Rentetan kasus
ini tidak berjalan sendiri, melainkan masih satu rel, dari Korupsi Pembangunan
Jembatan Kedungkandang, Suap 1%, dan Suap Perubahan APBD 2015. Yang
ditahan oleh KPK saat ini adalah 41 anggota DPRD, tiga dari pihak eksekutif, dan
satu dari pihak swasta yang memenangkan tender pembangunan Jembatan
Kedungkandang. Masih terdapat aktor-aktor lain yang masih berkecimpung
terhadap kasus ini yang perlu diusut tuntas.

4. Selesaikan Kasus Korupsi yang Masih Mangkrak


Warga Kota Malang meyakini, jika memperhatikan selemah ini fungsi
pengawasan DPRD, maka, dipastikan masih banyak kasus korupsi yang belum
ditangani. Beberapa tahun terakhir, kasus korupsi yang mencuat di Kota Malang
diantaranya; Korupsi Lahan RSUD, Hilangnya Kendaraan Dinas, Korupsi
Retribusi Parkir, korupsi Pembangunan Drainase Tidar di Jalan Bondowoso,
Korupsi Pengadaan Laboratorium Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Negeri Malang pada APBN 2009, kasus korupsi pengadaan
modul untuk pelaksanaan kurikulum 2013 di (PPPPTK-BOE) – VEDC Malang,
dan beberapa indikasi kasus korupsi Kota Malang lainnya yang belum diungkap
oleh Polres Kota Malang dan Kejaksanaan Negeri Malang.

5. Sikap Warga Malang


Dengan keadaan seperti ini, sikap kami sebagai warga Kota Malang kecewa
terhadap wakil rakyat dan oknum pemerintah Kota Malang. Dengan kasus ini
pula, Kota Malang menjadi tranding topic diseluruh media nasional. Hangatnya
pemberintaan korupsi yang dilakukan oleh wakil rakyat membuat kami malu.
Penyelenggara negara – DPRD dan Pemerintah Kota Malang – kami sampaikan
tidak bermoral, karena melakukan kegiatan hina dengan mencuri hak rakyatnya,
dan ditipu melalui fasilitas publik yang diperuntukan sebagai cara agar kami
sebagai warga memperoleh kesejahteraan.

Dengan demikian, permasalahan diatas kami menuntut:

1. DPRD harus mengembalikan rasa percaya warga Kota Malang, atas


tipu dan muslihat busuk yang dilakukan sehinga terjadinya kasus
korupsi.
2. Partai Politik segera melakukan PAW agar pembahasan tentang
kebutuhan hidup warga Kota Malang dapat segera dilakukan bersama
dengan pemerintah.
3. Penegak Hukum; KPK, Kepolisian dan Kejaksaan yang telah membuka
mata warga Kota Malang hingga mengetahui tidak bermoralnya
penyelenggaraan pemerintah dengan melakukan kegiatan korupsi yang
hina tersebut. Ayo bersihkan Kota Malang dari penyelenggara
pemerintah yang rakus, tamak dan amoral yang masih tersisa.
4. Kami sebagai warga Kota Malang kecewa dan prihatin atas perilaku
DPRD dan pemerintah. Melalui kegiatan ini kami menyampaikannya
dengan melakukan kegiatan simbolik, dan berhadap penyelenggara
pemerintah kedepan yang akan membahas kebutuhan masyarakat
banyak kembali fitra dan menjalankan peran yang semestinya.

G. Sikap Masyarakat Terhadap Kasus Korupsi di Kota Malang yang Menimpa

Mendalami kasus Suap Perubahan APBD 2015 tidak menghentikan KPK untuk
menelusuri lebih jauh. Saat ini telah ditetapkan 22 anggota DPRD Kota Malang
yang akan diperiksa lebih lanjut di Jakarta. Sebelumnya KPK telah menetapkan
19 anggota DPRD atas kasus Suap Perubahan APBD 2015; satu terpidana, dan 18
terdakwa. Ke-19 anggota DPRD Kota Malang tersebut terbukti melakukan
menerima Suap Perubahan APBD 2015. Dengan demikian telah ditetapkan
sebanyak 41 orang.

