Oleh:
Muhammad Riyadi
LATAR BELAKANG
Saat ini perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia masih belum bisa berdiri lebih
tegak, dan masih melakukan pencarian bentuk kerja professional. Hal ini dipaparkan oleh
Nurhudaya ( 2005 : 503 ) :
Pada saat ini konseling di Indonesia belum sampai pada kondisi yang mapan, namun harus sudah
menyesuaikan diri dengan perubahan global yang dipicu oleh kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi, kemudahan transportasi, dan ‘hilangnya’ batas-batas struktural yang mengkotak-
kotakan manusia berdasarkan Negara atau wilayah. Orientasi pendekatan, strategi bantuan,
kurikulum bantuan, sampai pada bagaimana konselor dipersiapkan merupakan sederet isu yang
harus direspon oleh para pengembang teori, peneliti, dan praktisi di bidang konseling.
Perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia sudah cukup lama, berawal dari kebijakan
pemerintah pada tahun 1960-1970 yang menetapkan bimbingan dan konseling di masukkan ke
dalam kegiatan sekolah untuk menunjang misi sekolah mencapai tujuan pendidikannya. Periode
berikutnya, pada tahun 1975 terbentuk sebuah organisasi profesi yang bernama IPBI (sekarang
berubah menjadi ABKIN) hasil dari konvensi nasional bimbingan konseling pertama di Malang
Jika dilihat dari peta perkembangan bimbingan dan konseling baik dari sisi perkembangan
profesi, maupun sebagai kajian keilmuan, sudah semestinya bimbingan dan konseling di
Indonesia sudah mempunyai bentuk kerja profesional yang jelas. Namun sampai detik ini
kejelasan bentuk kerja profesional baru di dunia pendidikan yaitu sebagai konselor sekolah,
walaupun pada kenyataannya pelaksanaan di lapangan masih terseok-seok dan bingung, karena
ketidak jelasan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis layanan BK di sekolah.
Keluhan-keluhan yang datang dari para guru pembimbing di lapangan cukup menyedihkan. BK
telah berkembang relatif lama dan diharapkan berkembang ke arah yang lebih
profesional. Namun, kenyataan di lapangan sekarang, BK baru dilirik sebelah mata. Bahkan
pelecehan atau menganggap gampang BK di sekolah masih banyak terjadi. Beberapa julukan BK
yang kurang baik masih tetap menempel misalnya Guidence and Counseling atau GC diplesetkan
menjadi “guru cicing”. Jam BK atau BP yang diberikan kepada siswa diplesetkan dengan “boleh
keluar” atau “boleh pulang”. Bahkan tugas guru BK pun masih menjadi sang pengadil atau polisi
sekolah yang harus mencari-cari kesalahan siswa. Selain itu masih banyak permasalahn BK di
sekolah-sekolah salah satunya adalah bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani
masalah yang bersifat insidental, bimbingan dan konseling hanya untuk klien-klien tertentu saja,
bimbingan dan konseling bekerja sendiri, konselor harus aktif sedangkan pihak lain pasif,
menganggap pekerjaan bimbingan dna konseling dapat dilakukan oleh siapa saja, menganggap
hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera dilihat.
Secara profesional bimbingan dan konseling dapat berdiri sendiri, namun dalam konteks
perkembangannya di Indonesia bimbingan konseling yang dintegrasikan dalam pendidikan akan
terkait dengan sejumlah aturan pemerintah tentang pendidikan. Sebuah ironi jika BK yang sudah
menjadi sebuah profesi masih dipandang sebelah mata bahkan dianggap kurang penting, hanya
karena ketidak jelasan JUKLAK dan JUKNIS yang ada di lapangan (sekolah).
PERMASALAHAN
Bimbingan dan konseling di Indonesia masih belum mendapatkan apresiasi yang bagus,
kenyataan di lapangan (sekolah) para guru pembimbing banyak mendapatkan sorotan, kritikan,
bahkan tidak sedikit cemoohan. Guru Bimbingan dan Konseling yang diharapkan mampu
membantu siswa dari aspek psikologis, pengembangan diri, masalah pribadi, masalah belajar,
masalah sosial, dan masalah karir justru malah menjadi polisi sekolah, satpam sekolah, atau
bahkan tukang cukur sekolah, yang kerjaannya menghukum siswa yang terlambat, menggunting
rambut siswa yang terlalu panjang, dan banyak lagi tugas-tugas guru BK yang sangat jauh dari
apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru BK/ Konselor.
