Dosen Pembimbing :
Dr. Khrisna Hadiwinata, SH., MH.
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah
tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain
yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan
tidak legalmenyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka
untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Agar lebih memahami apa itu korupsi, maka kita dapat merujuk pada pendapat
beberapa ahli berikut ini:
1. Robert Klitgaard
Menurut Robert Klitgaard, pengertian korupsi adalah suatu tingkah laku yang
menyimpang dari tugas-tugas resmi jabatannya dalam negara, dimana tujuannya
untuk memperoleh keuntungan status atau uang yang menyangkut diri pribadi
atau perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri, atau dengan melanggar aturan
pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku pribadi.
Menurut Henry Campbell Black, definisi korupsi adalah suatu perbuatan yang
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu keuntungan yang tidak sesuai
dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain.
Menurut Albert Sydney Hornby, arti korupsi adalah suatu pemberian atau
penawaran dan penerimaan hadian berupa suap, serta kebusukan atau keburukan.
4. Nathaniel H. Leff
Menurut Nathaniel H. Leff, pengertian korupsi adalah suatu cara diluar hukum
yang digunakan oleh perorangan atau kelompok untuk mempengaruhi tindakan-
tindakan birokrasi.
6. Gunnar Myrdal
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan
korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan
dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik
ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau
berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan
kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan
membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi
dan kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang
dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang
legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa tindakan korupsi adalah suatu
tindakan yang ingin mencari keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, namun
merugikan kepentingan publik dan masyarakat luas. Adapun faktor penyebab
korupsi adalah sebagai berikut:
1. Faktor Internal
Faktor internal penyebab korupsi berasal dari dalam diri sendiri, yaitu sifat dan
karakter seseorang yang mempengaruhi segala tindakannya. Beberapa yang
termasuk di dalam faktor internal ini diantaranya:
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal penyebab korupsi berasal dari lingkungan sekitar yang dapat
mempengaruhi pemikiran dan tindakan seseorang sehingga melakukan korupsi.
Beberapa yang termasuk dalam faktor eksternal tersebut diantaranya:
Ada banyak sekali bentuk dan contoh tindakan korupsi yang dilakukan oleh para
pejabat, mulai dari pegawai rendah hingga pejabat negara. Mengacu pada
pengertian korupsi, adapun beberapa jenis dan bentuk korupsi adalah sebagai
berikut:
1. Bribery (Penyuapan)
Bribery atau penyuapan adalah suatu tindakan memberikan uang/ imbalan kepada
pihak lain yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk
mendapatkan apa yang diinginkan. Bentuk penyuapan tersebut misalnya;
2. Embezzlement (Penggelapan)
3. Fraud (Kecurangan)
Fraud atau kecurangan adalah suatu tindakan kejahatan ekonomi yang disengaja
dimana seseorang melakukan penipuan, kecurangan, dan kebohongan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi. Bentuk fraud tersebut misalnya;
4. Extortion (Pemerasan)
Extortion atau pemerasan adalah suatu tindakan koruptif dimana seseorang atau
kelompok melakukan ancaman secara lalim kepada pihak lain untuk memperoleh
uang, barang dan jasa, atau perilaku yang diinginkan dari pihak yang diancam.
Bentuk pemerasan tersebut misalnya;
5. Favouritism (Favoritisme)
Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal
memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau
"sumbangan kampanye".
F. Contoh permasalahan tindak pidana korupsi :
Dalam hal ini, terdapat permasalahan penting yang perlu diperhatikan bersama,
diantaranya:
Mendalami kasus Suap Perubahan APBD 2015 tidak menghentikan KPK untuk
menelusuri lebih jauh. Saat ini telah ditetapkan 22 anggota DPRD Kota Malang
yang akan diperiksa lebih lanjut di Jakarta. Sebelumnya KPK telah menetapkan
19 anggota DPRD atas kasus Suap Perubahan APBD 2015; satu terpidana, dan 18
terdakwa. Ke-19 anggota DPRD Kota Malang tersebut terbukti melakukan
menerima Suap Perubahan APBD 2015. Dengan demikian telah ditetapkan
sebanyak 41 orang.