Tahun 2019, serentak akan dilakukan pemilihan umum legislatif (pileg). Beberapa
anggota DPRD Kota Malang yang telah ditetapkan sebagai tersangka bakal calon
legislatif (bacaleg), bagaimana nasibnya? Partai politik pengusung telah
menyeleksi kader yang dinilai pantas untuk menyuarakan aspirasi masyakat.
Dengan situasi demikian, permasalahan di Kota Malang akan dilakukan
Pergantian Antar Waktu (PAW) oleh partai politik agar penyelenggaraan roda
pemerintahan Kota Malang berjalan lancar. Sebagai kandidat wakil rakyat yang
akan menentukan kebijakan bersama pemerintah. Masyarakat perlu melihat lebih
jeli terhadap kualitas dan kuantitas calon PAW tersebut. Apalagi dengan
terjadinya permasalahan korupsi jemaah di Kota Malang.

Umumnya pada negara demokrasi, legislatif memiliki kewenangan untuk


menyeimbangkan jalannya roda pemerintahan. Kewenangan tersebut diantaranya
adalah, pembuatan kebijakan (legislatisi), pengawasan (controling), dan
anggaran (budgeting). Ketiga kewenangan ini menjadi kekuatan untuk DPRD
dalam menyampaikan aspirasi masyarakat. Pertama Pembuatan kebijakan. Pada
dasarnya kebijakan dirumuskan oleh pemerintah dan DPRD berserta tim ahli
(akademisi), hingga tahap penerapan kebijakan. Tahap penerapan kebijakan
disampaikan melalui bentuk pelayanan publik. Terapan dari kebijakan tersebut
dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat, baik dampak positif dan negatif.

Kedua, pengawasan, sebagai cara untuk mengantisipasi permasalahan yang akan


dihadirkan oleh produk kebijakan, yang dilaksankan oleh pemerintah. Selain itu,
melalui kegiatan reses, DPRD dapat mengetahui masalah yang dihadapi oleh
masyarakat. Masalah yang diketahui tersebut dapat disampaikan kepada
pemerintah. Agar peroduk kebijakan tersebut dapat dievaluasi bersama, sehingga
manfaat dari kebijakan yang diperuntukan dalam bentuk pelayanan publik dapat
dirasakan oleh seluruh warga.

Ketiga, masalah pengelolaan anggaran. Perumusan APBD hingga penetapannya


dibahas bersama antar pemerintah dan DPRD. Pemerintah yang
melaksanakannya, dan DPRD perlu secara jeli memperhatikan anggaran yang
akan digunakan oleh pemerintah. Apakah anggaran sudah sesuai dengan
kebutuhan masyarakat atau tidak? Selain itu anggaran juga harus disesuaikan
dengan skala perioritas.

Ketiga hal kewenangan yang melekat terhadap diri DPRD tersebut perlu
dimasifkan, sehingga pelaksanaan cek and balance dengan pemerintah untuk
menyeimbangkan roda pemerintahan terlaksana optimal.

Selain itu, kewenangan legislatif tidak berhenti pada tiga hal di atas, menurut
Pitkin dalam Ratna Solihah dan Siti Watiati pada jurnalnya Pelaksanaan Fungsi
Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Pemilu 2014. Terdapat kewenangan
represntasi, yang merupakan fungsi substantif dalam diri legislatif sebagai wakil
rakyat yang bertindak mewakili dengan cara yang responsif dari wakilnya.
Artinya DPRD melakukan segala macam kegiatan karena merasa mewakili
rakyatnya atas dasar kebutuhan masyarakat. Bukan represntasi dari keinginan
pribadi bahkan golongan.

Selain itu, masih terdapat satu kewenangan lagi untuk legislatif, adalah memilih
ketua BUMN/D, memilih ketua komisioner KPU, KPK dan berbagai lembaga
diluar pemerintah. Khusus di daerah, pemilihan ketua BUMD, DPRD miliki
kewenangan secara otonomi terhadapnya.

Realitas DPRD Kota Malang

Dari berbagai macam kewenangan di atas, DPRD Kota Malang belum


menjalankannya dari niatan hati paling dalam. Dari berbagai macam persoalan
yang dihadapi DPRD, salah satunya adalah kasus Suap Perubahan APBD 2015.
Sebelum mencuatnya kasus Suap Perubahan APBD 2015, tidak bisa dilepas
dengan mega proyek pembangunan Jembatan Kedungkandang. Pembangunan
Jembatan Kedungkandang yang diperkirakan dapat terlaksana selama tiga tahun
(2012 – 2014). Akan tetapi pembangunan tersebut malah menjadikan gurita
korupsi oleh pemerintah, DPRD dan pihak swasta pemenang lelang proyek
pembangunan Jembatan Kedungkandang. Dampak dari gagalnya pembangunan
Jembatan Kedungkandang mengakibatkan kemacetan di wilayah Muharto.
Padahal rencana pembangunan Jembatan Kedungkandan untuk memperlancar
roda perekonomian di Malang Raya dan mengurangi kemacetan.