Permasalahan tersebut tidak hanya dari kualitas tenaga bimbingan dan konseling, namun juga
dari segi sarana dan prasarana bimbingan dan konseling yang disiapkan oleh sekolah. Ruangan
bimbingan dan konseling acap kali hanyalah ruangan-ruangan parasit yang menumpang pada
ruang guru atau ruang tata usaha. Bahkan juga kadang gudang-gudang yang tidak terpakailah
yang kemudian disulap menjadi ruangan BK tanpa memperhatikan lagi standar ruang bimbingan
dan konseling yang seharusnya. Selain itu munculnya persepsi negatif tentang BK adalah karena
tidak diketahuinya fungsi, arah dan tujuan bimbingan di sekolah atau tidak disusunnya program
BK secara terencana. Dapat juga disebabkan oleh ketidaktahuan akan tugas, peran, fungsi, dan
tanggung jawab guru BK itu sendiri.
Keberadaan guru BK yang tidak memiliki latar belakang pendidikan bimbingan dan konseling
sebenarnya telah disadari oleh pemerintah. Terbukti, melalui Kementrian Pendidikan Nasional,
pemerintah menerbitkan Permendiknas No. 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Konselor. Pada peraturan tersebut tercantum sejumlah peraturan
khusus untuk konselor di sekolah. Permendiknas No. 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Konselor di Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa untuk dapat diangkat
sebagai konselor, seseorang wajib memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi
konselor yang berlaku secara nasional. Kemudian penyelenggara pendidikan yang satuan
pendidikannya mempekerjakan konselor wajib menerapkan standar kualifikasi akademik dan
kompetensi konselor.
Dengan adanya peraturan tersebut maka guru Bimbingan dan konseling yang ada di sekolah
harus berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling. Hal ini tentu saja akan
berimplikasi pada perbaikan kualitas pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah oleh para
konselor profesional. Pada peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa Penyelenggara pendidikan
yang satuan pendidikannya mempekerjakan konselor wajib menerapkan standar kualifikasi
akademik dan kompetensi konselor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri paling lambat
5 tahun setelah Peraturan Menteri ini mulai berlaku. Artinya, di tahun 2013 ini guru yang
bertugas sebagai konselor sekolah di seluruh Indonesia harus benar-benar mempunyai kualifikasi
akademik yang dibuktikan dengan latar belakang pendidikan bimbingan dan konseling.
Pada tahun 2003, eksistensi BK semakin baik dan mulai diperhatikan. UU No. 20/ 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa pendidik adalah tenaga
kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara,
tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Isu profesionalisasi hampir mengenai semua jenis profesi, setiap profesi dituntut meningkatkan
mutu layanan, kinerja dan kualitas tenaga profesinya. Profesionalitas sebuah profesi dapat dilihat
dari sertifikasi, akreditasi, sistem pendidikan dan latihan profesi, dan lembaga/organisasi profesi
yang menjadi identitas sebuah profesi, faktor-faktor tersebut yang nantinya akan menumbuhkan
kepercayaan publik pada sebuah profesi termasuk profesi bimbingan dan konseling.
Terhitung sampai tahun 2003, baru sekitar 10 persen konselor yang memperoleh sertifikat resmi
dari Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). Artinya, hanya 183 orang itu yang
berhak menyelenggarakan bimbingan konseling dan pelatihan bagi masyarakat umum secara
resmi (Kartadinata, 2003 ; www.KCM.com).
Secara hukum bagi para konselor sekolah tidak memerlukan sertifikasi dari ABKIN, dengan
mengantongi gelar kesarjaan S-1 pada program pendidikan bimbingan dan konseling,
memberikan asas legal bagi para konselor sekolah untuk memberikan layanan bimbingan
konseling di sekolah. Namun di lapangan sekarang ini masih banyak ditemui sejumlah sekolah
yang tidak memiliki konselor sekolah yang mempunyai pendidikan bimbingan dan konseling.