Tahun 2019, serentak akan dilakukan pemilihan umum legislatif (pileg). Beberapa
anggota DPRD Kota Malang yang telah ditetapkan sebagai tersangka bakal calon
legislatif (bacaleg), bagaimana nasibnya? Partai politik pengusung telah
menyeleksi kader yang dinilai pantas untuk menyuarakan aspirasi masyakat.
Dengan situasi demikian, permasalahan di Kota Malang akan dilakukan
Pergantian Antar Waktu (PAW) oleh partai politik agar penyelenggaraan roda
pemerintahan Kota Malang berjalan lancar. Sebagai kandidat wakil rakyat yang
akan menentukan kebijakan bersama pemerintah. Masyarakat perlu melihat lebih
jeli terhadap kualitas dan kuantitas calon PAW tersebut. Apalagi dengan
terjadinya permasalahan korupsi jemaah di Kota Malang.
Ketiga hal kewenangan yang melekat terhadap diri DPRD tersebut perlu
dimasifkan, sehingga pelaksanaan cek and balance dengan pemerintah untuk
menyeimbangkan roda pemerintahan terlaksana optimal.
Selain itu, kewenangan legislatif tidak berhenti pada tiga hal di atas, menurut
Pitkin dalam Ratna Solihah dan Siti Watiati pada jurnalnya Pelaksanaan Fungsi
Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Pemilu 2014. Terdapat kewenangan
represntasi, yang merupakan fungsi substantif dalam diri legislatif sebagai wakil
rakyat yang bertindak mewakili dengan cara yang responsif dari wakilnya.
Artinya DPRD melakukan segala macam kegiatan karena merasa mewakili
rakyatnya atas dasar kebutuhan masyarakat. Bukan represntasi dari keinginan
pribadi bahkan golongan.
Selain itu, masih terdapat satu kewenangan lagi untuk legislatif, adalah memilih
ketua BUMN/D, memilih ketua komisioner KPU, KPK dan berbagai lembaga
diluar pemerintah. Khusus di daerah, pemilihan ketua BUMD, DPRD miliki
kewenangan secara otonomi terhadapnya.
Oleh sebab itu, Menteri Dalam Negeri melihat kondisi Kota Malang yang dinilai
macet dapat diberlakukan diskresi, dengan bantuan dari pemerintah provinsi untuk
pembahasan-pembahasan penting agar roda pemerintahan tidak macet.
Akan tetapi, Menteri Dalam Negeri adalah pihak ekskutif, dan ingin
memperlancar roda pemerintahan dengan membantu dan memperlancar
penyelenggaraan DPRD. Secara dekosentrasi hal ini tidak ketemu, namun UU
Administrasi Negara tersebut menyampaikan demikian. Dalam pasal 22
disampaikan; mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan
kepentingan umum. Selain itu indikator diskresi diantaranya adalah keadaan
darurat dan mendesak. Hal ini telah terjadi di Kota Malang. Akan tetapi perlu
dikembalikan lagi, apakah dengan diskresi yang disampaikan oleh Kementrian
Dalam Negeri, DPRD Kota Malang ingin melakukannya?
Solusi lainnya adalah, Partai politik yang memiliki kursi di parlemen Kota Malang
akan melakukan PAW untuk mengisi jabatan yang kosong. Satu-satunya cara
adalah memperoleh bantuan dari pemerintah provinsi sebagaimana yang
disampaikan melalui diskresi tersebut. Agar roda pemerintah untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berjalan optimal.
PAW adalah solusi, akan tetapi ada beberapa pertimbangan yang perlu
diperhatikan. Pertama dari Wawan Sobari (Radar Malang; 07 September 2018), ia
menyampaikan kepada kandidat PAW untuk segera beradaptasi (tune in) dengan
cara kerja DPRD, mengingat banyaknya agenda DPRD bersama pemerintah,
bukan hanya sebagai pelengkap quorum. Kedua Rahmad Safa’at (Malang Voice;
06 September 2018), bahwa pelaksanaan PAW akan memicu terjadinya gugatan.
Karena ke-22 tersangka tersebut belum diputuskan secara ingkrah menyatakan
mereka bersalah.