Karena gagalnya pembangunan Jembatan Kedungkandang, Pemerintah dan


DPRD ingin menganggarkan kembali pembangunan Jembatan Kedungkandang.
Kongkalingkong pengang-garan kembali Jembatan Kedungkandang dengan
disiapkannya pihak swasta yang akan memenangkan lelang. Pengganggaran
kembali Jembatan Kedungkandang melalui Perubahan APBD 2015, agar disetujui
oleh DPRD, maka suap tersebut dilakukan. Hal ini dapat diartikan sebagai
kurangnya moral penyelenggara negara di Kota Malang (pemerintah dan DPRD),
hingga melakukan kegiatan hina dan merugikan masyarakatnya sendiri.

Oleh karenanya seluruh kewenangan DPRD semestinya dapat melakukan


pengawasan, legislasi, dan anggaran dapat dikatakan cacat, karena keseluruhan
kewenangan tersebut tidak dilaksanakan secara optimal. Dari kasus pembangunan
Jembatan Kedungkandang hingga terjadinya Suap Perubahan APBD 2015,
sebagai wakil rakyat yang merupakan representasi dari keinginan masyarakat,
DPRD Kota Malang gagal melakukan kewenangan tersebut.
Semestinya dari kegagalan pembangunan Jembatan Kedungkandang selama tiga
tahun dapat di tolak oleh DPRD ketika pemerintah memberikan Laporan
Keterangan Pertanggung-jawaban (LKPJ) tahun 2014, bukan malah memberikan
ruang agar pembangunan Jembatan Kedungkandang dianggarkan kembali pada
Perubahan APBD 2015.

Diskresi, Apakah Penting?

Dengan permasalahan ini, maka otomatis penyelenggaraan pemerintah Kota


Malang terhambat. Barbagai agenda penting seperti pelantikan Walikota terpilih,
Pembahasan APBD 2019, dan LKPJ 2018. Meskipun sebelum telah dibahas
Perubahan APBD 2018, namun melihat sisa waktu hanya tinggal tiga bulan,
sesuai dengan aturan PP 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
maka perubahan anggaran tidak dapat dilakukan. Ditambah dengan kondisi
semacam ini.

Adapun istilah diskresi disampaikan dalam UU No 30 Tahun 2014 Tentang


Administrasi Pemerintah bahwa Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan
yang ditetapkan dan/atau di-lakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi
persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Oleh sebab itu, Menteri Dalam Negeri melihat kondisi Kota Malang yang dinilai
macet dapat diberlakukan diskresi, dengan bantuan dari pemerintah provinsi untuk
pembahasan-pembahasan penting agar roda pemerintahan tidak macet.

Akan tetapi, Menteri Dalam Negeri adalah pihak ekskutif, dan ingin
memperlancar roda pemerintahan dengan membantu dan memperlancar
penyelenggaraan DPRD. Secara dekosentrasi hal ini tidak ketemu, namun UU
Administrasi Negara tersebut menyampaikan demikian. Dalam pasal 22
disampaikan; mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan
kepentingan umum. Selain itu indikator diskresi diantaranya adalah keadaan
darurat dan mendesak. Hal ini telah terjadi di Kota Malang. Akan tetapi perlu
dikembalikan lagi, apakah dengan diskresi yang disampaikan oleh Kementrian
Dalam Negeri, DPRD Kota Malang ingin melakukannya?

Solusi lainnya adalah, Partai politik yang memiliki kursi di parlemen Kota Malang
akan melakukan PAW untuk mengisi jabatan yang kosong. Satu-satunya cara
adalah memperoleh bantuan dari pemerintah provinsi sebagaimana yang
disampaikan melalui diskresi tersebut. Agar roda pemerintah untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berjalan optimal.

PAW adalah solusi, akan tetapi ada beberapa pertimbangan yang perlu
diperhatikan. Pertama dari Wawan Sobari (Radar Malang; 07 September 2018), ia
menyampaikan kepada kandidat PAW untuk segera beradaptasi (tune in) dengan
cara kerja DPRD, mengingat banyaknya agenda DPRD bersama pemerintah,
bukan hanya sebagai pelengkap quorum. Kedua Rahmad Safa’at (Malang Voice;
06 September 2018), bahwa pelaksanaan PAW akan memicu terjadinya gugatan.
Karena ke-22 tersangka tersebut belum diputuskan secara ingkrah menyatakan
mereka bersalah.