Disinilah perlunya para konselor memahami aspek politik yang mengatur kebijakan profesi,
ABKIN seharusnya bekerjasama dengan pemerintah untuk melindungi profesi bimbingan dan
konseling, dalam hal menyeleksi para calon konselor sekolah.
Profesionalisasi BK juga harus memperhatikan kualitas lembaga pendidikan yang menghasilkan
konselor yang profesional. Muatan kurikulum dalam lembaga pendidikan para calon konselor,
harus mengintegrasikan standar kompetensi konselor, sehingga dalam proses pembinaan
konselor profesional dilakukan secara berkesinambungan dan tersistematis dalam kurikulum
yang diberlakukan.
Saat ini program pendidikan yang ada terdiri jenjang S-1, S-2, S-3, sedangkan untuk pendidikan
profesi memiliki jenjang tersendiri, namun program ini diperuntukan bagi lulusan S-1 bimbingan
dan konseling. Kebijakan dalam pengelolaan pendidikan profesi pun masih belum begitu jelas
dan terstandar, sejauh ini program pendidikan profesi baru diselenggarakan oleh Prodi BK
Universitas Negeri Padang, dan Program BK Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
ABKIN seharusnya bisa lebih tegas dalam hal ini, karena ada satu hal yang penting bagi sebuah
profesi yaitumendapatkan kepercayaan masyarakat (Public Trust). Bigs& Blocher (1986,
Suherman, 2003:84) memaparkan tiga komponen yang harus dimiliki oleh sebuah profesi, yaitu :
1). Memiliki kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus, 2).
Ada perangkat aturan untuk mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahteraan publik,
3). Para anggota profesi akan bekerja dan memberikan layanan dengan berpegang teguh pada
standar profesi.
Poin kedua menunjukan pada kita bahwa sebuah profesi harus memiliki keketatan aturan karena
hal tersebut berhubungan dengan perlindungan kesejahteraan. Kepercayaan publik yang
diinginkan oleh setiap profesi ditinjau dari kejelasan regulasi yang terkait dengan program
pendidikan, stnadar kompetensi profesional, dan regulasi yang mengatur perilaku profesional
konselor (kode etik).
Hal ini harus di awali dengan kejelasan program pendidikan konselor dan program pendidikan
profesi konselor yang terstandar secara nasioanal oleh ABKIN, sehingga tidak ada lagi blok
dalam pengembangan profesi ini baik dalam pengembangan keilmuan atau dalam praktik
layanan. Kebutuhan akan program layanan bimbingan dan konseling saat ini bukan hanya datang
dari dunia pendidikan saja, namun bidang-bidang lain seperti dunia usaha dan industri,
kemasyarakatan dan lembaga pernikahan, pelayanan sosial, dan bidang-bidang lain yang yang
memiliki objek utama individu pun menjadi lahan garapan profesi bimbingan dan konseling.
Oleh karena itu kebijakan dari ABKIN dalam mengembangkan profesi bimbingan dan konseling
harus bisa membaca ke arah sana, di mana kebijakan ini diberlakukan kepada lembaga
pendidikan yang mendidik para calon konselor, dan program pendidikan pasca sarjana dan
pendidikan profesi, sehingga kebutuhan dari masyarakat atas keberagaman kebutuhan dari
berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dapat dilayani oleh para konselor yang kompeten
dibidangnya masing-masing.