Oleh sebab itu, banyak pertimbangan dari solusi PAW ini. Yang perlu perhatikan
secara jeli adalah, para kandidat PAW ini adalah bacaleg. Jelas dengan kondisi
semacam ini mereka memanfaatkannya untuk dikenal publik. Catatan terpenting
dari PAW ini agar masyarakat dapat memperhatikan cara kerja mereka terhadap
pembahasan kebutuhan masyarakat Kota Malang. Apakah sesuai atau tidak, jika
tidak jangan direpresntasikan sebagai wakil rakyat untuk pileg tahun depan.
Mencuatnya permasalah ini, warga Kota Malang merasa malu dan marah.
Sayangnya kemarahan ini digunakan hanya untuk mencaci di media sosial.
Padalah secara hak mereka terenggut atas fasilitas publik yang tidak
direalisasikan. Dan beberapa warga melalui media sosial menyampaikan bahwa
sudah tidak mempercayai wakil rakyat. Hal semacam ini perlu diperhatikan secara
serius. Apabila masyarakat Kota Malang apatis terhadap politik, maka secara
langsung tidak ingin melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintah. Sebagaimana yang disampaikan dalam kontrak sosial, maka negara-
lah yang akan mefasilitasi kebutuhan hidup warganya. Apabila apatis, dan
mengakibatkan kontrol masyarakat lemah, maka dampaknya korupsi terjadi dan
kebutuhan akan hak hidup masyarakat tidak terfasilitasi oleh negara.
Jika tidak ingin malu dan marah akibat ulah penyelenggara negara, maka
dikontrol penyelenggaraan pemerintah, karena warga negara memiliki hak
konstitusi itu untuk mengawal. Apalagi di era good governance seperti ini,
dimana transparan dan akuntabel menjadi kunci dari penyelenggaraan pemerintah
yang baik dan bersih. Minimal masyarakat dapat mengontrol pembahasan APBD,
mulai dari musyawarah rencana pembanguan (musrenbang) kelurahan/desa,
musrenbang kecamatan, musrenbang OPD, musrenbang kota/kabupaten dan
pembahasan paripuran, mulai dari Rencana Kebijakan Anggaran (RKA),
Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Perioritas Pelafon Anggaran Sementara
(PPAS) hingga penetapan APBD.
Lembaga anti rasuah itu menetapkan Jarot serta Arief sebagai tersangka pemberi
dan penerima suap, sekaligus Komisaris PT EMK Hendarwan Maruszaman.
Bersamaan KPK menemukan istilah pokok pikiran (pokir) yang diduga sebagai
upaya memuluskan pembahasan APBD-Perubahan 2015, yang di dalamnya juga
terdapat perencanaan proyek jembatan Kedungkandang.
Arief disangka menerima suap sebesar Rp 700 juta untuk pembahasan APBD-P
2015 yang juga melibatkan mantan Kadis Pekerjaan Umum dan Pengawasan
Bangunan Jarot Edy Sulistyo, dan suap dari Komisaris PT EMK Hendarwan
Maruszaman sebesar Rp 250 juta, untuk penganganggaran proyek jembatan
Kedungkandang tahun 2016 sebesar Rp 98 miliar, di tahun 2015. Pada
pertengahan Agustus 2017, KPK menggeledah ruang kerja wali kota Moch Anton,
Sekda, serta wakil wali kota Sutiaji, gedung DPRD serta kediaman Anton, ketua
DPRD.
- https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-korupsi.html, diakses
pada tanggal 27 Mei 2019
- https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-korupsi.html. diakses
pada tanggal 27 Mei 2019
- https://mcw-malang.org/buntut-kekecewaan-dan-rasa-malu-warga-kota-
malang/, diakses pada tanggal 27 Mei 2019
- https://mcw-malang.org/sikap-masyarakat-terhadap-kasus-korupsi-di-kota-
malang-yang-menimpa-dprd/, diakses pada tanggal 27 Mei 2019
- https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3930695/proyek-jembatan-ini-
cikal-bakal-terbongkarnya-korupsi-massal, diakses pada tanggal 27 Mei 2019