Oleh sebab itu, banyak pertimbangan dari solusi PAW ini. Yang perlu perhatikan
secara jeli adalah, para kandidat PAW ini adalah bacaleg. Jelas dengan kondisi
semacam ini mereka memanfaatkannya untuk dikenal publik. Catatan terpenting
dari PAW ini agar masyarakat dapat memperhatikan cara kerja mereka terhadap
pembahasan kebutuhan masyarakat Kota Malang. Apakah sesuai atau tidak, jika
tidak jangan direpresntasikan sebagai wakil rakyat untuk pileg tahun depan.

Dampak yang dirasakan warga Kota Malang

Selain kurang moralnya DPRD Kota Malang, hal ini memperhambat


penyelenggaraan pemerintahan. Segala keputusan yang dilakukan pemerintah
harus memperoleh izin dari DPRD Kota Malang, hal ini sesuai dengan bentuk
pengawasannya.
Akibat dari kerakusan tersebut, sehingga mengakibatkan gagalnya pembangunan
Jembatan Kedungkandang dan wilayah Muharto terjadi kemacetan.

Mencuatnya permasalah ini, warga Kota Malang merasa malu dan marah.
Sayangnya kemarahan ini digunakan hanya untuk mencaci di media sosial.
Padalah secara hak mereka terenggut atas fasilitas publik yang tidak
direalisasikan. Dan beberapa warga melalui media sosial menyampaikan bahwa
sudah tidak mempercayai wakil rakyat. Hal semacam ini perlu diperhatikan secara
serius. Apabila masyarakat Kota Malang apatis terhadap politik, maka secara
langsung tidak ingin melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintah. Sebagaimana yang disampaikan dalam kontrak sosial, maka negara-
lah yang akan mefasilitasi kebutuhan hidup warganya. Apabila apatis, dan
mengakibatkan kontrol masyarakat lemah, maka dampaknya korupsi terjadi dan
kebutuhan akan hak hidup masyarakat tidak terfasilitasi oleh negara.

Jika tidak ingin malu dan marah akibat ulah penyelenggara negara, maka
dikontrol penyelenggaraan pemerintah, karena warga negara memiliki hak
konstitusi itu untuk mengawal. Apalagi di era good governance seperti ini,
dimana transparan dan akuntabel menjadi kunci dari penyelenggaraan pemerintah
yang baik dan bersih. Minimal masyarakat dapat mengontrol pembahasan APBD,
mulai dari musyawarah rencana pembanguan (musrenbang) kelurahan/desa,
musrenbang kecamatan, musrenbang OPD, musrenbang kota/kabupaten dan
pembahasan paripuran, mulai dari Rencana Kebijakan Anggaran (RKA),
Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Perioritas Pelafon Anggaran Sementara
(PPAS) hingga penetapan APBD.

Tahun 2019 akan dilaksanakan pileg, kesadaran masyarakat menjadi penting


melihat kondisi semacam ini. Agar permasalahan yang disampaikan di atas tidak
terulang, masyarakat dapat mem-perhatikan kualitas dan kuantitas wakil
rakyatnya. Dan, harus melihat secara jeli kemampuan bakal calon DPRD Kota
Malang.
Karena kurang jelinya memperhatikan kemampuan DPRD, dan juga kerakusan
DPRD, maka korupsi itu terjadi. Belum lagi dikibulin dengan janji-janji
kampanye yang enggan direalisasikan. Terpenting adalah masyarakat dengan
negara harus sama-sama pintar, cerdas dan cekatan. Jika melempem, dengan
mudahnya hal tersebut akan dipermainkan oleh penyelenggara negara. Buktinya
adalah gagalnya pembangunan Jembatan Kedungkandang sebagai fasilitas warga
dan memperlancar roda perekonomian malah mengakibatkan kemacetan. Selain
itu, sebagai kekayaan masyarakat diberikan kepada negara berupa pajak dan
retribusi. Dengan memberikan sebagian kekayaan tersebut harapannya untuk
menunjang pelayanan publik yang memadai. Namun, hingga saat ini masih
banyak permasalah publik yang belum diatasi oleh penyelenggara negara di Kota
Malang.