PEMBAHASAN
Untuk menyempurnakan profesi BK, maka perlu dilakukan beberapa pengembangan yang mana
pengembangan yang dilakukan meliputi :
Banyak orang menganggap bahwa pekerjaan konselor dapat dilakukan oleh siapa saja , asalkan
mereka mampu berkomunikasi dengan baik dan mampu mencari solusi atas permasalahan yang
dihadapi oleh murid. Namun sebenarnya pekerjaan BK memerlukan keahlian yang khusus
dimiliki oleh seorang konselor , sebab dalam profesi BK memiliki asas-asas dan landasan yang
memerlukan penguasaan dan pemahaman yang baik oleh konselor agar mereka dapat
memberikan pelayanan yang tepat. Di Indonesia sendiri pelayanan konselor belum memiliki
standar kompetensi yang berlaku secara menyeluruh , namun usahanya sudah pernah dilakukan
oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) dalam konvensi ke VII di Denpasar (1989) dan
semakin diperkuat lagi dalam konvensi ke VIII yang dilaksanakan di Padang (1991) yang
menghasilkan 225 butir kesepakatan mengenai bimbingan yang dilakukan kepada siswa di
Indonesia. Ke 225 butir layanan tersebut sudah terinci namun dalam pelaksanaannya masih
memerlukan pengkajian yang mendalam apakah layanan tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan
lapangan , sehingga masih terbuka kemungkinan apakah ke-225 butir tersebut masih bisa
ditambah atau dikurangi.
Yang dimaksud standarisasi penyiapan konselor adalah menyiapkan konselor untuk memahami
dan mengerti akan tugas-tugas sebagai konselor dan mampu menjalankan tugasnya tersebut.
Untuk mencapai hal tersebut maka dilakukan persiapan kepada konselor melaui pendidikan
dalam jabatan, pendidikan diperguruan tinggi , pelatihan-pelatihan , training , studi banding , dan
segala yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan konselor. Penyiapan konselor
sendiri paling optimal dilakukan di perguruan tinggi , sebab diperguruan tinggi materi yang
diberikan sudah terstruktur dan dapat dilakukan secara berkesinambungan sehingga dapat
dimengerti oleh mahasiswa calon guru konselor.
Dalam pelayanan bimbingan konseling , terdapat hal-hal yang harus diperhatikan oleh konselor.
Hal-hal yang harus diperhatikan itu adalah:
1. Merancang program bimbingan dan konseling: (a) menganalisis kebutuhan konseli; (b)
menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan berdasar kebutuhan
peserta didik secara komprehensif dengan pendekatan perkembangan; (c) menyusun
rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling; dan (d) merencanakan sarana
dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling.
2. Mengimplemantasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif: (a)
Melaksanakan program bimbingan dan konseling: (b) melaksanakan pendekatan
kolaboratif dalam layanan bimbingan dan konseling; (c) memfasilitasi perkembangan,
akademik, karier, personal, dan sosial konseli; dan (d) mengelola sarana dan biaya
program bimbingan dan konseling.
3. Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling: (a) melakukan evaluasi hasil,
proses dan program bimbingan dan konseling; (b) melakukan penyesuaian proses layanan
bimbingan dan konseling; (c) menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi layanan
bimbingan dan konseling kepada pihak terkait; (d) menggunakan hasil pelaksanaan
evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling.
4. Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja: (a) memahami dasar, tujuan,
organisasi dan peran pihak-pihak lain (guru, wali kelas, pimpinan sekolah/madrasah,
komite sekolah/madrasah di tempat bekerja; (b) mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan
kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak-pihak lain di tempat bekerja;
dan (c) bekerja sama dengan pihak-pihak terkait di dalam tempat bekerja seperti guru,
orang tua, tenaga administrasi).
5. Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling: (a) Memahami
dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk
pengembangan diri.dan profesi; (b) menaati Kode Etik profesi bimbingan dan konseling;
dan (c) aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan
diri.dan profesi.
6. Mengimplementasikan kolaborasi antar profesi: (a) mengkomunikasikan aspek-aspek
profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi lain; (b) memahami peran
organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan
konseling; (c) bekerja dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi
lain; dan (d) melaksanakan referal kepada ahli profesi lain sesuai keperluan.
Bimbingan dan konseling adalah upaya pendidikan dan merupakan bagian integral dari
pendidikan yang secara sadar memposisikan “… kemampuan peserta didik untuk
mengeksplorasi, memilih, berjuang meraih, serta mempertahankan karier itu ditumbuhkan secara
isi-mengisi atau komplementer oleh guru bimbingan dan konseling/ konselor dan oleh guru mata
pelajaran dalam setting pendidikan khususnya dalam jalur pendidikan formal, dan sebaliknya
tidak merupakan hasil upaya yang dilakukan sendirian oleh Konselor, atau yang dilakukan
sendirian oleh Guru.” (ABKIN: 2007).
Ini berarti bahwa proses peminatan, yang difasilitasi oleh layanan bimbingan dan konseling,
tidak berakhir pada penetapan pilihan dan keputusan bidang atau rumpun keilmuan yang dipilih
peserta didik di dalam mengembangkan potensinya, yang akan menjadi dasar bagi perjalanan
hidup dan karir selanjutnya, melainkan harus diikuti dengan layanan pembelajaran yang
mendidik, aksesibilitas perkembangan yang luas dan terdiferensiasi, dan penyiapan lingkungan
perkembangan/belajar yang mendukung. Dalam konteks ini bimbingan dan konseling berperan
dan berfungsi, secara kolaboratif, dalam hal-hal berikut.
Untuk mewujudkan arahan Pasal 1 (1), 1 (2), Pasal 3, dan Pasal 4 (3) UU No. 20 tahun 2003
secara utuh, kaidah-kaidah implementasi Kurikulum 2013 sebagaimana dijelaskan harus
bermuara pada perwujudan suasana dan proses pembelajaran mendidik yang memfasilitasi
perkembangan potensi peserta didik. Suasana belajar dan proses pembelajaran dimaksud pada
hakikatnya adalah proses mengadvokasi dan memfasilitasi perkembangan peserta didik yang
dalam implementasinya memerlukan penerapan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling.
Bimbingan dan konseling harus meresap ke dalam kurikulum dan pembelajaran untuk
mengembangkan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan potensi peserta didik.
Untuk mewujudkan lingkungan belajar dimaksud, guru hendaknya: (1) memahami kesiapan
belajar peserta didik dan penerapan prinsip bimbingan dan konseling dalam pembelajaran, (2)
melakukan asesmen potensi peserta didik, (3) melakukan diagnostik kesulitan perkembangan dan
belajar peserta didik, (4) mendorong terjadinya internalisasi nilai sebagai proses individuasi
peserta didik. Perwujudan keempat prinsip yang disebutkan dapat dikembangkan melalui
kolaborasi pembelajaran dengan bimbingan dan konseling.
Dalam upaya membangun karakter sebagai suatu keutuhan perkembangan, sesuai dengan arahan
Pasal 4 (3) UU No. 20/2003, Kurikulum 2013 menekankan pembelajaran sebagai proses
pemberdayaan dan pembudayaan. Untuk mendukung prinsip dimaksud bimbingan dan konseling
tidak cukup menyelenggarakan fungsi-fungsi inreach tetapi juga melaksanakan fungsi outreach
yang berorientasi pada penguatan daya dukung lingkungan perkembangan sebagai lingkungan
belajar.
Dalam konteks ini kolaborasi guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata
pelajaran hendaknya terjadi dalam konteks kolaborasi yang lebih luas, antara lain: (1) kolaborasi
dengan orang tua/keluarga, (2) kolaborasi dengan dunia kerja dan lembaga pendidikan, (3)
“intervensi” terhadap institusi terkait lainnya dengan tujuan membantu perkembangan peserta
didik.
REKOMENDASI
Kebutuhan Guru Bimbingan dan Konseling sebanyak 92.572 sebagaimana diberitakan Harian
Kompas (Rabu, 23 Januari 2013), menghendaki penyiapan Guru Bimbingan dan
Konseling/Konselor secara sungguh-sungguh dan profesional. Dengan berpayung pada UU No.
14/2005 tentang Guru dan Dosen, penyiapan guru bimbingan dan konseling/konselor profesional
disiapkan di LPTK melalui pendidikan akademik S1 bidang Bimbingan dan Konseling dan
Pendidikan Profesi Konselor sebagai suatu keutuhan sebagaimana diatur dalam Permendiknas
No. 27/2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor Indonesia.