Dengan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah,


masyarakat telah turut aktif melakukan kontrol agar hak hidup mereka tidak
direnggut dan kongkalingkong korupsi dapat diminimalisir. Jika rencana kerja
pemerintah yang disampaikan melalui APBD tidak direalisasikan, masyarakat
perlu mendatangi kantor-kantor penyelenggara negara untuk menagih hal tersebut.
Dengan begitu, masyarakat tidak akan dikibulin, apalagi termakan janji-janji
politik.

Proyek multiyears jembatan Kedungkandang, Kota Malang, diduga menjadi cikal


bakal terbongkarnya korupsi massal. Jembatan di sisi timur Kota Malang, itu
dibangun untuk mengurai kepadatan arus lalu lintas, sekaligus menjadi jalur arteri
tolPandaan-Malang. Pada awalnya, proyek jembatan Kedungkandang mulai
berjalan pada 2013, dengan pembebasan lahan serta pemasangan besi penyangga.
Namun sampai kepemimpinan Peni Suparto proyek tersebut mangkrak, dan baru
berjalan kembali pada masa kepemimpinan Anton di 2014.

Perencanaan kembali melanjutkan proyek jembatan Kedungkandang yang


dirancang Pemkot Malang. Namun dalam waktu bersamaan Polres Malang Kota
menangani dugaan korupsi di dalamnya. Kasusnya mengambang hingga
mempengaruhi pembahasan di APBD. Tetapi dalam pembahasan APBD 2015
hingga perubahannya, rencana proyek digulirkan dengan alokasi anggaran Rp 30
miliar. Tahun berikutnya, proyek dilanjutkan dengan alokasi anggaran Rp 98
miliar dengan target proyek selesai. KPK mengendus adanya kongkalikong antara
Pemkot Malang dalam hal ini mantan Kadis Pekerjaan Umum dan Pengawasan
Bangunan Jarot Edy Sulistyo dengan mantan Ketua DPRD Kota Malang Arief
Wicaksono, keduanya kini menjadi terdakwa kasus suap pembahasan APBD-
Perubahan2015.

Lembaga anti rasuah itu menetapkan Jarot serta Arief sebagai tersangka pemberi
dan penerima suap, sekaligus Komisaris PT EMK Hendarwan Maruszaman.
Bersamaan KPK menemukan istilah pokok pikiran (pokir) yang diduga sebagai
upaya memuluskan pembahasan APBD-Perubahan 2015, yang di dalamnya juga
terdapat perencanaan proyek jembatan Kedungkandang.

Arief disangka menerima suap sebesar Rp 700 juta untuk pembahasan APBD-P
2015 yang juga melibatkan mantan Kadis Pekerjaan Umum dan Pengawasan
Bangunan Jarot Edy Sulistyo, dan suap dari Komisaris PT EMK Hendarwan
Maruszaman sebesar Rp 250 juta, untuk penganganggaran proyek jembatan
Kedungkandang tahun 2016 sebesar Rp 98 miliar, di tahun 2015. Pada
pertengahan Agustus 2017, KPK menggeledah ruang kerja wali kota Moch Anton,
Sekda, serta wakil wali kota Sutiaji, gedung DPRD serta kediaman Anton, ketua
DPRD.

Selanjutnya pemeriksaan maraton terhadap puluhan anggota DPRD dilakukan


KPK. Sampai sore kemarin, KPK menetapkan 19 orang tersangka, dua
diantaranya cawali Moch Anton dan Yaqud Ananda Gudban, beserta 17 anggota
DPRD lain. Mereka disangka menerima hadiah dari Anton dalam pembahasan
APBD-Perubahan 2015.
DAFTAR PUSTAKA

- https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-korupsi.html, diakses
pada tanggal 27 Mei 2019

- https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-korupsi.html. diakses
pada tanggal 27 Mei 2019

- https://mcw-malang.org/buntut-kekecewaan-dan-rasa-malu-warga-kota-
malang/, diakses pada tanggal 27 Mei 2019

- https://mcw-malang.org/sikap-masyarakat-terhadap-kasus-korupsi-di-kota-
malang-yang-menimpa-dprd/, diakses pada tanggal 27 Mei 2019

- https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3930695/proyek-jembatan-ini-
cikal-bakal-terbongkarnya-korupsi-massal, diakses pada tanggal 27 Mei 2019

Anda mungkin juga menyukai