Untuk memantapkan unjuk kerja profesi bimbingan dan konseling di tanah air khususnya pada
setting persekolahan, perlu dilakukan pengembangan profesionalitas bimbingan dan konseling,
yang dilakukan oleh guru pembimbing– konselor sekolah melalui berbagai kegiatan profesi yang
bersifat ilmiah. Beberapa kegiatan ilmiah tersebut, di antaranya: penelitian, seminar, lokakarya,
workshop, pelatihan, diskusi panel, dan kegiatan sejenis yang berskala lokal, nasional, regional,
maupun internasional, yang secara singkat diuraikan berikut ini.
Seminar. Kegiatan seminar merupakan salah satu bentuk kegiatan ilmiah yang diikuti
para pembimbing–konselor sekolah untuk mengembangkan kemampuannya melalui peran serta
aktif dalam kegiatan tersebut. Seminar dengan menghadirkan pembicara pakar bimbingan dan
konseling dari dalam dan di luar negeri serta unsur birokrasi yang dirancang dan dilaksanakan
dengan baik, dapat memberikan hasil perkembangan terbaru dalam aspek pengetahuan dan
teknologi, yang sangat dibutuhkan guru pembimbing–konselor sekolah untuk meningkatkan
kinerjanya. Kegiatan seminar ini tentunya dibingkai dalam bentuk forum ilmiah yang
memungkinkan parapembimbing–konselor sekolah berperan aktif untuk mengungkapkan
pengalaman dan gagasannya yang terkait dengan peningkatan profesi bimbingan dan konseling.
Lokakarya dan Workshop. Kegiatan ini cukup populer dilaksanakan untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan guru pembimbing–konselor sekolah dalam beberapa hal, seperti;
pengembangan perangkat atau piranti bimbingan dan konseling (pengembangan materi
pelayanan BK sebagai konteks, teknik asesmen, multi media atau media digital, dan piranti BK
lainnya). Dalam penyelenggaraan lokakarya dan workshop, guru pembimbing–konselor sekolah
hendaknya tidak sekedar diperlakukan sebagai peserta, tetapi jauh lebih penting adalah
melibatkan mereka sebagai narasumber. Dengan keterlibatan mereka yang memiliki kapasitas
yang dibutuhkan, diharapkan kegiatan ini dapat memicu guru pembimbing–konselor sekolah
untuk mengembangkan kompetensinya secara berkelanjutan, khususnya untuk meningkatkan
praksis pelayanan bimbingan dan konseling pada institusinyamasing-masing.
Diskusi panel. Kegiatan diskusi panel pada dasarnya sama dengan seminar. Hanya pada diskusi
panel, beberapa pembicara / narasumber mengungkapkan pandangan / gagasannya tentang suatu
topik permasalahan / isu yang diangkat sebagai topik diskusi panel. Dalam kegiatan ini, peran
moderator sangat penting sebagai pengatur jalannya diskusi panel. Di pihak lain para peserta
diskusi panel hendaknya juga terlibat aktif untuk memberikan gagasan / pendapat-
pendapatnya atas stimuli yang digagas oleh beberapa narasumber.
KEPUSTAKAAN
ABKIN, 2007. Standar Kompetensi Konselor Indoneisa. Bandung : Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia
Harian Kompas, 23 Januari 2013, “Sekolah kekurangan 92.572 Guru Bimbingan dan
Konseling.”
Hartono. Bimbingan Dan Konseling Dalam Konteks Pendidikan Formal: Suatu Kajian
Akademik tersedia si http://share.pdfonline.com diakses tanggal 1 Januari 2014
Kartadinata, Sunaryo. 2005. Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling Profesional;
HIstorik-Futuristik. (dalam : Pendidikan dan Konseling di Era Global dalam Perspejtif
Prof.Dr.M.Djawad Dahlan). Bandung : Rzki Press
Nurhudaya. 2005. Pelayanan Konseling di Era Global (dalam : Pendidikan dan Konseling di Era
Global dalam Perspejtif Prof.Dr.M.Djawad Dahlan). Bandung : Rzki Press
Suherman, Uman. 2003. Kompetensi Dan Aspek Etik Profesional Konselor Masa
Depan. (Kumpulan Makalah Konvensi ABKIN XIII)